Minggu, 31 Maret 2013

Hubungan Doa Istri 'Imran untuk Maryam dan Keturunannya dengan Penghapusan "Rahbaniyah"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 84


  Hubungan  Doa Istri ‘Imran 
Untuk Maryam dan Keturunannya  
dengan Penghapusan Rahbaniyah 

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  firman Allah Swt. mengenai kebingungan istri ‘Imran ketika mengetahui bahwa bayi yang dilahirkannya adalah seorang bayi perempuan – bertentangan  dengan harapannya menginginkan kelahiran bayi laki-laki, karena istri ‘Imran  telah bernazar hendak mewakafkan anak laki-laki yang masih ada dalam kandungannya untuk berbakti kepada Tuhan, tetapi dalam kenyataannya yang dilahirkannya adalah seorang anak perempuan,  sehingga  dengan sendirinya istri ‘Imran  menjadi bingung, firman-Nya:
  فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 
     Anak kalimat aku menamainya Maryam, mengandung doa kepada Allah Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang mulia dan baik serta shalih, seperti nampak dari arti kata Maryam (yakni   mulia atau seorang ahli ibadah yang saleh).
      Siti Maryam  adalah  ibunda Nabi Isa ibnu Maryam,  beliau mungkin diberi nama yang sama dengan saudara perempuan Nabi Musa.s.  dan Nabi Harun a.s. --  yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata majemuk dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan  bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia Biblica).
    Kata-kata doa ibu Siti Maryam – “sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk” -- itu menimbulkan sedikit kesulitan. Bila ibunda Siti Maryam berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada Tuhan, pasti beliau  telah mengetahui bahwa anaknya tidak akan menikah seumur hidup. Jika demikian, maka apakah artinya memanjatkan doa untuk keturunan sang anak perempuannya  itu?

Melihat Kasyaf (Penglihatan Ruhani)  

     Penjelasan yang paling mungkin adalah  bahwa  Allah Swt. telah mengabarkan kepada ibunda Siti Maryam dalam sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa anak perempuannya  itu akan tumbuh hingga dewasa dan akan mendapat seorang anak, dan atas berita itu beliau mendoa agar Siti Maryam dan anaknya dikaruniai perlindungan Ilahi.
       Namun demikian beliau nampaknya telah menyerahkan hari depan Siti Maryam ke tangan Ilahi dan mewakafkannya, sebagaimana diniatkannya semula untuk mengabdi kepada Allah Swt.   (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti Maryam). Hal itu tentu saja merupakan suatu kekecualian, sebab hanya laki-laki sajalah yang dapat dipilih untuk bakti demikian.
  Dugaan bahwa ibunda Siti Maryam menerima kasyaf mengenai anak perempuannya akan mendapat seorang laki-laki, tercantum dalam Injil Maryam (3:5), meskipun  mungkin dalam bentuk yang agak lain.
Alasan lainnya adalah bahwa Allah Swt. berkehendak menghapuskan lembaga kerahiban  di kalangan penganut agama Yahudi, khususnya golongan Essennes. Karena telah bertentangan dengan tujuan awal dari rahbaniyah itu sendiri, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ  اَرۡسَلۡنَا  نُوۡحًا وَّ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ جَعَلۡنَا فِیۡ  ذُرِّیَّتِہِمَا النُّبُوَّۃَ  وَ الۡکِتٰبَ فَمِنۡہُمۡ  مُّہۡتَدٍ ۚ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾  ثُمَّ قَفَّیۡنَا عَلٰۤی اٰثَارِہِمۡ  بِرُسُلِنَا وَ قَفَّیۡنَا بِعِیۡسَی ابۡنِ مَرۡیَمَ  وَ اٰتَیۡنٰہُ الۡاِنۡجِیۡلَ ۬ۙ وَ جَعَلۡنَا فِیۡ  قُلُوۡبِ الَّذِیۡنَ اتَّبَعُوۡہُ  رَاۡفَۃً  وَّ رَحۡمَۃً ؕ وَ رَہۡبَانِیَّۃَۨ  ابۡتَدَعُوۡہَا مَا کَتَبۡنٰہَا عَلَیۡہِمۡ  اِلَّا ابۡتِغَآءَ رِضۡوَانِ اللّٰہِ  فَمَا رَعَوۡہَا حَقَّ رِعَایَتِہَا ۚ فَاٰتَیۡنَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡہُمۡ اَجۡرَہُمۡ ۚ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ  فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami meletakkan di antara benih keturunan mereka berdua kenabian dan  Kitab, maka sebagian mereka mengikuti petunjuk tetapi  kebanyak-an dari mereka itu fasik.  Kemudian  Kami mengikutkan di atas jejak-jejak mereka rasul-rasul Kami, dan Kami mengikutkan pula Isa Ibnu Maryam, dan Kami memberikan kepadanya Injil, dan Kami menjadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan cara hidup merahib yang dibuat-buat mereka Kami sekali-kali tidak mewajibkannya atas mereka, kecuali untuk mencari keridhaan Allah,  tetapi mereka tidak melaksanakannya sebagaimana seharusnya dilaksanakan, maka Kami menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka ganjaran mereka, tetapi kebanyakan dari mereka fasik. (Al-Hadīd [57]:27-28).

Membatalkan Rahbaniyah (Hidup  Tidak Menikah)

 Ayat 28  dapat juga diartikan bahwa para pengikut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. mengadakan sendiri rahbaniyah (cara hidup membujang sebagai biarawan atau biarawati) untuk mencari keridhaan Allah, akan tetapi Allah Swt. tidak memerintahkan yang demikian kepada mereka; atau artinya ialah  mereka membuat-buat sendiri cara hidup membiara (merahib),  akan tetapi Allah  Swt. tidak pernah menetapkannya bagi mereka – Dia hanya memerintahkan kepada mereka mencari keridhaannya.
 Dalam ayat yang mendahukuinya (QS.57:26) dinyatakan bahwa Allah  Swt. telah menurunkan al-mīzān (timbangan) agar dengan menjauhi batas-batas   keterlaluan (ekstrim), orang harus mengambil jalan-tengah dalam segala urusan dan tindakan mereka.
 Dalam ayat 28 contoh berkenaan dengan suatu umat (umat Kristen) telah diutarakan guna memperlihatkan bahwa penempuhan jalan ekstrim (keterlaluan) yang dilakukan oleh mereka -- meskipun dengan niat yang betapa pun baiknya –akan menjauhkan mereka dari tujuan yang telah diusahakan mereka untuk mencapainya.
Mereka telah  menciptakan sendiri lembaga kerahiban untuk – sebagaimana aggapan mereka yang keliru --  mencari keridhaan Allah, dan sesuai dengan ajaran dan sunah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., akan tetapi lembaga kerahiban itu ternyata merupakan sumber kejahatan sosial yang sangat banyak. Mereka mulai mengamalkan rahbaniyah  dan berakhir dengan menyibukan diri dalam penyembahan Mamon.   Tetapi Islam telah mencela dan menyesali rahbaniyah sebagai hal yang bertentangan dengan fitrat manusia.
 Menurut riwayat Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda: “Tidak ada rahbaniyah dalam Islam” (Kamil ibnu Atsir). Islam bukanlah agama khayali yang hidup dalam alam konsepsi atau ciptaan mereka sendiri dan sama sekali terpisah dari kenyataan-kenyataan jelas dalam kehidupan ini. Tidak ada tempat dalam Islam untuk ajaran yang tidak dapat diamalkan semacam itu, seperti “jangan kamu khawatir akan hal esok hari” (Matius 6:34).
 Islam memerintahkan dengan tegas supaya “memperhatikan apa yang didahulukannya untuk esok hari” (QS.59:19). Seorang Muslim sejati adalah orang yang melaksanakan semua kewajibannya kepada Tuhan dan manusia, secara adil dan sepenuhnya. 

Doa Nabi Zakaria a.s. &
Kelahiran Nabi Yahya a.s.

      Jadi, tidak ada sesuatu yang luar biasa mengenai doa Hanna (istri ‘Imran) yang ingin agar Siti Maryam serta keturunannya terpelihara dari pengaruh syaitan. Semua orang tua mendambakan hal seperti itu untuk anak-anak mereka dan mendoa agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan yang baik lagi lurus:
وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
“…aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 
     Baik juga dicatat, meskipun Islam (Al-Quran) menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu dinikmati Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. (Markus 1:12, 13).
     Rajim diserap dari kata rajama  artinya: (1) orang yang diusir dari hadirat Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk; (2) ditinggalkan dan dibiarkan seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4) mahrum (luput)  dari segala kebaikan dan kebajikan (Lexicon Lane).
     Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pengabulan doa istri ‘Imran mengenai  anak perempuan yang dilahirkannya:
فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾ 
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik, menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sangat baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria.  Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,  dari manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia ber-kata: “Rezeki itu dari sisi Allah.”  Se-sungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab.  (Āli ‘Imran [3]:38).
  Zakaria a.s.   itu nama seorang orang-suci dari kalangan Bani Israil yang dikemukakan oleh Al-Quran sebagai seorang nabi (QS.6:86), tetapi dalam Bible hanya disebut sebagai seorang imam (Lukas 1:5). Orang yang dikemukakan sebagai nabi oleh Bible ialah Zakharya -- perhatikan perbedaan-perbedaan ejaannya --  yang Al-Quran tidak menyebutnya. Nabi Zakaria a.s. dari Al-Quran itu ialah ayahanda Nabi Yahya a.s.,   saudara sepupu Nabi Isa ibnu Maryam a.s..   
      Hadiah-hadiah itu  dibawa oleh orang-orang yang berkunjung ke tempat itu untuk beribadah dan tidak ada hal luar biasa dalam bunyi jawaban Siti Maryam bahwa hadiah-hadiah itu dari Allah Swt.,    sebab tiap-tiap barang baik yang datang kepada manusia sebenarnya berasal dari Allah Swt.  karena Tuhan itu Maha Pemberi.
    Pada hakikatnya, suatu jawaban lain dari seorang anak perempuan dengan didikan agama seperti yang diperoleh Siti Maryam  tentu akan mengherankan. Kenyataan itulah yang telah menggugah Nabi Zakaria a.s. untuk  memperoleh keturunan yang shaleh seperti   Maryam, karena istri beliau  sampai dengan saat itu belum juga dapat melahirkan seorang anak,  walau pun selama itu Nabi Zakaria terus menerus berdoa (QS.19:3-12), firman-Nya:  
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾  فَنَادَتۡہُ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ 
Di sanalah Zakaria berdoa  kepada Tuhan-nya, dia berkata:  ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga  dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”   Maka malaikat menyerunya ketika ia  sedang berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya  Allah memberi engkau kabar gembira  tentang Yahya, yang akan menggenapi  kalimat dari  Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi dari antara orang-orang saleh.” (Āli ‘Imran [3]:39-40).
    Jawaban yang saleh dari anak itu memberi kesan sangat mendalam pada pikiran Nabi Zakaria a.s.  dan membangkitkan dalam jiwanya keinginan terpendam yang wajar untuk mempunyai anak sendiri yang shalih seperti dia. Beliau mendoa kepada Allah Swt.  untuk dianugerahi seorang anak seperti Siti Maryam.

Nabi Zakaria a.s. Tidak  Pernah  Menjadi  Bisu

      Doa Nabi Zakaria a.s. tersebut nampaknya dipanjatkan berulang-ulang selama satu masa yang panjang,  seperti disebutkan dengan kata-kata lain di berbagai tempat dalam Al-Quran (QS.3:39; QS.19:4-7; QS.21:90), karena  beliau pun  -- seperti halnya istri ‘Imran -- merasakan keprihatinan yang sama  mengenai keadaan akhlak dan  ruhani Bani Israil bagaikan keadaan seorang  perempuan  tua yang rahimnya mandul  sebagaimana tergambar dalam doa beliau dalam Surah Maryam ayat 4-7.
       Nabi  Yahya a.s.  adalah seorang nabi yang datang sebelum Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  berlaku sebagai perintis bagi kedatangan beliau, sesuai dengan nubuatan Bible (Maleakh3:1 dan 4:5). Kata Ibraninya ialah Yuhanna, yang dalam bahasa itu berarti  "Tuhan telah bermurah hati" (Encyclopaedia Britannica). Nama Yahya  diberikan oleh Allah Swt.   Sendiri.
     Nabi  Yahya a.s. datang sesuai dengan nubuatan Maleakhi: “Bahwasanya Aku menyuruhkan kepadamu Elia, nabi itu, dahulu daripada datang hari Tuhan yang besar dan hebat itu” (Maleakhi  4:5).  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ  وَّ قَدۡ بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ  یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اجۡعَلۡ لِّیۡۤ  اٰیَۃً ؕ قَالَ اٰیَتُکَ  اَلَّا تُکَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَۃَ اَیَّامٍ  اِلَّا رَمۡزًا ؕ وَ اذۡکُرۡ رَّبَّکَ کَثِیۡرًا وَّ سَبِّحۡ بِالۡعَشِیِّ وَ الۡاِبۡکَارِ ﴿٪﴾
Ia, Zakaria,  berkata:   ”Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” Dia berfirman: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia berbuat apa yang Dia kehendaki.”  Ia berkata: “Ya Tuhan-ku, berikanlah kepadaku suatu Tanda. Dia berfirman: “Tanda bagi engkau yaitu engkau tidak boleh berbicara dengan manusia selama tiga hari  kecuali dengan isyarat, dan ingatlah Tuhan engkau sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” (Āli ‘Imran [3]:41-42).
   Ghulam berarti anak muda (Lexicon Lane). Pertanyaan Nabi Zakaria a.s. merupakan ungkapan yang tercetus dari rasa heran yang tulus dan polos tatkala mendengar janji Ilahi itu. Pertanyaan itu mengandung pula doa terselubung agar mudah-mudahan ia mendapat umur cukup panjang sehingga dapat melihat anak itu lahir dan tumbuh menjadi seorang pemuda (ghulam).
       Nabi Zakaria a.s.   harus pantang berbicara selama tiga hari, dan kemudian janji itu baru akan dipenuhi. Beliau tidak kehilangan kemampuan bicara – yakni tiba-tiba menjadi bisu,  --  seperti nampaknya dikatakan Bible, sebagai hukuman karena tidak percaya kepada perkataan Allah Swt.  (Lukas 1:20-22).
     Perintah supaya membisu dimaksudkan agar memberikan kesempatan baik kepada Nabi Zakaria  a.s.  untuk menggunakan waktu beliau dengan bertafakur dan berdoa — suatu syarat yang istimewa sekali, berfaedah untuk menarik rahmat dan berkat Ilahi. Pantang bercakap-cakap juga ternyata sangat berfaedah dalam keadaan tertentu untuk membuat seseorang memulihkan kembali daya hayati dan kekuatan jasmani yang telah hilang. Kebiasaan itu agaknya lazim terdapat di tengah kaum Yahudi di zaman itu.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 31  Maret  2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar