بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 73
Ila (Perpisahan Sementara) Dibolehkan &
Zhihar (Menelantarkan Istri) Dilarang
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah kemukakan berbagai latar-belakang
pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.
dengan istri-istri beliau saw. serta izin
khusus Allah Swt. untuk Nabi Besar Muhammad saw. dalam firman-Nya berikut
ini:
یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ اِنَّاۤ اَحۡلَلۡنَا لَکَ اَزۡوَاجَکَ الّٰتِیۡۤ اٰتَیۡتَ اُجُوۡرَہُنَّ وَ مَا مَلَکَتۡ
یَمِیۡنُکَ مِمَّاۤ اَفَآءَ اللّٰہُ عَلَیۡکَ وَ بَنٰتِ عَمِّکَ وَ بَنٰتِ
عَمّٰتِکَ وَ بَنٰتِ خَالِکَ وَ بَنٰتِ خٰلٰتِکَ الّٰتِیۡ ہَاجَرۡنَ مَعَکَ ۫ وَ
امۡرَاَۃً مُّؤۡمِنَۃً اِنۡ
وَّہَبَتۡ نَفۡسَہَا لِلنَّبِیِّ
اِنۡ اَرَادَ النَّبِیُّ
اَنۡ یَّسۡتَنۡکِحَہَا ٭ خَالِصَۃً
لَّکَ مِنۡ دُوۡنِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ؕ قَدۡ عَلِمۡنَا مَا فَرَضۡنَا
عَلَیۡہِمۡ فِیۡۤ اَزۡوَاجِہِمۡ وَ مَا
مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ لِکَیۡلَا
یَکُوۡنَ عَلَیۡکَ حَرَجٌ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿ ﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami
telah menghalalkan bagi engkau istri-istri
engkau yang telah engkau lunasi maskawin mereka, demikian pula yang dimiliki tangan kanan engkau dari antara mereka yang telah diberikan Allah kepada engkau sebagai tawanan perang, dan demikian pula anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki
bapak engkau, dan anak-anak
perempuan saudara-saudara perempuan bapak engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara laki-laki ibu engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara
perempuan ibu engkau yang telah hijrah beserta engkau, dan perempuan-perempuan beriman yang lain, jika ia menawarkan diri kepada Nabi, jika Nabi sendiri ingin menikahinya, perintah ini hanya khusus bagi engkau dan bukan bagi orang-orang beriman lainnya.
Sungguh Kami mengetahui apa yang telah Kami wajibkan atas mereka
mengenai istri-istri mereka dan yang dimiliki tangan kanan mereka
supaya tidak menjadi kesempitan bagi
engkau. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:51).
Nabi Besar Muhammad Saw. Diberi Kebebasan Memilih
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kebebasan Nabi Besar Muhammad saw. untuk memilih
di antara istri-istri beliau saw. yang ingin tetap dipertahankan atau pun ingin beliau saw. ceraikan, firman-Nya:
تُرۡجِیۡ
مَنۡ تَشَآءُ مِنۡہُنَّ وَ تُــٔۡوِیۡۤ
اِلَیۡکَ مَنۡ تَشَآءُ ؕ وَ مَنِ ابۡتَغَیۡتَ مِمَّنۡ عَزَلۡتَ فَلَا
جُنَاحَ عَلَیۡکَ ؕ ذٰلِکَ اَدۡنٰۤی اَنۡ
تَقَرَّ اَعۡیُنُہُنَّ وَ لَا یَحۡزَنَّ وَ یَرۡضَیۡنَ بِمَاۤ اٰتَیۡتَہُنَّ کُلُّہُنَّ
ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ مَا فِیۡ
قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَلِیۡمًا حَلِیۡمًا ﴿﴾
Engkau boleh
mengesampingkan siapa yang engkau
kehendaki di antara mereka, dan engkau boleh menggauli siapa yang engkau kehendaki, dan siapa yang engkau inginkan dari perempuan yang telah
engkau ceraikan maka tidak ada dosa
atas engkau. Yang demikian itu lebih
dekat untuk kesejukkan mata mereka, dan mereka tidak akan bersedih dan mereka
semuanya rela dengan apa yang telah
engkau berikan kepada mereka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati engkau, dan Allah Maha Mengetahui, Maha
Penyantun. (Al-Ahzāb [33]: 52).
Sedangkan di satu pihak istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. diberi
kebebasan memilih antara menjadi
teman-hidup beliau saw. dan menikmati hidup mewah dan kekayaan duniawi
(QS.33:29-30), di pihak lain Nabi Besar Muhammad saw. juga diberi hak memilih mempertahankan atau berpisah dari istri-istri beliau saw.
yang mana pun.
Semua istri Nabi Besar Muhammad saw. tidak membuang waktu untuk menyatakan
pilihan beliau-beliau. Beliau-beliau memilih
menyerahkan nasib kepada Nabi Besar Muhammad saw.. Di pihak Nabi Besar Muhammad saw., beliau saw. pun menenggang perasaan istri-istri beliau saw.. Nabi Besar Muhammad saw. memberitahukan
kehendak beliau saw. untuk mempertahankan
istri-istri beliau semuanya.
Keputusan Nabi Besar Muhammad saw. ini
sangat menyenangkan hati semua istri
beliau saw.. Inilah arti kata-kata “mereka
semuanya rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka.” Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
لَا
یَحِلُّ لَکَ النِّسَآءُ مِنۡۢ بَعۡدُ وَ لَاۤ اَنۡ تَبَدَّلَ بِہِنَّ مِنۡ
اَزۡوَاجٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکَ
حُسۡنُہُنَّ اِلَّا مَا مَلَکَتۡ
یَمِیۡنُکَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَلٰی
کُلِّ شَیۡءٍ رَّقِیۡبًا ﴿٪﴾
Tidak dihalalkan bagi engkau menikahi perempuan-perempuan sesudah itu, dan
pula tidak dihalalkan mengganti
mereka dengan istri-istri yang lain, walaupun engkau menakjubi kecantikan mereka,
kecuali apa yang telah dimiliki oleh
tangan kanan engkau, dan Allah adalah Pengawas atas segala sesuatu. (Al-Ahzāb [33]:53).
Berbagai Rintangan Sebelum Menjatuhkan “Talak ke Tiga”
Ayat
ini diturunkan pada tahun ke-7 sesudah Hijrah, dan sesudah itu Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah menikah
lagi. Beliau saw. pun tidak diperkenankan memberi (menjatuhkan) talak kepada salah seorang pun dari
istri-istri beliau saw. yang ada, mungkin karena menghormati kedudukan mulia beliau-beliau sebagai
“Ummul-Mukminin” (ibu orang-orang beriman – QS.33:7), dan barangkali juga sebab beliau-beliau telah
lebih menyukai cara hidup berumah
tangga Nabi Besar Muhammad saw. yang
ketat lagi keras daripada kesenangan-kesenangan
duniawi (QS.33:29-30). Allah Ta’ala
menghargai pengorbanan beliau-beliau
dan melarang Nabi Besar Muhammad saw. menikah
lagi atau menceraikan salah seorang
dari istri-istri beliau saw. yang ada.
Dalam firman
Allah sebelumnya terdapat kalimat “….dan
siapa yang engkau inginkan dari
perempuan yang telah engkau ceraikan maka tidak ada dosa atas engkau.“ (QS.33:52), seakan-akan benar bahwa Nabi Besar Muhammad saw. telah mencerai salah seorang atau beberapa
orang istri beliau saw., padahal kenyataannya tidak demikian.
Perlu
diketahui bahwa menurut ajaran Islam jatuhnya talak (cerai) seorang seorang suami terhadap istrinya harus melalui
tiga kali pernyataan cerai pada waktu yang terpisah. Pernyataan seorang
suami menjatuhkan “talak tiga” pada
istrinya pada satu waktu tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam atau tidak sah, dan pernyataan cerai
“talak tiga”seperti itu akan
dianggap sebagai “talak satu”,
firman-Nya:
لِلَّذِیۡنَ یُؤۡلُوۡنَ مِنۡ نِّسَآئِہِمۡ تَرَبُّصُ اَرۡبَعَۃِ اَشۡہُرٍ ۚ
فَاِنۡ فَآءُوۡ فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Bagi
orang-orang yang bersumpah akan memisahkan
diri dari istri-istrinya, mereka diberi tangguh empat bulan,
lalu jika mereka kembali untuk berdamai maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(Al-Baqarah
[2]:227).
Sesudah dua ayat yang
merupakan pendahuluan dan sisipan yang di dalamnya dibicarakan masalah sumpah itu (QS.2:225-226), sekarang
Al-Quran kembali kepada masalah semula tentang hubungan suami-istri. Ayat ini membicarakan orang-orang yang bersumpah menjauhi istri tanpa bercerai sungguh-sungguh.
Sangat menarik untuk dicatat
ialah, sementara mendekati masalah perceraian,
Al-Quran membicarakan dahulu tentang haid
(QS.2:223) yang merupakan semacam perpisahan
sementara dan sepihak, meskipun tidak sebenarnya. Kemudian (dalam ayat
ini) Al-Quran membicarakan perpisahan yang sungguh-sungguh meskipun
tidak nyata, lalu dalam ayat-ayat
berikutnya Al-Quran membahas perpisahan
hakiki walaupun dapat dibatalkan
– yakni talak ke satu dan talak ke dua -- dan akhirnya (QS.2:231) Al-Quran membicarakan perceraian yang tidak dapat dibatalkan., yaitu
talak ke tiga kali.
Sungguh suatu urutan yang mengagumkan dan direncanakan
untuk mengadakan sebanyak mungkin rintangan
terhadap perceraian yang diakui dan dikatakan oleh Islam sebagai semacam keburukan yang tidak dapat dielakkan.
Nabi Besar Muhammad saw. bersabda tentang cerai
(perceraian) bahwa hal tersebut merupakan sesuatu tindakan
yang diizinkan Allah Swt. tetapi
Allah Swt. sangat tidak menyukainya (membencinya).
Kenapa demikian? Sebab pada hakikatnya Allah Swt. menyukai “kesatuan
dan persatuan”
karena identik dengan Tauhid, dan Dia sangat tidak
menyukai “perpecahan” karena identik dengan kemusyrikan
(QS.3:103-105; QS.6:160; QS.30:31-33). Itulah sebabnya Nabi Besar Muhammad saw.
tidak pernah menceraikan seorang pun
dari seluruh istri-istri mulia beliau saw., yang pernah terjadi adalah “berpisah sementara” sesuai dengan izin
dalam syariat Islam: “Dan jauhkanlah diri dari mereka dalam tempat
tidur” (QS.4:35).
Masalah Zhihar adalah Adat Istiadat Jahiliyah
Allah Swt. dalam ajaran Islam
(Al-Quran) mengizinkan paling lama empat bulan kepada seseorang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya. Sesudah itu ia harus
rujuk lagi dan memperbaharui kembali perhubungan
mereka secara suami-istri, atau perpisahan harus terjadi antara kedua
orang itu. Islam sama sekali tidak mengizinkan hidup-pisah yang tidak ada
batas waktu tanpa cerai,
seolah-olah membiarkan perempuan itu
“terkatung-katung.” Mengenai masalah tersebut Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ قَدۡ سَمِعَ اللّٰہُ
قَوۡلَ الَّتِیۡ تُجَادِلُکَ فِیۡ
زَوۡجِہَا وَ تَشۡتَکِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ
٭ۖ وَ اللّٰہُ یَسۡمَعُ تَحَاوُرَکُمَا ؕ
اِنَّ اللّٰہَ سَمِیۡعٌۢ بَصِیۡرٌ ﴿﴾ اَلَّذِیۡنَ یُظٰہِرُوۡنَ مِنۡکُمۡ مِّنۡ نِّسَآئِہِمۡ مَّا ہُنَّ اُمَّہٰتِہِمۡ ؕ اِنۡ اُمَّہٰتُہُمۡ
اِلَّا الِّٰٓیۡٔ وَلَدۡنَہُمۡ ؕ وَ اِنَّہُمۡ لَیَقُوۡلُوۡنَ مُنۡکَرًا مِّنَ الۡقَوۡلِ وَ زُوۡرًا ؕ
وَ اِنَّ اللّٰہَ لَعَفُوٌّ غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh Allah
benar-benar telah mendengar ucapan perempuan yang menyampaikan gugatan kepada engkau mengenai
suaminya dan mengadu kepada Allah,
dan Allah telah mendengar percakapan
kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat.
Orang-orang di antara kamu yang
menzhihar dengan mengatakan ibu kepada istri-istrinya, mereka itu sekali-kali bukanlah ibu mereka.
Tidak lain ibu-ibu mereka melainkan yang
melahirkan mereka. Dan se-sungguhnya mereka
benar-benar me-ngucapkan perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf, Maha Pengampun. (Al-Mujādilah [58]:1-3).
Khaulah, istri Aus bin
Shamit dan anak perempuan Tha’labah, telah bercerai
dengan suaminya, karena suaminya
memanggil dia “ibu”, kata-kata harfiah yang dipakainya yaitu “Engkau bagiku sebagai punggung ibuku,”
dan dengan demikian menurut kebiasaan
masyarakat Arab kuno segala hubungan
suami-istri di antara dia dan suaminya terputus.
Perempuan malang itu tidak dapat menuntut cerai supaya dapat menikah lagi dan tidak pula mempunyai hak menikmati pergaulan suami istri lagi, karena itu ia menjadi seorang perempuan
yang nasibnya terkatung-katung, tidak
terpelihara. Lalu ia menghadap kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan
menyampaikan keluhan kepada beliau saw. mengenai
keadaan canggung yang dihadapkan pada dirinya, dan ia memohon nasihat dan
pertolongan beliau saw. dalam urusan itu.
Allah Swt. melalui pengutusan
Nabi Besar Muhammad saw. berkehendak untuk menghapuskan
semua adat istiadat jahiliyah seperti
itu, termasuk masalah mengangkat anak, yang menurut adat istiadat jahiliyah bangsa Arab
kedudukannya sama dengan anak kandung,
firman-Nya:
مَا جَعَلَ
اللّٰہُ لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ
جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ اَزۡوَاجَکُمُ
الِّٰٓیۡٔ تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ
اُمَّہٰتِکُمۡ ۚ وَ مَا جَعَلَ
اَدۡعِیَآءَکُمۡ اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ
ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ وَ ہُوَ
یَہۡدِی السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ
تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ
لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ
اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ ۙ وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ
وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu yang
ka-mu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu adalah ibu-ibu
kamu yang hakiki, dan Dia
tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Panggillah
mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.
Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak
mereka maka mereka adalah
saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu
diminta pertanggung-jawaban atas apa
yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:5-6).
Ayat-ayat ini berikhtiar menghapuskan dua macam adat-kebiasaan
yang mendarah daging dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Arab di zaman Nabi
Besar Muhammad saw.. Yang paling buruk dari antara kedua macam adat-kebiasaan
itu ialah zhihar. Seorang suami dalam keadaan naik darah, biasa menyebut
ibu kepada istrinya. Perempuan yang
malang itu diluputkan dari hak-haknya
sebagai istri, namun demikian ia
tetap terikat kepada suami tanpa mempunyai hak menikah dengan orang lain untuk jadi
suaminya.
Larangan
Melakukan Zhihar dan Tebusannya
Nabi Besar Muhammad saw. menyatakan ketidakmampuan beliau saw. berbuat
sesuatu baginya, karena telah menjadi
kebiasaan beliau saw. bahwa tidak pernah memberikan keputusan dalam urusan seperti itu, kecuali bila beliau saw. memperoleh
petunjuk Ilahi dengan perantaraan wahyu. Wahyu itu turun kemudian dan
kebiasaan zhihar dinyatakan sebagai perbuatan
terlarang. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ
الَّذِیۡنَ یُظٰہِرُوۡنَ مِنۡ نِّسَآئِہِمۡ ثُمَّ یَعُوۡدُوۡنَ لِمَا قَالُوۡا
فَتَحۡرِیۡرُ رَقَبَۃٍ مِّنۡ قَبۡلِ
اَنۡ یَّتَمَآسَّا ؕ ذٰلِکُمۡ تُوۡعَظُوۡنَ بِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرٌ ﴿﴾ فَمَنۡ لَّمۡ
یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّتَمَآسَّا ۚ
فَمَنۡ لَّمۡ یَسۡتَطِعۡ فَاِطۡعَامُ سِتِّیۡنَ مِسۡکِیۡنًا ؕ ذٰلِکَ
لِتُؤۡمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ ؕ
وَ تِلۡکَ حُدُوۡدُ اللّٰہِ ؕ وَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابٌ
اَلِیۡمٌ ﴿﴾
Orang-orang yang menzhihar istri-istri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang telah diucapkannya maka mereka harus memerdekakan seorang sahaya
sebelum mereka berdua bercampur.
Itulah yang dinasihatkan kepada kamu, dan Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Maka barangsiapa
tidak mendapatkan seorang hamba sahaya maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur, dan barangsiapa tidak
mampu berbuat demikian maka ia harus
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan demikianlah batas-batas
peraturan Allah, dan bagi orang-orang kafir ada azab yang sangat
pedih. (Al-Mujādilah [58]:4-5).
Kata-kata
“Mereka hendak menarik kembali apa
yang pernah dikatakan mereka”, dapat berarti bahwa sesudah memanggil istri
mereka “ibu”, mereka berusaha menegakkan kembali hubungan badan; atau kata-kata itu dapat juga berarti bahwa sesudah
sekali memanggil istri-istri mereka
“ibu”, mereka mengulangi lagi apa
yang dikatakan mereka. Menurut arti ini, pengulangan dengan sengaja kata-kata yang tidak disukai itulah
menjadikan orang yang mengucapkannya layak
mendapat hukuman seperti dijelaskan dalam ayat ini dan ayat berikutnya, dan
bukan ucapan yang terlontar secara kebetulan atau tidak disengaja.
Hukuman
tegas yang disebut di dalam ayat-ayat ini menunjukkan betapa beratnya kejahatan menyebut istri sendiri “ibu” atau melakukan zhihar. Pertalian batin
dengan “ibu” adalah terlalu suci untuk dipermainkan, dan sekaligus menjelaskan
bahwa betapa sakralnya lembaga pernikahan
dalam ajaran Islam (Al-Quran). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ کُبِتُوۡا کَمَا کُبِتَ
الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ وَ قَدۡ
اَنۡزَلۡنَاۤ اٰیٰتٍۭ بَیِّنٰتٍ ؕ وَ
لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابٌ مُّہِیۡنٌ ۚ﴿﴾ یَوۡمَ یَبۡعَثُہُمُ اللّٰہُ جَمِیۡعًا
فَیُنَبِّئُہُمۡ بِمَا عَمِلُوۡا ؕ اَحۡصٰہُ
اللّٰہُ وَ نَسُوۡہُ ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ ٪﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang
sebelum mereka mendapat kehinaan, dan sungguh Kami
telah menurunkan Tanda-tanda yang nyata, dan bagi orang-orang kafir ada azab yang menghinakan. Pada
Hari ketika Allah akan membangkitkan mereka semua maka Dia
akan memberitahukan kepada me-reka mengenai apa yang mereka perbuat. Allah
telah menghitung semua itu tetapi mereka melupakannya, dan Allah Pengawas atas segala sesuatu. (Al-Mujādilah
[58]:6-7).
Menyebut istri sendiri “ibu” adalah sama seperti menentang Allah Swt. begitu mengerikannya pelanggaran itu. Sangat
tepat sekali masalah mengenai kaum Yahudi dan kaum munafik terhadap kebenaran itu dimulai dalam ayat ini.
Ila (Perpisahan Sementara)
Sehubungan dengan “pisah sementara” atau ila
itulah firman Allah Swt. berikut ini
dalam Surah At-Tahrīm (pengharaman) mengenai Nabi Besar Muhammad saw. dengan
istri-istri beliau saw., yang mengenai
peristiwa “pisah sementara”
tersebut telah timbul berbagai pendapat atau cerita
yang keliru.
Surah At-Tahrīm
merupakan lanjutan Surah sebelumnya,
yaitu Surah Ath-Thalaq (Cerai), yang
telah membahas beberapa segi mengenai talak yaitu bercerai
untuk selama-lamanya antara suami dan istri. Tetapi Surah At-Tahrīm membahas perceraian
sementara, yakni berkenaan dengan peristiwa-peristiwa ketika seorang laki-laki
(suami) disebabkan oleh ketidak-cocokan
atau perselisihan dalam urusan rumah-tangga, untuk sementara
waktu menghentikan bergaul dengan
istrinya, atau bersumpah tidak
mempergunakan suatu barang halal.
Surah At-Tahrīm mulai dengan perintah yang dialamatkan kepada pribadi Nabi Besar Muhammad saw. agar tidak mencegah diri dari mempergunakan barang yang Allah Swt. telah halalkan
bagi beliau. Peristiwa khusus yang
diisyaratkan ayat pada permulaan Surah At-Tahrīm
menunjukkan bahwa disebabkan oleh kesalah-pahaman
atau ketidak-cocokan yang
meskipun hanya untuk sementara waktu,
dapat mengganggu keserasian dan keamanan hidup berumah tangga, kadang-kadang
mungkin timbul ketegangan dalam rumah-tangga seorang nabi sekalipun yang
biasanya berada dalam suasana aman
dan damai.
Perlu diketahui bahwa perintah yang ditujukan kepada Nabi
Besar Muhammad saw. dan juga kepada para sahabat
beliau saw. itu berarti dalam peristiwa ketidak-serasian
bersifat sementara demikian hendaknya
jangan diambil tindakan ekstrim, baik berupa perceraian mau pun
melakukan tindakan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) atau pun menceraikan istri melalui SMS, yang benar-benar sangat tidak
menghargai ajaran Islam (Al-Quran)
mengenai pernikahan dan perceraian.
Dan perlu juga diketahui
apabila Al-Quran mengemukakan suatu “kasus” berkenaan dengan rumahtangga Nabi Besar Muhammad saw.
adalah semata-mata sebagai petunjuk
dan contoh terbaik (QS.33:22) yang harus dilakukan juga oleh
orang-orang beriman apabila menghadapi “kasus-kasus” dalam rumahtangga seperti itu, bukan artinya bahwa keadaan rumahtangga beliau saw. tidak
harmonis, na’ūdzubillāhi min dzālik,
sebagaimana disalah-tafsirkan oleh
orang-orang yang tidak mengerti Al-Quran.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 21 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar