Jumat, 22 Maret 2013

Ila (Perpisahan Sementara) Dibolehkan & Zhihar (Menelantarkan Istri) Dilarang




      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 73


Ila (Perpisahan Sementara) Dibolehkan &
Zhihar (Menelantarkan Istri) Dilarang

  Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  telah kemukakan berbagai latar-belakang pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.  dengan istri-istri beliau saw. serta izin khusus Allah Swt. untuk Nabi Besar Muhammad saw. dalam firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  اِنَّاۤ  اَحۡلَلۡنَا لَکَ اَزۡوَاجَکَ الّٰتِیۡۤ  اٰتَیۡتَ اُجُوۡرَہُنَّ وَ مَا مَلَکَتۡ یَمِیۡنُکَ مِمَّاۤ  اَفَآءَ اللّٰہُ  عَلَیۡکَ وَ بَنٰتِ عَمِّکَ وَ بَنٰتِ عَمّٰتِکَ وَ بَنٰتِ خَالِکَ وَ بَنٰتِ خٰلٰتِکَ الّٰتِیۡ ہَاجَرۡنَ مَعَکَ ۫ وَ امۡرَاَۃً  مُّؤۡمِنَۃً  اِنۡ  وَّہَبَتۡ نَفۡسَہَا لِلنَّبِیِّ  اِنۡ  اَرَادَ  النَّبِیُّ  اَنۡ یَّسۡتَنۡکِحَہَا ٭ خَالِصَۃً  لَّکَ مِنۡ دُوۡنِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ؕ قَدۡ عَلِمۡنَا مَا فَرَضۡنَا عَلَیۡہِمۡ فِیۡۤ  اَزۡوَاجِہِمۡ وَ مَا مَلَکَتۡ  اَیۡمَانُہُمۡ لِکَیۡلَا یَکُوۡنَ عَلَیۡکَ حَرَجٌ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا  ﴿ ﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya  Kami telah menghalalkan bagi engkau istri-istri engkau yang telah engkau lunasi maskawin mereka,  demikian pula yang dimiliki tangan kanan engkau dari antara mereka yang telah diberikan Allah kepada engkau sebagai tawanan perang, dan demikian pula anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki bapak engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan bapak engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara laki-laki ibu engkau, dan anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan ibu engkau yang telah  hijrah beserta engkau, dan perempuan-perempuan beriman  yang lain, jika ia menawarkan diri kepada Nabi, jika Nabi sendiri ingin menikahinya, perintah ini hanya khusus bagi engkau dan bukan bagi orang-orang beriman lainnya. Sungguh Kami  mengetahui apa yang telah Kami wajibkan atas mereka mengenai istri-istri mereka dan yang dimiliki tangan kanan mereka supaya tidak menjadi kesempitan bagi engkau. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.   (Al-Ahzāb [33]:51).

Nabi Besar Muhammad Saw. Diberi Kebebasan Memilih

  Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kebebasan Nabi Besar Muhammad saw.  untuk memilih di antara istri-istri beliau saw. yang ingin tetap dipertahankan atau pun ingin beliau saw. ceraikan, firman-Nya:
تُرۡجِیۡ مَنۡ تَشَآءُ مِنۡہُنَّ وَ تُــٔۡوِیۡۤ  اِلَیۡکَ مَنۡ تَشَآءُ ؕ وَ مَنِ ابۡتَغَیۡتَ مِمَّنۡ عَزَلۡتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡکَ ؕ ذٰلِکَ اَدۡنٰۤی  اَنۡ تَقَرَّ اَعۡیُنُہُنَّ وَ لَا یَحۡزَنَّ وَ یَرۡضَیۡنَ بِمَاۤ اٰتَیۡتَہُنَّ کُلُّہُنَّ ؕ وَ اللّٰہُ  یَعۡلَمُ  مَا فِیۡ  قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَلِیۡمًا حَلِیۡمًا ﴿﴾
Engkau boleh mengesampingkan siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, dan engkau boleh menggauli siapa yang engkau kehendaki, dan siapa yang engkau inginkan dari perempuan yang telah engkau ceraikan maka tidak ada dosa atas engkau. Yang demikian itu lebih dekat untuk kesejukkan mata mereka, dan mereka tidak akan bersedih dan mereka semuanya  rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati engkau, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (Al-Ahzāb [33]: 52).
    Sedangkan di satu pihak istri-istri  Nabi Besar Muhammad saw.  diberi kebebasan memilih antara menjadi teman-hidup beliau saw. dan menikmati hidup mewah dan kekayaan duniawi (QS.33:29-30), di pihak lain Nabi Besar Muhammad saw.   juga diberi hak memilih mempertahankan atau berpisah dari istri-istri beliau saw. yang mana pun.
    Semua istri  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak membuang waktu untuk menyatakan pilihan beliau-beliau. Beliau-beliau memilih menyerahkan nasib kepada Nabi Besar Muhammad saw.. Di pihak Nabi Besar Muhammad saw.,   beliau saw. pun menenggang perasaan istri-istri beliau saw..  Nabi Besar Muhammad saw. memberitahukan kehendak beliau saw. untuk mempertahankan istri-istri beliau semuanya.
      Keputusan  Nabi Besar Muhammad saw.   ini sangat menyenangkan hati semua istri beliau saw.. Inilah arti kata-kata  “mereka semuanya rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka.” Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
لَا یَحِلُّ  لَکَ النِّسَآءُ  مِنۡۢ بَعۡدُ وَ لَاۤ  اَنۡ تَبَدَّلَ  بِہِنَّ مِنۡ  اَزۡوَاجٍ وَّ لَوۡ  اَعۡجَبَکَ حُسۡنُہُنَّ  اِلَّا مَا مَلَکَتۡ یَمِیۡنُکَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ  رَّقِیۡبًا ﴿٪﴾

Tidak dihalalkan bagi engkau menikahi perempuan-perempuan sesudah itu, dan pula tidak dihalalkan mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, walaupun engkau menakjubi kecantikan mereka, kecuali apa yang telah dimiliki oleh tangan kanan engkau, dan Allah adalah Pengawas atas segala sesuatu.    (Al-Ahzāb [33]:53).

Berbagai Rintangan Sebelum Menjatuhkan “Talak ke  Tiga

  Ayat ini diturunkan pada tahun ke-7 sesudah Hijrah, dan sesudah itu  Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah menikah lagi. Beliau saw. pun tidak diperkenankan memberi (menjatuhkan) talak kepada salah seorang pun dari istri-istri beliau saw. yang ada, mungkin karena menghormati kedudukan mulia beliau-beliau sebagai “Ummul-Mukminin” (ibu orang-orang beriman – QS.33:7),  dan barangkali juga sebab beliau-beliau telah lebih menyukai cara hidup berumah tangga Nabi Besar Muhammad saw.  yang ketat lagi keras daripada kesenangan-kesenangan duniawi (QS.33:29-30).  Allah Ta’ala menghargai pengorbanan beliau-beliau dan melarang Nabi Besar Muhammad saw.  menikah lagi atau menceraikan salah seorang dari istri-istri beliau  saw. yang ada.
Dalam firman Allah sebelumnya terdapat kalimat “….dan siapa yang engkau inginkan dari perempuan yang telah engkau ceraikan maka tidak ada dosa atas engkau.“ (QS.33:52), seakan-akan  benar bahwa Nabi Besar Muhammad saw. telah mencerai salah seorang atau beberapa orang istri beliau saw., padahal kenyataannya tidak demikian.
Perlu diketahui bahwa menurut ajaran Islam jatuhnya talak (cerai) seorang seorang suami terhadap istrinya harus melalui tiga kali pernyataan cerai  pada waktu yang terpisah. Pernyataan seorang suami menjatuhkan “talak tiga” pada istrinya pada satu waktu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam atau tidak sah, dan pernyataan cerai  “talak tiga”seperti itu  akan dianggap sebagai “talak satu”, firman-Nya:
لِلَّذِیۡنَ یُؤۡلُوۡنَ مِنۡ نِّسَآئِہِمۡ تَرَبُّصُ اَرۡبَعَۃِ اَشۡہُرٍ ۚ فَاِنۡ فَآءُوۡ فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Bagi orang-orang  yang bersumpah akan   memisahkan diri dari istri-istrinya, mereka diberi tangguh empat bulan,  lalu jika mereka kembali untuk berdamai maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Baqarah [2]:227).
      Sesudah dua ayat yang merupakan pendahuluan dan sisipan yang di dalamnya dibicarakan masalah sumpah itu (QS.2:225-226), sekarang Al-Quran kembali kepada masalah semula tentang hubungan suami-istri. Ayat ini membicarakan orang-orang yang bersumpah menjauhi istri tanpa bercerai sungguh-sungguh.
     Sangat menarik untuk dicatat ialah, sementara mendekati masalah perceraian, Al-Quran membicarakan dahulu tentang haid (QS.2:223) yang merupakan semacam perpisahan sementara dan sepihak, meskipun tidak sebenarnya. Kemudian (dalam ayat ini)  Al-Quran membicarakan perpisahan yang sungguh-sungguh meskipun tidak nyata, lalu  dalam ayat-ayat berikutnya Al-Quran membahas perpisahan hakiki walaupun dapat dibatalkan – yakni talak ke satu dan talak ke dua --  dan akhirnya (QS.2:231) Al-Quran membicarakan perceraian yang tidak dapat dibatalkan., yaitu  talak ke tiga kali.
      Sungguh suatu urutan yang mengagumkan dan direncanakan untuk mengadakan sebanyak mungkin rintangan terhadap perceraian yang diakui dan dikatakan oleh Islam sebagai semacam keburukan yang tidak dapat dielakkan. Nabi Besar Muhammad saw. bersabda tentang cerai (perceraian) bahwa hal tersebut merupakan sesuatu tindakan yang diizinkan Allah Swt. tetapi Allah Swt. sangat tidak menyukainya (membencinya).
      Kenapa demikian? Sebab pada hakikatnya Allah Swt. menyukai “kesatuan dan persatuan” karena identik dengan Tauhid, dan Dia sangat tidak menyukai “perpecahan” karena  identik dengan kemusyrikan (QS.3:103-105; QS.6:160; QS.30:31-33). Itulah sebabnya Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah menceraikan seorang pun dari seluruh istri-istri mulia beliau saw., yang pernah terjadi adalah “berpisah sementara” sesuai dengan izin  dalam syariat  Islam: “Dan jauhkanlah diri dari mereka dalam tempat tidur” (QS.4:35).

Masalah Zhihar  adalah Adat Istiadat Jahiliyah

     Allah Swt. dalam ajaran Islam (Al-Quran)  mengizinkan paling lama empat bulan kepada seseorang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya. Sesudah itu ia harus rujuk lagi dan memperbaharui kembali perhubungan mereka secara suami-istri, atau perpisahan harus terjadi antara kedua orang itu. Islam sama sekali tidak mengizinkan hidup-pisah yang tidak ada batas waktu tanpa cerai, seolah-olah membiarkan perempuan  itu “terkatung-katung.” Mengenai masalah tersebut Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ قَدۡ سَمِعَ  اللّٰہُ  قَوۡلَ  الَّتِیۡ تُجَادِلُکَ فِیۡ زَوۡجِہَا وَ تَشۡتَکِیۡۤ  اِلَی اللّٰہِ ٭ۖ وَ اللّٰہُ یَسۡمَعُ  تَحَاوُرَکُمَا ؕ اِنَّ اللّٰہَ  سَمِیۡعٌۢ بَصِیۡرٌ ﴿﴾   اَلَّذِیۡنَ یُظٰہِرُوۡنَ مِنۡکُمۡ مِّنۡ  نِّسَآئِہِمۡ مَّا ہُنَّ  اُمَّہٰتِہِمۡ ؕ اِنۡ  اُمَّہٰتُہُمۡ  اِلَّا الِّٰٓیۡٔ وَلَدۡنَہُمۡ ؕ وَ اِنَّہُمۡ  لَیَقُوۡلُوۡنَ مُنۡکَرًا مِّنَ الۡقَوۡلِ وَ زُوۡرًا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَعَفُوٌّ غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Sungguh Allah benar-benar telah mendengar ucapan perempuan yang menyampaikan gugatan kepada engkau mengenai suaminya dan mengadu kepada Allah, dan Allah telah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang di antara kamu yang menzhihar dengan mengatakan ibu kepada istri-istrinya,   mereka itu sekali-kali bukanlah ibu mereka. Tidak lain ibu-ibu mereka melainkan yang melahirkan mereka. Dan se-sungguhnya mereka benar-benar me-ngucapkan perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.  (Al-Mujādilah [58]:1-3).
 Khaulah, istri Aus bin Shamit dan anak perempuan Tha’labah, telah bercerai dengan suaminya, karena suaminya memanggil dia “ibu”, kata-kata harfiah yang dipakainya yaitu “Engkau bagiku sebagai punggung ibuku,” dan dengan demikian menurut kebiasaan masyarakat Arab kuno segala hubungan suami-istri di antara dia dan suaminya terputus.
Perempuan malang itu tidak dapat menuntut cerai supaya dapat menikah lagi dan tidak pula mempunyai hak menikmati pergaulan suami istri lagi, karena itu ia menjadi seorang perempuan yang nasibnya terkatung-katung, tidak terpelihara. Lalu ia menghadap kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan menyampaikan  keluhan kepada beliau saw. mengenai keadaan canggung yang dihadapkan pada dirinya, dan ia memohon nasihat dan pertolongan beliau saw. dalam urusan itu.
Allah Swt. melalui pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. berkehendak untuk menghapuskan semua adat istiadat jahiliyah seperti itu, termasuk masalah  mengangkat anak, yang menurut adat istiadat jahiliyah bangsa Arab kedudukannya sama dengan anak kandung, firman-Nya:
مَا جَعَلَ اللّٰہُ  لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَزۡوَاجَکُمُ الِّٰٓیۡٔ  تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَدۡعِیَآءَکُمۡ  اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ  وَ ہُوَ  یَہۡدِی  السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ  اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ  اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ  ۙ  وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu  yang ka-mu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu adalah ibu-ibu kamu yang hakiki, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu  sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.   Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu  mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu diminta pertanggung-jawaban atas apa yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Al-Ahzāb [33]:5-6).
 Ayat-ayat ini berikhtiar menghapuskan dua macam adat-kebiasaan yang mendarah daging dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Arab di zaman Nabi Besar Muhammad saw.. Yang paling buruk dari antara kedua macam adat-kebiasaan itu ialah zhihar. Seorang suami dalam keadaan naik darah, biasa menyebut ibu kepada istrinya. Perempuan  yang malang itu diluputkan dari hak-haknya sebagai istri, namun demikian ia tetap terikat kepada suami tanpa mempunyai hak menikah dengan orang lain untuk jadi suaminya.

Larangan Melakukan Zhihar dan Tebusannya

 Nabi Besar Muhammad saw.   menyatakan ketidakmampuan beliau saw. berbuat sesuatu baginya,  karena telah menjadi kebiasaan beliau saw. bahwa tidak pernah memberikan keputusan dalam urusan seperti itu, kecuali bila beliau saw. memperoleh petunjuk Ilahi dengan perantaraan wahyu. Wahyu itu turun kemudian dan kebiasaan zhihar dinyatakan sebagai perbuatan terlarang. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ الَّذِیۡنَ یُظٰہِرُوۡنَ مِنۡ نِّسَآئِہِمۡ ثُمَّ یَعُوۡدُوۡنَ لِمَا قَالُوۡا فَتَحۡرِیۡرُ  رَقَبَۃٍ  مِّنۡ قَبۡلِ  اَنۡ یَّتَمَآسَّا ؕ ذٰلِکُمۡ تُوۡعَظُوۡنَ بِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ  خَبِیۡرٌ ﴿﴾  فَمَنۡ  لَّمۡ یَجِدۡ فَصِیَامُ شَہۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّتَمَآسَّا ۚ فَمَنۡ لَّمۡ  یَسۡتَطِعۡ  فَاِطۡعَامُ سِتِّیۡنَ مِسۡکِیۡنًا ؕ ذٰلِکَ لِتُؤۡمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ ؕ  وَ تِلۡکَ حُدُوۡدُ اللّٰہِ ؕ وَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ  عَذَابٌ  اَلِیۡمٌ ﴿﴾ 
Orang-orang yang menzhihar istri-istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali  apa yang telah diucapkannya maka mereka harus memerdekakan seorang sahaya sebelum mereka berdua bercampur. Itulah yang dinasihatkan kepada kamu, dan Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  Maka barangsiapa tidak mendapatkan seorang hamba sahaya maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut  sebelum keduanya bercampur, dan barangsiapa tidak mampu berbuat demikian maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.  Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan demikianlah batas-batas peraturan Allah, dan bagi orang-orang kafir ada azab yang sangat pedih. (Al-Mujādilah [58]:4-5).
    Kata-kata  Mereka hendak menarik kembali apa yang pernah dikatakan mereka”, dapat berarti bahwa sesudah memanggil istri mereka “ibu”, mereka berusaha menegakkan kembali hubungan badan; atau kata-kata itu dapat juga berarti bahwa sesudah sekali memanggil istri-istri mereka “ibu”, mereka mengulangi lagi apa yang dikatakan mereka. Menurut arti ini, pengulangan dengan sengaja kata-kata yang tidak disukai itulah menjadikan orang yang mengucapkannya layak mendapat hukuman seperti dijelaskan dalam ayat ini dan ayat berikutnya, dan bukan ucapan yang terlontar secara kebetulan atau tidak disengaja.
 Hukuman tegas yang disebut di dalam ayat-ayat ini menunjukkan betapa beratnya kejahatan menyebut istri sendiri “ibu” atau melakukan zhihar.  Pertalian batin dengan “ibu” adalah terlalu suci untuk dipermainkan, dan sekaligus menjelaskan bahwa betapa sakralnya lembaga pernikahan  dalam ajaran Islam (Al-Quran). Selanjutnya Allah Swt. berfirman: 
اِنَّ  الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ کُبِتُوۡا کَمَا کُبِتَ الَّذِیۡنَ مِنۡ  قَبۡلِہِمۡ وَ قَدۡ اَنۡزَلۡنَاۤ  اٰیٰتٍۭ بَیِّنٰتٍ ؕ وَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ عَذَابٌ  مُّہِیۡنٌ ۚ﴿﴾   یَوۡمَ یَبۡعَثُہُمُ اللّٰہُ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُہُمۡ بِمَا عَمِلُوۡا ؕ اَحۡصٰہُ  اللّٰہُ وَ نَسُوۡہُ ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ ٪﴿﴾  
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang sebelum mereka mendapat kehinaan, dan sungguh  Kami telah menurunkan Tanda-tanda yang nyata, dan bagi orang-orang kafir ada azab yang menghinakan.  Pada Hari ketika Allah akan membangkitkan mereka semua   maka Dia akan memberitahukan kepada me-reka mengenai apa yang mereka perbuat. Allah telah menghitung semua itu tetapi mereka melupakannya, dan Allah Pengawas atas segala sesuatu. (Al-Mujādilah [58]:6-7).
 Menyebut istri sendiri “ibu” adalah sama seperti menentang Allah Swt.  begitu mengerikannya pelanggaran itu. Sangat tepat sekali masalah mengenai  kaum Yahudi dan kaum munafik terhadap kebenaran itu dimulai dalam ayat ini. 

Ila (Perpisahan Sementara) 

    Sehubungan dengan  “pisah sementara”  atau ila  itulah firman Allah Swt. berikut ini dalam  Surah At-Tahrīm (pengharaman) mengenai Nabi Besar Muhammad saw. dengan istri-istri beliau saw., yang mengenai  peristiwa “pisah sementara” tersebut telah timbul berbagai pendapat  atau cerita yang keliru.
 Surah At-Tahrīm merupakan  lanjutan Surah sebelumnya, yaitu Surah Ath-Thalaq (Cerai),  yang  telah membahas beberapa segi mengenai talak yaitu bercerai untuk selama-lamanya antara suami dan istri. Tetapi Surah At-Tahrīm   membahas perceraian sementara, yakni berkenaan dengan peristiwa-peristiwa ketika seorang laki-laki (suami) disebabkan oleh ketidak-cocokan atau perselisihan dalam urusan rumah-tangga, untuk sementara waktu menghentikan bergaul dengan istrinya, atau bersumpah tidak mempergunakan suatu barang halal.
 Surah At-Tahrīm   mulai dengan perintah yang dialamatkan kepada pribadi Nabi Besar Muhammad saw.  agar tidak mencegah diri dari mempergunakan barang yang Allah Swt. telah halalkan bagi beliau. Peristiwa khusus yang diisyaratkan ayat pada permulaan Surah At-Tahrīm menunjukkan bahwa disebabkan oleh kesalah-pahaman atau ketidak-cocokan yang meskipun hanya untuk sementara waktu, dapat mengganggu keserasian dan keamanan hidup berumah tangga, kadang-kadang mungkin timbul ketegangan dalam rumah-tangga seorang nabi sekalipun yang biasanya berada dalam suasana aman dan damai.
 Perlu diketahui bahwa perintah yang ditujukan kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan juga kepada para sahabat beliau saw. itu berarti dalam peristiwa ketidak-serasian bersifat sementara demikian hendaknya jangan diambil tindakan ekstrim, baik berupa perceraian mau pun melakukan tindakan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) atau pun menceraikan istri  melalui SMS, yang benar-benar sangat tidak menghargai ajaran Islam (Al-Quran) mengenai pernikahan dan perceraian.
Dan perlu juga diketahui apabila Al-Quran mengemukakan suatu “kasus” berkenaan dengan rumahtangga Nabi Besar Muhammad saw. adalah semata-mata sebagai petunjuk dan contoh terbaik (QS.33:22) yang harus dilakukan juga oleh orang-orang beriman apabila menghadapi “kasus-kasus” dalam rumahtangga seperti itu, bukan artinya bahwa  keadaan rumahtangga beliau saw. tidak harmonis, na’ūdzubillāhi min dzālik, sebagaimana disalah-tafsirkan oleh orang-orang yang tidak mengerti Al-Quran.

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 21 Maret  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar