Selasa, 26 Maret 2013

Hikmah "Misal" (Perumpamaan) "Orang-orang yang Beriman" Seperti "Istri Fir'aun"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 



Bab 79


Hikmah Misal (Perumpamaan) “Orang-orang yang Beriman" Seperti  Istri Fir'aun

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  firman Allah Swt. mengenai hikmah  mengapa  Allah Swt. mengumpamakan  orang-orang yang beriman kepada rasul  Allah   sebagai istri Fir’aun, yang lebih memilih kehidupan akhirat daripada kesenangan kehidupan duniawi yang sedang dialaminya, firman-Nya:
   وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾    
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman,  ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,    (At-Tahrīm [66]:12).

Pernyataan Iman Istri Fir’aun Melalui Perbuatan Nyata

   Perumpamaan tersebut mengandung hikmah,  bahwa menurut  Islam (Al-Quran), tujuan pernikahan   -- selain merupakan suatu lembaga yang sakral  -- memiliki tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada sekedar terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat jasmani (duniawi) berupa pangan (makanan/minuman),  sandang (pakaian) dan papan (perumahan) sebagaimana yang dikemukakan Allah Swt. berkenaan dengan “jannah” (kebun/surga – QS.20:117-120), karena tujuan utama dari diciptakan-Nya umat manusia dan juga tujuan utama dari pernikahan  erat kaitannya dengan masalah pembinaan  akhlak dan ruhani  dari pasangan suami-istri serta anak-keturunan mereka yakni beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57; QS.4:2; QS.30:22; QS.49:14) guna meraih ketakwaan,  firman-Nya:
  Itulah sebabnya sekali pun kebutuhan pangan (makanan/minuman), sandang (pakaian)   dan papan (perumahan) telah didapatkan oleh istri Fir’aun – karena ia adalah   istri seorang raja besar dan sangat kaya-raya  di Mesir – namun karena ia menyaksikan kemiskinan yang luar biasa dalam segi akhlak dan ruhani di lingkungan kerajaan Mesir, termasuk  suami dan para pembesar kerajaan Mesir, maka ia telah berdoa:
رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
 …. “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,”    (At-Tahrīm [66]:12).
   Jadi, istri Fir’aun yang shalih tersebut lebih memilih beriman kepada pendakwaan Nabi Musa a.s. sebagai Rasul Allah, walau pun dengan resiko harus menanggung penderitaan hidup di lingkungan istana oleh kezaliman suaminya, Fir’aun. Yakni istri Fir’aun tidak sekedar menyatakan keimanannya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan ucapan belaka tetapi juga melalui amal  (perbuatan) nyata.

Peringatan Keras Allah Swt.
kepada Orang-orang Beriman

    Itulah sebabnya Allah Swt. telah memperingatkan orang-orang-orang beriman yang bangga dengan teori-teori dan definisi-definisi pengetahuan-pengetahuan agama sehingga meraih berbagai title keagamaan, tetapi miskin dari pengamalan  yang nyata di dalam kehidupannya, baik di lingkungan rumah tangga  mau pun di lingkungan masyarakat, sebagai  bukti pengamalan hablun minallāh (hubungan dengan Allah Swt.) dan hablun- minannās (hubungan dengan sesame manusia), sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para pengikut hakiki beliau saw. , firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا  لِمَ  تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا  تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾   کَبُرَ  مَقۡتًا عِنۡدَ  اللّٰہِ  اَنۡ  تَقُوۡلُوۡا مَا  لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾   اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ  صَفًّا کَاَنَّہُمۡ  بُنۡیَانٌ  مَّرۡصُوۡصٌ  ﴿﴾ 
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan?  Adalah sesuatu yang paling dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.   Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang  dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun rapat. (Ash-Shaff [61]:2-4).
Perbuatan seorang Muslim hendaknya sesuai dengan pernyataan-pernyataannya. Bicara sombong dan kosong membawa seseorang tidak keruan kemana yang dituju, dan ikrar-ikrar lidah tanpa disertai perbuatan-perbuatan nyata adalah berbau kemunafikan dan ketidaktulusan.
Orang-orang Muslim diharapkan tampil dalam barisan yang rapat, teguh dan kuat terhadap kekuatan-kekuatan kejahatan, di bawah komando pemimpin mereka, yang terhadapnya mereka harus taat dengan sepenuhnya dan seikhlas-ikhlasnya. Tetapi suatu kaum, yang berusaha menjadi satu jemaat yang kokoh-kuat, harus mempunyai satu tata-cara hidup, satu cita-cita, satu maksud, satu tujuan dan satu rencana untuk mencapai tujuan itu.

Pentingnya Umat Islam  Berpegang-teguh Pada “Tali Allah

 Jemaat (Jama’ah)   yang demikian itu hanya mungkin  jika pendiri dari Jemaat seperti itu adalah Rasul Allah, sebab pada hakikatnya Rasul Allah merupakan “tali Allah” yang diulurkan Allah Swt. dari langit  yang kepada “tali Allah” itulah Allah Swt. telah memerintahkan orang-orang beriman – yakni umat Islam -- untuk senantiasa  berpegang-teguh pada “Tali Allah” supaya tidak menjadi  umat beragama yang bercerai-berai dan saling bertentangan, firman-Nya:
 یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾  وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ تَفَرَّقُوۡا وَ اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ  یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ  وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اسۡوَدَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ فَذُوۡقُوا الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ ﴿﴾  وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ  ظُلۡمًا لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾  وَ لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ  اِلَی اللّٰہِ  تُرۡجَعُ  الۡاُمُوۡرُ  ﴿ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.  Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah, janganlah kamu berpecah-belah,  dan  ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk.   Dan hendaklah ada segolongan di antara kamu   yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf,  melarang dari berbuat munkar, dan mereka itulah orang-orang yang berhasil.   Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang  berpecah belah dan berselisih sesudah  bukti-bukti yang jelas datang kepada mereka, dan mereka itulah orang-orang  yang baginya  ada azab yang besar.   Pada hari  ketika  wajah-wajah menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya   menjadi hitam.  Ada pun orang-orang yang wajahnya menjadi hitam, dikatakan kepada mereka: Apakah  kamu kafir sesudah beriman? Karena itu rasakanlah azab ini disebabkan kekafiran kamu."  Dan ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal  di dalamnya. Itulah Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq, dan Allah sekali-kali tidak menghendaki suatu kezaliman  atas seluruh alam.  Dan  milik Allah-lah apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi, dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. (Āli ‘Imran [3]:103-110).

Makna “Muslimūn” (Berserah Diri)

     Karena kedatangan saat kematian tidak diketahui, maka orang-orang beriman  dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah  diri kepada Allah (muslimūn) hanya bila mereka senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang beriman harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.  (Āli ‘Imran [3]:103).
     Selanjutnya Allah Swt.  memperingatkan  umat Islam – terutama di Akhir Zaman ini – agar mereka  bersikap seperti para Sahabah r.a. di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah,   janganlah kamu berpecah-belah,  dan ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk.   (Āli ‘Imran [3]:104).

Makna “HablilLāh” (Tali Allah)  &
“Jurang Api”

      Kata habl dalam ayat selanjutnya -- “Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah,   janganlah kamu berpecah-belah” -- berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane). Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan telah bersabda:  “Kitab Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30).
     Sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum  kedatangan  Nabi Besar Muhammad saw.    di tengah mereka, tetapi   sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw. (QS.8:64).
    Kata-kata “di tepi jurang Api” berarti peperangan, saling membinasakan yang di dalam peperangan itu orang-orang Arab senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum pria mereka.Atau dapat pula berarti bahwa seandainya Nabi Besar Muhammad saw. tidak diutus di kalangan mereka maka niscaya  bangsa Arab yang telah berada di "pinggir lubang api" pasti  di akhirat mereka akan dijerumuskan  ke dalam "lubang api neraka."

Golongan yang Menyeru kepada “Kebaikan” dan “Yang Ma’ruf

       Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keberadaan satu golongan di setiap abad atau zaman yang benar-benar melaksanakan ajaran Islam (Al-Quran), termasuk di Akhir Zaman ini, yakni yang senantiasa  berpegang-teguh pada “Tali Allah”:
وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Dan hendaklah ada segolongan di antara kamu   yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikan,   menyuruh kepada yang makruf,  melarang dari berbuat munkar, dan mereka itulah orang-orang yang berhasil. (Āli ‘Imran [3]:105).
      Al-khair artinya di sini Islam, sebab  kebajikan  pada umumnya tercakup dalam kata makruf yang datang segera sesudah itu. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda:
Bila seseorang dari antara kamu melihat suatu kejahatan, hendaklah melenyapkan kejahatan itu dengan tangannya. Bila ia tidak dapat melenyapkan dengan tangannya, maka ia hendaknya melarang dengan lidahnya. Bila ia tidak dapat berbuat hal itu juga, maka hendaknya paling sedikit membenci di dalam hati, dan itulah iman yang paling lemah” (Muslim).
     Dalam ayat selanjutnya Allah Swt. memperingatkan umat Islam supaya jangan  meniru sikap buruk golongan Ahlu Kitab sebelum mereka, firman-Nya:
وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ تَفَرَّقُوۡا وَ اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang  berpecah belah dan berselisih  sesudah  bukti-bukti yang jelas datang kepada mereka, dan mereka itulah orang-orang  yang baginya  ada azab yang besar.   (Āli ‘Imran [3]:106).
Ayat ini menunjuk kepada perpecahan dan perselisihan-perselisihan di tengah-tengah para Ahlul Kitab untuk menyadarkan kaum Muslimin akan bahaya ketidak-serasian dan ketidaksepakatan, seperti yang terjadi di Akhir Zaman ini.

Makna “Berwajah Hitam” dan “Berwajah Putih

      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keadaan  orang-orang yang mendustakan dan menentang Rasul Allah dan keadaan mereka yang beriman kepadanya:
یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ  وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اسۡوَدَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ فَذُوۡقُوا الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ﴿﴾
Pada hari  ketika  wajah-wajah menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya   menjadi hitam.  Ada pun orang-orang yang wajahnya menjadi hitam, dikatakan kepada mereka: Apakah  kamu kafir  sesudah beriman? Karena itu rasakanlah azab ini disebabkan kekafiran kamu."   (Āli ‘Imran [3]:107).
       Al-Quran telah menerangkan warna-warna “putih” dan “hitam” sebagai lambang, masing-masing untuk “kebahagiaan” dan “kesedihan” (QS.3:107, 108; QS.75:23-25; QS.80:39-41). Bila seseorang melakukan perbuatan yang karenanya ia mendapat pujian, orang Arab mengatakan mengenai dia: ibyadhdhaha wajhuhu, yakni wajah orang itu menjadi putih. Dan bila ia melakukan suatu pekerjaan yang patut disesali, maka dikatakan  mengenai dia iswadda wajhuhu, yakni, wajahnya telah menjadi hitam.
      Mengisyaratkan kepada orang-orang yang berwajah hitam   itu pulalah “orang-orang  kafir” -- yang mendustakan dan menentang Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka – yang dimisalkan sebagai “istri-istri durhaka  Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s., karena mereka itu   kafir  setelah beriman”.
      Mereka itu pada awalnya orang-orang yang mempercayai nubuatan (kabar gaib) tentang Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. kepada mereka, tetapi ketika Rasul Allah tersebut benar-benar muncul lalu mereka  berlaku kafir terhadapnya karena tidak sesuai dengan persepsi dan keinginan hawa nafsu mereka. Itulah makna kalimat “Apakah  kamu kafir  sesudah beriman? Karena itu rasakanlah azab ini disebabkan kekafiran kamu."  (QS.3:107).
      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. kepada mereka”:
وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan  ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal  di dalamnya.    (Āli ‘Imran [3]:108).
     Mereka ini identik dengan  orang-orang   beriman yang dimisalkan istri Fir’aun, yaitu mereka yang beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah Swt. kepada mereka,  firman-Nya:
   وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾    
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman,  ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,    (At-Tahrīm [66]:12).
  Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kebenaran wahyu Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhmamad saw:
تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ  ظُلۡمًا لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾  وَ لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ  اِلَی اللّٰہِ  تُرۡجَعُ  الۡاُمُوۡرُ  ﴿﴾٪
Itulah Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq,  dan Allah sekali-kali tidak menghendaki suatu kezaliman  atas seluruh alam.   Dan  milik Allah-lah apa pun  yang ada di seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi, dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. (Āli ‘Imran [3]:109-110).
    Ungkapan bil-haqq (secara harfiah berarti “dengan kebenaran” dan diter-jemahkan sebagai “mengandung kebenaran”) berarti, pertama: bahwa Tanda-tanda atau Ayat-ayat Allah  Swt.  itu penuh dengan kebenaran; kedua: Tanda-tanda telah datang secara haq, yakni kamu mempunyai hak untuk menerima; ketiga: itulah saat yang paling tepat Ayat-ayat itu diwahyukan.  

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 26 Maret  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar