بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 79
Hikmah Misal
(Perumpamaan) “Orang-orang yang Beriman" Seperti Istri Fir'aun
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dikemukakan firman Allah
Swt. mengenai hikmah mengapa Allah Swt. mengumpamakan orang-orang
yang beriman kepada rasul Allah
sebagai istri Fir’aun, yang
lebih memilih kehidupan akhirat
daripada kesenangan kehidupan duniawi
yang sedang dialaminya, firman-Nya:
وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim, (At-Tahrīm [66]:12).
Pernyataan Iman Istri
Fir’aun Melalui Perbuatan Nyata
Perumpamaan tersebut mengandung hikmah, bahwa menurut
Islam (Al-Quran), tujuan pernikahan -- selain merupakan suatu lembaga yang
sakral -- memiliki tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada sekedar terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat jasmani (duniawi) berupa pangan
(makanan/minuman), sandang (pakaian) dan papan
(perumahan) sebagaimana yang dikemukakan Allah Swt. berkenaan dengan “jannah” (kebun/surga – QS.20:117-120), karena tujuan
utama dari diciptakan-Nya umat
manusia dan juga tujuan utama
dari pernikahan erat kaitannya dengan masalah pembinaan akhlak
dan ruhani dari pasangan suami-istri serta anak-keturunan
mereka yakni beribadah kepada
Allah Swt. (QS.51:57; QS.4:2; QS.30:22; QS.49:14) guna meraih ketakwaan, firman-Nya:
Itulah sebabnya sekali pun kebutuhan
pangan (makanan/minuman), sandang (pakaian) dan papan (perumahan) telah
didapatkan oleh istri Fir’aun – karena ia adalah istri seorang raja besar dan sangat
kaya-raya di Mesir – namun karena ia
menyaksikan kemiskinan yang luar
biasa dalam segi akhlak dan ruhani di lingkungan kerajaan Mesir,
termasuk suami dan para pembesar
kerajaan Mesir, maka ia telah berdoa:
رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ نَجِّنِیۡ
مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ
نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ
﴿ۙ﴾
…. “Hai
Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim,” (At-Tahrīm [66]:12).
Jadi, istri Fir’aun yang shalih tersebut
lebih memilih beriman kepada
pendakwaan Nabi Musa a.s. sebagai Rasul Allah, walau pun dengan resiko harus menanggung penderitaan hidup di lingkungan istana
oleh kezaliman suaminya, Fir’aun. Yakni istri Fir’aun tidak sekedar menyatakan
keimanannya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan ucapan belaka tetapi juga melalui amal (perbuatan) nyata.
Peringatan Keras Allah Swt.
kepada Orang-orang Beriman
Itulah sebabnya Allah Swt. telah memperingatkan orang-orang-orang beriman
yang bangga dengan teori-teori
dan definisi-definisi
pengetahuan-pengetahuan agama sehingga
meraih berbagai title keagamaan,
tetapi miskin dari pengamalan yang nyata
di dalam kehidupannya, baik di lingkungan rumah
tangga mau pun di lingkungan masyarakat, sebagai bukti pengamalan hablun minallāh (hubungan dengan Allah Swt.) dan hablun- minannās (hubungan dengan sesame
manusia), sebagaimana yang diamalkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para pengikut
hakiki beliau saw. , firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لِمَ تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾ کَبُرَ
مَقۡتًا عِنۡدَ اللّٰہِ اَنۡ
تَقُوۡلُوۡا مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الَّذِیۡنَ
یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ صَفًّا
کَاَنَّہُمۡ بُنۡیَانٌ مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa
yang kamu tidak kerjakan? Adalah sesuatu
yang paling dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun
rapat. (Ash-Shaff [61]:2-4).
Perbuatan seorang Muslim hendaknya sesuai dengan pernyataan-pernyataannya.
Bicara sombong dan kosong membawa seseorang tidak keruan kemana yang dituju,
dan ikrar-ikrar lidah tanpa disertai perbuatan-perbuatan nyata
adalah berbau kemunafikan dan ketidaktulusan.
Orang-orang Muslim diharapkan tampil dalam barisan
yang rapat, teguh dan kuat terhadap kekuatan-kekuatan
kejahatan, di bawah komando pemimpin mereka,
yang terhadapnya mereka harus taat
dengan sepenuhnya dan seikhlas-ikhlasnya. Tetapi suatu kaum, yang berusaha
menjadi satu jemaat yang kokoh-kuat, harus mempunyai satu tata-cara hidup, satu cita-cita, satu maksud, satu tujuan dan
satu rencana untuk mencapai tujuan itu.
Pentingnya Umat Islam Berpegang-teguh Pada
“Tali Allah”
Jemaat (Jama’ah) yang
demikian itu hanya mungkin jika pendiri dari Jemaat seperti itu adalah Rasul
Allah, sebab pada hakikatnya Rasul
Allah merupakan “tali Allah” yang
diulurkan Allah Swt. dari langit yang kepada “tali Allah” itulah Allah Swt. telah memerintahkan orang-orang beriman – yakni umat Islam -- untuk senantiasa berpegang-teguh
pada “Tali Allah” supaya tidak
menjadi umat beragama yang bercerai-berai
dan saling bertentangan, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا
تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ
عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ
اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ
بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ
بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا
حُفۡرَۃٍ مِّنَ
النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ
لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ
تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی
الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ
تَفَرَّقُوۡا وَ
اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا
الَّذِیۡنَ
اسۡوَدَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ
بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ
فَذُوۡقُوا
الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ
ظُلۡمًا لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اِلَی اللّٰہِ تُرۡجَعُ
الۡاُمُوۡرُ ﴿ ﴾
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan takwa yang
sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali
kamu dalam keadaan berserah diri. Dan berpegangteguhlah
kamu sekalian pada tali Allah, janganlah kamu berpecah-belah, dan ingatlah akan nikmat Allah atas kamu
ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain
maka dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah
menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah
ada segolongan di antara kamu yang senantiasa menyeru manusia
kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf, melarang dari berbuat
munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang berhasil. Dan janganlah
kamu menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih sesudah
bukti-bukti yang jelas datang
kepada mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang baginya ada azab yang besar.
Pada hari
ketika wajah-wajah
menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya menjadi hitam. Ada pun orang-orang
yang wajahnya menjadi hitam, dikatakan kepada mereka: “Apakah
kamu kafir sesudah beriman?
Karena itu rasakanlah azab ini
disebabkan kekafiran kamu." Dan ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya. Itulah
Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq, dan Allah sekali-kali tidak menghendaki suatu kezaliman atas seluruh
alam. Dan milik
Allah-lah apa pun yang ada di
seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi, dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. (Āli
‘Imran [3]:103-110).
Makna “Muslimūn”
(Berserah Diri)
Karena kedatangan saat kematian tidak diketahui, maka
orang-orang beriman dapat berkeyakinan
akan mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah (muslimūn) hanya bila mereka
senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan
diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang
beriman harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan takwa yang
sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali
kamu dalam keadaan berserah diri. (Āli ‘Imran [3]:103).
Selanjutnya Allah
Swt. memperingatkan umat Islam – terutama di Akhir Zaman ini –
agar mereka bersikap seperti para
Sahabah r.a. di zaman Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ
اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً
فَاَلَّفَ بَیۡنَ
قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ
بِنِعۡمَتِہٖۤ
اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ
اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berpegangteguhlah
kamu sekalian pada tali Allah,
janganlah kamu berpecah-belah, dan ingatlah akan nikmat Allah atas kamu
ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain
maka dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah
menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Āli ‘Imran [3]:104).
Makna “HablilLāh” (Tali Allah) &
“Jurang Api”
Kata habl
dalam ayat selanjutnya -- “Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah, janganlah kamu berpecah-belah” -- berarti: seutas tali atau pengikat yang
dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu
perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi
bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan
dan perlindungan (Lexicon Lane).
Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan
telah bersabda: “Kitab Allah itu tali
Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30).
Sangat
sukar kita mendapatkan suatu kaum
yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. di
tengah mereka, tetapi sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan
satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh
cinta yang menjadikan orang-orang
Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan Agung mereka, Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.8:64).
Kata-kata “di tepi jurang Api”
berarti peperangan, saling
membinasakan yang di dalam peperangan
itu orang-orang Arab senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum pria mereka.Atau dapat pula berarti bahwa seandainya Nabi Besar Muhammad saw. tidak diutus di kalangan mereka maka niscaya bangsa Arab yang telah berada di "pinggir lubang api" pasti di akhirat mereka akan dijerumuskan ke dalam "lubang api neraka."
Golongan yang Menyeru kepada “Kebaikan”
dan “Yang Ma’ruf”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai keberadaan satu golongan di
setiap abad atau zaman yang benar-benar melaksanakan ajaran Islam (Al-Quran), termasuk di Akhir Zaman ini, yakni yang senantiasa berpegang-teguh
pada “Tali Allah”:
وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ
اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Dan hendaklah ada segolongan di antara
kamu yang senantiasa menyeru manusia
kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf, melarang dari berbuat
munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang berhasil. (Āli ‘Imran [3]:105).
Al-khair
artinya di sini Islam, sebab kebajikan pada umumnya tercakup dalam kata makruf
yang datang segera sesudah itu. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda:
“Bila
seseorang dari antara kamu melihat suatu kejahatan, hendaklah melenyapkan
kejahatan itu dengan tangannya. Bila ia tidak dapat melenyapkan dengan
tangannya, maka ia hendaknya melarang dengan lidahnya. Bila ia tidak dapat
berbuat hal itu juga, maka hendaknya paling sedikit membenci di dalam hati, dan
itulah iman yang paling lemah” (Muslim).
Dalam ayat selanjutnya Allah Swt.
memperingatkan umat Islam supaya
jangan meniru sikap buruk golongan Ahlu
Kitab sebelum mereka, firman-Nya:
وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ
تَفَرَّقُوۡا وَ
اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang
yang berpecah belah
dan berselisih sesudah
bukti-bukti yang jelas datang
kepada mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang baginya ada azab yang besar. (Āli ‘Imran [3]:106).
Ayat ini menunjuk kepada perpecahan dan perselisihan-perselisihan di tengah-tengah para Ahlul Kitab untuk menyadarkan kaum Muslimin akan bahaya ketidak-serasian dan ketidaksepakatan,
seperti yang terjadi di Akhir Zaman
ini.
Makna “Berwajah Hitam”
dan “Berwajah Putih”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai keadaan orang-orang yang mendustakan dan menentang Rasul Allah dan keadaan mereka yang beriman kepadanya:
یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا
الَّذِیۡنَ اسۡوَدَّتۡ
وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ
بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ
فَذُوۡقُوا
الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ﴿﴾
Pada hari ketika wajah-wajah
menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya menjadi hitam. Ada pun orang-orang
yang wajahnya menjadi hitam, dikatakan kepada mereka: “Apakah
kamu kafir sesudah beriman?
Karena itu rasakanlah azab ini
disebabkan kekafiran kamu." (Āli ‘Imran [3]:107).
Al-Quran telah menerangkan
warna-warna “putih” dan “hitam” sebagai lambang, masing-masing
untuk “kebahagiaan” dan “kesedihan” (QS.3:107, 108; QS.75:23-25; QS.80:39-41).
Bila seseorang melakukan perbuatan yang karenanya ia mendapat pujian, orang Arab mengatakan mengenai
dia: ibyadhdhaha wajhuhu, yakni wajah
orang itu menjadi putih. Dan bila ia melakukan suatu pekerjaan yang patut
disesali, maka dikatakan mengenai dia iswadda
wajhuhu, yakni, wajahnya telah
menjadi hitam.
Mengisyaratkan kepada orang-orang
yang berwajah hitam itu pulalah “orang-orang kafir” -- yang mendustakan dan menentang
Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka – yang dimisalkan sebagai “istri-istri durhaka” Nabi
Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s., karena mereka itu
“kafir setelah beriman”.
Mereka itu pada awalnya
orang-orang yang mempercayai nubuatan
(kabar gaib) tentang Rasul Allah yang
kedatangannya dijanjikan Allah Swt.
kepada mereka, tetapi ketika Rasul Allah
tersebut benar-benar muncul lalu
mereka berlaku kafir terhadapnya karena tidak sesuai
dengan persepsi dan keinginan hawa nafsu mereka. Itulah
makna kalimat “Apakah kamu kafir sesudah beriman? Karena itu rasakanlah azab ini
disebabkan kekafiran kamu." (QS.3:107).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya
dijanjikan Allah Swt. kepada mereka”:
وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ
اللّٰہِ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya. (Āli
‘Imran [3]:108).
Mereka ini identik dengan orang-orang
beriman yang dimisalkan istri Fir’aun, yaitu mereka yang
beriman kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah
Swt. kepada mereka, firman-Nya:
وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim, (At-Tahrīm [66]:12).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
kebenaran wahyu Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhmamad
saw:
تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ
ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ ظُلۡمًا
لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لِلّٰہِ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اِلَی
اللّٰہِ تُرۡجَعُ الۡاُمُوۡرُ ﴿﴾٪
Itulah Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq, dan Allah sekali-kali tidak menghendaki suatu kezaliman atas seluruh
alam. Dan milik
Allah-lah apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun yang
ada di bumi, dan kepada Allah-lah
segala urusan dikembalikan.
(Āli ‘Imran [3]:109-110).
Ungkapan bil-haqq (secara harfiah
berarti “dengan kebenaran” dan diter-jemahkan sebagai “mengandung kebenaran”)
berarti, pertama: bahwa Tanda-tanda
atau Ayat-ayat Allah Swt. itu penuh dengan kebenaran; kedua: Tanda-tanda telah datang secara haq,
yakni kamu mempunyai hak untuk menerima; ketiga: itulah saat yang paling tepat
Ayat-ayat itu diwahyukan.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 26 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar