بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 82
Hubungan
Misal (Perumpamaan)
Maryam binti ‘Imran
dengan Nazar
Istri ‘Imran
Mengenai
Bayi yang Dikandungnya
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab
sebelumnya telah dikemukakan firman Allah Swt. mengenai jawaban pertanyaan: Kenapa Rasul
Akhir Zaman yang kedatangannya dijanjikan
kepada umat Islam oleh Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw.
tersebut dinamakan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s.?
Jawabannya adalah:
(1)Dari keterangan Bible diketahui bahwa golongan Ahli
Kitab – kaum Yahudi dan Kristen – sama-sama
sedang menunggu-nunggu kedatangan Mesiah
atau Mesias atau Al-Masih -- yakni Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. (Matius 24:29-36; -- selain sedang menunggu-nunggu kedatangan “Nabi itu” atau “Nabi yang
seperti Musa” yaitu Nabi Besar Muhammad saw. (Ulangan
18:18-19; QS.46:11) dan menunggu
kedatangan kedua kali Nabi Elia a.s.
yakni Nabi Yahya a.s. (Injil Yahya
I:19-27; Maleakhi 4:5).
(2) Demikian juga Allah Swt. telah
berfirman mengenai kedatangan misal Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s., yang juga akan mendapat penentangan keras sebagaimana Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. Israili (QS.43:58).
(3) Dengan demikian
firman Allah Swt dan point 1 & 2 menolak
kepercayaan keliru umumnya kaum Yahudi, kaum Nasrani (Kristen) dan umumnya umat
Islam, bahwa Al-Masih Mau’ud a.s. yang akan diutus di Akhir Zaman adalah Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. Israili, karena menurut Allah Swt. selain pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili
atau Yesus Kristus hanya untuk Bani
Israil (QS.3:43-50 QS.61:7) juga beliau telah wafat dalam usia 120 tahun (QS.3:56; QS.5:117-119; QS.21:35).
(4) Kecuali Nabi
Besar Muhammad saw. sebagai Rasul Allah
untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21;108; QS.25:2; QS.34:29), semua rasul Allah diutus hanya untuk kaumnya saja, termasuk para nabi Allah di kalangan Bani Israil – mulai dari Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. (QS.2:88-89) -- itulah sebabnya
Allah Swt. mempergunakan kata minhum
(dari antara mereka), dan sehubungan dengan kedatangan Al-Masih Mau’ud a.s. di Akhir Zaman atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.43:58), Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda kepada umat Islam dengan menggunakan kata fiikum dan minkum (dari
antara kaum):
Kayfa antum idzaa nazala- bnu maryama fiikum, wa imaamukum minkum yakni “bagaimana [sikap] kalian [nanti] apabila turun
Ibnu (anak) Maryam dari kalangan kalian, dan [menjadi] imam dari antara
kalian.” (…………).
Dalam hadits tersebut
Nabi Besar Muhammad saw. tidak mengatakan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan turun
dari langit, melainkan beliau saw. mengatakan akan
turun fiikum (dari kalangan kalian), artinya bahwa Al-Masih Mau’ud a.s. atau Rasul Akhir Zaman yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama akan berasal dari kalangan umat Islam atau pengikut sejati Nabi Besar Muhammad
saw., yang pada hakikatnya merupakan pengutusan
kedua kali secara ruhani Nabi Besar Muhmmad saw. (QS.62:3-5).
(5) Dalam QS.66 ayat 11 Allah Swt.
mengemukakan “istri-istri durhaka”
dari Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal orang-orang kafir yang mendustakan
dan menentang para Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka (QS.7:35-37).
Sedangkan dalam QS.66: ayat 12 Allah Swt. telah menjadikan istri Fir’aun sebagai misal orang-orang yang beriman kepada Rasul Allah yang
kedatangannya dijanjikan kepada
mereka (QS.7:35-37), selanjutnya dala QS.66:13 Allah Swt. telah mengemukakan Maryam binti ‘Imran – yang kemudian
melahirkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
– sebagai misal hamba-hamba Allah
yang benar-benar patuh taat kepada
Allah Swt., firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka
mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun
sebagai misal bagi orang-orang
beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau
sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah
aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
aku dari kaum yang zalim, Dan juga
Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:11-13).
Hubungan Misal “Istri-istri
Durhaka” dengan
Kerusakan
Akhlak dan Ruhani
di Kalangan Bani Israil
Sebagaimana telah dikemukakan
dalam Bab sebelumnya bahwa hamba-hamba
Allah Swt. yang dimisalkan
sebagai Maryam binti ‘Imran adalah
orang-orang beriman dan bertakwa yang telah meraih tingkatan nafs Al- Muthmainnah – “jiwa yang
tentram” (QS.98:28-31), firman-Nya:
وَ
مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا
وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ﴿﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:13).
Sitti Maryam -- ibunda Nabi Isa ibnu
Maryam a.s. -- melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang
karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah, mereka dikaruniai
ilham Ilahi; kata pengganti hi (nya) dalam fīihi pada ayat 13
“maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami”
menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik
serupa itu. Atau, kata pengganti fiihi itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara
harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa
dapat masuk, namun “hamba-hamba Allah” yang hakiki tersebut telah menjaga farj dari dengan ketat -- sebagaimana
yang dilakukan Sitti Maryam yang benar-benar menjaga kesucian jiwanya dan dirinya.
Berikut firman-Nya mengenai orang-orang
beriman hakiki sehubungan dengan penjagaan farj
mereka:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿۲﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ
﴿ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿۴﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ
یُحَافِظُوۡنَ ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ
الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ
﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah. Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam
shalatnya, dan orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia, dan orang-orang yang membayar zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa
yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari selain dari itu
maka mereka itu orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka, dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka. Mereka itulah pewaris, yaitu orang-orang
yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka akan kekal
di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]1-12).
Sebelum
membahas mengenai hakikat misal
Maryam binti ‘Imran tersebut, agar permasalahannya menjadi jelas maka terlebih
dulu akan diterangkan mengenai hubungan antara proses kelahiran Sitti Maryam
binti ‘Imran yang diluar dugaan ibunya -- yang menginginkan
agar bayi yang akan dilahirkannya
adalah seorang bayi laki-laki – dengan firman Allah Swt. mengenai misal
istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan
Nabi Luth a.s. (QS.66:11) berkenaan orang-orang
kafir yang mendustakan dan menentang para rasul Allah yang diutus di kalangan mereka.
Perlu diketahui bahwa sampai dengan masa kelahiran Siti Maryam.,
keadaan umumnya akhlak dan ruhani Bani
Israil atau orang-orang Yahudi persis
seperti keadaan istri-istri durhaka Nabi Nuh
a.s. dan Nabi Luth a.s., firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَا
مُوۡسَی الۡکِتٰبَ وَ قَفَّیۡنَا مِنۡۢ بَعۡدِہٖ بِالرُّسُلِ ۫ وَ اٰتَیۡنَا
عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ الۡبَیِّنٰتِ وَ اَیَّدۡنٰہُ بِرُوۡحِ الۡقُدُسِ ؕ
اَفَکُلَّمَا جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌۢ بِمَا لَا تَہۡوٰۤی اَنۡفُسُکُمُ
اسۡتَکۡبَرۡتُمۡ ۚ فَفَرِیۡقًا
کَذَّبۡتُمۡ ۫ وَ فَرِیۡقًا تَقۡتُلُوۡنَ
﴿﴾ وَ قَالُوۡا قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ لَّعَنَہُمُ اللّٰہُ بِکُفۡرِہِمۡ فَقَلِیۡلًا مَّا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah berikan Alkitab kepada Musa dan Kami mengikutkan rasul-rasul di
belakangnya, dan Kami memberi
Isa Ibnu Maryam Tanda-tanda yang nyata, dan juga Kami memperkuatnya dengan Ruhulqudus. Maka apakah patut setiap datang kepada kamu seorang rasul dengan membawa apa
yang tidak disukai oleh dirimu kamu berlaku takabur, lalu sebagian
kamu dustakan dan sebagian lainnya
kamu bunuh? Dan
mereka berkata: ”Hati kami tertutup.” Tidak, bahkan
Allah telah mengutuk mereka karena kekafiran mereka maka sedikit
sekali apa yang mereka imani. (Al-Baqarah [2]:88-89).
Keadaan buruk yang sangat memprihatinkan seperti itulah yang melatar-belakangi nazar dari istri ‘Imran mengenai
bayi yang masih berada dalam kandungannya, firman-Nya:
اِذۡ قَالَتِ امۡرَاَتُ عِمۡرٰنَ رَبِّ اِنِّیۡ
نَذَرۡتُ لَکَ مَا فِیۡ بَطۡنِیۡ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلۡ مِنِّیۡ ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ
السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿۳۵﴾ فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ
وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ
کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ
الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ ﴿۳۶﴾
Ingatlah, ketika perempuan (istri) ‘Imran
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya apa yang ada dalam
kandunganku aku bebaskan sebagai nazar
bagi Engkau, maka terimalah
dia dariku, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.” Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah
melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya
itu, sedangkan anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan
bahwa aku menamainya Maryam, dan
sesungguhnya aku memohon perlindungan
Engkau untuknya dan keturunannya
dari syaitan yang terkutuk.”
(Āli ‘Imran
[3]:36-37).
Muharrar berarti: yang dibebaskan; anak yang dipisahkan dari
segala urusan dunia dan diserahkan oleh orangtuanya untuk berkhidmat kepada
rumah peribadatan (Lexicon Lane
& Al-Mufradat).
Telah menjadi kebiasaan pada kaum Bani
Israil bahwa orang-orang yang dibaktikan
untuk mengabdi kepada rumah peribadatan
selamanya tidak nikah (Injil Mariam
5:6 dan Bayan 3:36).
Menjawab Tuduhan tentang
Pemakaian Nama ‘Imran dan Maryam
Dalam ayat ini ibu Siti Maryam,
yang bernama Hanna (Encyclopaedia
Biblica) disebut Imra’at ‘Imran (istri ‘Imran), sedang
dalam QS.19:29 Siti Maryam sendiri dipanggil dengan nama Ukht Harun
(saudara perempuan Nabi Harun a.s..). 'Imran (Amran) dan Nabi Harun
a.s. masing-masing ayah dan
saudara Nabi Musa a.s., yang
mempunyai saudara perempuan yang bernama Miryam.
Karena tidak paham akan tata bahasa Arab dan gaya bahasa Al-Quran, para pujangga Kristen -- yang menuduh Al-Quran sebagai
gubahan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.25:5-6) --
menyangka bahwa karena jahilnya, bahwa beliau saw. telah mencampuradukkan Siti Maryam, ibu Nabi Isa a.s. dengan
Maryam atau Miriam, saudara perempuan Nabi Musa a.s..
Dengan demikian mereka berlagak seolah-olah telah menemukan dalam
Al-Quran suatu anakhronisme
(kesalahan penanggalan mengenai kejadian sejarah) yang berat — suatu tuduhan yang sama sekali janggal, sebab
banyak sekali kalimat dapat disebutkan untuk memperlihatkan bahwa Al-Quran
memandang Nabi Musa a.s. dan
Nabi Isa ibnu Maryam a.s. sebagai dua orang nabi yang dipisahkan oleh silsilah
(rangkaian) nabi-nabi (QS.2:88; QS.5:45).
Ada riwayat bahwa ketika Nabi Besar Muhammad saw. mengutus Mughirah ke Najran, orang-orang
Kristen setempat bertanya kepadanya: “Apakah anda tidak membaca dalam Al-Quran
bahwa Siti Maryam (ibunda Nabi Isa a.s.) disebut sebagai saudara perempuan Harun, sedang anda tahu bahwa Nabi Isa dilahirkan
lama sesudah Musa?”
Kata Mughirah: “Saya tak tahu
jawabannya, dan ketika saya kembali ke
Medinah, saya menanyakan hal itu kepada
Rasulullah saw. yang menjawab:
"Mengapa tidak engkau katakan kepada mereka bahwa Bani Israil biasa menamakan anak-anak mereka dengan nama nabi-nabi dan orang-orang suci mereka yang telah wafat?" (Tirmidzi).
Pada hakikatnya, memang betul ada
hadits yang mengatakan bahwa suami Hanna, yaitu ayah Siti Maryam, dikenal
dengan nama ‘Imran yang mempunyai
ayah (kakek Siti Maryam) bernama Yosyhim atau Yosyim (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir). Dengan demikian ‘Imran ini lain (berbeda) dari ‘Imran ayah Nabi Musa a.s., yang ayahnya (kakek Nabi Musa) adalah Kehat (Keluaran 6:18-20).
Kenyataan bahwa suami Hanna atau ayah Siti Maryam
disebut pula Joachim dalam
Kitab-kitab Suci Kristen (Injil
Kelahiran Siti Maryam dan Encyclopaedia.
Britannica di bawah kata Mary), hendaknya jangan membingungkan
kita, sebab Yoachim itu sama dengan Yoshim yang disebut Ibn Jarir sebagai ayah ‘Imran. Kitab-kitab Suci Kristen
memberikan nama kakeknya dan bukan
bapaknya, hal mana merupakan suatu kelaziman.
Di samping itu ada contoh-contoh
Bible tentang seseorang yang dikenal dengan dua nama. Gideon, umpamanya, disebut juga Yerubbaal
(Hakim-hakim 7:1), karena itu
tidak usah heran bila nama yang kedua untuk Yosyim
itu kebetulan ‘Imran.Tambahan pula, seperti
perseorangan, keluarga-keluarga pun kadang-kadang dikenal dengan nama leluhurnya yang terkemuka. Dalam
Bible nama “Israil” kadang-kadang dipakai untuk kaum Bani Israil (Ulangan 5: 34) dan Kedar untuk kaum Bani Isma'il (Yesaya 21:16, 42, 11). Demikian
pula Nabi Isa a.s. telah disebut
“Anak Da'ud” (Matius 1:1),
maka kata-kata Imra’at ‘Imran
dapat pula diartikan Imra’at Ali ‘Imran, yaitu perempuan dari keluarga ‘Imran.
Keterangan ini selanjutnya
dikuatkan oleh kenyataan bahwa kata āli ‘Imran (keluarga ‘Imran) telah
dipakai oleh Al-Quran hanya pada dua ayat sebelumnya. Kata āli
(keluarga) di sini dibuang, oleh karena dekatnya penyebutan. Dan telah diakui bahwa Hanna, yakni ibu Siti Maryam, yang merupakan saudara sepupu Elizabeth (ibunda Nabi Yahya a.s.),
termasuk keluarga Nabi Harun a.s., dan
dengan perantaraannya termasuk keluarga
‘Imran (Lukas 1:5, 36).
Nazar Istri ‘Imran Menganai
Bayi yang Dalam Kandungannya
Kembali kepada firman Allah Swt.
sebelumnya mengenai nazar ibunda Maryam, nampaknya nazar tersebut – selain merasa prihatin
menyaksikan keadaan akhlak dan ruhani kaumnya, sebagaimana yang
dirasakan juga oleh Nabi Zakaria a.s. – nazar
tersebut diucapkan karena pengaruh golongan Essenes, yang pada umumnya sangat
dimuliakan oleh orang-orang pada masa itu dan biasa menjalani hidup membujang seumur hidup dan
mengasingkan perempuan-perempuan dari keanggotaan mereka dan mewakafkan kehidupan mereka untuk
berbakti kepada agama dan sesama
manusia (Encyclopaedia Biblica & Jewish Encyclopaedia).
Sangat menarik hati adalah bahwa ajaran
Injil banyak persamaannya dengan ajaran
golongan Essenes itu. Jelas pula dari
arti kata muharrar bahwa ibunda Siti Maryam telah bernazar mewakafkan anaknya untuk mengkhidmati rumah peribadatan, dan dengan demikian
ia berniat supaya anaknya tidak akan menikah, hal demikian
menunjukkan bahwa Siti Maryam
dimaksudkan supaya termasuk ke dalam golongan padri (pendeta/imam).
Itulah sebabnya mengapa di tempat lain dalam
Al-Quran, Siti Maryam disebut saudara perempuan
Nabi Harun a.s. dan bukan saudara perempuan Nabi Musa a.s. (QS.19:29),
meskipun kedua nabi Allah tersebut saudara kandung, sebab sementara Nabi
Musa a.s. itu mendirikan syariat Yahudi, sedangkan Nabi Harun a.s.
itu imam golongan kepadrian Yahudi (Encyclopaedia Biblica
& Encyclopaedia Britannica di
bawah kata Aaron). Jadi, Siti Maryam - ibunda Nabi Isa a.s. itu – adalah saudara Nabi Harun a.s. bukan dalam arti saudara kandung, melainkan karena Siti Maryam seperti Nabi Harun
a.s. berasal dari
golongan padri (pendeta/imam).
Karena istri ‘Imran sangat berhasrat untuk dikaruniai seorang anak laki-laki, karena itu ia bernazar hendak mewakafkan
anak yang masih ada dalam kandungannya untuk berbakti kepada Tuhan, tetapi dalam kenyataannya yang dilahirkannya
adalah seorang anak perempuan, sehingga
dengan sendirinya istri ‘Imran menjadi bingung,
firman-Nya:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ
وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ
کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ
الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala
ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya
Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang
kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan anak
lelaki yang diharapkannya itu
tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan
sesungguhnya aku memohon perlindungan
Engkau untuknya dan keturunannya
dari syaitan yang terkutuk.”
(Āli ‘Imran [3]:37).
Kata-kata: Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya, merupakan kalimat sisipan yang diucapkan oleh Allah Swt. secara sambil lalu, sedangkan kata-kata
berikutnya: Anak lelaki itu tidaklah sama seperti anak perempuan dapat dianggap diucapkan oleh Allah Swt. atau diucapkan oleh ibunda Siti Maryam.
Besar kemungkinan kata-kata itu diucapkan oleh Allah Swt. dan berarti, seperti dalam teks
terjemahan, bahwa anak perempuan yang
dilahirkan beliau itu lebih baik
daripada anak laki-laki yang
diharapkan beliau.
Tetapi jika dianggap diucapkan oleh ibunda Siti Maryam,
kata-kata itu berarti bahwa anak
perempuan yang dilahirkan olehnya
itu tidak bisa menjadi seperti anak laki-laki yang diinginkannya,
karena (dia beranggapan) hanya anak
laki-laki sajalah yang cocok untuk menunaikan bakti istimewa itu dan beliau ingin mewakafkannya.
Doa Istri ‘Imran untuk Anak dan Cucunya
Anak kalimat aku menamainya
Maryam, mengandung doa kepada Allah
Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang mulia dan baik
serta shalih, seperti nampak dari
arti kata Maryam (yakni mulia
atau seorang ahli ibadah yang saleh).
Siti Maryam adalah
ibunda Nabi Isa ibnu Maryam, beliau mungkin diberi nama yang sama
dengan saudara perempuan Nabi Musa.s.
dan Nabi Harun a.s. -- yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata
majemuk dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia Biblica).
Kata-kata doa ibu Siti Maryam – “sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan
yang terkutuk" -- itu
menimbulkan sedikit kesulitan. Bila ibunda Siti Maryam berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada Tuhan, pasti
beliau telah mengetahui bahwa anaknya tidak akan menikah seumur hidup. Jika
demikian, maka apakah artinya memanjatkan
doa untuk keturunan sang anak perempuannya itu?
Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa Allah Swt. telah mengabarkan kepada ibunda
Siti Maryam dalam sebuah kasyaf (penglihatan
ruhani) bahwa anak perempuannya itu akan tumbuh hingga dewasa dan akan mendapat seorang anak, dan atas berita itu
beliau mendoa agar Siti Maryam dan anaknya dikaruniai perlindungan Ilahi.
Namun demikian beliau nampaknya
telah menyerahkan hari depan Siti
Maryam ke tangan Ilahi dan mewakafkannya, sebagaimana diniatkannya
semula untuk mengabdi kepada Allah Swt. (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti
Maryam). Hal itu tentu saja merupakan suatu kekecualian, sebab hanya
laki-laki sajalah yang dapat dipilih untuk bakti demikian. Dugaan bahwa ibunda
Siti Maryam menerima kasyaf mengenai anak perempuannya akan mendapat seorang laki-laki, tercantum dalam Injil Maryam (3:5),
meskipun mungkin dalam bentuk yang agak
lain.
Tidak ada sesuatu yang luar biasa
mengenai doa Hanna (istri ‘Imran)
yang ingin agar Siti Maryam serta keturunannya terpelihara dari pengaruh syaitan. Semua orang tua mendambakan
hal seperti itu untuk anak-anak mereka dan mendoa
agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan
yang baik lagi lurus.
Baik juga dicatat, meskipun Islam (Al-Quran) menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu
dinikmati Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. (Markus 1:12, 13).
Rajim diserap dari kata rajama artinya: (1) orang yang diusir dari hadirat
Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk; (2) ditinggalkan dan dibiarkan
seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4) mahrum (luput) dari segala kebaikan dan kebajikan (Lexicon Lane).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 30 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar