Jumat, 31 Mei 2013

Keakuratan "Hujjah" (Argumentasi) Nabi Ibrahim a.s. ketika Berdialog dengan Para Pemuka Kaumnya




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 133


Keakuratan Hujjah (Argumentasi) Nabi Ibrahim a.s. ketika  Berdialog dengan Para Pemuka Kaumnya  


 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam    Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai cara khas Nabi Ibrahim a.s. membungkam mulut orang-orang musyrik mengenai berbagai kelemahan “sembahan-sembahan” mereka, termasuk membungkam mulut raja Namrud yang takabur ketika Nabi Ibrahim a.s. dihadapkan para pemuka kaumnya  kepada raja yang mendakwakan diri “berkuasa menghidupkan dan mematikan”, firman-Nya:  
اَلَمۡ تَرَ اِلَی الَّذِیۡ حَآجَّ اِبۡرٰہٖمَ فِیۡ رَبِّہٖۤ اَنۡ اٰتٰىہُ اللّٰہُ الۡمُلۡکَ ۘ اِذۡ  قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّیَ الَّذِیۡ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ۙ قَالَ اَنَا اُحۡیٖ وَ اُمِیۡتُ ؕ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ  فَاِنَّ اللّٰہَ یَاۡتِیۡ بِالشَّمۡسِ مِنَ الۡمَشۡرِقِ فَاۡتِ بِہَا مِنَ الۡمَغۡرِبِ فَبُہِتَ الَّذِیۡ کَفَرَ ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۚ
Apakah engkau tidak  memperhatikan orang yang membantah Ibrahim mengenai Tuhan-nya karena Allah telah memberi kerajaan kepadanya? Ketika Ibrahim berkata:  Tuhan-ku-lah Yang menghidupkan dan mematikan.” Ia yakni Namrud menjawab: “Aku pun berkuasa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat!” Lalu  terdiam kebingungan  orang yang kafir itu, dan Allāh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Baqarah [2]:259).
     Nabi Ibrahim a.s. itu seorang pemberantas-berhala besar. Kaumnya menyembah matahari dan bintang-bintang, dewa utama mereka ialah Madruk yang asalnya dewa pagi dan matahari musim semi (Encyclopaedia Biblica dan Encyclopaedia  Religions & Ethics  II. 296).
     Mereka percaya bahwa semua kehidupan bergantung pada matahari. Nabi Ibrahim a.s.  dengan bijaksana meminta orang musyrik itu, seandainya ia mengaku dapat mengatur hidup dan mati, agar mengubah jalan tempuhan matahari yang padanya bergantung segala kehidupan itu.
      Orang kafir itu pun kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan tak dapat menerima tantangan  Nabi  Ibrahim a.s.  untuk menyuruh matahari beredar dari barat ke timur; sebab, hal demikian akan membatalkan pengakuannya sendiri sebagai pengatur hidup dan mati, dan bila ia mengatakan dapat berbuat demikian  maka itu berarti ia menguasai matahari tetapi niscaya merupakan suatu penghinaan besar pada pandangan kaumnya, penyembah matahari. Dengan demikian ia (raja Namrud) sama sekali menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya.

Melakukan Tindak Kekerasan

     Sudah menjadi karakter orang-orang yang kalah dalam berdebat, mereka akan melakukan tindak kekerasan  -- termasuk di Akhir Zaman ini --  demikian juga halnya dengan raja Namrud ketika dibuat bungkam oleh dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim a.s. di hadapan  orang banyak yang  melakukan “penghakiman” terhadap Nabi Ibrahim a.s.:
قَالُوۡا حَرِّقُوۡہُ وَ انۡصُرُوۡۤا اٰلِہَتَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ  فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا عَلٰۤی اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۙ﴾  وَ اَرَادُوۡا بِہٖ کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَخۡسَرِیۡنَ ﴿ۚ﴾   
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu mau melakukan sesuatu!” Kami berfirman: “Hai api, jadilah engkau dingin dan keselamatan atas Ibrahim!” Dan mereka bermaksud akan melakukan tipu-daya terhadap dia, tetapi Kami jadikan mereka orang-orang yang paling merugi. (Al-Anbiyā [21]:69). Lihat pula QS.29:24-25 dan QS.37:98-99.
      Bagaimana caranya api itu menjadi dingin kepada kita tidak diterangkan. Boleh jadi hujan yang turun tepat pada waktu itu atau angin badai telah memadamkan api itu. Bagaimana pun Allah Swt.  memang menimbulkan keadaan yang membawa kepada lolosnya Nabi Ibrahim a.s. dari bahaya.
     Dalam mukjizat-mukjizat Ilahi selamanya terdapat unsur gaib, dan cara Ibrahim a.s. diselamatkan dari api itu sungguh merupakan mukjizat besar. Bahwa Nabi Ibrahim a.s.  telah dilemparkan ke dalam api diakui bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi oleh orang-orang Kristen juga dari Timur, buktinya ialah bahwa tanggal 25 bulan Kanun ke-II atau Januari dikhususkan dalam penanggalan bangsa Siria untuk memperingati peristiwa tersebut (Hyde, De Rel. Vet Pers. p. 73). Lihat pula Mdr. Rabbah on Gen. Per. 17; Schalacheleth Hakabala, 2; Maimon de Idol, Ch. I; dan Jad Hachazakah Vet, 6).
    Dengan demikian benarlah bahwa kepiawaian Nabi Ibrahim a.s. membungkam  mulut orang-orang musyrik tersebut  karena Allah Swt.  telah berfirman: “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan”, firman-Nya:  
وَ اِذۡ  قَالَ  اِبۡرٰہِیۡمُ لِاَبِیۡہِ  اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ  اَصۡنَامًا  اٰلِہَۃً ۚ اِنِّیۡۤ   اَرٰىکَ وَ قَوۡمَکَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah  ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar:  “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai sembahan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.”  Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan.  (Al-An’ām [6]:75-76).

Hakikat Merujuk Bintang, Bulan dan Matahari

    Sehubungan  dengan hal  cara khas   Nabi Ibrahim a.s. menggunakan “sindiran” (menyindir)  tersebut,  selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَیۡہِ الَّیۡلُ  رَاٰ کَوۡکَبًا ۚ قَالَ ہٰذَا  رَبِّیۡ ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَلَ  قَالَ لَاۤ  اُحِبُّ  الۡاٰفِلِیۡنَ ﴿﴾
 Maka tatkala kegelapan malam meliputinya ia melihat sebuah bintang, ia berkata: “Mungkin ini  Tuhan-ku!”  tetapi tatkala  bintang itu terbenam ia berkata: “Aku tidak suka  sesuatu yang terbenam.” (Al-An’ām [6]:77).
Ayat “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan.”  (Al-An’ām [6]:76)  itu berarti bahwa Allah Swt.  melimpahkan kepada Nabi Ibrahim a.s.   pengetahuan dan pengertian mengenai hukum-hukum alam yang berlaku di alam semesta ini dan melimpahkan ilmu  atau makrifat tentang kekuatan serta kekuasaan Tuhan Yang meliputi segala sesuatu.
Jadi, firman Allah Swt. tersebut menggugurkan kesalahan pendapat  mengenai ayat-ayat selanjutnya berkenaan benda-benda langit  -- bintang, bulan, dan matahari – bahwa Nabi Ibrahim a.s. pun sebelumnya  adalah orang  yang mencari-cari Tuhan yang hakiki, dan pernah menganggap bintang, bulan dan matahari sebagai “tuhan sembahan”,   padahal tidak demikian, karena sejak awal pun beliau a.s. adalah seorang muwahid hakiki (QS.2:131-137; QS.3:68 & 96; QS.6:80 &162; QS.14:36-42; QS.16:124; QS.22:32 & 79).
Jadi  kalimat “tetapi tatkala  bintang itu terbenam ia berkata: “Aku tidak suka  sesuatu yang terbenam” merupakan sindiran Nabi Ibrahim a.s. kepada  para pemuka kaumnya, bahwa kalau “Tuhan Sembahan”  dikuasai oleh keadaan “terbit dan terbenam  maka bagaimana  mungkin “benda” yang  dikuasai oleh keadaan seperti itu dapat menjadi “Tuhan Sembahan” yang hakiki? Sebab seharusnya “Tuhan yang hakiki” adalah benar-benar “Wujud” yang “Maha Berkuasa” bukan wujud “yang dikuasai”. 
Selanjutnya Nabi Ibrahim a.s. dalam kesempatan lain ketika melihat bulan pada malam lainnya melakukan hal yang sama mengenai  bulan yang juga  menjadi obyek sembahan kaumnya, firman-Nya:
فَلَمَّا رَاَ  الۡقَمَرَ بَازِغًا  قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَلَ قَالَ  لَئِنۡ  لَّمۡ  یَہۡدِنِیۡ رَبِّیۡ لَاَکُوۡنَنَّ مِنَ  الۡقَوۡمِ  الضَّآلِّیۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّا رَاَ الشَّمۡسَ بَازِغَۃً  قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ہٰذَاۤ  اَکۡبَرُ ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَلَتۡ قَالَ یٰقَوۡمِ  اِنِّیۡ بَرِیۡٓءٌ  مِّمَّا تُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ اِنِّیۡ وَجَّہۡتُ وَجۡہِیَ لِلَّذِیۡ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ حَنِیۡفًا وَّ مَاۤ  اَنَا مِنَ  الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Lalu  tatkala ia melihat bulan terbit memancarkan cahaya, ia berkata: “Mungkin ini Tuhan-ku!” Tetapi tatkala terbenam, ia berkata: “Jika  Tuhan-ku benar-benar tidak memberi petunjuk kepadaku niscaya aku  akan menjadi di antara kaum yang sesat.” Maka tatkala ia melihat matahari bersinar, ia berkata: “Mungkin ini Tuhan-ku. Ini paling besar.” Tetapi tatkala terbenam, ia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa pun yang kamu persekutukan dengan Allah. Sesungguhnya aku menghadapkan seluruh wajahku kepada Dia Pencipta seluruh langit dan bumi de-ngan hati cenderung kepada Allah selama-lamanya, dan aku sekali-kali bukan dari golongan orang-orang musyrik. (Al-An’ām [6]:78-80).
  Ayat-ayat 77 sampai 79 mengandung keterangan yang diberikan Nabi Ibrahim a.s. untuk menjelaskan kepada kaumnya — penganut agama berhala — kejanggalan kepercayaan mereka bahwa matahari, bulan, dan bintang-bintang adalah di antara sekian banyak sembahan mereka (Jewish Encyclopaedia).
Adalah keliru mengambil kesimpulan dari ayat-ayat ini bahwa Nabi Ibrahim a.s. .sendiri meraba-raba dalam kegelapan dan tidak tahu siapa gerangan Tuhan-nya, dan bahwa beliau menganggap bintang timur, bulan, dan matahari satu-persatu sebagai tuhan, dan bilamana tiap-tiap dari mereka tenggelam pada gilirannya masing-masing beliau melepaskan kepercayaan mengenai ketuhanan mereka, dan beliau kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi yakni Al-Fathir.

Nabi Ibrahim  a.s. Tidak Pernah Melakukan Kemusyrikan

Sebenarnya, ayat-ayat itu mengandung beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. --  jauh dari kemungkinan mengambil benda-benda di langit sebagai tuhan-tuhan – justru beliau a.s. berusaha memperlihatkan kepada kaumnya kehampaan kepercayaan mereka dengan cara selangkah demi selangkah.
Ayat-ayat 75-76 menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s.  itu seorang yang teguh kepercayaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu beliau tidak dapat dianggap meraba-raba dalam kegelapan dan melantur dari satu tuhan kepada yang lainnya. Kata-kata, “Inikah Tuhan-ku?”, merupakan dalil yang menentang penyembahan bintang. Beliau mengucapkan kata-kata itu untuk menerangkan kekeliruan kepercayaan kaum beliau bahwa bintang itu tuhan mereka. Lebih-lebih, beliau sudah mengetahui bahwa bintang-bintang itu harus tenggelam.
Jadi, dalil Nabi Ibrahim a.s. yang terkandung dalam kata-kata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam,” niscaya sudah terkandung sebelumnya dalam pikiran beliau. Pada hakikatnya beliau ingin menggunakan dalil beliau dalam tiga cara yang sangat jitu. Oleh karena itu mula-mula beliau seolah-olah menduga bintang itu “Tuhan-nya” dan, bila lenyap, beliau segera menyatakan, Aku tidak suka kepada yang terbenam.
Seperti itu pula halnya dengan terbenamnya bulan dan matahari. Adapun mengenai matahari beliau menggunakan kata “lebih besar” atau “terbesar” secara sindiran, untuk mencela kaum beliau atas kebodohan mereka. Hal itu jelas menunjukkan bahwa dengan jalur dalil-dalil yang dipakai  Nabi Ibrahim a.s.   berniat (bermaksud) menarik kaum beliau kepada Allah Swt.  secara bertahap.
Selayang pandangan atas ayat-ayat 80-82 membuat jelas sekali bahwa Nabi Ibrahim a.s.   tidak hanya memiliki keimanan yang teguh kepada Allah Swt, bahkan tetapi juga mempunyai pengetahuan mendalam mengenai Sifat-sifat  Tuhan yang hakiki (Allah Swt.).
 وَ حَآجَّہٗ  قَوۡمُہٗ ؕ قَالَ  اَتُحَآجُّوۡٓنِّیۡ  فِی اللّٰہِ وَ قَدۡ ہَدٰىنِ ؕ وَ لَاۤ  اَخَافُ مَا تُشۡرِکُوۡنَ بِہٖۤ  اِلَّاۤ  اَنۡ یَّشَآءَ رَبِّیۡ شَیۡئًا ؕ وَسِعَ رَبِّیۡ کُلَّ شَیۡءٍ عِلۡمًا ؕ اَفَلَا تَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَیۡفَ اَخَافُ مَاۤ  اَشۡرَکۡتُمۡ وَ لَا  تَخَافُوۡنَ  اَنَّکُمۡ  اَشۡرَکۡتُمۡ بِاللّٰہِ مَا لَمۡ یُنَزِّلۡ بِہٖ عَلَیۡکُمۡ سُلۡطٰنًا ؕ فَاَیُّ الۡفَرِیۡقَیۡنِ  اَحَقُّ  بِالۡاَمۡنِ ۚ اِنۡ  کُنۡتُمۡ  تَعۡلَمُوۡنَ ﴿ۘ﴾ اَلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ لَمۡ یَلۡبِسُوۡۤا اِیۡمَانَہُمۡ بِظُلۡمٍ  اُولٰٓئِکَ لَہُمُ الۡاَمۡنُ وَ ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Dan kaumnya berbantah dengannya. Ia berkata: “Apakah kamu berbantah dengan aku mengenai Allah padahal sungguh Dia telah memberi petunjuk kepadaku? Dan aku tidak takut terhadap apa pun  yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali jika Tuhan-ku menghendaki  sesuatu.  Ilmu Tuhan-ku meliputi segala sesuatu, maka apakah kamu tidak mengambil peringatan? Dan bagaimana mungkin aku takut kepada apa yang kamu persekutukan dengan Allah, bila kamu tidak takut bahwa sesungguhnya kamu  mempersekutukan  dengan Allah apa yang mengenainya Dia tidak pernah menurunkan dalil yang kuat  kepada kamu? Maka jika kamu menge-tahui, manakah di antara dua pihak itu yang lebih berhak atas keamanan?  Orang-orang yang beriman dan tidak pernah mencampurbaurkan keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah  yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah yang mendapat petunjuk. (Al-An’ām [6]:81-83).

Nabi Ibrahim a.s. Seorang Muwahid Hakiki

    Ayat 82 dan dua ayat sebelumnya secara pasti menunjukkan bahwa kejadian yang diceriterakan dalam ayat-ayat 77-79 sengaja digunakan oleh Nabi Ibrahim a.s.   sebagai hujjah (dalil/argumentasi) padahal, beliau sendiri sungguh orang yang berpegang teguh kepada tauhid dan telah meneguk air sekenyang-kenyangnya dari sumber air kecintaan dan makrifat Ilahi.
  Lebih tegas lagi Allah Swt. dalam firman-Nya berikut ini kepada Nabi Besar Muhammad saw. membantah kekeliruan penafsiran mengenai “cara-cara” Nabi Ibrahim a.s. menyadarkan kesesatan kaumnya dari kemusyrikan mereka berkenaan dengan bintang, bulan, dan matahari dalam QS.6:77-80:
وَ تِلۡکَ حُجَّتُنَاۤ  اٰتَیۡنٰہَاۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ عَلٰی قَوۡمِہٖ ؕ نَرۡفَعُ دَرَجٰتٍ مَّنۡ نَّشَآءُ ؕ اِنَّ رَبَّکَ حَکِیۡمٌ  عَلِیۡمٌ ﴿ ﴾
Dan  itulah hujjah (dalil) Kami,  Kami memberikannya kepada Ibrahim terhadap kaumnya.  Kami meninggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhan engkau Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. (Al-An’ām [6]:84).
  Ayat ini dengan cara-yang-pasti memecahkan persoalan apakah Nabi Ibrahim a.s. secara berangsur mencapai keimanan kepada Allah Swt.  dengan mengambil satu benda langit sesudah lainnya sebagai tuhannya ataukah merupakan hujjah (dalil/argumentasi) yang  jitu ditata secara bertahap, sehingga dengan jalan itu beliau berusaha menunjukkan kekeliruan kaumnya dalam menyembah benda-benda langit ini sebagai sembahan.
Ayat itu menunjukkan bahwa keimanan Nabi Ibrahim a.s.  semenjak dini telah jelas dan teguh kepada Tauhid Ilahi dan bahwa apa yang dikatakan beliau berkenaan dengan bintang, bulan, matahari, bulan, dan sebagainya merupakan sebagian dari hujjah yang telah diajarkan Tuhan kepada beliau – rusydahū– petunjuknya” -- firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَاۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ  رُشۡدَہٗ  مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا  بِہٖ  عٰلِمِیۡنَ  ﴿ۚ﴾  اِذۡ قَالَ لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَا ہٰذِہِ التَّمَاثِیۡلُ  الَّتِیۡۤ  اَنۡتُمۡ  لَہَا  عٰکِفُوۡنَ ﴿﴾  قَالُوۡا  وَجَدۡنَاۤ  اٰبَآءَنَا لَہَا عٰبِدِیۡنَ ﴿﴾   قَالَ لَقَدۡ کُنۡتُمۡ  اَنۡتُمۡ  وَ اٰبَآؤُکُمۡ  فِیۡ  ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ 
Dan  sungguh sebelumnya  Kami  benar-benar telah memberikan kepada Ibrahim petunjuknya  dan Kami mengetahui benar tentang dia.   Ketika ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini  yang kamu duduk tekun menyembah  kepadanya?”  Mereka berkata:  Kami  dapati bapak-bapak kami menyembahnya.”  Ia, Ibrahim,  berkata: “Sungguh kamu dan bapak-bapakmu  benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Anbiyā [21]:53-55).

Taqlid  Buta yang Diwariskan dari Zaman ke Zaman

      Huruf  (apa)  dalam kalimat “Patung-patung apakah ini  yang kamu duduk tekun menyembah  kepadanya?   menunjukkan celaan dan bukan suatu pertanyaan. Ketika berbicara dengan penyembah-penyembah berhala, biasanya Nabi Ibrahim a.s. mempergunakan sindiran, lihat QS.6:77, 78, 79. Beliau agaknya mengatakan kepada kaumnya “Betapa tidak bergunanya dan sia-sianya patung-patung yang kamu puja ini.” Jika Nabi Ibrahim a.s.   biasa berbicara dengan memakai bahasa sindiran, maka Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  berbicara dengan bahasa kiasan.
   Atas sindiran  Nabi Ibrahim a.s. tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai jawaban mereka: “Kami  dapati bapak-bapak kami menyembahnya”,  yakni mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai kemusyrikan yang mereka warisi dari para pendahulu mereka, yakni mereka hanya ikut-ikutan saja secara taqlid buta.  
    Atas jawaban mereka itu Nabi Ibrahim a.s. bersabda: “ Sungguh kamu dan bapak-bapakmu  benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Jadi, Nabi Ibrahim a.s. benar-benar mengetahui kebatilan dari kemusyrikan yang digeluti kaum beliau, bukan hanya sekedar mencela tanpa dilandasi pengetahuan yang beliau kuasai.
    Atas celaan Nabi Ibrahim a.s.  terhadap kemusyrikan yang mereka lakukan itu mereka mempertanyakan keabsahan celaan tersebut, firman-Nya:
قَالُوۡۤا  اَجِئۡتَنَا بِالۡحَقِّ اَمۡ  اَنۡتَ مِنَ اللّٰعِبِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ بَلۡ رَّبُّکُمۡ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ الَّذِیۡ فَطَرَہُنَّ ۫ۖ وَ اَنَا عَلٰی ذٰلِکُمۡ  مِّنَ  الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾  وَ تَاللّٰہِ لَاَکِیۡدَنَّ  اَصۡنَامَکُمۡ بَعۡدَ اَنۡ تُوَلُّوۡا مُدۡبِرِیۡنَ ﴿﴾
Mereka berkata: “Apakah  yang engkau datangkan kepada kami itu adalah haq, ataukah engkau termasuk orang-orang yang bermain-main?”  Ia (Ibrahim) berkata: “Tidak, bahkan Tuhan kamu adalah Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi, Dia-lah Yang telah menciptakannya, dan atas hal itu aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi. Dan demi Allah, niscaya  aku akan membuat rencana melawan berhala-berhala kamu, setelah kamu berlalu membalikkan punggungmu.” (Al-Anbiyā [21]:56-58).
    Perkataan Nabi Ibrahim a.s. “atas hal itu aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi “ sesuai dengan firman-Nya sebelum ini:
وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan.  (Al-An’ām [6]:76).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 18 Mei  2013

Rabu, 29 Mei 2013

Cara Nabi Ibrahim a.s. Membungkam Mulut Raja Namrud yang Takabur




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 132


  Cara Nabi Ibrahim a.s. Membungkam Mulut Raja Namrud yang Takabur 

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam    Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai    keturunan Nabi Nuh a.s.  dan orang-orang beriman yang bersama beliau  dalam “bahtera” Nabi Nuh a.s., dan setelah bahtera Nabi Nuh a.s. bersandar di atas  puncak gunung al-Judi, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قِیۡلَ یٰنُوۡحُ اہۡبِطۡ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَ بَرَکٰتٍ عَلَیۡکَ وَ عَلٰۤی اُمَمٍ  مِّمَّنۡ مَّعَکَ ؕ وَ اُمَمٌ سَنُمَتِّعُہُمۡ ثُمَّ یَمَسُّہُمۡ مِّنَّا عَذَابٌ  اَلِیۡمٌ ﴿﴾
Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan keselamatan dan keberkatan dari Kami atas diri engkau dan atas umat yang akan dilahirkan dari mereka yang beserta engkau,  sedangkan umat lain  segera  Kami akan  memberikan perbekalan untuk sementara waktu kemudian  azab yang pedih dari Kami akan menimpa mereka.” (Hūd [11]:49).

Penciptaan “Langit Baru dan “Bumi Baru” &
Para Pengingkar Kehendak Allah Ta’ala

    Pada akhir Bab sebelumnya sehubungan dengan buku Kisyti Nuh (Bahtera Nuh), Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s., menulis sehubungan dengan penciptaan “bumi baru dan langit baru”:
   “Aku katakan dengan seyakin-yakinnya, bahwa sebagaimana di zaman ini Tuhan sedang menghampiri dan menampakkan Wujud-Nya, dan  ratusan perkara gaib tengah disingkapkan tirainya bagi hamba-Nya ini, hal yang serupa itu jarang sekali terdapat contohnya pada zaman dahulu.
   Dalam waktu dekat orang-orang akan menyaksikan  bahwa Wajah Tuhan akan nampak di zaman ini,  seakan-akan Dia akan turun dari langit. Telah semenjak lama Dia menyembunyikan Diri dan Dia diingkari, tetapi Dia tetap diam. Akan tetapi sekarang Dia tidak akan bersembunyi lagi. Dunia akan menyaksikan bukti-bukti kekuasaan-Nya yang tidak pernah disaksikan nenek-moyang mereka.
      Hal itu akan terjadi karena dunia telah rusak-binasa, dan karena orang-orang tidak  percaya lagi kepada Sang Pencipta langit dan bumi.  Bibir mereka menyebut nama-Nya namun hati mereka berpaling dari-Nya. Oleh karena itu Tuhan berfirman: Sekarang Aku akan ciptakan langit baru dan bumi baru. Maksudnya ialah bumi telah mati, yakni hati orang-orang di atas bumi  telah menjadi keras seakan-akan telah mati. Sebab Wajah Tuhan telah bersembunyi dari mereka, dan Tanda-tanda Samawi yang terdahulu hanya tinggal sebagai kisah-kisah belaka semuanya, maka Tuhan telah berkehendak untuk menciptakan bumi baru. Apakah langit baru itu dan apakah bumi baru itu?
     Bumi baru ialah hati yang suci, yang tengah dipersiapkan Tangan-Nya Sendiri, yang dinampakkan Tuhan dan Tuhan akan dinampakkan melalui hati yang suci tersebut Sedang langit baru ialah Tanda-tanda yang sedang dinampakkan melalui tangan hamba-Nya ini dengan seiizin-Nya juga. Akan tetapi  sayang, dunia telah memusuhi penampakan-Nya yang baru ini. Pada tangan mereka tiada lain kecuali kisah-kisah belaka. Tuhan mereka hanyalah menurut citra (dugaan) mereka sendiri. Hati mereka resah, semangat mereka lumpuh, dan di atas mata mereka ada tutupan.
    Umat-umat lain telah meninggalkan Tuhan Hakiki. Apa yang dapat dikatakan tentang mereka yang telah menjadikan anak Maryam sebagai Tuhan? Tengoklah keadaan orang-orang Islam, betapa mereka telah melantur jauh dari Dia, menjadi musuh kental bagi kebenaran dan menjadi penentang jalan lurus bagai musuh kejam.
    Contohnya,  apa-apa yang telah diserukan oleh golongan Nadwatul Ulama untuk kepentingan Islam, dan golongan Himayat-i-Islam, Lahore,  yang mengumpulkan  harta dari orang-orang Islam atas nama Islam. Benarkah orang-orang itu menginginkan  kesejahteraan bagi Islam?  Apakah orang-orang ini memberi dukungan kepada jalan lurus? Apakah mereka  mengetahui, di bawah musibah-musibah apa Islam sedang dihimpit, dan bagaimanakah Sunnah Ilahi akan bekerja untuk menyegarkannya kembali?
   Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya, sekiranya aku  tidak datang niscaya pengakuan (pendakwaan) mereka untuk mendukung Islam sedikit-banyak dapat diterima. Akan tetapi, orang-orang ini jadi  para terdakwa di hadapan Tuhan, sebab kendati mereka mengaku sebagai pendukung Islam, namun tatkala bintang terbit di langit mereka itulah yang pertama-tama mengingkarinya.
     Sekarang, bagaimanakah mereka akan memberi jawaban kepada Tuhan Yang telah mengutus diriku tepat pada waktunya? Akan tetapi mereka tidak acuh. Sementara matahari mendekati rembang  tengah hari, menurut mereka hari masih malam. Sumber mata air Tuhan telah memancar, namun mereka masih menangis-nangis di tengah padang belantara. Sebuah aliran sungai ilmu samawi sedang mengalir, namun mereka tidak tahu menahu. Tanda-tanda Tuhan sedang menampakkan diri, namun mereka tetap lengah. Tidak hanya lengah, bahkan mereka memusuhi Jemaat Ilahi.
     Seperti inikah yang disebut mendukung Islam, memelihara Islam? Dan menegakkan ajaran Islam seperti apa yang mereka laksanakan? Apakah dengan memaling muka, mereka dapat merintangi kehendak Tuhan, yang semenjak dahulu para nabi semuanya telah memberi kesaksian terhadap kehendak-Nya itu? Sesungguhnya nubuwatan Tuhan itu dalam waktu dekat akan terbukti benar. Sebagaimana Allah berfirman:
کَتَبَ اللّٰہُ  لَاَغۡلِبَنَّ  اَنَا وَ  رُسُلِیۡ
(“Telah dipastikan Allah bahwa: Kami dan Rasul-rasul Kami niscaya akan memperoleh keunggulan” – QS. Al-Mujaadilah [58]:22).

Kisah Nabi Ibrahim a.s. &
Cara Da’wahnya yang Khas 

      Sebenarnya menurut urutan waktu, setelah kaum Nabi Nuh a.s. adalah kaum ‘Ad  atau kaum Nabi Shalih a.s. dan kaum Nabi Hud a.s.  namun dalam Surah Ash-Shāffāt  kisah atau sejarah kenabian yang selanjutnya dikemukakan  Allah Swt.  adalah kaum Nabi Ibrahim a.s., tentu dalam hal ini ada hikmah tersendiri.  
   Ciri khas Nabi Ibrahim a.s.  dalam berdakwah kepada kaumnya beliau a.s. menggunakan cara-cara “sindiran” (menyindir) – Allah Swt. menyebut “cara khas” Nabi Ibrahim a.s. “rusydahū – petunjuknya (QS.21:52) -- misalnya  mengenai kesia-siaan  menyembah patung-patung berhala kaumnya atau mengenai kemusyrikan (QS.21:52-74), firman-Nya:     
وَ  اِنَّ مِنۡ شِیۡعَتِہٖ  لَاِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۘ﴾   اِذۡ  جَآءَ  رَبَّہٗ  بِقَلۡبٍ  سَلِیۡمٍ ﴿﴾   اِذۡ قَالَ  لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَاذَا تَعۡبُدُوۡنَ ﴿ۚ﴾   اَئِفۡکًا  اٰلِہَۃً  دُوۡنَ اللّٰہِ  تُرِیۡدُوۡنَ ﴿ؕ﴾   فَمَا ظَنُّکُمۡ  بِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾  فَنَظَرَ  نَظۡرَۃً  فِی النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  فَقَالَ  اِنِّیۡ سَقِیۡمٌ ﴿﴾ 
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk  golongannya.    Ketika ia datang menghadap Tuhan-nya dengan hati yang suci.   Ketika ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: “Apa yang kamu sembah? Apakah kamu menghendaki kebohongan sembahan-sembahan  selain Allah?   Maka bagaimanakah pendapat kamu mengenai Rabb (Tuhan) seluruh alam?” Kemudian ia mengarahkan pandangan ke bintang-bintang, lalu berkata: “Sesungguhnya aku merasa sakit.”  (Ash-Shāffāt  [37]:84-90).
     Dalam ayat tersebut bahwa Nabi Ibrahim a.s. termasuk ke dalam golongan atau keturunan Nabi Nuh a.s., terutama sekali dari segi ruhani karena keduanya adalah Rasul Allah  pada zamannya masing-masing. Manusia cenderung menyembah tuhan-tuhan palsu dalam wujud:
  (1) manusia-manusia yang kepada mereka dinisbahkan  kekuatan-kekuatan ketuhanan
   2) mempertuhankan benda-benda alam seperti matahari, bulan, dan bintang-bintang, atau (3) benda-benda tidak berjiwa, seperti berhala-berhala pahatan dari kayu dan batu,   
     (4) adat kuno sendiri, 
     (5) kebiasaan-kebiasaan,
   (6) purbasangka-purbasangka dan ketakhayulan-ketakhayulannya sendiri yang sudah lama bercokol,
      (7) keinginan-keinginannya,
      (8)  nafsu-nafsunya  dan sebagainya.
   Kata (apa)  pada kalimat  Apa  yang kamu sembah?” bukan sekedar menanyakan sesuatu  yang ingin Nabi Ibrahim a.s. ketahui,  melainkan merupakan “sindiran”  yang maknanya “kemampuan-kemampuan apa yang dimiliki oleh sembahan-sembahan kalian itu?” atau “apa kemampuan yang dimiliki sembahan-sembahan kalian itu?”
   Demikian pulakalimat  Kemudian ia mengarahkan pandangan ke bintang-bintang, lalu berkata: “Sesungguhnya aku merasa sakit     agaknya perbantahan antara Nabi Ibrahim a.s. dan kaumnya mengenai sifat-sifat Ilahi itu berlarut-larut sampai jauh malam, dan setelah melihat bahwa percakapan itu tidak ada manfaatnya, maka Nabi Ibrahim a.s. berniat mempersingkatnya. Oleh karena itu beliau melayangkan pandangan ke bintang-bintang, yang dengan perbuatan itu memberi isyarat (sugesti) bahwa pembicaraan telah berlarut-larut sampai jauh malam dan lebih baik diakhiri.
  Mengingat akan kesia-siaan percakapan itu, Nabi Ibrahim a.s.   memberitahukan kepada kaumnya bahwa sebaiknya mereka meninggalkan beliau seorang diri, karena beliau merasa tidak enak badan. Atau, kata-kata  inni saqīm dapat berarti  Aku sakit melihat kamu menyembah berhala-berhala” atau “Aku benci akan persembahan kamu kepada tuhan-tuhan palsu itu” itulah makna ucapan beliau, “Sesungguhnya aku merasa sakit.”

Dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan Azar

     Perbincangan Nabi Ibrahim a.s. dengan kaumnya mengenai kesia-siaan kaumnya menyembah  benda-benda langit tersebut dikemukakan dalam   firman-Nya berikut:
وَ اِذۡ  قَالَ  اِبۡرٰہِیۡمُ لِاَبِیۡہِ  اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ  اَصۡنَامًا  اٰلِہَۃً ۚ اِنِّیۡۤ   اَرٰىکَ وَ قَوۡمَکَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah  ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar:  “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai sembahan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.”   Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan.  (Al-An’ām [6]:75-76).
Dalam Kitab Wasiat Lama nama ayah Nabi Ibrahim a.s.  disebut Terah (Kejadian 11:26) dan di dalam Wasiat Baru (Lukas 3:34) disebut Tarah. Nama dalam Talmud hampir sesuai dengan yang tercantum dalam Lukas. Eusebius, bapak sejarah gereja gereja, menyebut Athar sebagai nama ayah Nabi Ibrahim a.s.. (Sale). Ini menunjukkan bahwa di antara orang-orang Yahudi pun tidak ada kesepakatan pendapat mengenai nama ayah Nabi Ibrahim a.s.. Eusebius niscaya mempunyai alasan yang kuat untuk mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Kitab Kejadian dan Lukas.
 Bentuk yang benar nampaknya Athar yang kemudian berubah menjadi Tarah atau Terah. Athar mempunyai persamaan yang erat dengan nama yang diberikan dalam Al-Quran (Azar), hanya ada perbedaan kecil dalam lafal, kedua bentuk itu hampir sama. Oleh karena itu para penulis Kristen tidak punya alasan untuk menentang Al-Quran karena menyebut ayah Nabi Ibrahim a.s.  dengan nama Azar itu. Lebih-lebih, ayah Nabi Ibrahim a.s.   disebut juga Zarah dalam Talmud (Sale), dan Zarah kira-kira sama dengan Azar.
Hal itu menunjukkan bahwa pendapat Al-Quran sangat lebih dapat dipercaya. Di samping itu, Azar telah disebut Ab Nabi Ibrahim a.s.  (QS.26:87), sebuah kata yang dipergunakan untuk bapak, paman, uwa, kakek, dan sebagainya. Dalam QS.2:133 Nabi Isma’il a.s.,  uwa Nabi Ya’qub a.s., telah disebut Ab-nya.
Akan tetapi dari Al-Quran nampak bahwa Azar sungguhpun disebut Ab Nabi Ibrahim a.s., sebenarnya bukan ayah kandung beliau.  Nabi Ibrahim a.s. telah membuat janji kepada Azar, Ab-nya, untuk berdoa kepada Allah Swt. agar mengampuninya, tetapi tatkala beliau mengetahui bahwa ia musuh Allah, beliau tidak mau mendoa baginya, bahkan beliau telah benar-benar dilarang berbuat demikian (QS.9:114).
Akan tetapi dalam QS.14:42 Nabi Ibrahim a.s.  berdoa untuk walid beliau, kata itu digunakan hanya untuk ayah. Ini menunjukkan bahwa Azar yang telah disebut ab Nabi Ibrahim a.s.    orang itu lain dari walid (ayah kandung) beliau. Sangat mungkin ia paman Nabi  Ibrahim a.s. atau ayah mertua beliau a.s..  
Beberapa ayat dari Bible juga mendukung kesimpulan itu. Nabi Ibrahim a.s.  menikahi   Sarah, anak Terah (Kejadian 20:12) yang menunjukkan bahwa Terah bukan ayah beliau, sebab beliau tidak dapat menikahi saudara perempuannya sendiri. Rupa-rupanya karena ayah (walid) Nabi Ibrahim a.s. sudah wafat, Nabi Ibrahim a.s.  dibesarkan oleh paman beliau, Azar atau Athar, yang memberikan putrinya,  Sarah, kepada beliau untuk dipersunting.

Dialog Nabi Ibrahim a.s.  dan Raja Namrud

Karena Azar mengurus Nabi Ibrahim a.s.  dan berlaku terhadap beliau seperti seorang ayah, beliau rupanya disebut anak, dan ini membawa kepada kekeliruan, yaitu Azar atau Athar disangka sebagai ayah kandung Ibrahim a.s.. Nampak pula dari Talmud bahwa Azar memperkarakan Nabi Ibrahim as.  dan membawa ke hadapan raja (Namrud – QS.2:259) untuk perkara pelanggaran memecah-mecah berhala-berhala.
Seandainya Azar benar-benar ayah Nabi Ibrahim a.s.  niscaya ia tidak akan meng-ambil langkah yang begitu keras terhadap putranya sendiri, sampai membiarkan beliau dilemparkan ke dalam kobaran api  (QS.21:52-74). Berikut dialog Nabi Ibrahim a.s.  dengan Raja Namrud yang membuat raja takabur tersebut selanjutnya bungkam, firman-Nya:
اَلَمۡ تَرَ اِلَی الَّذِیۡ حَآجَّ اِبۡرٰہٖمَ فِیۡ رَبِّہٖۤ اَنۡ اٰتٰىہُ اللّٰہُ الۡمُلۡکَ ۘ اِذۡ  قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّیَ الَّذِیۡ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ۙ قَالَ اَنَا اُحۡیٖ وَ اُمِیۡتُ ؕ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ  فَاِنَّ اللّٰہَ یَاۡتِیۡ بِالشَّمۡسِ مِنَ الۡمَشۡرِقِ فَاۡتِ بِہَا مِنَ الۡمَغۡرِبِ فَبُہِتَ الَّذِیۡ کَفَرَ ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۚ
Apakah engkau tidak  memperhatikan orang yang membantah Ibrahim mengenai Tuhan-nya karena Allah telah memberi kerajaan kepadanya? Ketika Ibrahim berkata:  Tuhan-ku-lah Yang menghidupkan dan mematikan.” Ia yakni Namrud menjawab: “Aku pun berkuasa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan  matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat!” Lalu  terdiam kebingungan  orang yang kafir itu, dan Allāh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Baqarah [2]:259).
      Nabi Ibrahim a.s. itu seorang pemberantas-berhala besar. Kaumnya menyembah matahari dan bintang-bintang, dewa utama mereka ialah Madruk yang asalnya dewa pagi dan matahari musim semi (Encyclopaedia Biblica dan Encyclopaedia Religions & Ethics  II. 296).
     Mereka percaya bahwa semua kehidupan bergantung pada matahari. Nabi Ibrahim a.s.  dengan bijaksana meminta orang musyrik itu, seandainya ia mengaku dapat mengatur hidup dan mati, agar mengubah jalan tempuhan matahari yang padanya bergantung segala kehidupan itu.
      Orang kafir itu pun kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan tak dapat menerima tantangan  Nabi  Ibrahim a.s.  untuk menyuruh matahari beredar dari barat ke timur; sebab, hal demikian akan membatalkan pengakuannya sendiri sebagai pengatur hidup dan mati, dan bila ia mengatakan dapat berbuat demikian  maka itu berarti ia menguasai matahari tetapi niscaya merupakan suatu penghinaan besar pada pandangan kaumnya, penyembah matahari. Dengan demikian ia (raja Namrud) sama sekali menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya.

Melakukan Tindak Kekerasan

     Sudah menjadi karakter umumnya orang-orang yang kalah dalam berdebat, mereka akan melakukan tindak kekerasan  -- termasuk di Akhir Zaman ini --  demikian juga halnya dengan raja Namrud ketika dibuat bungkam oleh dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim a.s. di hadapan  orang banyak ketika  melakukan “penghakiman” terhadap Nabi Ibrahim a.s. untuk mempermalukan Nabi Ibrahim a.s.:
قَالُوۡا حَرِّقُوۡہُ وَ انۡصُرُوۡۤا اٰلِہَتَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ  فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا عَلٰۤی اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۙ﴾  وَ اَرَادُوۡا بِہٖ کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَخۡسَرِیۡنَ ﴿ۚ﴾   
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu mau melakukan sesuatu!” Kami berfirman: “Hai api, jadilah engkau dingin dan keselamatan atas Ibrahim!” Dan mereka bermaksud akan melakukan tipu-daya terhadap dia, tetapi Kami jadikan mereka orang-orang yang paling merugi. (Al-Anbiyā [21]:69). Lihat pula QS.29:24-25 dan QS.37:98-99.
     Bagaimana caranya api itu menjadi dingin kepada kita tidak diterangkan. Boleh jadi hujan yang turun tepat pada waktu itu atau angin badai telah memadamkan api itu. Bagaimana pun Allah Swt.  memang menimbulkan keadaan yang membawa kepada lolosnya Nabi Ibrahim a.s. dari bahaya.
   Dalam mukjizat-mukjizat Ilahi selamanya terdapat unsur gaib, dan cara Ibrahim a.s. diselamatkan dari api itu sungguh merupakan mukjizat besar. Bahwa Nabi Ibrahim a.s.  telah dilemparkan ke dalam api diakui bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi oleh orang-orang Kristen juga dari Timur, buktinya ialah bahwa tanggal 25 bulan Kanun ke-II atau Januari dikhususkan dalam penanggalan bangsa Siria untuk memperingati peristiwa tersebut (Hyde, De Rel. Vet Pers. p. 73). Lihat pula Mdr. Rabbah on Gen. Per. 17; Schalacheleth Hakabala, 2; Maimon de Idol, Ch. I; dan Jad Hachazakah Vet, 6).
     Dengan demikian benarlah bahwa kepiawaian Nabi Ibrahim a.s. membungkam  mulut orang-orang musyrik tersebut  karena Allah Swt.  telah berfirman: “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan”, firman-Nya:  
وَ اِذۡ  قَالَ  اِبۡرٰہِیۡمُ لِاَبِیۡہِ  اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ  اَصۡنَامًا  اٰلِہَۃً ۚ اِنِّیۡۤ   اَرٰىکَ وَ قَوۡمَکَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah  ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar: “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai sembahan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi  dan supaya ia menjadi  di antara orang-orang yang berkeyakinan.  (Al-An’ām [6]:75-76).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 17 Mei  2013