بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah
Ash-Shāffāt
Bab 133
Keakuratan Hujjah
(Argumentasi) Nabi Ibrahim a.s. ketika Berdialog dengan Para Pemuka Kaumnya
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai cara
khas Nabi Ibrahim a.s. membungkam
mulut orang-orang musyrik mengenai berbagai kelemahan “sembahan-sembahan” mereka,
termasuk membungkam mulut raja Namrud
yang takabur ketika Nabi Ibrahim a.s. dihadapkan
para pemuka kaumnya kepada raja yang mendakwakan diri “berkuasa menghidupkan dan mematikan”,
firman-Nya:
اَلَمۡ تَرَ
اِلَی الَّذِیۡ حَآجَّ اِبۡرٰہٖمَ فِیۡ رَبِّہٖۤ اَنۡ اٰتٰىہُ اللّٰہُ الۡمُلۡکَ
ۘ اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّیَ الَّذِیۡ
یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ۙ قَالَ اَنَا اُحۡیٖ وَ اُمِیۡتُ ؕ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ فَاِنَّ اللّٰہَ یَاۡتِیۡ بِالشَّمۡسِ مِنَ
الۡمَشۡرِقِ فَاۡتِ بِہَا مِنَ الۡمَغۡرِبِ فَبُہِتَ الَّذِیۡ کَفَرَ ؕ وَ اللّٰہُ
لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۚ
Apakah
engkau tidak memperhatikan orang yang membantah Ibrahim mengenai
Tuhan-nya karena Allah telah memberi
kerajaan kepadanya? Ketika Ibrahim berkata: ”Tuhan-ku-lah Yang menghidupkan dan mematikan.” Ia yakni
Namrud menjawab: “Aku pun berkuasa
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari
dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat!”
Lalu terdiam kebingungan orang
yang kafir itu, dan Allāh tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim.
(Al-Baqarah
[2]:259).
Nabi Ibrahim a.s. itu
seorang pemberantas-berhala besar.
Kaumnya menyembah matahari dan bintang-bintang, dewa utama mereka ialah
Madruk yang asalnya dewa pagi dan
matahari musim semi (Encyclopaedia
Biblica dan Encyclopaedia Religions
& Ethics II.
296).
Mereka percaya bahwa semua kehidupan bergantung pada matahari. Nabi Ibrahim a.s. dengan bijaksana meminta orang musyrik itu, seandainya ia mengaku
dapat mengatur hidup dan mati, agar mengubah jalan tempuhan matahari yang padanya bergantung segala kehidupan itu.
Orang kafir itu pun kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan
tak dapat menerima tantangan Nabi
Ibrahim a.s. untuk
menyuruh matahari beredar dari barat
ke timur; sebab, hal demikian akan membatalkan
pengakuannya sendiri sebagai pengatur
hidup dan mati, dan bila ia
mengatakan dapat berbuat demikian maka
itu berarti ia menguasai matahari
tetapi niscaya merupakan suatu penghinaan
besar pada pandangan kaumnya, penyembah
matahari. Dengan demikian ia (raja Namrud) sama sekali menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus
dikatakan olehnya.
Melakukan Tindak Kekerasan
Sudah menjadi karakter
orang-orang yang kalah dalam berdebat, mereka akan melakukan tindak kekerasan -- termasuk di Akhir Zaman ini -- demikian juga halnya dengan raja Namrud ketika
dibuat bungkam oleh dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Nabi Ibrahim a.s. di hadapan
orang banyak yang melakukan “penghakiman” terhadap Nabi Ibrahim a.s.:
قَالُوۡا حَرِّقُوۡہُ وَ انۡصُرُوۡۤا اٰلِہَتَکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا عَلٰۤی اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۙ﴾ وَ اَرَادُوۡا بِہٖ
کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَخۡسَرِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Mereka
berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu mau melakukan sesuatu!” Kami
berfirman: “Hai api, jadilah engkau dingin dan keselamatan atas Ibrahim!” Dan mereka
bermaksud akan melakukan tipu-daya
terhadap dia, tetapi Kami jadikan
mereka orang-orang yang paling merugi. (Al-Anbiyā [21]:69). Lihat
pula QS.29:24-25 dan QS.37:98-99.
Bagaimana caranya api itu menjadi dingin
kepada kita tidak diterangkan. Boleh jadi hujan
yang turun tepat pada waktu itu atau angin
badai telah memadamkan api itu.
Bagaimana pun Allah Swt. memang
menimbulkan keadaan yang membawa
kepada lolosnya Nabi Ibrahim a.s. dari
bahaya.
Dalam mukjizat-mukjizat Ilahi selamanya terdapat unsur gaib, dan cara Ibrahim a.s. diselamatkan dari api itu sungguh merupakan mukjizat besar. Bahwa Nabi Ibrahim a.s. telah dilemparkan ke dalam api diakui bukan saja orang-orang
Yahudi, tetapi oleh orang-orang Kristen juga dari Timur, buktinya ialah bahwa
tanggal 25 bulan Kanun ke-II atau Januari dikhususkan dalam penanggalan bangsa
Siria untuk memperingati peristiwa tersebut (Hyde, De Rel. Vet Pers. p. 73). Lihat pula Mdr. Rabbah on Gen. Per. 17; Schalacheleth Hakabala, 2; Maimon de Idol, Ch. I; dan Jad Hachazakah Vet, 6).
Dengan demikian benarlah bahwa kepiawaian Nabi Ibrahim a.s. membungkam mulut orang-orang
musyrik tersebut karena Allah
Swt. telah berfirman: “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan
seluruh langit dan bumi dan supaya ia menjadi di antara orang-orang
yang berkeyakinan”, firman-Nya:
وَ
اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہِیۡمُ لِاَبِیۡہِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصۡنَامًا
اٰلِہَۃً ۚ اِنِّیۡۤ اَرٰىکَ وَ
قَوۡمَکَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
نُرِیۡۤ اِبۡرٰہِیۡمَ مَلَکُوۡتَ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan
ingatlah ketika
Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar: “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai sembahan?
Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” Dan
demikianlah Kami memperlihatkan kepada
Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi dan supaya ia menjadi di antara orang-orang
yang berkeyakinan. (Al-An’ām
[6]:75-76).
Hakikat Merujuk Bintang, Bulan dan Matahari
Sehubungan dengan hal
cara khas Nabi Ibrahim a.s. menggunakan “sindiran” (menyindir) tersebut,
selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَیۡہِ الَّیۡلُ رَاٰ کَوۡکَبًا ۚ قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ۚ فَلَمَّاۤ اَفَلَ
قَالَ لَاۤ اُحِبُّ الۡاٰفِلِیۡنَ ﴿﴾
Maka tatkala kegelapan malam meliputinya ia
melihat sebuah bintang, ia berkata: “Mungkin ini Tuhan-ku!” tetapi tatkala bintang
itu terbenam ia berkata: “Aku tidak
suka sesuatu yang terbenam.”
(Al-An’ām
[6]:77).
Ayat “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi
dan supaya ia menjadi di antara orang-orang
yang berkeyakinan.” (Al-An’ām
[6]:76) itu berarti bahwa Allah Swt. melimpahkan
kepada Nabi Ibrahim a.s. pengetahuan dan pengertian mengenai hukum-hukum
alam yang berlaku di alam semesta ini dan melimpahkan ilmu atau makrifat tentang kekuatan serta kekuasaan
Tuhan Yang meliputi segala sesuatu.
Jadi, firman Allah Swt.
tersebut menggugurkan kesalahan pendapat mengenai ayat-ayat selanjutnya berkenaan
benda-benda langit -- bintang, bulan,
dan matahari – bahwa Nabi Ibrahim a.s. pun sebelumnya adalah orang
yang mencari-cari Tuhan yang
hakiki, dan pernah menganggap bintang,
bulan dan matahari sebagai “tuhan sembahan”,
padahal tidak demikian, karena sejak awal pun beliau a.s. adalah seorang
muwahid hakiki (QS.2:131-137; QS.3:68
& 96; QS.6:80 &162; QS.14:36-42; QS.16:124; QS.22:32 & 79).
Jadi kalimat “tetapi
tatkala bintang itu terbenam ia berkata: “Aku tidak suka sesuatu yang terbenam” merupakan
sindiran Nabi Ibrahim a.s.
kepada para pemuka kaumnya, bahwa kalau
“Tuhan Sembahan” dikuasai oleh keadaan “terbit
dan terbenam” maka bagaimana mungkin “benda” yang dikuasai
oleh keadaan seperti itu dapat
menjadi “Tuhan Sembahan” yang hakiki?
Sebab seharusnya “Tuhan yang hakiki”
adalah benar-benar “Wujud” yang “Maha
Berkuasa” bukan wujud “yang dikuasai”.
Selanjutnya Nabi Ibrahim
a.s. dalam kesempatan lain ketika melihat bulan
pada malam lainnya melakukan hal yang sama mengenai bulan
yang juga menjadi obyek sembahan kaumnya, firman-Nya:
فَلَمَّا
رَاَ الۡقَمَرَ بَازِغًا قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ۚ فَلَمَّاۤ اَفَلَ قَالَ
لَئِنۡ لَّمۡ یَہۡدِنِیۡ رَبِّیۡ لَاَکُوۡنَنَّ مِنَ الۡقَوۡمِ
الضَّآلِّیۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّا رَاَ الشَّمۡسَ بَازِغَۃً قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ہٰذَاۤ اَکۡبَرُ ۚ فَلَمَّاۤ اَفَلَتۡ قَالَ یٰقَوۡمِ اِنِّیۡ بَرِیۡٓءٌ مِّمَّا تُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ اِنِّیۡ وَجَّہۡتُ
وَجۡہِیَ لِلَّذِیۡ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ حَنِیۡفًا وَّ مَاۤ اَنَا مِنَ
الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Lalu tatkala ia
melihat bulan terbit memancarkan cahaya, ia berkata: “Mungkin ini Tuhan-ku!” Tetapi tatkala terbenam, ia berkata: “Jika
Tuhan-ku benar-benar tidak memberi petunjuk kepadaku niscaya aku akan
menjadi di antara kaum yang sesat.” Maka tatkala ia melihat matahari bersinar, ia berkata: “Mungkin ini Tuhan-ku. Ini paling besar.” Tetapi tatkala terbenam,
ia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa pun yang
kamu persekutukan dengan Allah. Sesungguhnya aku menghadapkan seluruh wajahku kepada Dia Pencipta seluruh
langit dan bumi de-ngan hati
cenderung kepada Allah selama-lamanya, dan aku sekali-kali bukan dari golongan orang-orang musyrik. (Al-An’ām [6]:78-80).
Ayat-ayat 77 sampai 79 mengandung keterangan
yang diberikan Nabi Ibrahim a.s. untuk
menjelaskan kepada kaumnya — penganut agama
berhala — kejanggalan kepercayaan
mereka bahwa matahari, bulan, dan bintang-bintang adalah di antara sekian banyak sembahan mereka (Jewish
Encyclopaedia).
Adalah keliru mengambil
kesimpulan dari ayat-ayat ini bahwa Nabi Ibrahim a.s. .sendiri meraba-raba dalam kegelapan dan tidak
tahu siapa gerangan Tuhan-nya,
dan bahwa beliau menganggap bintang timur,
bulan, dan matahari satu-persatu sebagai tuhan,
dan bilamana tiap-tiap dari mereka tenggelam
pada gilirannya masing-masing beliau melepaskan
kepercayaan mengenai ketuhanan
mereka, dan beliau kembali kepada Tuhan
Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi yakni Al-Fathir.
Nabi Ibrahim a.s. Tidak Pernah Melakukan Kemusyrikan
Sebenarnya, ayat-ayat itu
mengandung beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. -- jauh dari kemungkinan
mengambil benda-benda di langit
sebagai tuhan-tuhan – justru beliau
a.s. berusaha memperlihatkan kepada
kaumnya kehampaan kepercayaan mereka
dengan cara selangkah demi selangkah.
Ayat-ayat 75-76 menunjukkan
bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu
seorang yang teguh kepercayaannya
kepada Tuhan Yang Mahaesa. Oleh
karena itu beliau tidak dapat dianggap meraba-raba
dalam kegelapan dan melantur dari
satu tuhan kepada yang lainnya.
Kata-kata, “Inikah Tuhan-ku?”, merupakan dalil yang menentang penyembahan
bintang. Beliau mengucapkan kata-kata itu untuk menerangkan kekeliruan kepercayaan kaum beliau bahwa
bintang itu tuhan mereka. Lebih-lebih, beliau sudah mengetahui bahwa
bintang-bintang itu harus tenggelam.
Jadi, dalil Nabi Ibrahim a.s. yang terkandung dalam kata-kata, “Aku
tidak suka kepada yang terbenam,” niscaya sudah terkandung sebelumnya dalam
pikiran beliau. Pada hakikatnya beliau ingin menggunakan dalil beliau dalam tiga cara yang sangat jitu. Oleh karena itu
mula-mula beliau seolah-olah menduga bintang itu “Tuhan-nya” dan, bila lenyap, beliau segera menyatakan, Aku
tidak suka kepada yang terbenam.
Seperti itu pula halnya
dengan terbenamnya bulan dan matahari. Adapun mengenai matahari beliau menggunakan kata “lebih
besar” atau “terbesar” secara sindiran,
untuk mencela kaum beliau atas kebodohan mereka. Hal itu jelas
menunjukkan bahwa dengan jalur dalil-dalil
yang dipakai Nabi Ibrahim a.s. berniat
(bermaksud) menarik kaum beliau
kepada Allah Swt. secara bertahap.
Selayang pandangan atas
ayat-ayat 80-82 membuat jelas sekali bahwa Nabi Ibrahim a.s. tidak hanya memiliki keimanan yang teguh kepada Allah Swt,
bahkan tetapi juga mempunyai pengetahuan
mendalam mengenai Sifat-sifat Tuhan yang hakiki (Allah Swt.).
وَ حَآجَّہٗ قَوۡمُہٗ ؕ قَالَ اَتُحَآجُّوۡٓنِّیۡ فِی اللّٰہِ وَ قَدۡ ہَدٰىنِ ؕ وَ لَاۤ اَخَافُ مَا تُشۡرِکُوۡنَ بِہٖۤ اِلَّاۤ
اَنۡ یَّشَآءَ رَبِّیۡ شَیۡئًا ؕ وَسِعَ رَبِّیۡ کُلَّ شَیۡءٍ عِلۡمًا ؕ
اَفَلَا تَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَیۡفَ اَخَافُ مَاۤ اَشۡرَکۡتُمۡ وَ لَا تَخَافُوۡنَ
اَنَّکُمۡ اَشۡرَکۡتُمۡ بِاللّٰہِ
مَا لَمۡ یُنَزِّلۡ بِہٖ عَلَیۡکُمۡ سُلۡطٰنًا ؕ فَاَیُّ الۡفَرِیۡقَیۡنِ اَحَقُّ
بِالۡاَمۡنِ ۚ اِنۡ کُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿ۘ﴾ اَلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ لَمۡ یَلۡبِسُوۡۤا اِیۡمَانَہُمۡ بِظُلۡمٍ اُولٰٓئِکَ لَہُمُ الۡاَمۡنُ وَ ہُمۡ
مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Dan
kaumnya berbantah dengannya. Ia
berkata: “Apakah kamu berbantah dengan
aku mengenai Allah padahal sungguh Dia telah memberi petunjuk kepadaku?
Dan aku tidak takut terhadap apa pun
yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali jika Tuhan-ku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhan-ku meliputi segala
sesuatu, maka apakah kamu tidak
mengambil peringatan? Dan bagaimana
mungkin aku takut kepada apa yang kamu persekutukan dengan Allah, bila kamu
tidak takut bahwa sesungguhnya kamu mempersekutukan dengan Allah apa
yang mengenainya Dia tidak pernah menurunkan dalil yang kuat kepada kamu? Maka jika kamu menge-tahui, manakah di antara
dua pihak itu yang lebih berhak atas
keamanan? Orang-orang yang beriman dan tidak pernah mencampurbaurkan keimanan mereka
dengan kezaliman, mereka itulah yang
akan memperoleh keamanan dan mereka
itulah yang mendapat petunjuk. (Al-An’ām
[6]:81-83).
Nabi Ibrahim a.s. Seorang Muwahid Hakiki
Ayat 82
dan dua ayat sebelumnya secara pasti menunjukkan bahwa kejadian yang
diceriterakan dalam ayat-ayat 77-79 sengaja digunakan oleh Nabi Ibrahim a.s. sebagai hujjah (dalil/argumentasi) padahal, beliau sendiri sungguh orang
yang berpegang teguh kepada tauhid
dan telah meneguk air sekenyang-kenyangnya dari sumber air kecintaan dan makrifat
Ilahi.
Lebih
tegas lagi Allah Swt. dalam firman-Nya berikut ini kepada Nabi Besar Muhammad
saw. membantah kekeliruan penafsiran mengenai “cara-cara” Nabi Ibrahim a.s.
menyadarkan kesesatan kaumnya dari kemusyrikan mereka berkenaan dengan
bintang, bulan, dan matahari dalam QS.6:77-80:
وَ تِلۡکَ
حُجَّتُنَاۤ اٰتَیۡنٰہَاۤ اِبۡرٰہِیۡمَ عَلٰی قَوۡمِہٖ ؕ نَرۡفَعُ
دَرَجٰتٍ مَّنۡ نَّشَآءُ ؕ اِنَّ رَبَّکَ حَکِیۡمٌ عَلِیۡمٌ ﴿ ﴾
Dan itulah
hujjah (dalil) Kami, Kami memberikannya kepada Ibrahim terhadap
kaumnya. Kami meninggikan derajat orang yang Kami
kehendaki. Sesungguhnya Tuhan engkau
Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.
(Al-An’ām [6]:84).
Ayat
ini dengan cara-yang-pasti memecahkan persoalan apakah Nabi Ibrahim a.s. secara berangsur mencapai keimanan
kepada Allah Swt. dengan
mengambil satu benda langit sesudah lainnya sebagai tuhannya ataukah merupakan hujjah
(dalil/argumentasi) yang jitu ditata
secara bertahap, sehingga dengan
jalan itu beliau berusaha menunjukkan kekeliruan
kaumnya dalam menyembah benda-benda
langit ini sebagai sembahan.
Ayat itu menunjukkan bahwa keimanan Nabi Ibrahim a.s. semenjak dini telah jelas dan teguh kepada
Tauhid Ilahi dan bahwa apa yang
dikatakan beliau berkenaan dengan bintang, bulan, matahari, bulan, dan
sebagainya merupakan sebagian dari hujjah
yang telah diajarkan Tuhan kepada
beliau – rusydahū– petunjuknya” -- firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
اٰتَیۡنَاۤ اِبۡرٰہِیۡمَ رُشۡدَہٗ
مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا بِہٖ
عٰلِمِیۡنَ ﴿ۚ﴾
اِذۡ قَالَ لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَا ہٰذِہِ التَّمَاثِیۡلُ الَّتِیۡۤ
اَنۡتُمۡ لَہَا عٰکِفُوۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا
وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا لَہَا
عٰبِدِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ لَقَدۡ کُنۡتُمۡ اَنۡتُمۡ
وَ اٰبَآؤُکُمۡ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾
Dan sungguh sebelumnya Kami benar-benar telah memberikan kepada Ibrahim
petunjuknya dan Kami mengetahui benar tentang dia. Ketika ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: “Patung-patung
apakah ini yang kamu duduk
tekun menyembah kepadanya?” Mereka berkata: “Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya.” Ia, Ibrahim, berkata: “Sungguh kamu dan bapak-bapakmu
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Anbiyā [21]:53-55).
Taqlid Buta yang Diwariskan dari Zaman ke Zaman
Huruf mā (apa) dalam kalimat “Patung-patung apakah ini yang kamu duduk tekun menyembah kepadanya?“
menunjukkan celaan dan bukan suatu pertanyaan.
Ketika berbicara dengan penyembah-penyembah
berhala, biasanya Nabi Ibrahim a.s. mempergunakan sindiran, lihat QS.6:77, 78, 79. Beliau agaknya mengatakan kepada
kaumnya “Betapa tidak bergunanya dan
sia-sianya patung-patung yang kamu puja ini.” Jika Nabi Ibrahim a.s. biasa berbicara dengan memakai bahasa sindiran, maka Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
berbicara dengan bahasa kiasan.
Atas sindiran Nabi Ibrahim a.s. tersebut selanjutnya Allah
Swt. berfirman mengenai jawaban mereka: “Kami dapati bapak-bapak
kami menyembahnya”, yakni mereka sama sekali tidak memiliki
pengetahuan mengenai kemusyrikan yang
mereka warisi dari para pendahulu
mereka, yakni mereka hanya ikut-ikutan
saja secara taqlid buta.
Atas jawaban mereka itu Nabi Ibrahim a.s.
bersabda: “ Sungguh kamu dan bapak-bapakmu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Jadi, Nabi Ibrahim a.s. benar-benar
mengetahui kebatilan dari kemusyrikan yang digeluti kaum beliau,
bukan hanya sekedar mencela tanpa
dilandasi pengetahuan yang beliau
kuasai.
Atas celaan
Nabi Ibrahim a.s. terhadap kemusyrikan yang mereka lakukan itu
mereka mempertanyakan keabsahan celaan tersebut, firman-Nya:
قَالُوۡۤا اَجِئۡتَنَا بِالۡحَقِّ اَمۡ اَنۡتَ مِنَ اللّٰعِبِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ بَلۡ رَّبُّکُمۡ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ
الَّذِیۡ فَطَرَہُنَّ ۫ۖ وَ اَنَا عَلٰی ذٰلِکُمۡ
مِّنَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ تَاللّٰہِ لَاَکِیۡدَنَّ اَصۡنَامَکُمۡ بَعۡدَ اَنۡ تُوَلُّوۡا
مُدۡبِرِیۡنَ ﴿﴾
Mereka
berkata: “Apakah yang engkau datangkan kepada kami itu adalah haq, ataukah engkau termasuk orang-orang
yang bermain-main?” Ia (Ibrahim) berkata:
“Tidak, bahkan Tuhan kamu adalah Rabb
(Tuhan) seluruh langit dan bumi,
Dia-lah Yang telah menciptakannya,
dan atas hal itu aku termasuk
orang-orang yang menjadi saksi. Dan demi Allah, niscaya aku
akan membuat rencana melawan berhala-berhala
kamu, setelah kamu berlalu membalikkan punggungmu.” (Al-Anbiyā [21]:56-58).
Perkataan Nabi Ibrahim a.s. “atas hal itu aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi “
sesuai dengan firman-Nya sebelum ini:
وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ اِبۡرٰہِیۡمَ
مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan
demikianlah Kami memperlihatkan kepada
Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi dan supaya ia menjadi di antara orang-orang
yang berkeyakinan. (Al-An’ām
[6]:76).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Mei 2013