بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 81
Dua Kali Pengutusan Nabi Besar Muhammad
Saw.
&
Mengapa Rasul Akhir Zaman disebut "Al-Masih yang Dijanjikan"
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan firman Allah Swt. mengenai pencabutan kembali “ruh” Al-Quran secara
bertahap setelah 3 abad masa kejayaan Islam yang pertama, firman-Nya:
یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ مِنَ السَّمَآءِ
اِلَی الۡاَرۡضِ ثُمَّ یَعۡرُجُ
اِلَیۡہِ فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ مِقۡدَارُہٗۤ
اَلۡفَ سَنَۃٍ مِّمَّا تَعُدُّوۡنَ ﴿﴾
Dia
mengatur perintah dari langit sampai bumi, kemudian perintah itu akan naik kepada-Nya
dalam satu hari, yang hitungan
lamanya seribu tahun dari apa yang kamu hitung. (As-Sajdah [32]:6).
Ayat ini menunjuk kepada suatu pancaroba sangat hebat, yang ditakdirkan
akan menimpa Islam dalam
perkembangannya yang penuh dengan perubahan itu. Islam akan melalui suatu masa kemajuan dan kesejahteraan yang mantap selama 3 abad pertama kehidupannya. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah menyinggung secara
jitu mengenai kenyataan itu dalam sabda beliau saw.: “Abad terbaik ialah abad di kala aku hidup, kemudian abad berikutnya,
kemudian abad sesudah itu” (Tirmidzi
& Bukhari,
Kitab-usy-Syahadat).
Pencabutan Kembali “Ruh” Al-Quran
Islam mulai mundur sesudah 3 abad
pertama masa keunggulan dan keme-nangan yang tiada henti-hentinya. Peristiwa
kemunduran dan kemerosotannya ber-langsung dalam masa 1000 tahun berikutnya.
Kepada masa 1000 tahun inilah, telah diisyaratkan dengan kata-kata: “Kemudian
perintah itu akan naik kepada-Nya dalam satu hari, yang hitungan lamanya seribu
tahun.”
Dalam hadits lain Nabi Besar
Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda bahwa iman akan terbang ke Bintang Suraya dan seseorang dari keturunan Parsi akan mengembalikannya ke
bumi (Bukhari,
Kitab-ut-Tafsir). Dengan kedatangan Al-Masih
Mau’ud a.s. dalam abad ke-14 sesudah Hijrah, laju kemerosotannya telah terhenti dan kebangkitan Islam kembali mulai berlaku, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang
buta huruf seorang rasul
dari antara mereka, yang membacakan
kepada mereka Tanda-tanda-Nya,
mensucikan mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan juga
akan membangkitkannya pada kaum lain
dari antara mereka, yang belum
bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Itulah karunia Allah, Dia
meng-anugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:3-5).
Tugas suci Nabi Besar
Muhammad saw. meliputi penunaian keempat macam kewajiban mulia yang disebut
dalam ayat ini. Tugas agung dan mulia itulah yang dipercayakan kepada beliau,
sebab untuk kedatangan beliau di tengah-tengah orang-orang Arab buta huruf itu
leluhur beliau, Nabi Ibrahim a.s., telah memanjatkan doa beberapa ribu tahun
yang lampau ketika dengan disertai putranya, Nabi Isma’il a.s., beliau
mendirikan dasar (pondasi) Ka’bah (QS.2:130).
Pada hakikatnya tidak ada Pembaharu dapat benar-benar berhasil
dalam misinya bila ia tidak menyiapkan dengan contoh mulia dan quat-qudsiahnya
(daya pensuciannya), suatu jemaat
yang pengikut-pengikutnya terdiri dari orang-orang mukhlis, patuh, dan
bertakwa, yang kepada mereka itu mula-mula mengajarkan cita-cita dan asas-asas ajarannya serta mengajarkan falsafat,
arti, dan kepentingan cita-cita dan asas-asas ajarannya itu, kemudian
mengirimkan pengikut-pengikutnya ke luar negeri untuk mendakwahkan ajaran itu kepada bangsa lain.
Didikan yang Nabi Besar Muhammad saw. berikan kepada para pengikut beliau saw. memperluas
dan mempertajam kecerdasan mereka,
dan filsafat ajaran beliau saw. menimbulkan dalam diri mereka keyakinan iman, dan contoh mulia beliau saw.
menciptakan di dalam diri mereka kesucian
hati. Kenyataan-dasar agama itulah yang diisyaratkan oleh ayat 2 ini.
Pengambilan Kembali “Ruh”
Al-Quran atau
“Iman yang Hakiki” dari “Bintang Tsurayya”
Ayat 3 menyatakan bahwa ajaran
Nabi Besar Muhammad saw. ditujukan
bukan kepada bangsa Arab belaka, yang
di tengah-tengah bangsa itu beliau saw. dibangkitkan, melainkan kepada seluruh bangsa bukan-Arab juga, dan
bukan hanya kepada orang-orang sezaman
beliau saw., melainkan juga kepada keturunan demi keturunan manusia yang akan
datang hingga kiamat.
Atau ayat 3 ini dapat juga berarti bahwa Nabi Besar Muhammad
saw. akan dibangkitkan
(diutus) lagi secara ruhani di antara
kaum yang belum pernah tergabung dalam
para pengikut semasa hidup beliau saw.. Isyarat di dalam ayat ini dan di dalam
hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang
termasyhur, tertuju kepada pengutusan beliau saw.. untuk kedua kali dalam wujud Al-Masih Mau’ud a.s. atau misa Isa Ibnu
Maryam (QS.43]:58) di Akhir Zaman. Sehubungan dengan hal
tersebut Abu Hurairah r.a. berkata:
“Pada suatu
hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw., ketika Surah Jumu’ah diturunkan. Saya minta
keterangan kepada Rasulullah saw.: “Siapakah yang diisyaratkan oleh kata-kata وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ -- Dan Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara
mereka yang belum bertemu dengan mereka?” – Salman al-Farsi (Salman asal
Parsi) sedang duduk di antara kami. Setelah saya berulang-ulang mengajukan
pertanyaan itu, Rasulullah saw.. meletakkan tangan beliau pada
Salman dan bersabda: “Bila iman telah
terbang ke Bintang Tsuraya, seorang lelaki dari mereka ini pasti akan
menemukannya.” (Bukhari).
Hadits Nabi Besar
Muhammad saw. ini menunjukkan bahwa ayat ini dikenakan kepada
seorang lelaki dari keturunan Parsi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. – yang atas
perintah Allah Swt. telah mendakwakan Imam
Mahdi dan juga sebagai Al-Masih
Mau’ud a.s. adalah dari keturunan
Parsi.
Hadits Nabi Besar Muhammad
saw. lainnya menyebutkan kedatangan Al-Masih Mau’ud a.s. di Akhir Zaman pada saat ketika tidak ada yang
tertinggal di dalam Al-Quran kecuali kata-katanya, dan tidak ada yang
tertinggal di dalam Islam selain namanya, yaitu, jiwa ajaran Islam yang sejati akan lenyap (Baihaqi). Jadi, Al-Quran dan hadits kedua-duanya sepakat
bahwa QS.62:3 -- وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ -- Dan Dia akan
membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan
mereka?” -- ini menunjuk kepada
kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. dalam wujud Al-Masih Mau’ud a.s..
Alasan “Rasul Akhir Zaman” Dinamakan Al-Masih
Mau’ud a.s.
Mungkin timbul pertanyaan: Kenapa Rasul Akhir Zaman yang kedatangannya dijanjikan kepada umat Islam oleh Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw.
tersebut dinamakan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s.?
Jawabannya adalah:
(1) Dari keterangan Bible diketahui bahwa golongan Ahli
Kitab – kaum Yahudi dan Kristen – sama-sama
sedang menunggu-nunggu kedatangan Mesiah
atau Mesias atau Al-Masih -- yakni Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. (Matius 24:29-36; -- selain sedang menunggu-nunggu kedatangan “Nabi itu” atau “Nabi yang
seperti Musa” yaitu Nabi Besar Muhammad saw. (Ulangan
18:18-19; QS.46:11) dan menunggu
kedatangan kedua kali Nabi Elia a.s.
yakni Nabi Yahya a.s. (Injil Yahya
I:19-27; Maleakhi 4:5).
(2) Demikian juga
Allah Swt. telah berfirman mengenai
kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s., yang juga akan mendapat penentangan keras sebagaimana Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. Israili (QS.43:58).
(3) Dengan demikian
firman Allah Swt dan point 1 & 2 menolak
kepercayaan keliru umumnya kaum Yahudi, kaum Nasrani (Kristen) dan umumnya umat
Islam, bahwa Al-Masih Mau’ud a.s. yang akan diutus di Akhir Zaman adalah Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. Israili, karena menurut Allah Swt. selain pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili
atau Yesus Kristus hanya untuk Bani
Israil (QS.3:43-50 QS.61:7) juga beliau telah wafat dalam usia 120 tahun (QS.3:56; QS.5:117-119; QS.21:35).
(4) Kecuali Nabi
Besar Muhammad saw. sebagai Rasul Allah
untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21;108; QS.25:2; QS.34:29), semua rasul Allah diutus hanya untuk kaumnya saja, termasuk para nabi Allah di kalangan Bani Israil – mulai dari Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. (QS.2:88-89) -- itulah sebabnya
Allah Swt. mempergunakan kata minhum
(dari antara mereka), dan sehubungan dengan kedatangan Al-Masih Mau’ud a.s. di Akhir Zaman atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.43:58), Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda kepada umat Islam dengan menggunakan kata fiikum dan minkum (dari
antara kaum):
Kayfa antum idzaa nazala- bnu maryama fiikum, wa imaamukum minkum yakni “bagaimana [sikap] kalian [nanti] apabila turun
Ibnu (anak) Maryam dari kalangan kalian, dan [menjadi] imam dari antara
kalian.” (…………).
Dalam hadits tersebut
Nabi Besar Muhammad saw. tidak mengatakan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan turun
dari langit, melainkan beliau saw. mengatakan akan turun fiikum
(dari kalangan kalian), artinya bahwa Al-Masih Mau’ud a.s. atau Rasul Akhir Zaman yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama akan berasal dari kalangan umat Islam atau pengikut sejati Nabi Besar Muhammad saw.,
yang pada hakikatnya merupakan pengutusan
kedua kali secara ruhani Nabi Besar Muhmmad saw. (QS.62:3-5).
(5) Dalam QS.66 ayat 11 Allah Swt.
mengemukakan “istri-istri durhaka”
dari Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal orang-orang kafir yang mendustakan
dan menentang para Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka (QS.7:35-37).
Sedangkan dalam QS.66: ayat 12 Allah Swt. telah menjadikan istri Fir’aun sebagai misal orang-orang yang beriman kepada
Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan
kepada mereka (QS.7:35-37). Ada pun QS.66:13 Allah Swt. telah mengemukakan Maryam binti ‘Imran – yang kemudian
melahirkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
– sebagai misal hamba-hamba Allah yang benar-benar patuh taat kepada Allah
Swt., firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka
mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun
sebagai misal bagi orang-orang
beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau
sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah
aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
aku dari kaum yang zalim, Dan juga
Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:11-13).
Makna Pemeteraian (Penyegelan) Telinga,
Mata dan Hati
Orang-orang Kafir
Sebagaimana telah
dijelaskan dalam salah satu Bab sebelumnya,
mengapa orang-orang kafir
diumpamakan seperti istri Nabi Nuh a.s.
dan istri Nabi Luth a.s. . untuk menunjukkan bahwa persahabatan dengan orang bertakwa, malahan nabi
Allah sekalipun tidak berfaedah bagi
orang yang mempunyai kecenderungan buruk
menolak kebenaran. Benarlah firman-Nya:
اِنَّ
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا سَوَآءٌ عَلَیۡہِمۡ
ءَاَنۡذَرۡتَہُمۡ اَمۡ لَمۡ تُنۡذِرۡہُمۡ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ ﴾
خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ وَ
عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ وَ عَلٰۤی
اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿ ﴾
Sesungguhnya
orang-orang kafir sama saja bagi mereka,
apakah engkau memperingatkan mereka
atau pun engkau tidak pernah
memper-ingatkan mereka, mereka tidak
akan beriman. Allah telah mencap hati mereka dan pendengaran mereka, sedangkan pada
penglihatan mereka ada tutupan, dan bagi mereka ada siksaan yang amat besar. (Al-Baqarah [2]:7-8)
Ayat ini membicarakan orang-orang
kafir, yang sama sekali tidak mengindahkan kebenaran dan keadaan mereka tetap
sama, baik mereka itu mendapat peringatan atau pun tidak. Mengenai orang-orang
semacam itu dinyatakan bahwa selama keadaan mereka tetap demikian mereka tidak
akan beriman.
Bagian tubuh manusia yang tidak digunakan
untuk waktu yang lama, berangsur-angsur menjadi merana dan tak berguna. Orang-orang
kafir yang disebut di sini menolak
penggunaan hati dan telinga mereka
untuk memahami kebenaran. Akibatnya daya pendengaran dan daya tangkap mereka hilang.
Apa yang dinyatakan dalam anak kalimat, Allah
Swt. telah mencap, hanya merupakan akibat
wajar dari sikap mereka sendiri
yang sengaja tidak mau mengacuhkan.
Karena semua hukum datang dari Allah Swt. dan tiap-tiap sebab diikuti oleh akibatnya
yang wajar menurut kehendak Allah Swt. maka pencapan hati dan telinga orang-orang kafir itu, dikaitkan
kepada Allah Swt..
Misal Istri Fir’aun dan Maryam
binti ‘Imran &
Makna “Peniupan Ruh” kepada Maryam binti ‘Imran
Istri Fir’aun menggambarkan keadaan orang-orang
beriman, yang meskipun berkeinginan dan berdoa terus-menerus agar bebas
dari dosa, tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk pada tingkat nafs
Ammarah (QS.12:54) yang dilukiskan dalam wujud Fir’aun, dan setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang meyesali diri sendiri” (nafsu
lawwamah – QS.75:3)
kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir.
Ada pun hamba-hamba Allah Swt. yang telah meraih tingkatan nafs Al- Muthmainnah – “jiwa yang
tentram” (QS.98:28-31) dimisalkan
sebagai Maryam binti ‘Imran,
firman-Nya:
وَ
مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا
وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ﴿٪﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:13).
Sitti Maryam, ibunda Nabi Isa ibnu Maryam
a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang
karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah, mereka dikaruniai
ilham Ilahi; kata pengganti hi (nya) dalam fīihi pada ayat 13
“maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami” menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu.
Atau, kata pengganti fiihi itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara
harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa
dapat masuk, namun “hamba-hamba Allah” yang hakiki tersebut telah menjaga farj dari dengan ketat sebagaimana yang
dilakukan Sitti Maryam yang benar-benar
menjaga kesucian jiwanya dan dirinya.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar