بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 76
Para Rasul Allah adalah “Suami-suami Ruhani” Kaum Mereka
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dikemukakan riwayat yang benar mengenai firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا اِلَی
اللّٰہِ تَوۡبَۃً نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی
رَبُّکُمۡ اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ
سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ
مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ النَّبِیَّ
وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ
نُوۡرُہُمۡ یَسۡعٰی بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ
یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ
اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ
لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿ ﴾
Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari Api, yang bahan bakarnya manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, tidak mendurhakai Allah apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan.
Hai orang-orang kafir, kamu pada hari ini jangan mengemukakan dalih, sesungguhnya kamu dibalas menurut apa yang kamu kerjakan.
(At-Tahrīm [66]:7-8).
Dua Pilihan & Peringatan Allah Swt.
Istri dan anak-anak yang tidak
berusahakan dikendalikan oleh kepala
keluarga supaya tetap berada di “jalan Allah” maka mereka akan
menjadi “bahan bakar api neraka”
di lingkungan rumahtangga, lebih-lebih jika
suami sebagai “kepala keluarga” tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pelindung keluarga
yang baik (QS.4:35) maka keadaan keluarga
seperti itu akan penuh dengan kobaran “api jahannam”, karena di dalam keluarga
yang seperti itu semuanya -- ayah, ibu
dan anak-anak mereka -- telah keluar dari “orbitnya”
masing-masing, sehingga di dalam tatanan
keluarga seperti itu terjadi kesemrawutan.
Atas dasar itulah Allah Swt. telah
berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw. untuk menyampaikan pilihan kepada semua istri beliau saw., ketika mereka sepakat untuk memohon kepada Nabi Besar
Muhammad saw. agar beliau saw. berkenan meningkatkan keadaan ekonomi
di keluarga yang selama itu sangat sederhana
(alakadarnya), mengingat setelah hijrah dari Makkah ke Madinah keadaan ekonomi umumnya umat Islam telah semakin
baik, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ قُلۡ لِّاَزۡوَاجِکَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ تُرِدۡنَ الۡحَیٰوۃَ
الدُّنۡیَا وَ زِیۡنَتَہَا فَتَعَالَیۡنَ اُمَتِّعۡکُنَّ وَ اُسَرِّحۡکُنَّ
سَرَاحًا جَمِیۡلًا ﴿﴾ وَ اِنۡ کُنۡـتُنَّ
تُرِدۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ
الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ فَاِنَّ
اللّٰہَ اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡکُنَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau: “Jika kamu menginginkan
kehidupan dunia ini dan perhiasannya
maka marilah aku akan memberikannya
kepada kamu dan aku akan menceraikan
kamu dengan cara yang baik. Tetapi jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya,
dan rumah di akhirat, maka
sesungguhnya Allah telah menyediakan
ganjaran yang besar bagi siapa di antara kamu yang berbuat ihsan.” (Al-Ahzāb [33]:29-30).
Namun setelah Nabi Besar Muhammad saw.
melakukan “memisahkan diri sementara”
dengan semua istri beliau saw., akhirnya semua istri beliau saw. sepakat untuk memilih tetap sebagai istri-istri Nabi Besar Muhammad
saw., bagaimana pun sederhananya keadaan ekonomi rumahtanggga yang harus mereka jalani
bersama-sama dengan beliau saw., dengan
demikian Nabi Besar Muhammad saw. sepenuhnya terhindar dari peringatan-peringatan
Allah Swt. berikut ini, yang juga merupakan peringatan
bagi semua orang-orang beriman, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لَا تُلۡہِکُمۡ
اَمۡوَالُکُمۡ وَ لَاۤ اَوۡلَادُکُمۡ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ
یَّفۡعَلۡ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اَنۡفِقُوۡا مِنۡ مَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ اَحَدَکُمُ
الۡمَوۡتُ فَیَقُوۡلَ رَبِّ لَوۡ
لَاۤ اَخَّرۡتَنِیۡۤ اِلٰۤی
اَجَلٍ قَرِیۡبٍ ۙ فَاَصَّدَّقَ وَ
اَکُنۡ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَنۡ
یُّؤَخِّرَ اللّٰہُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُہَا ؕ وَ اللّٰہُ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah harta kamu dan anak-anak kamu melalaikan kamu
dari mengingat Allah, dan barangsiapa
yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu
sebelum kematian menimpa seseorang dari
antara kamu lalu ia berkata: “Hai Tuhan-ku, seandainya Engkau menangguhkan
sebentar batas waktuku niscaya aku akan bersedekah dan menjadi termasuk
orang-orang yang saleh.” Dan Allah
tidak pernah menangguhkan suatu
jiwa apabila batas waktunya telah tiba, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Munāfiqūn [63]:10-12).
Firman-Nya lagi:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِکُمۡ وَ اَوۡلَادِکُمۡ عَدُوًّا لَّکُمۡ
فَاحۡذَرُوۡہُمۡ ۚ وَ اِنۡ
تَعۡفُوۡا وَ تَصۡفَحُوۡا وَ تَغۡفِرُوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُکُمۡ وَ اَوۡلَادُکُمۡ فِتۡنَۃٌ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗۤ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾ فَاتَّقُوا اللّٰہَ
مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَ اسۡمَعُوۡا
وَ اَطِیۡعُوۡا وَ اَنۡفِقُوۡا خَیۡرًا
لِّاَنۡفُسِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِہٖ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ اِنۡ
تُقۡرِضُوا اللّٰہَ قَرۡضًا
حَسَنًا یُّضٰعِفۡہُ لَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ
لَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ شَکُوۡرٌ حَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ وَ الشَّہَادَۃِ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya di antara
istri-istri kamu dan anak-anakmu adalah musuh bagi kamu, maka waspadalah terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi dan mengampuni, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya
harta kamu dan anak-anakmu adalah
fitnah (ujian/cobaan). dan Allah di
sisi-Nya ganjaran yang besar. Maka bertakwalah
kepada Allah sejauh kesanggupan kamu, dan dengarlah serta taatlah,
dan belanjakanlah harta kamu, hal itu baik bagi diri kamu. Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang berhasil.
Jika kamu meminjamkan ke-pada Allah suatu pinjaman yang baik, niscaya
Dia akan melipat-gandakan bagi kamu
dan akan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Menghargai, Maha Penyantun, Dia
Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak, Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
(At-Taghābūn
[64]:15-19).
Mendapat Ganjaran Dua Kali Lipat
&
Kedudukan Sebagai “Ibu-ibu Orang-orang Beriman”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai tanggungjawab istri-istri Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai “teladan” bagi
perempuan-perempuan beriman lainnya:
یٰنِسَآءَ
النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ
ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ یَسِیۡرًا ﴿﴾
وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ لِلّٰہِ وَ
رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ
اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ اَعۡتَدۡنَا
لَہَا رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾
Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara
kamu berbuat kekejian yang nyata, baginya azab akan dilipatgandakan dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Tetapi barangsiapa di antara kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya serta
beramal saleh, Kami akan memberi
kepadanya ganjarannya dua kali lipat,
dan Kami telah menyediakan baginya
rezeki yang mulia. (Al-Ahzāb [33]:31-32).
Fāhisyah adalah perilaku yang tidak
selaras dengan taraf keimanan yang
tertinggi. Bila istri-istri Nabi
Besar Muhammad saw. lebih menyukai
kesenangan-kesenangan duniawi — itulah arti kata fahisyah (Lexicon Lane) yang dipergunakan
dalam ayat ini — niscaya beliau-beliau akan memperlihatkan contoh yang sangat buruk dan sebagai istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. yang amal-perbuatannya
harus ditiru oleh perempuan-perempuan
lainnya, niscaya beliau-beliau harus memikul tanggung-jawab yang berat dan oleh karena itu akan pantas menerima hukuman sebanyak dua kali
lipat.
Kebalikannya, bila beliau-beliau patuh kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya
dan memperlihatkan contoh yang mulia
dalam sikap melupakan diri sendiri, agar ditiru
oleh orang-orang lain, maka ganjaran
beliau-beliau pun akan sebanyak dua kali lipat. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
یٰنِسَآءَ
النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ
بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ الَّذِیۡ فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ وَّ قُلۡنَ قَوۡلًا
مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾ وَ قَرۡنَ فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ وَ لَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ
الۡجَاہِلِیَّۃِ الۡاُوۡلٰی وَ اَقِمۡنَ
الصَّلٰوۃَ وَ اٰتِیۡنَ الزَّکٰوۃَ وَ اَطِعۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ ؕ اِنَّمَا یُرِیۡدُ اللّٰہُ لِیُذۡہِبَ عَنۡکُمُ الرِّجۡسَ اَہۡلَ
الۡبَیۡتِ وَ یُطَہِّرَکُمۡ تَطۡہِیۡرًا
﴿ۚ﴾ وَ اذۡکُرۡنَ مَا یُتۡلٰی فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ وَ الۡحِکۡمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ لَطِیۡفًا خَبِیۡرًا ﴿٪﴾
Wahai istri-istri Nabi, jika kamu bertakwa kamu tidak sama dengan salah seorang dari perempuan-perempuan lain, karena itu janganlah
kamu lembut dalam berbicara, sehingga orang
yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tinggallah di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu memamerkan kecantikanmu seperti cara pamer kecantikan zaman Jahiliah dahulu, dirikanlah shalat, bayarlah zakat, serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah meng-hendaki agar dia menghilangkan ke-kotoran dari diri kamu, hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya. Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kamu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Memaklumi. (Al-Ahzāb [33]:33-35).
Kesetaraan Hak dan Kewajiban Perempuan dengan Kaum Laki-laki &
Misal-misal Orang Kafir, Orang Beriman dan Orang Bertakwa
Istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.,
selain sebagai istri dan juga dalam kedudukannya sebagai ummahatul mukminin (ibu-ibu ruhani
orang-orang beriman – QS.33:7), diperintahkan
untuk memelihara martabat
beliau-beliau yang sangat tinggi dan
supaya bertingkah laku yang sopan
santun dan tatakrama yang semestinya
dalam bercakap-cakap dengan kaum laki-laki. Semua perempuan Muslim pun
tercakup dalam perintah ini.
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman secara
umum kepada orang-orang beriman laki-laki
dan perempuan mengenai pentingnya ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya:
اِنَّ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ وَ الۡمُسۡلِمٰتِ وَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ وَ الۡقٰنِتِیۡنَ
وَ الۡقٰنِتٰتِ وَ الصّٰدِقِیۡنَ وَ الصّٰدِقٰتِ وَ الصّٰبِرِیۡنَ وَ الصّٰبِرٰتِ
وَ الۡخٰشِعِیۡنَ وَ الۡخٰشِعٰتِ وَ الۡمُتَصَدِّقِیۡنَ وَ الۡمُتَصَدِّقٰتِ وَ الصَّآئِمِیۡنَ
وَ الصّٰٓئِمٰتِ وَ الۡحٰفِظِیۡنَ فُرُوۡجَہُمۡ وَ الۡحٰفِظٰتِ وَ الذّٰکِرِیۡنَ
اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ الذّٰکِرٰتِ ۙ اَعَدَّ اللّٰہُ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلٰلًا
مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang berserah diri,
laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan
yang patuh, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang merendahkan
diri, laki-laki dan perempuan yang merendahkan diri, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kesucian mereka, laki-laki
dan perempuan yang banyak mengingat
Dia, Allah telah menyediakan
bagi mereka itu ampunan dan ganjaran yang besar. (Al-Ahzab [33]:36).
Ayat
ini mengandung sangkalan yang paling
jitu terhadap tuduhan, bahwa Islam
memberi kedudukan yang rendah
terhadap kaum perempuan. Menurut
Al-Quran, kaum perempuan berdiri sejajar
dengan kaum laki-laki dan mereka
dapat mencapai ketinggian-ketinggian
ruhani yang dapat dicapai kaum
laki-laki serta menikmati semua hak
politik dan sosial yang dinikmati
kaum laki-laki.
Hanya saja karena lapangan kegiatan mereka berbeda maka kewajiban-kewajiban mereka pun berlainan. Perbedaan dalam tugas kedua golongan jenis kelamin
inilah yang dengan keliru, atau mungkin dengan sengaja, telah disalahartikan oleh pengecam-pengecam yang tidak
bersahabat terhadap Islam,
seolah-olah memberikan kedudukan lebih
rendah kepada kaum perempuan.
Pendek kata, semua martabat dan kemajuan ruhani yang dapat dicapai oleh kaum laki-laki diberi
kesempatan yang sama pula kepada kaum
perempuan, kecuali menjadi nabi Allah, karena secara ruhani kedudukan seorang nabi
bagi kaumnya adalah seperti kedudukan
suami terhadap Istrinya.
Rasul-rasul Allah adalah “Suami Ruhani” Kaum Mereka
Itulah sebabnya Allah Swt. telah mengumpamakan
orang-orang kafir yang mendustakan
dan menentang para rasul Allah yang dibangkitkan (diutus) di kalangan mereka
(QS.7:135-137) sebagai istri-istri
durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s., sedangkan orang-orang beriman dimisalkan istri
Fir’aun yang shalihah, dan orang-orang
bertakwa dimisalkan Maryam binti
‘Imran yang kemudian melahirkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka
mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mere-ka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” Dan Allah
mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal
bagi orang-orang beriman, ketika
ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah
bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,
Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:11-13).
Jadi, orang-orang kafir diumpamakan seperti istri Nabi Nuh a.s. dan istri
Nabi Luth a.s. untuk menunjukkan bahwa persahabatan
dengan orang bertakwa --malahan dengan
seorang nabi Allah sekalipun -- tidak
berfaedah bagi orang yang mempunyai kecenderungan
buruk menolak kebenaran.
Istri Fir’aun menggambarkan keadaan orang-orang beriman, yang meskipun berkeinginan dan berdoa
terus-menerus agar bebas dari dosa, tidak sepenuhnya dapat melepaskan
diri dari pengaruh buruk -- yakni nafs
Ammarah (QS.12:54) --yang dilukiskan dalam wujud Fir’aun, dan setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang menyesali diri sendiri” (nafsu lawwamah) kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir.
Siti Maryam, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. melambangkan
hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena
telah berdamai dengan Allah Swt. – yakni telah mencapai tingkat nafs-ul-Muthmainnah (jiwa yang tentram
-- QS.89:28-3) -- mereka dikaruniai ilham
Ilahi.
Kata pengganti hi dalam fīhi menunjuk kepada
orang-orang beriman yang bernasib baik
serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj
(furuj) yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
Siti Maryam a.s. adalah seorang
perempuan yang benar-benar
telah menjaga kesucian furuj (aurat)
beliau secara ketat, sehingga Allah Swt. telah dijadikan sebagai misal bagi orang-orang bertakwa yang secara ketat menjaga kesucian jiwanya, sehingga walau pun beliau
sebelum menikah tidak pernah berhubungan
badan dengan seorang laki-laki
tetapi Allah Swt. telah membuat beliau hamil
dan melahirkan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. (QS.3:43-50).
Jadi, betapa sakralnya lembaga pernikahan dalam Islam, sehingga
Allah Swt. telah menetapkan berbagai aturan mengenai pernikahan mau pun mengenai perceraian
dan senantiasa menghubungkannya dengan masalah ketakwaan kepada Allah Swt. kedua belah pihak yang menikah mau pun yang bercerai, firman-Nya:
وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan
sekali-kali tidak layak bagi
laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka
menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb
[33]:37).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 23 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar