بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 65
Aturan
“Pardah Islam”
Tidak Melarang Perempuan Meraih
Ilmu
pengetahuan Duniawi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dijelaskan mengenai tanggungjawab istri-istri Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai “teladan” bagi perempuan-perempuan beriman lainnya:
یٰنِسَآءَ
النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ
ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ یَسِیۡرًا ﴿﴾
وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ لِلّٰہِ وَ
رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ
اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ اَعۡتَدۡنَا
لَہَا رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾
Wahai istri-istri Nabi, barang-siapa di
antara kamu berbuat kekejian yang nyata, baginya azab akan dilipatgandakan dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Tetapi barangsiapa di antara kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya serta
beramal saleh, Kami akan memberi
kepadanya ganjarannya dua kali lipat,
dan Kami telah menyediakan baginya
rezeki yang mulia. (Al-Ahzāb [33]:31-32).
Mendapat Ganjaran Dua Kali Lipat
&
Kedudukan Sebagai “Ibu-ibu Orang-orang Beriman”
Fāhisyah adalah perilaku yang tidak
selaras dengan taraf keimanan yang
tertinggi. Bila istri-istri Nabi
Besar Muhammad saw. lebih menyukai
kesenangan-kesenangan duniawi — itulah arti kata fahisyah (Lexicon Lane) yang dipergunakan
dalam ayat ini — niscaya beliau-beliau akan memperlihatkan contoh yang sangat buruk dan sebagai istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. yang amal-perbuatannya
harus ditiru oleh perempuan-perempuan
lainnya, niscaya beliau-beliau harus memikul tanggung-jawab yang berat dan oleh karena itu akan pantas menerima hukuman sebanyak dua kali
lipat.
Kebalikannya, bila beliau-beliau patuh kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya
dan memperlihatkan contoh yang mulia
dalam sikap melupakan diri sendiri, agar ditiru
oleh orang-orang lain, maka ganjaran
beliau-beliau pun akan sebanyak dua kali lipat. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
یٰنِسَآءَ
النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ
بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ الَّذِیۡ فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ وَّ قُلۡنَ قَوۡلًا
مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾ وَ قَرۡنَ فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ وَ لَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ
الۡجَاہِلِیَّۃِ الۡاُوۡلٰی وَ اَقِمۡنَ
الصَّلٰوۃَ وَ اٰتِیۡنَ الزَّکٰوۃَ وَ اَطِعۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ ؕ اِنَّمَا یُرِیۡدُ اللّٰہُ لِیُذۡہِبَ عَنۡکُمُ الرِّجۡسَ اَہۡلَ
الۡبَیۡتِ وَ یُطَہِّرَکُمۡ تَطۡہِیۡرًا
﴿ۚ﴾ وَ اذۡکُرۡنَ مَا یُتۡلٰی فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ وَ الۡحِکۡمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ لَطِیۡفًا خَبِیۡرًا ﴿٪﴾
Wahai istri-istri Nabi, jika kamu bertakwa kamu tidak sama dengan salah seorang dari perempuan-perempuan lain, karena itu janganlah
kamu lembut dalam berbicara, sehingga orang
yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah per-kataan yang baik. Dan tinggallah di rumah-rumah kamu
dan janganlah kamu memamerkan
kecantikanmu seperti cara pamer
kecantikan zaman Jahiliah dahulu, dirikanlah shalat, bayarlah zakat, serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah menghendaki agar dia menghilangkan ke-kotoran dari diri kamu, hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya. Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kamu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Memaklumi. (Al-Ahzāb [33]:33-35).
Istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.,
selain sebagai istri dan juga dalam kedudukannya sebagai ummahatul mukminin (ibu-ibu ruhani
orang-orang beriman – QS.33:7), diperintahkan
untuk memelihara martabat
beliau-beliau yang sangat tinggi dan
supaya bertingkah laku yang sopan
santun dan tatakrama yang semestinya
dalam bercakap-cakap dengan kaum laki-laki. Semua perempuan Muslim pun
tercakup dalam perintah ini.
Kegiatan Utama Kaum Perempuan
adalah Lingkungan Rumah Tangga
Kata-kata “Dan tinggallah di
rumah-rumah kamu” menunjukkan
bahwa lapangan utama bagi kegiatan perempuan adalah rumahnya,
tetapi bukan dalam arti bahwa ia tidak boleh meninggalkan batas-batas tembok
halaman rumahnya. Ia boleh keluar rumah
sebanyak dianggap perlu untuk melaksanakan
tugas yang sah dan menyempurnakan
keperluan yang sah.
Akan tetapi untuk bergerak
kian kemari dalam lingkungan masyarakat
yang berbaur antara laki-laki dan perempuan, dan mengambil bagian dalam segala peranan dan pekerjaan
bahu membahu dengan kaum laki-laki,
dan dengan berbuat demikian akan melalaikan
dan merugikan kewajiban khusus rumah tangga selaku ibu rumah tangga, adalah bukan konsep
Islam mengenai keperempuanan yang ideal.
Istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. secara khusus diminta supaya “tinggal di rumah”, sebab kemuliaan martabat tinggi beliau-beliau sebagai ummul
mukminin menghendaki demikian, dan juga sebab orang-orang Muslim sering
berkunjung kepada beliau-beliau untuk berziarah
dan memohon petunjuk dari
beliau-beliau mengenai hal-hal keagamaan
yang penting.
Perintah itu berlaku sama bagi semua
perempuan Muslim. Merupakan gaya bahasa Al-Quran bahwa di mana nampak seruan itu seolah-olah khusus ditujukan
kepada Nabi Besar Muhammad saw., seruan itu ditujukan
juga kepada semua orang Muslim,
begitu pula perintah yang ditujukan kepada istri-istri
Nabi Besar Muhammad saw. itu berlaku
juga bagi semua perempuan Muslim.
Ungkapan ahlalbait pada pokoknya dan terutama dikenakan kepada istri-istri
Nabi Besar Muhammad saw.. Hal ini jelas sekali dari konteksnya dan dari
ayat-ayat QS.11:74 dan QS.28:13. Akan tetapi, dalam arti yang luas ungkapan itu
meliputi juga semua anggota keluarga
yang membentuk rumah tangga
seseorang, bahkan anak-anaknya dan cucu-cucunya juga. Ungkapan “ahli bait” itu dipergunakan juga oleh Nabi
Besar Muhammad saw. untuk
beberapa sahabat beliau yang terpilih
--sekali pun ia bukan seorang Arab. -- “Salman adalah anggota keluarga
kami,” demikian suatu sabda Nabi Besar Muhammad saw. yang termasyhur (Tafsir Shaghir).
Peran Besar Kaum Perempuan (Ibu-ibu) Dalam
Pembentukan Bangsa dan
Generasi yang Berkualitas
Jadi, istri-istri
Nabi Besar Muhammad saw. yang
mulia itu tidak hanya diminta berperan
sebagai contoh kebajikan, kesalehan,
dan ketakwaan bagi orang-orang beriman, melainkan harus mengajar mereka asas-asas
dan ajaran-ajaran Islam yang telah
diterima beliau-beliau dari Nabi Besar Muhammad saw.: ”Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kamu
dari Ayat-ayat Allah dan hikmah“.
Apabila dihubungkan dengan sabda Nabi Besar
Muhammad saw. bahwa “surga ada di bawah telapak kaki ibu” maka istri-istri
beliau saw. merupakan contoh paling
sempurna dari ibu-ibu atau istri-istri kaum laki-laki calon penghuni surga yang akan menjadi “bidadari-bidadari surgawi.” Itulah.
Sebabnya Allah Swt. telah melarang keras
orang-orang beriman menikahi janda Nabi
Besar Muhammad saw. sepeninggal beliau saw. (QS.33:54), karena tidak akan ada
yang layak menjadi pasangan (jodoh) mereka di surga kecuali Nabi Besar Muhammad saw.
sendiri.
Lebih-lebih karena kedudukan istri-istri
Nabi Besar Muhammad saw. sebagai ummahatul-mukminin (ibu orang-orang beriman – QS.33:7) maka Allah
Swt. dalam Al-Quran melarang menikahi
ibu dan perempuan-perempuan yang sederajat dengan kedudukan ibu
kandung, misalnya ibu tiri, ibu mertua (mertua perempuan), ibu inang (ibu susu) dll (QS.4:24).
Konsep “pardah Islam” (pembatasan pergaulan
antara laki-laki dan perempuan) tersebut pasti akan menimbulkan berbagai
tanggapan – positif mau pun negatif – contohnya akan timbul
pertanyaan: Tidakkah dengan melaksanakan aturan “pardah Islam” seperti itu maka akan banyak hak-hak kaum perempuan yang tidak dapat dilaksanakan, misalnya
hak-hak untuk memperoleh ilmu pengetahuan
duniawi?
Tidak Ada Larangan Bagi Kaum Perempuan
Untuk Meraih Ilmu Pengetahuan Duniawi
Ajaran Islam tidak melarang kaum perempuan –
seperti halnya kaum laki-laki – untuk memperoleh ilmu pengetahuan umum, hingga dapat meraih gelar-gelar kesarjanaan tertentu, namun demikian
hendaknya ilmu-ilmu pengetahuan yang digeluti oleh kaum perempuan tersebut
lebih selektif, yaitu yang sesuai
dengan kodrat perempuan
sebagai pihak yang paling berperan besar dan bertanggung jawab dalam
mempersiapkan generasi penerus bangsa
yang benar-benar berkualitas, baik
dari segi kemampuan intelektual mau
pun dari segi akhlak dan ruhani.
Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi Besar Muhammad saw.
bahwa “Surga ada di bawah telapak kaki ibu”, beliau saw. bersabda
lagi mengenai peran besar kaum ibu dalam menciptakan suatu bangsa yang berkualitas, bahwa:
“Jika separuh dari
jumlah kaum perempuan suatu bangsa
(kaum) baik, maka bangsa tersebut akan baik pula.”
Pendek kata,
aturan “pardah Islam” tetap
memberikan hak-hak kepada kaum perempuan untuk dapat meraih berbagai kemajuan dalam bidang pengetahuan
duniawi (intelektual), tetapi hendaknya – sebagaimana halnya tatanan alam semesta yang sangat serasi
sekali pun tidak ditopang
oleh tiang-tiang penunjang
yang kelihatan mata jasmani
(QS.13:3; QS.31:11; QS.67:2-6) -- masing-masing tetap berada di jalur “orbit kehidupan” yang telah ditentukan Allah Swt. bagi mereka,
dengan tetap memperhatikan aturan “pardah
Islam”, supaya dalam kehidupan sosial
tidak terjadi kesemrawutan antara “orbit” kehidupan perempuan dengan
“orbit” kehidupan laki-laki,
firman-Nya:
وَ لَا
تَتَمَنَّوۡا مَا فَضَّلَ اللّٰہُ بِہٖ بَعۡضَکُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ ؕ لِلرِّجَالِ
نَصِیۡبٌ مِّمَّا اکۡتَسَبُوۡا ؕ وَ لِلنِّسَآءِ نَصِیۡبٌ مِّمَّا اکۡتَسَبۡنَ ؕ
وَ سۡئَلُوا اللّٰہَ مِنۡ فَضۡلِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِکُلِّ شَیۡءٍ
عَلِیۡمًا ﴿﴾
Dan janganlah kamu menghasratkan sesuatu
yang dengannya Allah telah melebihkan sebagian kamu dari
yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan-perempuan ada bagian dari apa
yang mereka usahakan. Dan mohonlah
kepada Allah dari karunia-Nya,
sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisā[4]:33).
Ayat ini menetapkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dalam hal-hal yang menyangkut pekerjaan-pekerjaan dan ganjaran-ganjaran mereka sesuai kedudukan mereka dalam lingkungan rumahtangga, termasuk dalam hal sebagai
penerima warisan sebagaimana yang dikemukakan oleh ayat selanjutnya
(QS.4:34), namun tetap yang harus menjadi “kepala
keluarga” dalam rumahtangga adalah suami
– seperti halnya kedudukan matahari
sebagai pusat di lingkungan tatasurya – sebab jika tidak demikian maka keadaan rumahtangga
tidak akan harmonis.
Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 14 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar