Rabu, 13 Maret 2013

Aturan "Pardah Islam" Tidak Melarang Perempuan Meraih Ilmu Pengetahuan Duniawi


      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 65


 Aturan “Pardah Islam
Tidak Melarang Perempuan Meraih 
 Ilmu pengetahuan Duniawi

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  telah dijelaskan mengenai  tanggungjawab istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “teladan” bagi perempuan-perempuan beriman lainnya:
یٰنِسَآءَ  النَّبِیِّ مَنۡ یَّاۡتِ مِنۡکُنَّ بِفَاحِشَۃٍ  مُّبَیِّنَۃٍ یُّضٰعَفۡ لَہَا الۡعَذَابُ ضِعۡفَیۡنِ ؕ وَ کَانَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ  یَسِیۡرًا ﴿﴾  وَ مَنۡ یَّقۡنُتۡ مِنۡکُنَّ لِلّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ وَ تَعۡمَلۡ صَالِحًا نُّؤۡتِہَاۤ  اَجۡرَہَا مَرَّتَیۡنِ ۙ وَ  اَعۡتَدۡنَا  لَہَا  رِزۡقًا کَرِیۡمًا ﴿﴾
Wahai istri-istri Nabi, barang-siapa di antara kamu berbuat kekejian yang nyata, baginya azab akan dilipatgandakan   dua kali lipat, dan yang demikian itu mudah bagi Allah.    Tetapi barangsiapa di antara kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh, Kami akan memberi kepadanya ganjarannya dua kali lipat, dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia. (Al-Ahzāb [33]:31-32).

Mendapat Ganjaran Dua Kali Lipat &
Kedudukan Sebagai “Ibu-ibu Orang-orang Beriman

  Fāhisyah adalah perilaku yang tidak selaras dengan taraf keimanan yang tertinggi.  Bila istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.  lebih menyukai kesenangan-kesenangan duniawi — itulah arti kata fahisyah (Lexicon Lane) yang dipergunakan dalam ayat ini — niscaya beliau-beliau akan memperlihatkan contoh yang sangat buruk dan sebagai istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.  yang amal-perbuatannya harus ditiru oleh perempuan-perempuan lainnya, niscaya beliau-beliau harus memikul tanggung-jawab yang berat dan oleh karena itu akan pantas menerima hukuman sebanyak dua kali lipat.
 Kebalikannya, bila beliau-beliau patuh kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dan memperlihatkan contoh yang mulia dalam sikap melupakan diri sendiri, agar ditiru oleh orang-orang lain, maka ganjaran beliau-beliau pun akan sebanyak dua kali lipat. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
یٰنِسَآءَ  النَّبِیِّ لَسۡتُنَّ کَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ  اِنِ اتَّقَیۡتُنَّ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِالۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ  الَّذِیۡ  فِیۡ قَلۡبِہٖ مَرَضٌ وَّ  قُلۡنَ  قَوۡلًا  مَّعۡرُوۡفًا ﴿ۚ﴾ وَ قَرۡنَ فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ وَ لَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاہِلِیَّۃِ  الۡاُوۡلٰی وَ اَقِمۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ اٰتِیۡنَ الزَّکٰوۃَ  وَ  اَطِعۡنَ اللّٰہَ  وَ  رَسُوۡلَہٗ ؕ اِنَّمَا یُرِیۡدُ اللّٰہُ  لِیُذۡہِبَ عَنۡکُمُ الرِّجۡسَ اَہۡلَ الۡبَیۡتِ وَ یُطَہِّرَکُمۡ  تَطۡہِیۡرًا ﴿ۚ﴾ وَ اذۡکُرۡنَ مَا یُتۡلٰی فِیۡ  بُیُوۡتِکُنَّ  مِنۡ اٰیٰتِ اللّٰہِ  وَ الۡحِکۡمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  کَانَ لَطِیۡفًا خَبِیۡرًا ﴿٪﴾
Wahai istri-istri Nabi, jika kamu bertakwa kamu tidak sama dengan salah seorang dari perempuan-perempuan lain, karena itu  janganlah kamu lembut dalam berbicara,  sehingga orang yang dalam hatinya ada penyakit akan tergoda, dan ucapkanlah per-kataan yang baik.   Dan tinggallah di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu memamerkan kecantikanmu seperti cara pamer kecantikan zaman Jahiliah dahulu,  dirikanlah shalat, bayarlah zakat, serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah menghendaki agar dia menghilangkan  ke-kotoran dari diri kamu, hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya.   Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kamu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Memaklumi. (Al-Ahzāb [33]:33-35).
   Istri-istri Nabi Besar Muhammad saw., selain sebagai istri  dan juga dalam kedudukannya sebagai ummahatul mukminin (ibu-ibu ruhani orang-orang beriman – QS.33:7),   diperintahkan untuk memelihara martabat beliau-beliau yang sangat tinggi dan supaya bertingkah laku yang sopan santun dan tatakrama yang semestinya dalam bercakap-cakap dengan kaum laki-laki. Semua perempuan  Muslim pun tercakup dalam perintah ini.

Kegiatan Utama Kaum Perempuan
adalah Lingkungan Rumah Tangga

    Kata-kata “Dan tinggallah di rumah-rumah kamu menunjukkan bahwa lapangan utama bagi kegiatan perempuan  adalah rumahnya, tetapi bukan dalam arti bahwa ia tidak boleh meninggalkan batas-batas tembok halaman rumahnya. Ia boleh keluar rumah sebanyak dianggap perlu untuk melaksanakan tugas yang sah dan menyempurnakan keperluan yang sah.
Akan tetapi  untuk bergerak kian kemari dalam lingkungan masyarakat yang berbaur antara laki-laki dan perempuan, dan mengambil bagian dalam segala peranan dan pekerjaan bahu membahu dengan kaum laki-laki, dan dengan berbuat demikian akan melalaikan dan merugikan kewajiban khusus rumah tangga selaku ibu rumah tangga, adalah bukan konsep Islam mengenai  keperempuanan yang ideal.
  Istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.  secara khusus diminta supaya “tinggal di rumah”, sebab kemuliaan martabat tinggi beliau-beliau sebagai ummul mukminin menghendaki demikian, dan juga sebab orang-orang Muslim sering berkunjung kepada beliau-beliau untuk berziarah dan memohon petunjuk dari beliau-beliau mengenai hal-hal keagamaan yang penting.
  Perintah itu berlaku sama bagi semua perempuan Muslim. Merupakan gaya bahasa Al-Quran bahwa di mana nampak seruan itu seolah-olah khusus ditujukan kepada Nabi Besar Muhammad saw., seruan itu ditujukan juga kepada semua orang Muslim, begitu pula perintah yang ditujukan kepada istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. itu berlaku juga bagi semua perempuan  Muslim.
Ungkapan  ahlalbait  pada pokoknya dan terutama dikenakan kepada  istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.. Hal ini jelas sekali dari konteksnya dan dari ayat-ayat QS.11:74 dan QS.28:13. Akan tetapi, dalam arti yang luas ungkapan itu meliputi juga semua anggota keluarga yang membentuk rumah tangga seseorang, bahkan anak-anaknya dan cucu-cucunya juga. Ungkapan “ahli bait” itu dipergunakan juga oleh Nabi Besar Muhammad saw.  untuk beberapa sahabat beliau yang terpilih --sekali pun ia bukan seorang Arab. -- “Salman adalah anggota keluarga kami,” demikian suatu sabda Nabi Besar Muhammad saw.   yang termasyhur (Tafsir Shaghir).

Peran Besar Kaum Perempuan (Ibu-ibu) Dalam
Pembentukan Bangsa  dan Generasi yang Berkualitas

 Jadi, istri-istri Nabi Besar Muhammad saw.   yang mulia itu tidak hanya diminta berperan sebagai contoh kebajikan, kesalehan, dan ketakwaan bagi orang-orang beriman, melainkan harus mengajar mereka asas-asas dan ajaran-ajaran Islam yang telah diterima beliau-beliau dari Nabi Besar Muhammad saw.: ”Dan ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kamu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah“.
 Apabila dihubungkan dengan sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa  surga ada di bawah telapak kaki ibu  maka istri-istri beliau saw. merupakan contoh paling sempurna dari ibu-ibu atau istri-istri kaum laki-laki calon penghuni surga yang akan menjadi “bidadari-bidadari surgawi.” Itulah. Sebabnya Allah Swt. telah melarang keras orang-orang beriman menikahi janda Nabi Besar Muhammad saw. sepeninggal beliau saw. (QS.33:54), karena tidak akan ada yang layak menjadi pasangan (jodoh) mereka di surga kecuali Nabi Besar Muhammad saw. sendiri.
  Lebih-lebih karena kedudukan istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. sebagai ummahatul-mukminin  (ibu orang-orang beriman – QS.33:7) maka Allah Swt. dalam Al-Quran melarang menikahi ibu  dan perempuan-perempuan yang sederajat dengan kedudukan  ibu kandung, misalnya ibu tiri, ibu mertua (mertua perempuan), ibu inang (ibu susu)  dll (QS.4:24).
 Konsep “pardah Islam” (pembatasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan) tersebut pasti akan menimbulkan berbagai tanggapan – positif mau pun negatif – contohnya akan timbul pertanyaan: Tidakkah dengan melaksanakan aturan “pardah Islam” seperti itu maka akan banyak hak-hak kaum perempuan yang tidak dapat dilaksanakan, misalnya hak-hak untuk memperoleh ilmu pengetahuan duniawi?

Tidak Ada Larangan Bagi Kaum Perempuan
Untuk Meraih Ilmu Pengetahuan Duniawi

 Ajaran Islam tidak melarang kaum perempuan – seperti halnya kaum laki-laki – untuk memperoleh ilmu pengetahuan umum,  hingga dapat meraih gelar-gelar kesarjanaan tertentu, namun demikian hendaknya   ilmu-ilmu pengetahuan yang digeluti oleh kaum perempuan tersebut lebih selektif, yaitu yang sesuai dengan kodrat   perempuan sebagai  pihak yang paling berperan besar dan bertanggung jawab dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang benar-benar berkualitas, baik dari segi kemampuan intelektual mau pun dari segi akhlak dan ruhani.
 Hal tersebut  sesuai dengan sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “Surga ada di bawah  telapak kaki ibu”, beliau saw. bersabda lagi mengenai peran besar kaum ibu  dalam menciptakan suatu bangsa yang berkualitas, bahwa: “Jika separuh   dari jumlah kaum perempuan  suatu bangsa (kaum) baik, maka bangsa tersebut akan baik pula.
  Pendek kata,  aturan “pardah Islam” tetap memberikan hak-hak kepada  kaum perempuan untuk  dapat meraih    berbagai kemajuan dalam bidang pengetahuan  duniawi (intelektual), tetapi hendaknya – sebagaimana halnya tatanan alam semesta yang sangat serasi  sekali pun tidak ditopang oleh  tiang-tiang  penunjang  yang   kelihatan mata jasmani (QS.13:3; QS.31:11; QS.67:2-6) -- masing-masing tetap berada di jalur “orbit kehidupan” yang telah ditentukan Allah Swt. bagi mereka, dengan tetap memperhatikan aturan “pardah Islam”, supaya dalam kehidupan sosial tidak terjadi kesemrawutan  antara “orbit” kehidupan perempuan  dengan “orbit” kehidupan laki-laki, firman-Nya:
وَ لَا تَتَمَنَّوۡا مَا فَضَّلَ اللّٰہُ بِہٖ بَعۡضَکُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ ؕ لِلرِّجَالِ نَصِیۡبٌ مِّمَّا اکۡتَسَبُوۡا ؕ وَ لِلنِّسَآءِ نَصِیۡبٌ مِّمَّا اکۡتَسَبۡنَ ؕ وَ سۡئَلُوا اللّٰہَ مِنۡ فَضۡلِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Dan janganlah kamu menghasratkan sesuatu yang dengannya  Allah telah melebihkan sebagian kamu dari yang lain. Bagi  laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan-perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisā[4]:33).
  Ayat ini menetapkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan  dalam hal-hal yang menyangkut pekerjaan-pekerjaan dan ganjaran-ganjaran mereka sesuai kedudukan mereka dalam lingkungan rumahtangga, termasuk dalam hal   sebagai  penerima warisan sebagaimana yang dikemukakan oleh ayat selanjutnya (QS.4:34), namun tetap yang harus menjadi “kepala keluarga” dalam rumahtangga adalah suami – seperti halnya kedudukan matahari sebagai pusat di lingkungan tatasurya – sebab  jika tidak demikian maka  keadaan rumahtangga tidak akan harmonis.

Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 14 Maret  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar