بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 57
'Ulama
Hakiki & Tingkatan Suluk
(Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan):
Fana, Baqa
dan Liqa
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
dijelaskan mengenai hamba-hamba Allah yang telah mendapat
karunia memperoleh “minuman-minuman surgawi” yang disediakan
bagi para penghuni surga golongan as-sābiqūn (yang terdepan/paling dahulu), yaitu ‘ulama
(para ‘alim) hakiki dari kalangan hamba-hamba-Nya atau golongan “orang-orang yang berakal”, firman-Nya:
اَلَمۡ
تَرَ اَنَّ اللّٰہَ اَنۡزَلَ مِنَ
السَّمَآءِ مَآءً ۚ
فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ
مُّخۡتَلِفًا اَلۡوَانُہَا ؕ وَ
مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ بِیۡضٌ وَّ
حُمۡرٌ مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ
غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾ وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ
مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ کَذٰلِکَ ؕ
اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ
الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ
غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah
engkau tidak melihat bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan
Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan
yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung
ada garis-garis putih, merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada
yang sehitam burung gagak? Dan demikian juga di antara manusia, hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya dari
antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ulama. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir
[35]:28-29).
‘Ulama
(Para ‘Alim) Hakiki &
Ûlil Albāb (Orang-orang yang Berakal)
Ayat 28 bermaksud
mengatakan, bahwa bila hujan turun di
atas tanah yang kering dan gersang, maka air
hujan itu menimbulkan aneka ragam
tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang warna warni serta aneka cita
rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang
dihasilkan sangat berbeda satu sama
lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah
dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat
dalam Al-Quran telah diibaratkan air
— turun kepada suatu kaum, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat dan pengaruh pada bermacam-macam manusia
menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara
mereka menerimanya.
Ayat 29 lebih lanjut menjelaskan
bahwa keragaman yang indah sekali
dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan dalam ayat sebelumnya
tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang, akan tetapi juga pada manusia, binatang buas dan binatang ternak.
Kata an-nās (manusia), ad-dawāb
(binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan
manusia dengan bermacam-macam
kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami. Ungkapan “Sesungguhnya dari
antara hamba-hambanya yang takut kepada Allah dari adalah ‘ulama”
memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia, yang di antara
mereka itu hanya mereka yang dikaruniai
ilmu saja yang takut kepada Tuhan.
Akan tetapi di sini ilmu itu tidak seharusnya selalu berarti ilmu keruhanian, akan tetapi juga pengetahuan
hukum alam. Penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya
niscaya membawa orang kepada makrifat
(pengetahuan) mengenai kekuasaan Maha
Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibat-nya merasa kagum dan takzim terhadap
Allah Swt, Tuhan Pencipta seluruh alam.
Allah Swt. menyebut mereka ūlil albāb (orang-orang yang berakal)
yang setelah berhasil menyaksikan berbagai macam Tanda-tanda
Allah yang ada di alam semesta serta
berhasil memahami Tanda-tanda zaman –
antara lain berupa timbulnya berbagai
bentuk azab Ilahi di seluruh dunia -- kemudian mereka berhasil mengenal seorang “penyeru dari Allah” yakni rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan QS.3:191-195.
Dalam dunia tashawuf banyak
terdapat ‘ulama (para ‘alim) hakiki seperti itu, yang karena pengaruh
kedalaman makrifat Ilahi yang mereka miliki telah menimbulkan berbagai ucapan-ucapan mau pun tindakan-tindakan mereka, yang bagi orang-orang
awan – bahkan bagi umumnya ahli fiqih – dianggap sebagai ucapan-ucapan sesat atau syirik serta merupakan bid’ah, sehingga banyak dari kalangan ulama shufi seperti itu yang menjadi korban fatwa kafir, sesat menyesatkan, lebih buruk daripada iblis dan fatwa-fatwa
mengerikan lainnya, misalnya Imam Ghazali, Syeikh Abdul Qadir Jailani, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, Al-Junaid,
Ma’ruf-al-Kharqi dan lain-lain. Bahkan di kalangan ‘ulama tashawuf tersebut ada yang dibunuh, seperti contohnya Mantsur
Al-Halaj, di Indonesia adalah Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.
Fana,
Baqa dan liqa &
Meraih
“Kehidupan Surgawi” di Dunia
Tingkatan-tingkatan perjalanan
ruhani (suluk) yang dilaksanakan oleh
‘ulama hakiki guna meraih “perjumpaan”
dengan Allah Swt. di dunia ini -- dengan
berbagai macam pengalaman (keadaan) ruhani yang khas yang disebut “mabuk cinta”
(sakhr) – di dalam dunia tashawuf dikenal dengan istilah fana, baqa, dan liqa,
sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Swt. berikut ini:
بَلٰی ٭
مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ
ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ
رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ
لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Tidak
demikian, bahkan yang
benar ialah barangsiapa berserah diri kepada
Allah dan ia berbuat ihsan
maka baginya ada ganjaran di sisi
Tuhan-nya, tidak ada ketakutan atas mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:113).
Wajh berarti: wajah
(muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang
kepadanya seseorang menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau
kebaikan (Aqrab-ul-Mawarid).
Ayat ini memberi isyarat kepada ketiga taraf penting ketakwaan sempurna, yaitu “barangsiapa
berserah diri kepada
Alla “ yakni fana
(menghilangkan diri), “dan ia berbuat ihsan “ yakni baqa
(kelahiran kembali), maka sebagai ganjarannya “tidak ada ketakutan atas mereka
dan tidak pula mereka akan bersedih “ yakni meraih martabat liqa (memanunggal dengan Allah Swt.).
Kata-kata “berserah diri kepada Allah” berarti segala kekuatan dan anggota tubuh kita, dan
apa-apa yang menjadi bagian diri kita, hendaknya diserahkan kepada Allah Swt.
seutuhnya dan dibaktikan
kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau kematian yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
Anak-kalimat kedua “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang
telah melenyapkan dirinya (fana)
dalam cinta Ilahi (fanafillāh) dan segala tujuan serta keinginan
duniawi telah lenyap, ia secara ruhani seolah-olah dianugerahi kehidupan
baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt. dan bakti kepada umat manusia
(QS.6:162-164).
Kata-kata penutup “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih“ menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi — yakni
taraf liqa atau manunggal (menyatu) dengan Allah Swt. yang dalam Al-Quran (QS.89:28) disebut
pula “jiwa yang tenteram” atau nafs
muthma’innah, firman-Nya::
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ
﴾ فَادۡخُلِیۡ فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪
﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.
Maka masuklah dalam golong-an hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).
Tingkat
Kehidupan Surgawi di Dunia
Martabat ruhani nafs-
al-Muthmainnah (jiwa yang tertram) merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan
pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia
“manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah
dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam
dirinya, dan di dunia inilah dan bukan
di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
Demikianlah
penjelasan mengenai falsafah atau
makna ruhani perumpamaan “kebun-kebun” dan “sungai-sungai “ dalam surga yang tersedia
bagi para penghuninya, yang dengan memakan buah-buahannya dan meminum airnya akan membuat para penghuni surga terus menerus mengalami kemajuan di dalam rangkaian
tingkatan-tingkatan kehidupan surga
yang tidak akan kunjung berakhir, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا
تُوۡبُوۡۤا اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ
یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ النَّبِیَّ
وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ
نُوۡرُہُمۡ یَسۡعٰی بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ
یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ
عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas
taubat. Boleh jadi Tuhan kamu akan
menghapuskan dari kamu keburukan-keburukan kamu dan akan memasukkan kamu ke dalam kebun-kebun yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi
maupun orang-orang yang beriman
besertanya, cahaya mereka akan
berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanannya, mereka akan berkata: “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami,
dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim [66]:9).
Firman-Nya lagi:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا
الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ
رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa sesungguhnya untuk
mereka ada kebun-kebun yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata: “Inilah
yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, akan diberikan kepada mereka yang
serupa dengannya, dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh
yang suci, dan mereka
akan kekal di dalamnya” (Al-Baqarah [2]:26).
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
اِلَّا عِبَادَ
اللّٰہِ الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾ اُولٰٓئِکَ
لَہُمۡ رِزۡقٌ مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾
فَوَاکِہُ ۚ وَ
ہُمۡ مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾ عَلٰی سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba
Allah yang tulus ikhlas, mereka memperoleh
rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka dimuliakan dalam kebun-kebun nikmat, duduk
di atas singgasana, berhadap-hadapan, (Ash-shāffāt [37]:41-45).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar