Selasa, 05 Maret 2013

'Ulama Hakiki & Tingkatan Suluk (Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan): Fana, Baqa, dan Liqa




      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 

Bab 57

  'Ulama Hakiki & Tingkatan Suluk
(Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan):
Fana, Baqa dan Liqa

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam akhir Bab  sebelumnya  dijelaskan mengenai  hamba-hamba Allah yang telah mendapat karunia memperoleh   minuman-minuman surgawi” yang disediakan bagi para penghuni surga golongan as-sābiqūn (yang terdepan/paling dahulu),    yaitu ‘ulama (para ‘alim) hakiki dari kalangan hamba-hamba-Nya atau golongan “orang-orang yang berakal”, firman-Nya:
اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّ اللّٰہَ  اَنۡزَلَ مِنَ  السَّمَآءِ  مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ  مُّخۡتَلِفًا  اَلۡوَانُہَا ؕ وَ مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ  بِیۡضٌ وَّ حُمۡرٌ  مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾ وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ  کَذٰلِکَ ؕ اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ  الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ  غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah engkau tidak melihat  bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih,   merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada yang sehitam burung gagak? Dan demikian juga di antara manusia,  hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).

‘Ulama (Para ‘Alim) Hakiki &
Ûlil Albāb (Orang-orang yang Berakal)

       Ayat 28 bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun di atas tanah yang kering dan gersang, maka air hujan itu menimbulkan aneka ragam tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
      Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang dihasilkan sangat berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat dalam Al-Quran telah diibaratkan air — turun kepada suatu kaum, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat dan pengaruh pada bermacam-macam manusia menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
     Ayat 29 lebih lanjut menjelaskan bahwa keragaman yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang, akan tetapi juga pada manusia, binatang buas dan binatang ternak.
      Kata an-nās (manusia), ad-dawāb (binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan manusia dengan bermacam-macam kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami. Ungkapan “Sesungguhnya dari antara hamba-hambanya yang takut kepada Allah dari  adalah ‘ulama memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia, yang di antara mereka itu hanya mereka yang dikaruniai ilmu saja yang takut kepada Tuhan.
     Akan tetapi di sini ilmu itu tidak seharusnya selalu berarti ilmu keruhanian, akan tetapi juga pengetahuan  hukum alam. Penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya niscaya membawa orang kepada makrifat (pengetahuan) mengenai kekuasaan Maha Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibat-nya merasa kagum dan takzim terhadap Allah Swt, Tuhan Pencipta seluruh alam.
     Allah Swt. menyebut mereka  ūlil albāb (orang-orang yang berakal) yang setelah berhasil menyaksikan berbagai macam  Tanda-tanda Allah  yang ada di alam semesta serta berhasil memahami Tanda-tanda zaman – antara lain berupa  timbulnya berbagai bentuk azab Ilahi  di seluruh dunia --  kemudian mereka berhasil  mengenal seorang “penyeru dari Allah” yakni rasul Allah  yang kedatangannya dijanjikan   QS.3:191-195.
      Dalam dunia tashawuf  banyak terdapat   ‘ulama (para ‘alim) hakiki seperti itu, yang karena  pengaruh kedalaman makrifat Ilahi  yang mereka miliki telah menimbulkan berbagai ucapan-ucapan mau pun tindakan-tindakan mereka, yang bagi orang-orang awan – bahkan bagi umumnya  ahli fiqih – dianggap sebagai ucapan-ucapan sesat atau syirik serta merupakan bid’ah, sehingga  banyak dari kalangan ulama shufi seperti itu yang menjadi korban fatwa kafir, sesat menyesatkan, lebih buruk daripada iblis dan fatwa-fatwa mengerikan lainnya, misalnya  Imam Ghazali, Syeikh Abdul Qadir Jailani, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, Al-Junaid, Ma’ruf-al-Kharqi dan lain-lain. Bahkan di kalangan ‘ulama tashawuf tersebut ada yang dibunuh, seperti contohnya Mantsur Al-Halaj, di Indonesia adalah Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.

Fana, Baqa dan liqa  &
Meraih “Kehidupan Surgawi” di Dunia

    Tingkatan-tingkatan perjalanan ruhani (suluk) yang dilaksanakan oleh ‘ulama hakiki guna meraih  perjumpaan” dengan Allah Swt. di dunia ini  -- dengan berbagai macam  pengalaman (keadaan) ruhani yang khas yang disebut “mabuk cinta” (sakhr) –  di dalam dunia tashawuf dikenal dengan istilah fana, baqa, dan liqa, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Swt. berikut ini:
بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa berserah diri  kepada  Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi Tuhan-nya,   tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:113).
     Wajh berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-ul-Mawarid). Ayat ini memberi isyarat kepada ketiga taraf penting ketakwaan sempurna, yaitu “barangsiapa berserah diri  kepada  Alla “ yakni  fana (menghilangkan diri),   dan ia berbuat ihsan “ yakni baqa (kelahiran kembali), maka sebagai ganjarannya “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih “ yakni meraih martabat  liqa (memanunggal dengan Allah Swt.).
     Kata-kata “berserah diri kepada Allah” berarti  segala kekuatan dan anggota tubuh kita, dan apa-apa yang menjadi bagian diri kita, hendaknya diserahkan kepada Allah Swt. seutuhnya dan dibaktikan kepada-Nya. Keadaan itu dikenal sebagai fana atau kematian yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
       Anak-kalimat kedua “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang telah melenyapkan dirinya (fana) dalam cinta Ilahi  (fanafillāh) dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap,   ia secara ruhani seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt.  dan bakti kepada umat manusia (QS.6:162-164).
       Kata-kata penutup “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih“ menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi — yakni taraf liqa atau  manunggal (menyatu) dengan Allah Swt.   yang dalam Al-Quran (QS.89:28) disebut pula “jiwa yang tenteram” atau nafs muthma’innah, firman-Nya::  
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ ﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪ ﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golong-an hamba-hamba-Ku,   dan  masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).

Tingkat Kehidupan Surgawi di Dunia

  Martabat ruhani nafs- al-Muthmainnah  (jiwa yang tertram)  merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
   Demikianlah penjelasan mengenai falsafah atau makna ruhani  perumpamaan “kebun-kebun” dan   sungai-sungai “ dalam  surga    yang tersedia  bagi para penghuninya,  yang  dengan memakan buah-buahannya dan meminum   airnya akan membuat para penghuni surga terus menerus mengalami kemajuan di dalam rangkaian tingkatan-tingkatan kehidupan surga yang tidak akan kunjung berakhir,   firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً  نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ  اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ  مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh jadi Tuhan kamu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukan kamu dan akan memasukkan kamu ke dalam  kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya, mereka akan berkata: “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami,  sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim [66]:9).
Firman-Nya lagi:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ  کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira  orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa sesungguhnya  untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, dan bagi mereka di dalamnya ada  jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya(Al-Baqarah [2]:26).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اِلَّا عِبَادَ  اللّٰہِ  الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾   اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ  رِزۡقٌ  مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾   فَوَاکِہُ ۚ وَ  ہُمۡ  مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾  فِیۡ   جَنّٰتِ  النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾  عَلٰی  سُرُرٍ  مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba  Allah yang tulus ikhlas,  mereka  memperoleh  rezeki yang telah diketahui, buah-buahan  dan mereka  dimuliakan  dalam kebun-kebun nikmatduduk di atas singgasana, berhadap-hadapan,  (Ash-shāffāt [37]:41-45).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 6 Maret  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar