Sabtu, 30 Maret 2013

Hakikat Doa Istri 'Imran Mengenai "Maryam" dan "Isa Ibnu (Anak) Maryam a.s."




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 83


  Hakikat Doa Istri ‘Imran
Mengenai Maryam dan
 Isa Ibnu (Anak) Maryam a.s.

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  firman Allah Swt. mengenai kebingungan istri ‘Imran ketika mengetahui bahwa bayi yang dilahirkannya adalah seorang bayi perempuan – bertentangan  dengan harapannya menginginkan kelahiran bayi laki-laki -- karena istri ‘Imran  telah bernazar hendak mewakafkan anak laki-laki yang masih ada dalam kandungannya untuk berbakti kepada Tuhan, tetapi dalam kenyataannya yang dilahirkannya adalah seorang anak perempuan, sehingga  dengan sendirinya istri ‘Imran  menjadi bingung, firman-Nya:
  فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 

Tanda Kehinaan bagi Bani Israil &

     Kata-kata: Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya, merupakan kalimat sisipan yang diucapkan oleh Allah Swt.   secara sambil lalu, sedangkan kata-kata berikutnya: Anak lelaki itu tidaklah sama seperti anak perempuan  dapat dianggap diucapkan oleh Allah Swt. atau diucapkan oleh ibunda Siti Maryam. Besar kemungkinan kata-kata itu diucapkan oleh Allah Swt.  dan berarti, seperti dalam teks terjemahan, bahwa anak perempuan yang dilahirkan beliau itu lebih baik daripada anak laki-laki yang diharapkan beliau.
      Tetapi jika  dianggap diucapkan oleh ibunda Siti Maryam, kata-kata itu berarti bahwa anak perempuan yang dilahirkan olehnya  itu  tidak bisa menjadi seperti anak laki-laki yang diinginkannya, karena (dia beranggapan) hanya anak laki-laki sajalah yang cocok untuk menunaikan bakti istimewa itu dan beliau ingin mewakafkannya.
     Kalimat “Anak lelaki itu tidaklah sama seperti anak perempuan  lebih tepat merupakan pernyataan Allah Swt. – yakni dalam pengertian bahwa anak perempuan yang dilahirkan istri ‘Imran itu lebih baik daripada anak laki-laki yang diharapkannya -- karena menurut Allah Swt. pada saat itu  di kalangan kaum laki-laki Bani Israil sudah tidak ada  seorang laki-laki pun yang  layak  menjadi  ayah jasmani, sehingga Allah Swt. telah  menakdirkan pengutusan rasul (nabi) terakhir di kalangan Bani Israil tidak memiliki ayah jasmani  karena ibunya (Siiti Maryam) merangkap  sebagai ayahnya, itulah sebabnya ia dinamakan Isa ibnu Maryam (Isa anak Maryam).
   Sesuai dengan kenyataan itu pulalah  Allah Swt.  dalam Al-Quran telah menyebutkan kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tanpa ayah sebagai as-Sā’ah (Tanda Saat/tanda Kiamat – QS.43:62)  bagi  Bani Israil, karena setelah pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  – sesuai janji Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s. (Ulangan 18:15-19) dan Nabi Isa Ibnu Maryam (Matius 23:37-39; Yohanes 16L12-13) -- silsilah kenabian akan dipindahkan Allah Swt. dari kalangan Bani Israil kepada Bani Isma’il atau umat Islam,  firman-Nya:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾  وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ  لَکَ  اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿﴾  

Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnyadan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?" Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. Bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah. (Az-Zukhruf [43]:58-59).
   Shadda (yashuddu) berarti: ia menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-ul-Mawarid). Kedatangan Al-Masih a.s.  yang dilahirkan tanpa ayah seorang laki-laki adalah tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan dan direndahkan serta akan kehilangan kenabian untuk selama-lamanya.
      Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau sejenis dengan yang lain (QS.6:39), ayat ini, di samping arti yang diberikan dalam ayat ini, dapat pula berarti bahwa bila kaum Nabi Besar Muhammad saw.   — yaitu kaum Muslimin — diberitahu bahwa orang lain yang seperti dan merupakan sesama Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  – yakni misal Isa Ibnu Maryam a.s. --    akan dibangkitkan di antara mereka untuk memperbaharui mereka dan mengembalikan kejayaan ruhani mereka yang telah hilang, maka daripada bergembira atas kabar gembira itu malah mereka berteriak  mengajukan protes.

As-Sā’ah (Tanda Kiamat)   Bagi Bani Israil &
Pengakuan  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.

      Jadi, QS.43:58  dapat dianggap mengisyaratkan kepada kedatangan Nabi Isa ibnu Maryam a.s.   untuk kedua kalinya sebagai misal dan juga sebagai as-Sā’ah (Tanda Kiamat). Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.: 
اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ  مَثَلًا   لِّبَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾  وَ لَوۡ  نَشَآءُ  لَجَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ مَّلٰٓئِکَۃً  فِی الۡاَرۡضِ  یَخۡلُفُوۡنَ ﴿﴾  وَ اِنَّہٗ  لَعِلۡمٌ  لِّلسَّاعَۃِ  فَلَا تَمۡتَرُنَّ بِہَا وَ اتَّبِعُوۡنِ ؕ ہٰذَا صِرَاطٌ مُّسۡتَقِیۡمٌ ﴿﴾   وَ لَا یَصُدَّنَّکُمُ الشَّیۡطٰنُ ۚ اِنَّہٗ  لَکُمۡ عَدُوٌّ  مُّبِیۡنٌ﴿﴾
Ia tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami  anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu perumpamaan (misal)  bagi Bani Israil.  Dan seandainya Kami menghendaki niscaya Kami menjadikan malaikat dari antara kamu  sebagai penerus di bumi.  Tetapi sesungguhnya ia benar-benar pengetahuan mengenai  Saat, maka janganlah kamu ragu-ragu mengenainya dan ikutilah aku, inilah jalan lurus.   Dan janganlah syaitan menghalang-halangi kamu, sesungguhnya ia bagi kamu adalah musuh yang nyata. (Az-Zukhruf [43]:60-63).
     Para malaikat tidak dapat dijadikan contoh dan model bagi manusia; oleh karena itu, Allah Swt.  senantiasa mengutus para rasul-Nya dari kalangan  manusia guna menyampaikan kehendak-Nya kepada umat manusia dan untuk menjadi contoh dan teladan bagi manusia.
   Kata   Saat (as-Sā’ah)  dalam kalimat “Tetapi sesungguhnya ia benar-benar pengetahuan mengenai  Saat “ dapat menyatakan waktu berakhirnya syariat Nabi Musa a.s.,   dan kata pengganti hu dalam innahu dapat mengisyaratkan kepada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau kepada Al-Quran dan ayat ini dapat berarti bahwa sesudah Nabi Isa Ibnu Maryam   kaum Bani Israil akan kehilangan karunia kenabian, atau bahwa syariat lain —ialah syariat Al-Quran— akan menggantikan syariat Nabi Musa a.s..  
       Demikianlah salah satu hikmah mengapa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dilahirkan tanpa  ayah seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil, karena ibu beliau – Maryam binti ‘Imran – merangkap sebagai ayah beliau, itulah sebabnya  Allah Swt. menamai beliau Isa Ibnu (anak) Maryam, yakni:
      (1)  dalam  hubungannya  sebagai tanda Kiamat  dan tanda kehinaan  dari Allah Swt. kepada kaum laki-laki Bani Israil, bahwa di masa itu tidak ada seorang laki-laki Bani Israil pun yang layak menjadi ayah seorang rasul Allah di kalangan mereka, sebab selama itu mereka senantiasa mendustakan dan bahkan berusaha  membunuh para rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka (QS.2:88-89).
     (2) untuk membantah  kepercayaan sesat bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. adalah “Anak Allah” – na’ūdzubillāhi min dzālik  --  sebagaimana yang sengaja disalah-artinya oleh Paulus dalam semua surat-surat kirimannya, sehingga munculnya ajaran baru yang sama sekali bertolak belakang dengan ajaran asli (Injil asli)  yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ اللّٰہُ یٰعِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ  ءَاَنۡتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ  اِلٰہَیۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ قَالَ سُبۡحٰنَکَ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ  اَنۡ    اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ ؕ؃ اِنۡ کُنۡتُ قُلۡتُہٗ فَقَدۡ عَلِمۡتَہٗ ؕ تَعۡلَمُ  مَا فِیۡ نَفۡسِیۡ وَ لَاۤ اَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِکَ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ عَلَّامُ  الۡغُیُوۡبِ ﴿﴾  مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ ۚ وَ کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ  شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ ۚ فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ  کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ ؕ وَ  اَنۡتَ عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ  شَہِیۡدٌ ﴿﴾  اِنۡ تُعَذِّبۡہُمۡ فَاِنَّہُمۡ عِبَادُکَ ۚ وَ اِنۡ تَغۡفِرۡ لَہُمۡ فَاِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa ibnu Maryam, apakah engkau telah berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan  selain Allah?" Ia berkata: “Maha Suci Engkau. Tidak patut bagiku mengatakan  apa yang sekali-kali  bukan hakku. Jika  aku telah mengatakannya maka sungguh  Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui segala yang gaib.    Aku sekali-kali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu:  Beribadahlah kepada Allah, Tuhan-ku  dan Tuhan kamu.” Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi tatkala  Engkau telah mewafatkanku maka Engkau-lah Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka, dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.  Kalau Engkau mengazab mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan kalau Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”   (Al-Māidah [5]:117-119)

Doa Istri ‘Imran untuk Anak dan Cucunya

     Jadi, kembali kepada  firman-Nya sebelum ini mengenai kebingungan istri ‘Imran mengenai kelahiran bayi perempuan yang dikandungnya:
  فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 
     Anak kalimat aku menamainya Maryam, mengandung doa kepada Allah Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang mulia dan baik serta shalih, seperti nampak dari arti kata Maryam (yakni   mulia atau seorang ahli ibadah yang saleh).
      Siti Maryam  adalah  ibunda Nabi Isa ibnu Maryam,  beliau mungkin diberi nama yang sama dengan saudara perempuan Nabi Musa.s.  dan Nabi Harun a.s. --  yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata majemuk dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan  bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia Biblica).
    Kata-kata doa ibu Siti Maryam – “sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk" -- itu menimbulkan sedikit kesulitan. Bila ibunda Siti Maryam berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada Tuhan, pasti beliau  telah mengetahui bahwa anaknya tidak akan menikah seumur hidup. Jika demikian, maka apakah artinya memanjatkan doa untuk keturunan sang anak perempuannya  itu?

Istri 'Imram Melihat Kasyaf (Penglihatan Ruhani)

     Penjelasan yang paling mungkin adalah  bahwa Allah Swt. telah mengabarkan kepada ibunda Siti Maryam dalam sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa anak perempuannya  itu akan tumbuh hingga dewasa dan akan mendapat seorang anak, dan atas berita itu beliau mendoa agar Siti Maryam dan anaknya dikaruniai perlindungan Ilahi.
      Namun demikian beliau nampaknya telah menyerahkan hari depan Siti Maryam ke tangan Ilahi dan mewakafkannya, sebagaimana diniatkannya semula untuk mengabdi kepada Allah Swt.   (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti Maryam). Hal itu tentu saja merupakan suatu kekecualian, sebab hanya laki-laki sajalah yang dapat dipilih untuk bakti demikian. Dugaan bahwa ibunda Siti Maryam menerima kasyaf mengenai anak perempuannya akan mendapat seorang laki-laki, tercantum dalam Injil Maryam (3:5), meskipun  mungkin dalam bentuk yang agak lain.
      Tidak ada sesuatu yang luar biasa mengenai doa Hanna (istri ‘Imran) yang ingin agar Siti Maryam serta keturunannya terpelihara dari pengaruh syaitan. Semua orang tua mendambakan hal seperti itu untuk anak-anak mereka dan mendoa agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan yang baik lagi lurus.
     Baik juga dicatat, meskipun Islam (Al-Quran) menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu dinikmati Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. (Markus 1:12, 13). Istri 'Imran pada akhir doanya berkata: "dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37).
      Rajim diserap dari kata rajama  artinya: (1) orang yang diusir dari hadirat Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk; (2) ditinggalkan dan dibiarkan seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4) mahrum (luput)  dari segala kebaikan dan kebajikan (Lexicon Lane).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 31  Maret  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar