Rabu, 27 Februari 2013

Hubungan "Taubat Nashuuha" dengan Beriman Kepada "Penyeru dari Allah" (Rasul Allah)





      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 



Bab 52


 Hubungan Taubat Nashūha dengan

Beriman Kepada Penyeru dari Allah

(Rasul Allah)

 Oleh



Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  dijelaskan mengenai makna maghfirah  yang dipajatkan oleh para penghuni surga di dalam surga,  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً  نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ  اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ  مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh jadi Tuhan kamu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukan kamu dan akan memasukkan kamu ke dalam  kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya, mereka  akan berkata: “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami,  sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim [66]:9).
      Ada  pernyataan Allah Swt. yang sangat menarik dalam firman Allah Swt. mengenai para penghuni surga tersebut, setelah mengemukakan pentingnya melakukan taubat nashūha -- yang membuat mereka layak mendapat penghapusan keburukan-keburukan atau  kekurangan-kekurangan mereka oleh Allah Swt. dan akan memasukan mereka ke dalam “kebun-kebun yang dibawahnya mengalir sungai-sungai” -- yakni:
یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ
…..pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya…(At-Tahrim [66]:9).
     Penyebutan nabi  dan  orang-orang beriman  yang beserta nabi itu mengandung makna yang sangat dalam serta mempunyai hubungan yang sangat erat dengan taubat nashūha sebelumnya, serta mempunyai hubungan dengan kalimat selanjutnya:  cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya.

Hubungan Taubat Nashūha dengan Rasul Allah

   Dengan demikian jelaslah bahwa pengabulan  taubat nashūha sangat erat hubungannya dengan beriman kepada rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan, firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ  الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ  قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾ 
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,  yaitu  orang-orang yang  mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil  berbaring atas rusuk mereka, dan mereka memikirkan mengenai penciptaan seluruh langit dan bumi  seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini  sia-sia,  Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api.” (Ali ‘Imran [3]:191-192).
      Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh  langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang ialah manusia diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani (duniawi) melalui ibadah kepada Allah Swt.  melalui pengamalan syariat.  Bila ia berbuat amal saleh maka masa kegelapannya dan masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagiaan, bagaikan kegelapan malam berganti dengan terang-benderangnya siang.
    Tatanan agung yang dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam ini telah dijadikan untuk menghidmati manusia, tentu saja kejadian manusia sendiri mempunyai tujuan yang agung dan mulia pula (QS.51:57; QS.95:5).
   Apabila orang merenungkan tentang kandungan arti keruhanian yang diserap dari gejala-gejala fisik di dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan sempurna yang melingkupinya itu, ia akan sangat terkesan dengan mendalam oleh kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta terlontar dari dasar lubuk hatinya seruan: “Ya  Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini sia-sia,” kecuali orang-orang yang buta mata ruhaninya (QS.17:73; QS.20:125-129; QS.22:46-49).

Azab Ilahi  & “Penyeru” dari Allah

   Setelah berhasil melihat Tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. dan melihat berkobarnya berbagai bentuk  api kemurkaan” Allah Swt. akibat berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah Swt. – baik hukum-hukum alam mau pun hukum-hukum syariat (QS.30:42) -- selanjutnya  orang-orang yang mempergunakan akal  itu  berdoa: 
رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾
“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.” (Ali ‘Imran [3]:193).
       Berbagai kobaran api kemurkaan Allah Swt. yang berkecamuk  di dunia tersebut mengingatkan mereka akan Sunnatullah yang tercantum dalam Kitab Suci (terutama Al-Quran),  bahwa Allah Swt. tidak pernah menurunkan   azab kepada manusia sebelum terlebih dulu mengutus seorang rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka (QS.6:132; QS.11:118; QS.17:16; QS.20:134-136; QS.26:29; QS.28:60).
       Itulah sebabnya “orang-orang berakal”   tersebut meyakini   bahwa rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan tersebut telah ada, karena itu  mereka selanjutnya  berkata:
رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ  فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ  الۡاَبۡرَارِ ﴿ ﴾ۚ  رَبَّنَا وَ اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿ ﴾  
Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami kepada  keimanan seraya berkata:  "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu" maka kami telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama  orang-orang yang berbuat kebajikan.   Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.” (Ali ‘Imran [3]:193-195).

Pengabulan Doa Pengikut Rasul Allah

      Dzunub (dzanb) berbeda dengan itsm dan jurm  yang artinya dosa yang dilakukan yang pasti mendapat hukuman, sedangkan dzunub  umumnya menunjuk kepada kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahan dan kealpaan-kealpaan yang biasa melekat pada diri manusia, dapat melukiskan relung-relung gelap dalam hati, ke tempat itu Nur Ilahi tidak dapat sampai dengan sebaik-baiknya (QS.3:17.), sedangkan sayyi’at (kesalahan) yang secara relatif  merupakan kata yang bobotnya lebih keras, dapat berarti gumpalan-gumpalan awan debu yang menyembunyikan cahaya matahari ruhani dari pemandangan kita (QS.2:82).
   Menanggapi  permohonan doa  orang-orang berakal” tersebut Allah Swt. berfirman:
فَاسۡتَجَابَ لَہُمۡ رَبُّہُمۡ اَنِّیۡ لَاۤ اُضِیۡعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنۡکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ اَوۡ اُنۡثٰی ۚ بَعۡضُکُمۡ مِّنۡۢ  بَعۡضٍ ۚ فَالَّذِیۡنَ ہَاجَرُوۡا وَ اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ وَ اُوۡذُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِیۡ وَ قٰتَلُوۡا وَ قُتِلُوۡا لَاُکَفِّرَنَّ عَنۡہُمۡ  سَیِّاٰتِہِمۡوَ لَاُدۡخِلَنَّہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ  تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۚ ثَوَابًا مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الثَّوَابِ ﴿﴾
Maka Tuhan mereka telah mengabulkan doa mereka seraya berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal dari antara kamu baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian kamu adalah dari sebagian lain,  maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari rumah-rumah-nya, yang disakiti pada jalan-Ku,  yang  berperang  dan  yang terbunuh, niscaya Aku akan menghapuskan dari mereka keburukan-keburukannya, dan niscaya Aku  akan memasukkan me-reka ke dalam kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai sebagai ganjaran dari sisi Allah,   dan Allah di sisi-Nya sebaik-baik ganjaran. (Ali ‘Imran [3]:196).
       Kalimat “maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari rumah-rumah-nya, yang disakiti pada jalan-Ku,  yang  berperang  dan  yang terbunuh“ hanya merujuk kepada keadaan orang-orang yang beriman kepada rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37)  akibat  mendapat perlakuan zalim dari para penentang rasul Allah tersebut, sebagamana yang diprediksi oleh para malaikat ketika Allah Swt. berkehendak menjadikan seorang Khalifah-Nya di bumi (QS.2:31-35).
        Ada pun bentuk pengabulan doa orang-orang beriman yang teraniaya di jalan Allah tersebut dikemukakan oleh firman Allah Swt. selanjutnya:
لَاُکَفِّرَنَّ عَنۡہُمۡ  سَیِّاٰتِہِمۡوَ لَاُدۡخِلَنَّہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ  تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۚ ثَوَابًا مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الثَّوَابِ ﴿﴾
“…niscaya Aku akan menghapuskan dari mereka keburukan-keburukannya, dan niscaya Aku  akan memasukkan mereka ke dalam kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai sebagai ganjaran dari sisi Allah,   dan Allah di sisi-Nya sebaik-baik ganjaran. (Ali ‘Imran [3]:196).
    Jadi,  jelaslah bahwa    taubat nashūha  bukan suatu perkara yang mudah, karena sangat memerlukan karunia Allah Swt., dan   hubungan  taubat nashūha tersebut erat hubungannya dengan rasul Allah yang dikemukakan dalam firman-Nya sebelum ini:
یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ
…..pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya…(At-Tahrim [66]:9).

 Nabi Allah dan  Dua Golongan Orang-orang Beriman  yang Besertanya

       Firman Allah Swt. tersebut erat hubungannya dengan pernyataan Allah Swt.  dalam Surah Al-Wāqi’ah, bahwa umat manusia  di  akhirat  akan terbagi menjadi 3 golongan, yakni   dua golongan penghuni surga   -- (1) golongan yang paling dahulu, (2) golongan kanan -- dan    satu golongan lagi   adalah  penghuni api neraka,  karena  mereka tidak beriman kepada Allah Swt. dan kepada Rasul Allah yang diutus kepada mereka, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾  اِذَا وَقَعَتِ الۡوَاقِعَۃُ ۙ﴿﴾  لَیۡسَ  لِوَقۡعَتِہَا  کَاذِبَۃٌ ۘ﴿۲﴾   خَافِضَۃٌ  رَّافِعَۃٌ ۙ﴿﴾  اِذَا  رُجَّتِ الۡاَرۡضُ  رَجًّا ۙ﴿﴾  وَّ  بُسَّتِ الۡجِبَالُ  بَسًّا ۙ﴿﴾ فَکَانَتۡ ہَبَآءً  مُّنۡۢبَثًّا ۙ﴿﴾   وَّ کُنۡتُمۡ  اَزۡوَاجًا  ثَلٰثَۃً ؕ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Apabila peristiwa yang pasti terjadi  itu terjadi.  Tidak ada seorang pun mendustakan kejadian itu. Peristiwa itu akan merendahkan sebagian, dan akan meninggikan sebagian lain. Apabila bumi  digoncang dengan goncangan hebat, dan gunung-gunung akan dihancur-leburkan  maka akan menjadi seperti zarah-zarah debu yang beterbangan. Dan kamu menjadi tiga golongan. (Al-Wāqi’ah [56]:1-8).
 Makna kalimat “Apabila peristiwa yang pasti terjadi  itu terjadi“ dapat mengisyaratkan kepada: (a) Qiamat itu pasti terjadi (b) kebangkitan terakhir; (c) kehancuran mutlak bagi penyembahan berhala di negeri Arab dan kekalahan sepenuhnya dan kegagalan mutlak bagi kaum musyrikin Quraisy; (d) kemunculan seorang Pembaharu agung, yakni Nabi Besar Muhammad saw..
“Peristiwa yang pasti terjadi” (ayat 2) itu akan menimbulkan revolusi besar dalam kehidupan manusia. Suatu dunia baru akan terwujud; si tinggi dan si berkuasa akan direndahkan, sedangkan  si tertekan dan si tertindas akan dijunjung harkatnya: “Peristiwa itu akan merendahkan sebagian, dan akan meninggikan sebagian lain”  (ayat 4).  
   Ada pun ayat “Apabila bumi  digoncang dengan goncangan hebat, dan gunung-gunung akan  dihancur-leburkan  maka akan menjadi seperti zarah-zarah debu yang beterbangan“, mengisyaratkan  bahwa seluruh negeri Arab akan digoncangkan sampai ke sendi-sendinya. Kepercayaan, alam pikiran, nilai-nilai budi pekerti, adat kebiasaan, cara hidup, dan lain-lain yang lama akan mengalami perubahan total. Pada hakikatnya, orde lama akan mati untuk memberi tempat kepada orde yang sama sekali baru  atau langit baru dan bumi baru  (QS.14:49-53).  

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 28 Februari  2013

Selasa, 26 Februari 2013

Hakikat Hubungan "Kebun-kebun" dengan "Sungai-sungai" dalam Surga




      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 



Bab 51


Hakikat Hubungan “Kebun-kebun
dengan “Sungai-sungai” dalam Surga

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  dijelaskan mengenai perumpamaan-perumpamaan yang menggambarkan nikmat-nikmat surgawi di alam akhirat, firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ لَا یَسۡتَحۡیٖۤ اَنۡ یَّضۡرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوۡضَۃً فَمَا فَوۡقَہَا ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ۚ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ  اَرَادَ  اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا ۘ یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ  اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya Allah  tidak malu  mengemukakan suatu perumpamaan sekecil nyamuk bahkan  yang lebih kecil dari itu, ada pun orang-orang yang beriman maka mereka mengetahui bahwa sesungguhnya perumpamaan itu  kebenaran  dari Tuhan mereka, sedangkan orang-orang kafir maka mereka mengatakan: “Apa  yang dikehendaki Allah dengan  perumpamaan ini?”  Dengannya   Dia menyesatkan banyak orang  dan dengannya pula    Dia memberi petunjuk banyak orang, dan sekali-kali   tidak ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang  fasik. (Al-Baqarah [2]:27).
     Dharaba al-matsala berarti: ia memberi gambaran atau pengandaian; ia membuat pernyataan; ia mengemukakan perumpamaan (Lexicon Lane; Taj-ul-‘Urus, dan QS.14:46).   Allah Swt. telah menggambarkan surga dan neraka dalam Al-Quran, dengan perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan. Perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan melukiskan mendalamnya arti (makna/falsafah/petunjuk) yang tidak dapat diungkapkan sebaik-baiknya dengan jalan lain, dan dalam hal-hal keruhanian perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan tersebut memberikan satu-satunya cara untuk dapat menyampaikan buah pikiran dengan baik.
    Kata-kata atau perumpamaan-perumpamaan yang dipakai untuk menggambarkan surga, mungkin tidak cukup dan tidak berarti (lemah) bagaikan nyamuk, yang dianggap oleh orang-orang Arab sebagai makhluk yang lemah dan memang pada hakikatnya demikian. Orang-orang Arab berkata: Adh-‘afu min ba’udhatin, artinya  "ia lebih lemah dari nyamuk".

Mereka yang “Disesatkan” Perumpamaan-
pertumpamaan dalam Al-Quran

    Meskipun demikian, perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan itu membantu untuk memunculkan dalam angan-angan  gambaran nikmat-nikmat surga itu. Orang-orang  beriman mengetahui bahwa kata-kata (lukisan) itu hanya perumpamaan dan mereka berusaha menyelami kedalaman artinya, tetapi orang-orang kafir mulai mencela perumpamaan-perumpamaan itu dan makin bertambah dalam kesalahan dan kesesatan.
     Fauq berarti dan bermakna “lebih besar” dan “lebih kecil” dan dipakai dalam artian yang sesuai dengan konteksnya (letaknya, ujung pangkalnya) — (Al-Mufradat), itulah makna dari ayat “Sesungguhnya Allah  tidak malu  mengemukakan suatu perumpamaan sekecil nyamuk bahkan  yang lebih kecil dari itu.“
   Sehubungan dengan perumpamaan-perumpamaan  dalam Al-Quran tersebut, selanjutnya Allah Swt. menyatakan:
ۘ یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ  اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ
“…Dengannya  Dia menyesatkan banyak orang  dan dengannya pula  Dia memberi petunjuk banyak orang, dan sekali-kali   tidak ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang  fasik….” (Al-Baqarah [2]:27).
    Adhallahullāh berarti: (1) Allah Swt. menetapkan dia berada dalam kekeliruan; (2) Allah Swt.  meninggalkan atau membiarkan dia sehingga ia tersesat (Al-Kasysyafan Ghawamidh al Tanzil); (3) Allah Swt.  mendapatkan atau meninggalkan dia dalam kekeliruan atau membiarkan dia tersesat (Lexicon Lane).   
    Dengan demikian benarlah firman Allah Swt.  bahwa hanya “orang-orang yang disucikan” Allah Swt. sajalah yang dapat “menyentuh” (menyelami kedalaman) khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang tak terhingga (QS.56:78-83) atau  orang-orang yang memiliki   ilmu yang matang dan mendalam” (rāsikhūna fil- ‘ilmi -QS.3:8-9), terutama  rasul Allah (QS.3:180; QS.72:27-29).
     Jadi,  Allah Swt. dalam Al-Quran  telah  menggambarkan karunia Ilahi dalam surga menggunakan perumpamaan-perumpamaan Allah Swt. dengan mempergunakan nama benda yang pada umumnya dipandang baik di bumi ini,  dan orang-orang beriman diajari bahwa mereka akan mendapat hal-hal itu semuanya dalam bentuk yang lebih baik di alam yang akan datang (akhirat), dan untuk menjelaskan perbedaan penting itulah maka dipakainya kata-kata yang telah dikenal, selain itu tidak ada persamaan antara kesenangan duniawi dengan karunia-karunia ukhrawi.

Gambaran Berbagai Keadaan dalam Mimpi  &
Makna “Kebun-kebun” dan  Sungai-sungai” dalam Surga

     Tambahan pula menurut Islam  kehidupan di akhirat itu tidak ruhaniah dalam artian bahwa hanya akan terdiri atas keadaan ruhani, bahkan dalam kehidupan di akhirat pun ruh manusia akan mempunyai semacam tubuh tetapi tubuh itu tidak bersifat benda.
     Orang dapat membuat tanggapan terhadap keadaan itu dari gejala-gejala mimpi. Pemandangan-pemandangan yang disaksikan orang dalam mimpi tidak dapat disebut keadaan pikiran atau ruhani belaka, sebab dalam keadaan itu pun  ia punya jisim (tubuh) dan kadang-kadang ia mendapatkan dirinya berada dalam kebun-kebun dengan sungainya, makan buah-buahan, dan minum susu.
      Sukar untuk mengatakan bahwa isi mimpi itu hanya keadaan alam pikiran belaka. Susu yang dinikmati dalam mimpi tidak ayal lagi merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bahwa  minuman itu susu biasa yang ada di dunia ini dan diminumnya.
     Pada hakikatnya nikmat-nikmat ruhani kehidupan di akhirat bukan akan berupa  hanya penyuguhan subyektif dari anugerah Allah Swt.   yang kita nikmati di dunia ini, bahkan apa yang kita peroleh di sini (di dunia) hanyalah gambaran anugerah nyata dan benar dari Allah Swt.  yang akan dijumpai orang di akhirat. Contohnya mengenai air dan api  yang dikenal manusia di dunia, pada hakikatnya air dan api yang sesungguhnya  adalah yang ada di alam akhirat.
     Demikian pula bahwa “kebun-kebun“ adalah gambaran iman, sedangkan  sungai-sungai” adalah gambaran amal saleh. Sebagaimana kebun-kebun di dunia ini tidak dapat tumbuh subur tanpa sungai-sungai, begitu pula iman tidak dapat segar dan sejahtera tanpa perbuatan baik (amal shalih),    dengan demikian  iman dan amal shalih tidak dapat dipisahkan untuk mencapai najat (keselamatan) di alam akhirat.
   Di akhirat kebun-kebun itu akan mengingatkan orang beriman akan keadaan imannya dalam kehidupan ini, sedangkan  sungai-sungai akan mengingatkan kembali kepada keadaan amal salehnya maka  ia akan mengetahui bahwa iman dan amal salehnya tidak sia-sia.
    Keliru sekali mengambil kesimpulan dari kata-kata: "Inilah yang telah diberikan kepada kami dahulu", bahwa di surga orang-orang beriman  akan dianugerahi buah-buahan semacam buah-buahan yang dinikmati mereka di bumi ini -- seperti  contohnya anggur, delima, durian, pisang dan lain-lain -- sebab seperti telah diterangkan di atas kedua jenis “buah-buahan” tersebut tidak sama.

Menggambarkan Kuantitas dan Kualitas
Keadaan Iman dan Amal Shaleh  di Dunia

    Buah-buahan di akhirat sesungguhnya akan berupa gambaran mutu keimanannya sendiri. Ketika mereka hendak memakannya mereka segera akan mengenali dan ingat kembali bahwa buah-buahan itu adalah hasil imannya di dunia, dan karena rasa syukur atas nikmat itu mereka akan berkata: “inilah yang telah diberikan kepada kami dahulu.” Ungkapan ini dapat pula berarti “inilah apa yang telah dijanjikan kepada kami.”
    Kata-kata “yang hampir serupa” tertuju kepada persamaan antara amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang beriman di bumi ini dan buah atau hasilnya di surga. Amal ibadah dalam kehidupan sekarang akan nampak kepada orang-orang beriman  sebagai hasil atau buah di akhirat. Makin sungguh-sungguh dan makin sepadan ibadah manusia, makin banyak pula ia menikmati buah-buah atau nikmat-nikmat surgawi yang menjadi bagiannya di surga dan  makin baik pula buah-buah itu dalam nilai dan mutunya.
     Jadi untuk meningkatkan mutu buah-buahan yang dikehendakinya di alam akhirat terletak pada kekuatan dan  kesungguhan orang-orang beriman itu sendiri. Ayat ini berarti pula bahwa makanan ruhani orang-orang beriman di surga akan sesuai dengan selera tiap-tiap orang dan taraf kemajuan serta tingkat perkembangan ruhaninya masing-masing.
     Kata-kata  mereka akan kekal di dalamnya” berarti bahwa orang-orang beriman di surga tidak akan pernah mengalami sesuatu perubahan atau kemunduran apalagi kematian. Orang akan mati hanya jika ia tidak dapat menyerap zat makanan atau bila orang lain membunuhnya.

Makna Permohonan Maghfirah (Ampunan) di Surga

     Tetapi  karena makanan surgawi akan benar-benar cocok untuk setiap orang dan karena orang-orang di sana akan mempunyai kawan-kawan yang suci dan suka damai maka kematian dan kemunduran dengan sendirinya akan lenyap, yang ada adalah kemajuan yang terus berkesinambungan, dari satu tingkatan surga ke tingkatan surga yang lebih tinggi lagi, inilah makna firman Allah Swt. mengenai maghfirah (mohon ampunan) yang  dikemukakan  oleh para penghuni surga, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا تُوۡبُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ تَوۡبَۃً  نَّصُوۡحًا ؕ عَسٰی رَبُّکُمۡ  اَنۡ یُّکَفِّرَ عَنۡکُمۡ سَیِّاٰتِکُمۡ وَ یُدۡخِلَکُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ  مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ۙ یَوۡمَ لَا یُخۡزِی اللّٰہُ  النَّبِیَّ  وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۚ  نُوۡرُہُمۡ  یَسۡعٰی بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ بِاَیۡمَانِہِمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Boleh jadi Tuhan kamu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu dan akan memasukkan kamu ke dalam  kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya, cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan  di sebelah kanannya, mereka akan berkata: “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami,  sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim [66]:9).
   Keinginan tidak kunjung padam bagi kesempurnaan pada pihak orang-orang yang beriman di surga sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata, “Hai  Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami“ menunjukkan bahwa kehidupan di surga itu bukanlah kehidupan menganggur (pasif).
   Kebalikannya, kemajuan ruhani di surga tiada berhingga, sebab bila orang-orang beriman  akan mencapai kesempurnaan yang menjadi ciri tingkat surga  tertentu, mereka tidak akan berhenti sampai di situ, melainkan serentak terlihat di hadapannya ada tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi -- dan diketahuinya bahwa tingkat surgawi yang didapati olehnya itu bukan tingkat tertinggi --  maka ia akan maju terus dan seterusnya tanpa berakhir. Sehubungan dengan hal tersebut Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda dalam sebuah hadits mengenai perbedaan  ketinggian satu tingkatan surga dengan tingkatan surga di atasnya adalah bagaikan orang melihat ketingggian sebuah bintang di langit.
  Selanjutnya tampak, bahwa setelah masuk surga orang-orang beriman  akan mencapai maghfirah – penutupan kekurangan (Lexicon Lane). Mereka akan terus-menerus berdoa kepada Allah Swt. untuk mencapai kesempurnaan dan sama sekali tenggelam dalam Nur Ilahi dan akan terus naik kian menanjak ke atas dan memandang tiap-tiap tingkat surgawi sebagai ada kekurangan dibandingkan dengan tingkat surgwi yang  lebih tinggi yang didambakan oleh mereka, dan karena itu akan berdoa kepada Allah Swt., supaya Dia menutupi ketidaksempurnaannya (mendapat maghfirah), sehingga mereka akan mampu mencapai tingkat lebih tinggi itu.
Inilah makna yang sesungguhnya mengenai istighfar yang akan dimohonkan oleh para penghuni surga, yang secara harfiah berarti “mohon ampunan atas segala kealpaan” atau “mohon agar Allah Swt. menutupi kekurangan yang dimiliki” --  bukan berarti bahwa para penghuni surga tersebut melakukan perbuatan dosa di dalam  surga -- firman-Nya:
یَقُوۡلُوۡنَ  رَبَّنَاۤ اَتۡمِمۡ  لَنَا نُوۡرَنَا وَ اغۡفِرۡ لَنَا ۚ اِنَّکَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Mereka berkata, “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan maafkanlah kami,  sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim [66]:9).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 27 Februari  2013