بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 108
Perbedaan Bashirah
(Penglihatan Ruhani) ‘Ulama Fiqih
dan ‘Ulama Sufi Hindustan tentang
Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
dialog antara Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. dengan para pemuka agama
Yahudi, firman-Nya:
فَاَتَتۡ
بِہٖ قَوۡمَہَا تَحۡمِلُہٗ ؕ
قَالُوۡا یٰمَرۡیَمُ لَقَدۡ جِئۡتِ شَیۡئًا فَرِیًّا ﴿﴾ یٰۤاُخۡتَ ہٰرُوۡنَ مَا کَانَ اَبُوۡکِ امۡرَ اَ سَوۡءٍ وَّ مَا کَانَتۡ
اُمُّکِ بَغِیًّا﴿ۖۚ﴾ فَاَشَارَتۡ اِلَیۡہِ ؕ قَالُوۡا کَیۡفَ نُکَلِّمُ
مَنۡ کَانَ فِی الۡمَہۡدِ
صَبِیًّا ﴿﴾
Maka
Maryam membawa dia (Isa Ibnu
Maryam), kepada kaumnya dengan menunggangkannya. Mereka berkata:
"Hai Maryam, sungguh
engkau benar-benar telah berbuat
sesuatu hal yang keji. Hai saudara
perempuan Harun, ayah engkau sama
sekali bukan seorang buruk dan ibu
engkau sekali-kali bukan seorang pezina!" Maka
ia, Maryam, memberi isyarah kepadanya (Isa Ibnu Maryam). Mereka berkata: "Bagaimana kami akan bercakap dengan seorang anak masih dalam buaian?"
(Maryam [19]:28-30).
Firman-Nya
lagi:
قَالَ
اِنِّیۡ عَبۡدُ اللّٰہِ ۟ؕ اٰتٰنِیَ الۡکِتٰبَ وَ جَعَلَنِیۡ نَبِیًّا ﴿ۙ﴾ وَّ جَعَلَنِیۡ مُبٰرَکًا اَیۡنَ مَا کُنۡتُ ۪ وَ
اَوۡصٰنِیۡ بِالصَّلٰوۃِ وَ الزَّکٰوۃِ
مَا دُمۡتُ حَیًّا ﴿۪ۖ﴾ وَّ بَرًّۢا بِوَالِدَتِیۡ ۫ وَ لَمۡ یَجۡعَلۡنِیۡ جَبَّارًا شَقِیًّا﴿﴾ وَ السَّلٰمُ عَلَیَّ
یَوۡمَ وُلِدۡتُّ وَ یَوۡمَ اَمُوۡتُ وَ یَوۡمَ
اُبۡعَثُ حَیًّا ﴿﴾
Ia,
Ibnu Maryam, berkata: "Sesungguhnya aku seorang hamba Allah,
Dia telah menganugerahkan kepadaku Kitab itu dan Dia telah menjadikanku seorang nabi, Dan Dia
telah menjadikanku diberkati di mana pun aku berada, dan telah memerintahkanku mendirikan shalat dan membayar zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sewenang-wenang lagi sial. Dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku mati, dan pada hari aku akan dibangkitkan hidup kembali."
(Maryam [19]:31-34).
Hakikat Penggunaan Kata Qānitīn
(Orang-orang Laki-laki Beriman yang Patuh)
Apabila kedua firman Allah Swt.
berkenaan dengan sikap Maryam binti
Imran dan jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. terhadap tuduhan keji dan cemooh
para pemuka agama Yahudi tersebut dihubungkan dengan firman Allah Swt. mengenai
keadaan ruhani orang-orang beriman yang dimisalkan
Maryam binti ‘Imran akan nampak hubungannya yang halus, firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka
mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim, Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:11-13).
Kata qānitīn
(orang-orang laki-laki beriman yang patuh) dalam
firman-Nya mengenai Maryam binti ‘Imran:
وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:13).
Penggunaan kata kata qānitīn (orang-orang laki-laki beriman yang patuh) pada akhir ayat
tersebut tidak ditujukan kepada Maryam
binti ‘Imran, sebab kata qānitīn (orang-orang yang patuh) adalah bagi kaum laki-laki, sedangkan bagi orang-orang beriman perempuan yang patuh
adalah qānitāt (QS.33:36),
sebagaimana sebelum Maryam binti ‘Imran disebut sebagai ahshanat (perempuan yang memelihara kesuciannya).
Dengan demikian penggunaan kata qānitīn (orang-orang
laki-laki beriman yang patuh) sehubungan dengan misal Maryam binti ‘Imran yang ahshanat
(perempuan menjaga kesuciannya)
adalah mengisyaratkan kepada kelahiran seorang anak laki-laki yaitu Nabi Isa Ibnu Maryam a.s..
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa martabat
keruhanian Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. merupakan peningkatan ruhani
dan lebih tinggi dari tingkatan ruhani
Maryam binti ‘Imran. Itulah sebabnya dalam QS.19:28-33 untuk menjawab tuduhan keji dan cemoohan
para pemuka kaum Yahudi tersebut Maryam binti ‘Imran telah mengisyaratkan
kepada putra beliau, Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s., firman-Nya:
قَالَ
اِنِّیۡ عَبۡدُ اللّٰہِ ۟ؕ اٰتٰنِیَ الۡکِتٰبَ وَ جَعَلَنِیۡ نَبِیًّا ﴿ۙ﴾ وَّ جَعَلَنِیۡ مُبٰرَکًا اَیۡنَ مَا کُنۡتُ ۪ وَ
اَوۡصٰنِیۡ بِالصَّلٰوۃِ وَ الزَّکٰوۃِ
مَا دُمۡتُ حَیًّا ﴿۪ۖ﴾ وَّ بَرًّۢا بِوَالِدَتِیۡ ۫ وَ لَمۡ یَجۡعَلۡنِیۡ جَبَّارًا شَقِیًّا﴿﴾ وَ السَّلٰمُ عَلَیَّ
یَوۡمَ وُلِدۡتُّ وَ یَوۡمَ اَمُوۡتُ وَ یَوۡمَ
اُبۡعَثُ حَیًّا ﴿﴾
Ia,
Ibnu Maryam, berkata: "Sesungguhnya aku seorang hamba Allah,
Dia telah menganugerahkan kepadaku Kitab itu dan Dia telah menjadikanku seorang nabi, Dan Dia
telah menjadikanku diberkati di mana pun aku berada, dan telah memerintahkanku mendirikan shalat dan membayar zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sewenang-wenang lagi sial. Dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku mati, dan pada hari aku akan dibangkitkan hidup kembali."
(Maryam [19]:31-34).
Kesaksian Misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
di Akhir Zaman Mengenai Mysteri Penyaliban
Jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
tersebut demikian telak dan tak terbantahkan, sehingga benar-benar telah
menutup (membungkam) mulut para pemuka agama Yahudi.
Salah satu bukti mengenai hal
tersebut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah “menelanjangi” berbagai macam keburukan
para pemuka agama Yahudi dengan berbagai
kecaman pedas (Matius
23:1-39 pasal Yesus mengecam ahli-ahli
Torat dan orang-orang Farisi).
Itulah sebabnya para pemuka kaum Yahudi tersebut berusaha untuk membunuh Nabi isa Ibnu Maryam a.s. melalui “penyaliban” guna membuktikan kebenaran tuduhan dusta mereka berkenaan beliau, sebab menurut hukum Taurat orang yang matinya
tergantung pada tiang salib merupakan kutuk baginya (Ulangan 21:23),
firman-Nya:
وَّ بِکُفۡرِہِمۡ
وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ بُہۡتَانًا
عَظِیۡمًا ﴿﴾ۙ وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا
الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا
صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ ؕ وَ
اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ ؕ مَا لَہُمۡ
بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ
الظَّنِّ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ یَقِیۡنًۢا
﴿﴾ۙ بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ ؕ وَ
کَانَ اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾ وَ اِنۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ اِلَّا لَیُؤۡمِنَنَّ
بِہٖ قَبۡلَ مَوۡتِہٖ ۚ وَ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ
یَکُوۡنُ عَلَیۡہِمۡ شَہِیۡدًا ﴿﴾ۚ
Dan mereka Kami azab karena kekafiran mereka dan ucapan
mereka terhadap Maryam berupa tuduhan palsu yang besar. Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih,
Isa Ibnu Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka
tidak membunuhnya secara biasa dan tidak pula mematikannya melalui penyaliban, akan tetapi ia disamarkan kepada
mereka seperti telah mati di atas salib. Dan sesungguhnya orang-orang
yang berselisih dalam hal ini niscaya ada dalam keraguan mengenai ini, mereka tidak memiliki pengeta-huan yang
pasti mengenai ini melainkan menuruti
dugaan belaka dan mereka
tidak yakin telah membunuhnya. Bahkan
Allah telah meng-angkatnya kepada-Nya
dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Dan
tidak ada seorang pun dari Ahlul Kitab melainkan akan tetap beriman kepada hal ini sebelum ajalnya, dan pada
Hari Kiamat ia, Nabi Isa, akan
menjadi saksi terhadap mereka. (An-Nisā
[4]:157-160).
Salah satu makna kalimat “pada Hari Kiamat ia, Nabi
Isa, akan menjadi saksi terhadap
mereka” bahwa sampai sekian lama mysteri
peristiwa penyaliban Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. menimbulkan bermacam tafsir yang menyesatkan, salah satu di
antaranya timbulnya paham Trinitas
dan Penebusan Dosa yang dianut dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh bangsa-bangsa yang disebut Ya’juj
(Gog) dan Ma’juj (Magog) atau Dajjal yang matanya buta sebelah (QS.21:96-98).
Sebagaimana merajalelanya bangsa-bangsa yang disebut Ya’juj (Gog) dan Ma’juj (Magog) di masa awal dihentikan oleh Dzulqarnain -- raja Media dan Persia -- demikian pula
merajalelanya mereka yang ke dua kali di Akhir
Zaman pun akan dihentikan oleh kedatangan kedua kali Dzulqarnain
atau misal Isa ibnu Maryam (QS.43:58)
atau Al-Masih Mau’ud a.s. yakni Rasul Akhir Zaman (QS.61:10), yang
menurut Nabi Besar Muhammad saw. adalah
keturunan Parsi, yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. (QS.18:84-102).
Imam
Mahdi a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s.
atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. – ini yang menurut hadits Nabi Besar Muhammad
saw. secara kiasan akan “membunuh babi dan memecahkan salib”, sehingga akan sempurnalah kesaksian
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atas para Ahli Kitab mengenai kedustaan mereka selama itu berkenaan
dengan mysteri penyaliban Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s.:
وَّ بِکُفۡرِہِمۡ
وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ بُہۡتَانًا
عَظِیۡمًا ﴿﴾ۙ وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا
الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا
صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ ؕ وَ
اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ ؕ مَا لَہُمۡ
بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ
الظَّنِّ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ یَقِیۡنًۢا
﴿﴾ۙ بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ ؕ وَ
کَانَ اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾ وَ اِنۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ اِلَّا لَیُؤۡمِنَنَّ
بِہٖ قَبۡلَ مَوۡتِہٖ ۚ وَ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ
یَکُوۡنُ عَلَیۡہِمۡ شَہِیۡدًا ﴿﴾ۚ
Dan mereka Kami azab karena kekafiran mereka dan ucapan
mereka terhadap Maryam berupa tuduhan palsu yang besar. Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih,
Isa Ibnu Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka
tidak membunuhnya secara biasa dan tidak pula mematikannya melalui penyaliban, akan tetapi ia disamarkan kepada
mereka seperti telah mati di atas salib. Dan sesungguhnya orang-orang
yang berselisih dalam hal ini niscaya ada dalam keraguan mengenai ini, mereka tidak memiliki pengeta-huan yang
pasti mengenai ini melainkan menuruti
dugaan belaka dan mereka
tidak yakin telah membunuhnya. Bahkan
Allah telah meng-angkatnya kepada-Nya
dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Dan
tidak ada seorang pun dari Ahlul Kitab melainkan akan tetap beriman kepada hal ini sebelum ajalnya, dan pada
Hari Kiamat ia, Nabi Isa, akan
menjadi saksi terhadap mereka. (An-Nisā
[4]:157-160).
Perbedaan Ketajaman Mata Ruhani (Bashirah) ‘Ulama
Fiqih
dengan Mata
Ruhani (Bashirah) ‘Ulama Sufi
Kembali
kepada kutipan sambutan dan dukungan dua tokoh Islam India (Hindustan) pada masa itu
terhadap buku Barahīn-i- Ahmadiyah
dan penulisnya yakni:
(1) Mlv.
Muhammad Hussein Batalvi, seorang tokoh terkemuka dari kelompok Ahli Hadits
(Wahabi) di India, banyak memberikan sanjungan terhadap buku Barahiin-i Ahmadiyyah maupun
terhadap penulisnya. Beliau ini pada
awalnya adalah seorang tokoh yang sangat mendukung perjuangan Mirza
Ghulam Ahmad a.s., namun pada akhirnya – setelah pendakwaan sebagai Al-Masih
Mau’ud a.s. -- ulama golongan Ahli
Hadits (Wahabi) Hindustan tersebut berubah menjadi penentang keras beliau a.s., persis seperti sikap buruk para pemuka agama Yahudi yang melakukan penghinaan terhadap Maryam
binti ‘Imran dan putranya, Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s..
Di
dalam salah satu risalahnya, Isyaatus-Sunnah, Mlv.Muhammad
Hussein Batalvi menuliskan kesaksiannya
tentang keluarbiasaan buku Barahīn-i-
Ahmadiyah dan penulisnya:
"Menurut pendapat saya -- pada zaman sekarang dan sesuai
kondisi yang berlaku -- buku ini adalah sedemikian rupa, yangmana sampai saat
ini di dalam Islam tidak ada bandingannya yang telah ditulis, dan tidak pula
ada khabar di masa mendatang.... Penulisnya pun -- dalam hal memberikan bantuan
kepada Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan -- sangat teguh dan
kukuh pada langkah-langkahnya. Sehingga sangat sedikit ditemukan contoh yang
seperti beliau, walau dari kalangan umat Islam terdahulu sekali pun..." (Risalah
Isyaatus-Sunnah jld.7, no.6-11; Swanah Fazl Umar, Jld.I, hal.20).
Namun kemudian dalam risalah yang
sama Ulama
Ahli Hadits (Wahabi) tersebut berkomentar
dengan takabur bahwa
“sebagaimana dulu dialah yang membuat Mirza Ghulam Ahmad a.s. termasyhur, maka sekarang pun dia pula
yang akan menghinakannya”
(2) Berikut ini ulasan dari seorang tokoh Sufi terkenal di Hindustan yang berasal
dari Ludhiana. Yaitu Sufi Ahmad Jaan.
Banyak murid maupun pengikut beliau yang
menjadi tokoh-tokoh pemuka agama Islam saat itu. Sang Sufi ini menuliskan ulasan tentang buku Barahīn-i- Ahmadiyyah di dalam sebuah selebaran beliau yang berjudul Isytihar
Wajibul Izhar:
"Di zaman abad ke empatbelas telah berkecamuk sebuah tofan kebobrokan di dalam setiap agama.
Seperti yang dikatakan orang: orang-orang
kafir baru banyak bermunculan, dan orang-orang
Islam baru pun banyak bermunculan. Tidak diragukan lagi, diperlukan sebuah buku dan seorang mujaddid seperti Barahīn-i Ahmadiyyah serta penulisnya Maulana Mirza Ghulam Ahmad
Sahib., yang dengan berbagai cara siap untuk membuktikan da'wah Islam atas para penentang.
Beliau bukanlah berasal dari kalangan ulama maupun cendekiawan umum,
melainkan secara khusus [datang] untuk tugas
ini sebagai utusan dari Allah;
penerima ilham dan yang bercakap-cakap dengan Allah.... Sang penulis adalah mujaddid, mujtahid, muhaddats bagi
abad-keempat belas ini, dan merupakan seorang
yang kamil dari kalangan umat ini. Hadits Nabawi ini pun mendukung beliau: 'Ulama ummatiy kal-anbiyā Bani Isrāil' (‘ulama umatku seperti para nabi Bani
Israil) .......
Wahai para penelaah! Dengan niat yang benar serta dengan semangat
kebenaran yang sempurna saya menyampaikan hal ini, bahwa tidak diragukan lagi
bahwasanya Mirza Sahib adalah mujaddid era ini; pedoman bagi para pencari jalan [kebenaran]; matahari bagi orang-orang yang berhati batu; penunjuk jalan bagi orang-orang yang sesat; pedang nyata bagi para pengingkar Islam; hujjah sempurna bagi para pendengki.
Yakinilah bahwa tidak akan datang lagi masa yang seperti ini. Ketahuilah, bahwa masa ujian telah tiba, dan
Hujjah Ilahi telah tegak. Dan
bagaikan matahari jagat raya telah diutus seorang Hādi Kamil (pemberi petunjuk yang sempurna), supaya ia
menganugerahkan nur kepada
orang-orang yang benar dan mengeluarkan [mereka] dari kegelapan dan kesesatan serta
akan menghujjat para pendusta". (Isytihar Wajibul Izhar; Swanah Fazl Umar, jld.I,
hal.21-22)
Apabila dua cuplikan komentar positif dari dua
orang ulama besar Hindustan berkenaan
buku Barahīn-i- Ahmadiyyah dan
penulisnya tersebut diperhatikan
secara saksama, maka nampak sekali
perbedaan bobot pujian serta
ketajaman pandangan ruhani (bashirah)
antara seorang ‘alim dari kalangan ulama fiqih – yakni Mlv. Muhammad
Hussein Batalwi – dengan pandangan
seorang ‘alim dari kalangan ‘ulama Sufi,
yakni Sufi Ahmad Jaan.
Perbedaan pandangan ruhani (bashirah) tersebut semakin jelas ketika kedua
orang ‘ulama
yang berbeda aliran pemahaman
tersebut mensikapi pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam
Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s., semata-mata melaksanakan perintah Allah Swt., padahal sebelumnya Mlv. Muhammad Hussein
Batalwi telah memuji-muji pembelaan
besar yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. terhadap kesempurnaan agama Islam (Al-Quran) dan kesucian Nabi Besar Muhammad saw.
Tuntutan Jahil Abu Jahal Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai Nabi Besar
Muhammad saw., dimana sebelumnya kaum
beliau sendiri telah memberi gelar al-Amin (si Jujur) kepada Nabi Besar
Muhammad saw., tetapi ketika beliau saw atas
perintah Allah mendakwakan diri sebagai rasul
Allah, tiba-tiba para pemuka kaum Quraisy Makkah tersebut berbalik menjadi penentang keras dan zalim
beliau saw. dan mengemukakan berbagai tuntutan mengenai wahyu Al-Quran, firman-Nya:
وَ اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِمۡ اٰیَاتُنَا بَیِّنٰتٍ ۙ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا
یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا ائۡتِ بِقُرۡاٰنٍ غَیۡرِ
ہٰذَاۤ اَوۡ بَدِّلۡہُ ؕ قُلۡ مَا
یَکُوۡنُ لِیۡۤ اَنۡ اُبَدِّلَہٗ مِنۡ
تِلۡقَآیِٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنۡ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا یُوۡحٰۤی اِلَیَّ ۚ
اِنِّیۡۤ اَخَافُ اِنۡ عَصَیۡتُ
رَبِّیۡ عَذَابَ یَوۡمٍ
عَظِیۡمٍ ﴿﴾ قُلۡ لَّوۡ شَآءَ
اللّٰہُ مَا تَلَوۡتُہٗ عَلَیۡکُمۡ وَ
لَاۤ اَدۡرٰىکُمۡ بِہٖ ۫ۖ فَقَدۡ لَبِثۡتُ فِیۡکُمۡ عُمُرًا مِّنۡ قَبۡلِہٖ ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾ فَمَنۡ
اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی
اللّٰہِ کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ
ؕ اِنَّہٗ لَا یُفۡلِحُ الۡمُجۡرِمُوۡنَ
﴿﴾
Dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat Kami yang
nyata, maka orang-orang yang tidak mengharapkan
pertemuan dengan Kami berkata: ”Datangkanlah yang bukan Al-Quran ini, atau ubahlah dia.” Katakanlah: “Sekali-kali
tidak patut bagiku untuk mengubahnya dari pihak diriku, tidaklah aku kecuali hanya mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku, sesungguhnya aku takut pada azab Hari yang
besar jika aku mendurhakai Tuhan-ku.” Katakanlah: “Seandainya Allah
menghendaki, aku sama sekali tidak akan membacakannya kepada kamu dan tidak pula Dia akan memberitahukan
mengenainya kepada kamu. Maka sungguh sebelum
ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang, tidakkah kamu
mempergunakan akal?” Maka siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu dusta terhadap
Allah atau mendustakan Tanda-tanda-Nya?
Sesungguhnya orang-orang berdosa tidak akan berhasil.” (Yunus
[10]:16-18).
Tuntutan para pemuka kaum kafir Quraisy kepada
Nabi Besar Muhammad saw. “Datangkanlah
yang bukan Al-Quran ini, atau ubahlah dia” merupakan bukti kebutaan
mata ruhani mereka dan kejahiliyahan mereka, yakni mereka mereka sendiri sebelumnya
telah memberi gelar al-Amin (si Jujur) kepada Nabi Besar Muhammad saw., karena mereka
menjadi saksi mata bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. sebelum mendakwakan diri
sebagai rasul Allah tidak pernah berkata dusta atau melakukan pengkhianatan terhadap amanat apa pun dipercayakan kepada beliau.
Tetapi ketika Nabi Besar Muhammad
saw. atas perintah Allah Swt. mendakwakan
diri beliau saw. sebagai rasul Allah,
tiba-tiba mereka menuduh beliau saw.
sebagai pendusta dan mengada-ada wahyu Al-Quran dan meminta beliau saw.
untuk mengubah wahyu-wahyu Al-Quran
yang mencela keras kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka
lakukan.
Firman Allah Swt. pada ayat 17 -- “Maka
sungguh sebelum ini aku telah tinggal
bersama kamu dalam masa yang panjang, tidakkah kamu mempergunakan akal?”
-- pernyataan tersebut mengandung batu ujian yang amat jitu untuk menguji kebenaran seseorang yang mengaku (mendakwakan) dirinya seorang nabi (rasul Allah).
Apabila kehidupan seorang nabi
sebelum dakwa kenabiannya menampakkan
kejujuran dan ketulusan hati yang bertaraf luar biasa tingginya -- dan di antara masa itu dengan dakwa kenabiannya tidak ada masa-antara yang dapat memberikan kesan
bahwa beliau telah jatuh dari keutamaan akhlak yang tinggi tarafnya
itu -- maka dakwa kenabiannya harus
diterima sebagai dakwa orang yang tinggi
akhlaknya, orang jujur, dan benar.
Kenapa demikian? Sebab seseorang yang terbiasa kepada suatu sikap
atau tingkah-laku tertentu disebabkan
adat-kebiasaannya atau tabiatnya, akan memer-lukan waktu yang lama untuk mengadakan perubahan besar dalam dirinya untuk
menjadi orang baik atau orang buruk, karena itu bagaimanakah mungkin
Nabi Besar Muhammad saw. tiba-tiba dapat berubah menjadi seorang penipu,
padahal sepanjang kehidupan beliau saw.
sebelum dakwa kenabian, beliau saw. adalah
orang yang tidak ada taranya dalam kejujuran dan kelurusan?
Tuntutan Jahil yang Berulang di Akhir Zaman
Demikian pula halnya dengan Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang kemudian
atas perintah Allah Swt. mendakwakan
diri sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s., yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama di Akhir Zaman ini:
فَقَدۡ
لَبِثۡتُ فِیۡکُمۡ عُمُرًا مِّنۡ قَبۡلِہٖ
ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ
“Maka sungguh sebelum ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang,
tidakkah kamu mempergunakan akal?” (Yunus [10]:17).
Ayat selanjutnya menjelaskan dua kebenaran yang kekal: (a) Orang-orang yang mengada-adakan dusta mengenai Allah Swt. dan orang-orang
yang menolak dan menentang
utusan-utusan-Nya sama sekali tidak
akan luput dari hukuman Tuhan; (b)
Pendusta-pendusta dan nabi-nabi palsu tidak dapat berhasil
dalam tujuannya:
فَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی اللّٰہِ کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ ؕ
اِنَّہٗ لَا یُفۡلِحُ الۡمُجۡرِمُوۡنَ ﴿﴾
Maka siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu dusta terhadap
Allah atau mendustakan
Tanda-tanda-Nya? Sesungguhnya orang-orang
berdosa tidak akan berhasil.” (Yunus
[10]:18).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 April 2013