Rabu, 20 Maret 2013

Kasus-kasus Pernikahan yang Kontroversial




      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 69



Kasus-kasus Pernikahan
yang Kontroversial


 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  telah dijelaskan  sampai batas-batas tertentu adanya persamaan tujuan pernikahan poligami dengan pernikahan tunggal. Bila salah satu atau semua tujuan itu tidak tercapai dengan pernikahan tunggal maka pernikahan  poligami menjadi suatu keperluan. Berikut   pentingnya lembaga pernikahan atau tujuan melakukan pernikahan menurut Islam.
      Menurut Al-Quran tujuan pernikahan ada empat, yakni: (1) pencegahan terhadap penyakit-penyakit jasmani, akhlak, dan ruhani (QS.2:188; QS.4: 25); (2) mendapatkan ketenteraman hati dan untuk memperoleh seorang teman hidup yang mau mencurahkan cinta kasihnya (QS.30:22); (3) mendapatkan keturunan, dan (4) memperluas lingkup kekeluargaan (QS.4:2).

Tujuan Utama Izin Melakukan Polygami

   Namun ada beberapa alasan juga yang kadang-kadang dapat menjadikan seseorang perlu mempunyai seorang lagi istri atau lebih, di samping seorang istri yang sangat mencintai dan cukup memenuhi tujuan-tujuan pernikahan. Alasan-alasan itu ialah: (a) untuk melindungi anak-anak yatim; (b) untuk mempersuamikan janda-janda yang layak bersuami lagi, dan (c) untuk mengisi kekosongan anggota keluarga laki-laki dalam suatu keluarga atau masyarakat, misalnya  akibat perang.
      Sudah jelas dari ayat yang sedang kita bahas ini bahwa poligami diikhtiarkan pada khususnya dengan tujuan melindungi anak-anak yang terlantar. Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan,  bahwa ibu anak-anak yatim yang bernaung di bawah perwalian seseorang lebih baik dinikahi  oleh wali itu sendiri, agar ia menjadi langsung terikat dalam tali kekeluargaan dengan mereka dan  lebih erat perhubungannya dengan mereka, sehingga  dengan demikian lebih dapat mencurahkan perhatian demi kesejahteraan mereka daripada ia tidak berbuat demikian.
       Mempersuamikan janda-janda (QS.24:33) merupakan tujuan lain yang dicapai dengan adanya peraturan poligami. Orang-orang Islam di zaman Nabi Besar Muhammad saw.  senantiasa repot menghadapi peperangan membela agama. Banyak sekali yang gugur dalam medan perang dan meninggalkan janda-janda dan anak-anak yatim, tanpa mempunyai keluarga dekat yang mengurus mereka.
       Kelebihan jumlah kaum perempuan  dari kaum laki-laki dan luar biasa banyaknya bilangan anak-anak yatim tanpa seorang pun yang mengurus mereka — sebagai akibat tak terelakkan dari peperangan — menghendaki agar pernikahan-pernikahan  poligami dianjurkan, guna menyelamatkan Islam dari keruntuhan akhlak.
      Kedua Perang Dunia telah membenarkan peraturan Islam yang amat berfaedah ini. Peperangan ini telah meninggalkan perempuan-perempuan  muda usia tanpa suami dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Sungguh, bilangan kaum perempuan yang lebih besar jumlahnya darilaki-laki di dunia Barat — disebabkan oleh kehilangan banyak sekali kaum laki-laki, akibat kedua perang dunia itu — menjadi penyebab kemunduran akhlak dewasa ini, sehingga menggerogoti kehidupan masyarakat Barat.

Mencegah Bahaya Kehancuran Total  Bangsa

      Di samping kemungkinan memenuhi keperluan akan suami bagi janda-janda muda itu, peraturan poligami juga dimaksudkan untuk mengatasi keadaan yang timbul sebagai akibat peperangan bila -- di samping segi-segi kemunduran lainnya --  tenaga laki-laki suatu bangsa menjadi demikian langkanya, sehingga timbul bahaya kehancuran total bangsa itu.
     Menurunnya angka kelahiran yang merupakan penyebab penting dari keruntuhan suatu bangsa, dapat diobati secara jitu  hanya dengan mempergunakan peraturan poligami. Jadi, poligami bukanlah untuk penyaluran keperluan nafsu syahwat, seperti disalahartikan orang, melainkan merupakan pengorbanan yang meminta supaya perasaan pribadi dan sepintas lalu diberikan untuk kepentingan umum atau kepentingan nasional yang lebih luas.
      Dengan demikian terjawablah semua celaan dan kritikan  yang dilontarkan oleh pihak non-Muslim mengenai masalah polygami,  sebagai akibat dari kekeliruan segelintir dari kalangan umat Islam sendiri yang telah menyalahgunakan izin melakukan poligami serta kekeliruan memaknai kata muth’ah, sehingga muncul praktek-praktek penikahan haram seperti contohnya nikah sirri atau  kawin kontrak” dan lain-lainnya yang sangat menodai kesempurnaan ajaran Islam mengenai lembaga pernikahan, termasuk masalah menyalahgunakan  izin melakukan poligami.
      Kasus-kasus pernikahan yang   telah menimbulkan  masalah – sampai-sampai seorang Kepala Daerah baru-baru ini terpaksa harus turun  (dilengserkan) dari jabatannya karena kasusnya telah menjadi isu nasional – adalah  karena nikah sirri dan cerai sirri  via SMS yang telah dilakukannya telah menimbulkan  reaksi  pro-kontra  luar biasa,  yang  nyaris menenggelamkan  ingar-bingar berita-berita mengenai gonjang-ganjing politik,   yang diekspose oleh hampir semua mass media di NKRI.
     Salah satu di antaranya yang paling menarik perhatian adalah   ajang perdebatan” mengenai kasus pernikahan sirri tersebut dalam acara “Indonesia Lawyer Club”, di antara pihak-pihak yang pro dan kontra  terhadap  kasus yang dialami oleh sang kepala daerah tersebut, yang kebetulan berasal dari kalangan ‘ulama.
      Ketika pemandu acara menanyakan kepada berbagai nara sumber dari kalangan ‘ulama – salah satu di antaranya adalah Imam Besar Mesjid Istiqlal – mengenai sah-tidaknya   pelaksanaan nikah sirri yang dilakukan sang pejabat daerah tersebut, umumnya mereka mengatakan bahwa pernikahan sirri tersebut sah menurut ajaran Islam.

Tidak Cukup Hanya  Memperdebatkan “Sah atau Tidak Sah

     Kalau hanya sampai batas sah atau tidak sahnya melakukan nikah sirri yang dilakukan oleh siapa pun – yakni selama memenuhi ketentuan syariat, yaitu keberadaan:  (1) orang tua laki-laki pengantin perempuan atau wali, (2) dua orang saksi, (3) sepasang calon pengantin --  maka pernikahan yang dilakukan adalah sah menurut agama Islam.
      Namun masalahnya adalah tidak cukup hanya sekedar  masalah sah atau  tidak sahnya    pernikahan sirri tersebut  -- yang telah menimbulkan perdebatan yang  sengit dan lama – tetapi yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang memperdebatkan masalah nikah sirri  di mass media tersebut adalah adalah tujuan-tujuan luhur yang telah ditetapkan Allah Swt. berkenaan ditetapkannya lembaga pernikahan dalam Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa Bab sebelum ini.
     Contohnya, Allah Swt. telah menetapkan dalam Al-Quran bahwa tujuan utama diciptakannya umat manusia (jins dan ins)  adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57). Menurut ajaran Islam ada dua perangkat (sarana) utama yang apabila kedua hal tersebut difahami dan diamalkan dengan benar maka manusia akan dapat melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. dengan benar serta peribadahan yang dilakukannya akan membuahkan  hal-hal baik dan bermanfaat bagi pribadinya mau pun bagi masyarakat luas, yaitu  antara lain berupa tumbuhnya akhlak dan ruhani yang terpuji. 
      Ada pun kedua  sarana  yang harus difahami dan diamalkan secara benar sesuai dengan sunnah dan pemahaman Nabi Bebar Muhammad saw. tersebut adalah  Rukun Iman dan Rukun Islam, sebab keduanya  ibarat pasangan ruh dengan jasad sehingga  dengan memahami dan dengan mengamalkannya secara benar  sebagaimana yang difahami dan diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. maka  akhlak dan ruhani  umat Islam  yang mengamalkannya akan hidup dan  berkembang sebagaimana tujuan utama dari melakukan ibadah kepada Allah Swt. (QS.51:57), yakni takhalaqu bi-akhlaqilLah  yakni "berakhlaklah kalian dengan  akhlak Allah", demikian sabda Nabi Besar Muhammad saw..
       Oleh karena itu pihak-pihak  yang hanya memperdebatkan masalah sah atau tidak sahnya  nikah sirri, sama saja dengan pihak-pihak yang memperdebatkan masalah sah atau tidak sahnya ke-Muslim-an seorang  non-Muslim  yang ingin menjadi seorang Muslim  dengan mengucapkan  Dua Kalimah Syahadat -- yaitu Rukun Islam yang pertama -- di hadapan para ‘ulama.
      Jawabannya adalah orang tersebut sah untuk disebut Muslim, walau pun  ia sebagai seorang mua’laf belum memahami  dan belum mengamalkan semua  Rukun Iman dan Rukun Islam secara utuh. Namun pertanyaannya adalah: Apakah hanya cukup  sampai batas menjadi “Muslim” seperti itulah tujuan Allah Swt.  menurunkan agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna dan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41)?
      Jawabannya yang pasti adalah: Tidak. Begitu pula hanya dengan kasus-kasus  pernikahan, masalahnya tidak cukup hanya sampai memperdebatkan sah atau tidak sahnya  pernikahan yang dilakukan. Mereka yang  hanya  memperdebatkan masalah sah atau tidak sahnya pernikahan atau perceraian  yang dilakukan orang-orang  yang “jahil” seperti itu  pada hakikatnya adalah orang-orang yang tidak memahami mengenai kesakralan lembaga pernikahan dalam Islam, siapa pun mereka itu.

Umat Terbaik  & Jawaban Allah Swt. atas Pernyataan
Orang-orang Arab Gurun: “Kami telah Beriman

       Kenapa demikian? Sebab   Allah Swt. telah   mengutus Nabi Besar Muhammad saw. sebagai suri teladan terbaik -- termasuk dalam masalah pernikahan (rumahtangga) -- (QS.33:22), dengan membawa agama Islam (Al-Quran)   sebagai  agama terakhir dan tersempurna (QS.5:4),  adalah untuk menciptakan “khayra ummah” (umat terbaik), yang diciptakan untuk kepentingan seluruh  umat manusia, firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ  اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً  اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ  ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan demikianlah  Kami menjadikan kamu satu umat yang mulia supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu. Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya. Dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah [2]:144).
Firman-Nya lagi:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ  الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia,  kamu menyuruh berbuat makruf, melarang dari berbuat munkar, dan beriman kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman, niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang fasik. (Ali ‘Imran [111).

 (Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 17 Maret  2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar