بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 68
Tujuan Utama Izin
Melakukan Polygami
Melakukan Polygami
&
Pemeliharaan Anak-anak Yatim
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dijelaskan mengenai makna “manusia dijadikan dari satu jiwa” dan
makna “perempuan diciptakan dari tulang
rusuk”, sehubungan dengan firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّکُمُ الَّذِیۡ خَلَقَکُمۡ مِّنۡ
نَّفۡسٍ وَّاحِدَۃٍ وَّ خَلَقَ مِنۡہَا زَوۡجَہَا وَ
بَثَّ مِنۡہُمَا
رِجَالًا
کَثِیۡرًا وَّ نِسَآءً ۚ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ الَّذِیۡ تَسَآءَلُوۡنَ بِہٖ وَ الۡاَرۡحَامَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلَیۡکُمۡ رَقِیۡبًا ﴿﴾
Hai manusia, bertakwalah
kepada Allah Tuhan kamu Yang
menciptakan kamu dari satu jiwa
dan darinya Dia menciptakan
jodohnya sebagai
pasangan serta mengembang-biakkan dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan bertakwalah
mengenai hubungan kekerabatan,
sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi
kamu. (An-Nisā
[4]:2).
“Satu jiwa” dapat diartikan: (1) Adam, (2) laki-laki dan
perempuan bersama-sama, sebab bila dua wujud melakukan satu pekerjaan bersama-sama,
mereka dapat dianggap sebagai satu; (3) laki-laki atau perempuan secara mandiri
sebab umat manusia dapat dikatakan telah diciptakan dari “satu jiwa” dalam arti kata bahwa tiap-tiap dan masing-masing
perseorangan (individu) diciptakan dari benih
laki-laki yang merupakan “satu jiwa” dan juga dilahirkan oleh perempuan yang merupakan pula “satu jiwa.”
Ayat itu pun menempatkan perkataan “ketakwaan kepada Allah” berdampingan
dengan perkataan “hubungan tali
kekerabatan”, guna menekankan
pentingnya perlakuan baik terhadap keluarga. Hal demikian telah begitu
dititik-beratkan oleh Al-Quran, sehingga Nabi Besar Muhammad saw. lazim membaca ayat ini pada saat
membacakan khutbah nikah, guna
mengingatkan kedua belah pihak mempelai, kepada kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lain.
Tujuan Utama Izin Melakukan Polygami
Menurut Islam
Setelah menyebutkan kedua karunia Allah Swt. di dalam ayat sebelumnya, yakni pengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan dari “satu jiwa” dan penjagaan
mereka dari kehancuran dengan
menjalin tali kekerabatan (tali
silaturahmi), Al-Quran selanjutnya menekan perlunya melindungi keturunan dengan menjamin hak serta kepentingan
anak-anak yatim, firman-Nya:
وَ اٰتُوا الۡیَتٰمٰۤی اَمۡوَالَہُمۡ وَ لَا
تَتَبَدَّلُوا الۡخَبِیۡثَ بِالطَّیِّبِ ۪ وَ لَا تَاۡکُلُوۡۤا
اَمۡوَالَہُمۡ اِلٰۤی
اَمۡوَالِکُمۡ ؕ
اِنَّہٗ کَانَ
حُوۡبًا
کَبِیۡرًا ﴿﴾ وَ اِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِی الۡیَتٰمٰی فَانۡکِحُوۡا مَا طَابَ لَکُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰی وَ ثُلٰثَ وَ رُبٰعَ ۚ
فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا
فَوَاحِدَۃً اَوۡ
مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُکُمۡ ؕ ذٰلِکَ اَدۡنٰۤی اَلَّا
تَعُوۡلُوۡا ؕ﴿ ﴾
وَ اٰتُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِہِنَّ نِحۡلَۃً ؕ فَاِنۡ طِبۡنَ لَکُمۡ عَنۡ شَیۡءٍ مِّنۡہُ
نَفۡسًا فَکُلُوۡہُ ہَنِیۡٓــًٔا مَّرِیۡٓــًٔا ﴿ ﴾
Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim harta mereka, janganlah kamu menukar yang buruk dengan yang
baik, dan janganlah kamu memakan
harta mereka bercampur dengan hartamu,
sesungguhnya yang demikian itu
adalah dosa yang besar. Tetapi jika kamu takut bahwa kamu tidak
akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan
lainnya yang kamu sukai: dua atau tiga atau empat, akan tetapi
jika kamu takut kamu tidak akan
dapat berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja, atau nikahi yang dimiliki tangan kanan kamu, yang
demikian itu lebih dekat bagimu untuk
berbuat tidak adil. (An-Nisā
[4]:3-4).
Ayat
ini penting sekali, oleh karena ayat ini mengizinkan
polygami dalam keadaan tertentu.
Islam memperkenankan -- walaupun tentu saja tidak menganjurkan atau mendorong
-- seorang laki-laki beristri lebih dari satu sampai empat orang pada satu waktu. Dan karena izin ini telah diberikan sehubungan
dengan masalah anak-anak yatim, maka
haruslah diartikan bahwa hal itu pertama-tama didasarkan pada soal pengurusan golongan masyarakat yang paling terlantar
tersebut.
Ada peristiwa-peristiwa ketika
kepentingan anak-anak yatim hanya
mungkin dapat dilindungi dengan jalan
menikahi seorang atau lebih dari
seorang dari antara perempuan-perempuan
asuhan atau dari antara perempuan-perempuan
lain menurut tuntutan keadaan.
Polygami Sebagai Pencegah Kerusakan
Moral &
Keburukan
Sosial
Walaupun ayat ini menyebutkan poligami sehubungan dengan masalah anak-anak yatim, namun demikian suasana lain dapat timbul saat polygami dapat menjadi satu obat yang diperlukan untuk mengobati beberapa keburukan sosial atau moral.
Jika tujuan-tujuan pernikahan itu sendiri diperhatikan maka izin itu nampaknya tidak hanya dibenarkan bahkan ada kalanya sangat tepat dan bahkan perlu. Ya, dalam kasus-kasus demikian justru jika tidak memanfaatkan izin ini niscaya akan dapat merugikan kepentingan individu dan masyarakat.
Menurut Al-Quran tujuan pernikahan ada empat, yakni: (1)
pencegahan terhadap penyakit-penyakit jasmani, akhlak, dan ruhani (QS.2:188;
QS.4: 25); (2) mendapatkan ketenteraman hati dan untuk memperoleh seorang teman
hidup yang mau mencurahkan cinta kasihnya (QS.30:22); (3) mendapatkan
keturunan, dan (4) memperluas lingkup kekeluargaan (QS.4:2).
Kadangkala salah satu di antara
atau keempat
tujuan pernikahan tersebut di atas itu tidak
tercapai oleh keadaan hanya beristri
seorang, misalnya istri menjadi penyandang cacat seumur hidup, atau menderita penyakit menular, maka tujuan pernikahan itu pasti tidak akan
tercapai bila orang yang dihadapkan
kepada situasi semacam itu tidak
menikahi perempuan lain lagi. Memang tidak ada jalan lain bagi dia kecuali nikah
lagi secara sah bila karena tidak
mampu menahan godaan nafsu berahi lalu menjalani kehidupan amoral (asusila).
Seorang istri yang mengidap penyakit
menahun tidak akan mampu menjadi teman
hidup yang baik, sebab betapa pun ia patut
dihormati dan dikasihi wujudnya tidak dapat memberikan ketenteraman hati kepada suaminya dalam
segala hal. Begitu pula jika kebetulan
ia (istri) mandul maka keinginan alami sang suami yang sepenuhnya beralasan untuk mempunyai keturunan yang akan menjadi penerusnya dan mengabadikan namanya tetap tak akan terpenuhi kalau tidak nikah lagi.
Untuk memenuhi keperluan-keperluan semacam itulah Islam telah mengizinkan mengikat tali
pernikahan majemuk (polygami).
Tetapi jika dalam kasus yang disebut
di atas sang suami menceraikan istrinya
yang pertama, maka hal demikian akan
merupakan sesuatu yang memalukan dan
membawa kenistaan bagi sang suami.
Persamaan Tujuan
Pernikahan Poligami
Dengan Pernikahan Tunggal
Sebenarnya tujuan-tujuan pernikahan
ganda (polygami) itu sampai batas tertentu sama dengan tujuan-tujuan
pernikahan tunggal. Bila salah satu
atau semua tujuan itu tidak tercapai
dengan pernikahan tunggal maka pernikahan
poligami menjadi suatu keperluan.
Namun ada beberapa alasan juga yang kadang-kadang dapat
menjadikan seseorang perlu mempunyai seorang lagi istri atau lebih, di samping seorang istri yang sangat mencintai dan cukup memenuhi tujuan-tujuan pernikahan. Alasan-alasan itu ialah: (a) untuk
melindungi anak-anak yatim; (b) untuk mempersuamikan janda-janda yang layak bersuami lagi, dan (c) untuk mengisi
kekosongan anggota keluarga laki-laki dalam suatu keluarga atau masyarakat,
misalnya akibat perang.
Sudah jelas dari ayat yang sedang
kita bahas ini bahwa poligami diikhtiarkan
pada khususnya dengan tujuan melindungi
anak-anak yang terlantar. Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa ibu
anak-anak yatim yang bernaung di bawah perwalian
seseorang lebih baik dinikahi oleh wali
itu sendiri, agar ia menjadi langsung
terikat dalam tali kekeluargaan
dengan mereka dan lebih erat perhubungannya dengan mereka, sehingga dengan demikian lebih dapat mencurahkan perhatian demi kesejahteraan mereka daripada ia tidak
berbuat demikian.
Mempersuamikan janda-janda (QS.24:33) merupakan tujuan lain yang dicapai dengan adanya peraturan poligami. Orang-orang Islam di
zaman Nabi Besar Muhammad saw. senantiasa
repot menghadapi peperangan membela
agama. Banyak sekali yang gugur dalam medan perang dan meninggalkan janda-janda dan anak-anak yatim, tanpa mempunyai keluarga dekat yang mengurus mereka.
Kelebihan jumlah kaum
perempuan dari kaum laki-laki dan luar
biasa banyaknya bilangan anak-anak yatim tanpa seorang pun yang mengurus mereka
— sebagai akibat tak terelakkan dari peperangan — menghendaki agar pernikahan-pernikahan poligami dianjurkan, guna menyelamatkan Islam dari keruntuhan akhlak.
Kedua Perang Dunia telah membenarkan peraturan Islam yang amat berfaedah
ini. Peperangan ini telah meninggalkan perempuan-perempuan muda usia tanpa suami dalam jumlah yang
luar biasa besarnya. Sungguh, bilangan kaum perempuan yang lebih besar
jumlahnya darilaki-laki di dunia Barat — disebabkan oleh kehilangan banyak
sekali kaum laki-laki, akibat kedua perang dunia itu — menjadi penyebab kemunduran akhlak dewasa ini,
sehingga menggerogoti kehidupan masyarakat Barat.
Mencegah Bahaya Kehancuran Total Bangsa
Di samping kemungkinan memenuhi keperluan akan suami bagi janda-janda muda itu, peraturan poligami juga dimaksudkan untuk
mengatasi keadaan yang timbul sebagai akibat peperangan bila -- di samping
segi-segi kemunduran lainnya -- tenaga
laki-laki suatu bangsa menjadi demikian langkanya, sehingga timbul bahaya kehancuran total bangsa itu.
Menurunnya angka kelahiran yang merupakan penyebab penting dari keruntuhan suatu bangsa, dapat diobati
secara jitu hanya dengan mempergunakan peraturan poligami. Jadi, poligami bukanlah untuk penyaluran keperluan nafsu syahwat, seperti disalahartikan orang, melainkan
merupakan pengorbanan yang meminta
supaya perasaan pribadi dan sepintas lalu diberikan untuk kepentingan umum atau kepentingan nasional yang lebih luas.
Dengan demikian terjawablah semua
celaan dan kritikan yang dilontarkan
oleh pihak non-Muslim mengenai
masalah polygami, sebagai akibat dari kekeliruan segelintir dari kalangan umat Islam sendiri yang telah menyalahgunakan izin melakukan poligami serta kekeliruan memaknai kata muth’ah,
sehingga muncul praktek-praktek penikahan
haram seperti contohnya nikah sirri
atau “kawin kontrak” dan lain-lainnya
yang sangat menodai kesempurnaan ajaran Islam mengenai lembaga pernikahan, termasuk masalah
menyalahgunakan izin melakukan poligami.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 16 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar