بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 70
“Muhammad and
Muhammadanism”
karya Bosworth Smith.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dijelaskan mengenai perdebatan sah atau tidak sahnya
melakukan nikah sirri bahwa kalau hanya sampai batas sah atau tidak sahnya melakukan nikah
sirri yang dilakukan oleh siapa pun – yakni selama memenuhi ketentuan syariat, yaitu keberadaan: (1) orang
tua laki-laki pengantin perempuan
atau wali, (2) dua orang saksi, (3) sepasang calon pengantin -- maka pernikahan
yang dilakukan adalah sah menurut agama Islam.
Namun masalahnya adalah tidak
cukup hanya sekedar masalah sah atau
tidak sahnya pernikahan sirri tersebut -- yang telah
menimbulkan perdebatan yang sengit
dan lama – tetapi yang harus
diperhatikan oleh pihak-pihak yang memperdebatkan
masalah nikah sirri di mass
media tersebut adalah adalah tujuan-tujuan
luhur yang telah ditetapkan Allah Swt. berkenaan ditetapkannya lembaga pernikahan dalam Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam beberapa Bab sebelum ini.
Contohnya, Allah Swt. telah
menetapkan dalam Al-Quran bahwa tujuan
utama diciptakannya umat manusia
(jins dan ins) adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57).
Menurut ajaran Islam ada dua perangkat (sarana) utama yang apabila kedua hal tersebut difahami dan diamalkan dengan benar
maka manusia akan dapat melaksanakan ibadah
kepada Allah Swt. dengan benar serta peribadahan yang dilakukannya akan
membuahkan hal-hal baik dan bermanfaat
bagi pribadinya mau pun bagi masyarakat
luas, yaitu antara lain berupa
tumbuhnya akhlak dan ruhani yang
terpuji.
Ada pun kedua sarana
yang harus difahami dan diamalkan secara benar sesuai dengan sunnah dan pemahaman Nabi Bebar Muhammad saw. tersebut adalah Rukun
Iman dan Rukun Islam, sebab keduanya ibarat pasangan ruh
dengan jasad sehingga dengan memahami dan dengan mengamalkannya
secara benar sebagaimana yang difahami dan diamalkan oleh
Nabi Besar Muhammad saw. maka akhlak dan ruhani umat
Islam yang mengamalkannya akan hidup dan berkembang sebagaimana
tujuan utama dari melakukan ibadah kepada Allah Swt. (QS.51:57), yakni takhalaqu
bi-akhlaqilLah yakni "berakhlaklah kalian dengan akhlak
Allah", demikian sabda Nabi Besar Muhammad saw..
Pihak-pihak yang hanya memperdebatkan masalah sah
atau tidak sahnya nikah sirri,
sama dengan pihak-pihak yang memperdebatkan masalah sah atau tidak sahnya ke-Muslim-an seorang non-Muslim yang ingin menjadi seorang Muslim dengan mengucapkan Dua
Kalimah Syahadat yaitu Rukun Islam yang pertama di hadapan
para ‘ulama.
Jawabannya adalah orang tersebut sah untuk disebut Muslim, walau pun ia sebagai
seorang mua’laf belum memahami
dan belum mengamalkan
semua Rukun Iman dan Rukun Islam
secara utuh. Namun pertanyaannya
adalah: Apakah hanya sampai batas menjadi “Muslim”
seperti itulah tujuan Allah Swt. menurunkan agama Islam (Al-Quran) sebagai agama
terakhir dan tersempurna dan Nabi
Besar Muhammad saw. sebagai Khātaman
Nabiyyīn (QS.33:41)? Jawabannya yang pasti
adalah: Tidak.
Begitu pula hanya dengan
kasus-kasus pernikahan, masalahnya tidak cukup hanya sampai memperdebatkan sah atau tidak sahnya pernikahan yang
dilakukan. Mereka yang hanya memperdebatkan
masalah sah atau tidak sahnya pernikahan atau perceraian
yang dilakukan orang-orang yang “jahil” seperti itu pada hakikatnya adalah orang-orang yang tidak memahami mengenai kesakralan lembaga pernikahan dalam Islam, siapa pun mereka itu.
“Umat Terbaik” & Jawaban Allah Swt. atas Pernyataan
Orang-orang Arab Gurun: “Kami
telah Beriman”
Kenapa demikian? Sebab Allah Swt. telah mengutus
Nabi Besar Muhammad saw. sebagai suri
teladan terbaik --termasuk dalam masalah pernikahan (rumahtangga) --
(QS.33:22), dengan membawa agama Islam
(Al-Quran) sebagai agama
terakhir dan tersempurna
(QS.5:4), adalah untuk menciptakan “khayra ummah” (umat terbaik), yang
diciptakan untuk kepentingan
seluruh umat manusia, firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ
جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ
یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ
الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ اِلَّا
لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ
وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً اِلَّا
عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ ؕ وَ مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan
demikianlah Kami menjadikan kamu satu umat yang mulia
supaya kamu senantiasa men-jadi
penjaga manusia dan supaya Rasul itu
senantiasa menjadi penjaga kamu. Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan kiblat yang kepadanya
dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di
atas kedua tumitnya. Dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah
menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah [2]:144).
Firman-Nya
lagi:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ
لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ وَ
تُؤۡمِنُوۡنَ
بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ
اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan
demi kebaikan umat manusia, kamu
menyuruh berbuat makruf, melarang
dari berbuat munkar, dan beriman
kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman, niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang fasik. (Ali
‘Imran [111).
Jangan Bangga Hanya Karena Telah “Muslim”
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah
pernyataan Allah Swt. berikut ini berkenaan “orang-orang Arab gurun” ketika mereka berkata kepada Nabi Besar
Muhammad saw.: “Kami telah beriman”,
firman-Nya:
قَالَتِ الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا ؕ قُلۡ لَّمۡ
تُؤۡمِنُوۡا وَ لٰکِنۡ قُوۡلُوۡۤا اَسۡلَمۡنَا وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ
فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ لَا یَلِتۡکُمۡ
مِّنۡ اَعۡمَالِکُمۡ شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُوۡنَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوۡا وَ جٰہَدُوۡا
بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الصّٰدِقُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اَتُعَلِّمُوۡنَ اللّٰہَ بِدِیۡنِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ مَا فِی
السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ یَمُنُّوۡنَ
عَلَیۡکَ اَنۡ اَسۡلَمُوۡا ؕ قُلۡ لَّا تَمُنُّوۡا عَلَیَّ اِسۡلَامَکُمۡ ۚ بَلِ اللّٰہُ یَمُنُّ
عَلَیۡکُمۡ اَنۡ ہَدٰىکُمۡ لِلۡاِیۡمَانِ
اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ
یَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ بَصِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ﴿٪﴾
Orang-orang
Arab gurun berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah muslim’, karena keimanan
belum masuk ke dalam hati kamu. Tetapi jika
kamu menaati Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sesuatu dari
amal-amal kamu, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya orang beriman adalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian tidak ragu-ragu dan terus berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” Katakanlah, “Apakah kamu mengajarkan kepada Allah tentang agamamu? Padahal Allah
mengetahui apa yang ada di seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Mereka mengira telah
memberi anugerah kepada engkau
karena mereka telah menjadi orang Islam.
Katakanlah: “Janganlah kamu merasa
memberi anugerah kepadaku karena ke-Islam-an
kamu, bahkan Allah-lah Yang memberi anugerah
terhadap kamu karena Dia telah
memberi kamu petunjuk kepada iman, jika kamu orang-orang yang benar.” Sesungguhnya
Allah menge-tahui yang gaib di
seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hujurāt [49]:15-19).
Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah Swt.
menyatakan bahwa seluruh orang Islam
(Muslim) merupakan bagian tidak terpisahkan dari persaudaraan dalam Islam. Islam memberikan hak sama kepada putra-putra
padang pasir buta huruf dan biadab,
seperti halnya kepada penduduk kota kecil
maupun kota besar yang beradab dan berbudaya; hanya oleh Islam dianjurkan kepada mereka yang
disebut pertama, agar mereka berusaha
lebih keras untuk belajar dan meresapkan ke dalam dirinya ajaran Islam dan membuat ajaran-ajaran itu menjadi pedoman hidup mereka.
Suri Teladan Terbaik Nabi Besar Muhammad Saw.
Termasuk Dalam Masalah
Pernikahan (Rumahtangga)
Pendek kata, hanya sekedar memperdebatkan sah
atau tidak sahnya melakukan nikah
sirri – seandainya pun hal itu sah
dari segi syariat -- sama saja keadaannya dengan sikap lugu “orang-orang Arab gurun” yang menganggap
dengan ke-Muslim-an seolah-olah telah
berjasa kepada Nabi Besar Muhammad
saw., karena telah membaca Dua Kalimah
Syahadat, padahal ke-Muslim-an
seperti itu tidak memiliki nilai apa pun dalam pandangan Allah Swt, jika tidak berupaya memahami dan mengamalkan
secara benar Rukun Iman dan Rukun Islam seutuhnya.
Kenapa demikian? Sebab pernikahan apa pun namanya – baik resmi atau tidak resmi; baik sah
atau tidak sah; baik tercatat di KUA atau pun tidak tercatat di KUA -- apabila tidak memahami tujuan luhur dari lembaga pernikahan -- yang merupakan bagian dari ibadah dalam ajaran Islam (Al-Quran) – maka hasilnya (akibatnya) sama buruknya, yakni akan menghinakan atau menodai keluhuran lembaga pernikahan yang telah
ditetapkan Allah Swt. dalam Al-Quran,
sebagaimana yang difahami dan disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad
saw., sebagai suri teladan terbaik,
firman-Nya:
لَقَدۡ
کَانَ لَکُمۡ فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ
الۡیَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَ ذَکَرَ
اللّٰہَ کَثِیۡرًا ﴿﴾
Sungguh dalam
diri Rasulullah benar-benar terdapat suri teladan
yang sebaik-baiknya bagi kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah
dan Hari Akhir, dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzāb [33]:22).
Pertempuran Khandak mungkin merupakan
percobaan paling pahit di dalam seluruh jenjang kehidupan Nabi Besar Muhammad
saw., dan beliau saw. keluar dari ujian
yang paling berat itu dengan keadaan akhlak
dan wibawa yang lebih tinggi lagi. Sesungguhnyalah
pada saat yang sangat berbahayalah, yakni ketika di sekitar gelap gelita, atau
dalam waktu mengenyam sukses dan kemenangan, yakni ketika musuh bertekuk lutut di hadapannya,
watak dan perangai yang sesungguhnya seseorang diuji; dan sejarah memberi kesaksian
yang jelas kepada kenyataan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. baik
dalam keadaan dukacita karena dirundung kesengsaraan
dan pada saat sukacita karena meraih kemenangan — tetap menunjukkan kepribadian agung lagi mulia.
Pertempuran
Khandak, Uhud, dan Hunain menjelaskan dengan seterang-seterangnya satu watak beliau saw. yang indah, dan Fatah Mekkah (Kemenangan atas Mekkah)
memperlihatkan watak beliau saw. lainnya. Mara
bahaya tidak mengurangi semangat
beliau saw. atau mengecutkan hati beliau saw., begitu pula kemenangan dan sukses tidak merusak
watak beliau saw..
Ketika Nabi
Besar Muhammad saw. ditinggalkan hampir seorang diri pada hari Pertempuran
Hunain, sedang nasib Islam berada di
antara hidup dan mati, beliau saw. tanpa
gentar sedikit pun dan seorang diri belaka maju ke tengah barisan musuh seraya
berseru dengan kata-kata yang patut dikenang selama-lamanya: “Aku nabi Allah
dan aku tidak berkata dusta. Aku anak Abdul Muthalib.” Dan tatkala Mekkah jatuh dan seluruh tanah Arab bertekuk lutut maka kekuasaan yang
mutlak dan tak tersaingi itu tidak kuasa merusak Nabi Besar Muhammad saw.. Beliau
saw. menunjukkan keluhuran budi yang
tiada taranya terhadap musuh-musuh beliau saw.
Kesaksian Para Istri Nabi Besar Muhammad Saw.
Kesaksian lebih besar mana lagi yang mungkin
ada terhadap keagungan watak Nabi Besar Muhammad saw. selain kenyataan bahwa pribadi-pribadi yang paling akrab dengan
beliau saw. dan yang paling mengenal
beliau saw., mereka itulah yang paling mencintai
beliau saw. dan merupakan yang pertama-tama percaya
(beriman) akan misi beliau, yakni, istri beliau saw. yang tercinta, Sitti Khadijah r.a.; sahabat beliau
sepanjang hayat, Abu Bakar r.a.;
saudara sepupu yang juga menantu beliau saw., Ali bin Abu Thalib r.a.; dan bekas budak beliau saw. yang telah dimerdekakan, Zaid bin Haristsah r.a.. Nabi Besar
Muhammad saw. merupakan contoh kemanusiaan yang paling
mulia dan model yang paling sempurna
dalam keindahan dan kebajikan.
Dalam segala
segi kehidupan dan watak Nabi Besar Muhammad saw. yang beraneka ragam, tidak ada duanya dan
merupakan contoh yang tiada
bandingannya bagi umat manusia untuk ditiru
dan diikuti. Seluruh kehidupan beliau
saw. nampak dengan jelas dan nyata dalam cahaya
lampu-sorot sejarah. Beliau saw. mengawali kehidupan beliau saw. sebagai anak yatim dan mengakhirinya dengan
berperan sebagai wasit yang
menentukan nasib seluruh bangsa.
Sebagai
kanak-kanak Nabi Besar Muhammad saw. penyabar lagi gagah, dan di ambang pintu usia
remaja, beliau tetap merupakan contoh yang sempurna dalam akhlak, ketakwaan,
dan kesabaran. Pada usia setengah-baya beliau saw. mendapat julukan Al-Amin
(si Jujur dan setia kepada amanat) dan selaku seorang niagawan beliau saw. terbukti
paling jujur dan cermat.
Nabi Besar
Muhammad saw. menikah dengan perempuan-perempuan yang di antaranya
ada yang jauh lebih tua daripada
beliau saw. sendiri dan ada juga yang jauh
lebih muda, namun semua bersedia
memberi kesaksian dengan mengangkat sumpah
mengenai kesetiaan, kecintaan, dan kekudusan beliau saw..
Sebagai ayah
Nabi Besar Muhammad saw. penuh dengan kasih-sayang, dan sebagai sahabat
beliau saw. sangat setia dan murah hati. Ketika beliau saw. diamanati tugas yang amat besar dan berat dalam usaha memperbaiki suatu masyarakat yang sudah rusak, beliau saw. menjadi sasaran
derita aniaya dan pembuangan,
namun beliau saw. memikul semua penderitaan
itu dengan sikap agung dan budi luhur.
Nabi Besar Muhammad saw. bertempur sebagai
prajurit gagah-berani dan memimpin pasukan-pasukan. Beliau saw. menghadapi
kekalahan dan beliau memperoleh kemenangan-kemenangan. Beliau saw. menghakimi dan mengambil serta
menjatuhkan keputusan dalam berbagai
perkara. Beliau saw. adalah seorang negarawan,
seorang pendidik, dan seorang pemimpin.
“Kepala negara merangkap Penghulu Agama,
beliau adalah Kaisar dan Paus sekaligus. Tetapi beliau adalah Paus yang tidak berlaga Paus, dan Kaisar tanpa pasukan-pasukan yang
megah. Tanpa balatentara tetap, tanpa pengawal, tanpa istana yang megah, tanpa
pungutan pajak tetap dan tertentu, sehingga jika ada orang berhak mengatakan
bahwa ia memerintah dengan hak ketuhanan, maka orang itu hanyalah Muhammad,
sebab beliau mempunyai kekuasaan tanpa alat-alat kekuasaan dan tanpa bantuan
kekuasaan.
Beliau biasa melakukan
pekerjaan rumah tangga dengan tangan beliau sendiri, biasa tidur di atas
sehelai tikar kulit, dan makanan beliau terdiri dari kurma dan air putih atau
roti jawawut, dan setelah melakukan bermacam-macam tugas sehari penuh, beliau
biasa melewatkan malam hari dengan mendirikan shalat dan doa-doa hingga kedua
belah kaki beliau bengkak-bengkak. Tidak ada orang yang dalam keadaan dan
suasana yang begitu banyak berubah telah berubah begitu sedikitnya” (Muhammad and Muhammadanism”
karya Bosworth Smith).
Demikianlah suri teladan terbaik yang diperagakan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan semua posisi kepemimpinan dalam kehidupan, baik sebagai Pemimpin ruhani, sebagai Kepala Negara, mau pun sebagai pemimpin di lingkungan keluarga.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar