Sabtu, 22 Juni 2013

Tiga Keadaan Nafs (Jiwa) Manusia & Makna "Meminta Makan kepada Penduduk Kota" serta "Menegakkan Dinding yang Hampir Roboh"





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 154


        Tiga Keadaan Nafs (Jiwa) Manusia & Makna “Meminta Makan kepada Penduduk Kota” serta "Menegakkan  Dinding yang Hampir Roboh”  


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   akhir  Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai  kegagalan Nabi Musa a.s. berikutnya terhadap tindakan aneh  “hamba Allah” yang telah “membunuh seorang pemuda” dan hubungannya dengan Nabi Yusuf a.s. yang telah memilih  penjara  daripada berada di istana majikannya di Mesir, firman-Nya:      
قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ  اَمۡرِیۡ  عُسۡرًا ﴿﴾  فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی   اِذَا  لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ  اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا  زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ  نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku   dengan kesulitan dalam  urusanku."   Maka keduanya be­rangkat hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang pe­muda  lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak berdosa bukan karena ia telah  membunuh orang lain? Sungguh  engkau benar-benar telah melakukan  sesuatu yang keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
Seorang pemuda dalam bahasa mimpi  antara lain mengandung arti: kejahilan, kekuatan  dan dorongan nafsu jalang. Dibunuhnya pemuda  itu oleh "hamba Allah" yang shalih dalam kasyaf Nabi Musa a.s. berarti bahwa agama Islam akan menuntut kepada para pengikutnya untuk mendatangkan semacam maut (kematian) atas keinginan dan hawa-nafsu yang rendah, yakni mengatasi dan mengendalikan  gejolak nafs Ammarah yang keadaannya bagaikan “kuda liar” atau “sapi liar”  yang dapat melemparkan dan menginjak-injak orang yang berada di atas punggungnya.

Nabi Yusuf a.s. Memilih Hidup Dalam Penjara &
Tiga Macam Tingkatan Keadaan Nafs (Jiwa) Manusia

Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah ucapan Nabi Yusuf a.s. ketika beliau berhasil melepaskan  diri dari “ajakan berselingkuh” istri majikan beliau di Mesir yang sangat cantik (QS.12:22-30),  dan  Nabi Yusuf a.s.  memilih kehidupan sempit dalam  penjara  (QS.12:31-34) daripada kehidupan mewah di  rumah (istana) majikannya namun sangat membahayakan keimanan dan kesucian diri beliau, firman-Nya:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku,  sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
    Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: 
     (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf  di sini menggantikan kata nafs. 
     (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang,  di sini berarti man (siapa).
    (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.
     Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia, yakni:
     (1) Arti pertama menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿﴾
Hai jiwa yang tenteramKembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau, maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).
   Ayat ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
       (2) Arti kedua dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  لَاۤ   اُقۡسِمُ   بِیَوۡمِ  الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿﴾  وَ  لَاۤ   اُقۡسِمُ  بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿﴾  اَیَحۡسَبُ الۡاِنۡسَانُ اَلَّنۡ نَّجۡمَعَ عِظَامَہٗ ؕ﴿﴾  بَلٰی قٰدِرِیۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡ  نُّسَوِّیَ بَنَانَہٗ ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Tidak demikian! Aku bersumpah dengan Hari Kiamat.   Dan, tidak demikian! Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali diri. Apakah manusia menyangka bahwa Kami tidak akan mengumpul-kan tulang-tulangnya?   Mengapa tidak, bahkan Kami  berkuasa menyusun kembali jari-jemarinya (Al-Qiyamah [75]:1-5).
 Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya
Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir. Jika manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangan ruh manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.75:28-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khāliq-nya.
 Sehubungan dengan telah tumbuhnya  dalam diri  seseorang keyakinan akan adanya Hari Kebangkitan (Hari Kiamat) tersebut,  kata banān (jari jemari) menampilkan kekuasaan dan kekuatan manusia, karena dengan sarana jari-jarinya ia memegang sebuah benda dan membela dirinya sendiri.
Kata banān itu dapat menyatakan juga tubuh manusia seutuhnya, karena kadang-kadang sebutan bagian suatu benda dapat menampilkan keseluruhan. Ayat ini berarti bahwa Allah Swt. memiliki kekuasaan mengembalikan lagi semua kekuatan manusia atau bahkan kekuatan seluruh bangsa bila mereka sebenarnya mati dan tidak bernyawa lagi.
   (3) Arti ketiga dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan – QS.12:54), firman-Nya:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku,  sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
       Nabi Yusuf a.s. berhasil membebaskan diri dari  ancaman berbahaya keadaan  naf Ammarah   karena beliau telah memilih penjara daripada tetap tinggal di rumah majikannya  dimana istri majikannya akan terus menerus menggodanya sampai ia dapat melaksanakan keinginan buruknya, yang melambangkan  godaan-godaan kesenangan duniawi  yang sangat disukai oleh nafs Ammarah, firman-Nya:
قَالَ رَبِّ السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ  اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ  اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾  فَاسۡتَجَابَ لَہٗ  رَبُّہٗ  فَصَرَفَ عَنۡہُ کَیۡدَہُنَّ ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ﴿﴾
Ia, Yusuf, berkata:  “Ya Tuhan-ku, penjara itu lebih kusukai bagiku daripada apa yang mereka mengajak-ku kepadanya, dan jika Engkau tidak mengelakkan dari diriku tipu-daya mereka tentu aku akan cenderung kepada mereka itu dan aku akan terma-suk orang-orang yang jahil.” Maka Tuhan mengabulkan doanya lalu mengelakkan dari   tipu-daya mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Yusuf [12]:34-35).

Keputusan Nabi Musa a.s. Untuk Tidak
Melanjutkan “Belajar  Ilmu” dari “Hamba Allah”

  Pendek kata, Nabi Musa a.s. kembali gagal memenuhi janjinya untuk tidak berkomentar mengenai tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh “hamba Allah”  yang telah “membunuh seorang pemuda,” firman-Nya:
قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ  اَمۡرِیۡ  عُسۡرًا ﴿﴾  فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی   اِذَا  لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ  اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا  زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ  نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku   dengan kesulitan dalam  urusanku."   Maka keduanya be­rangkat hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang pe­muda  lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak berdosa bukan karena ia telah  membunuh orang lain? Sungguh  engkau benar-benar telah melakukan  sesuatu yang keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
   Atas ketidak-sabaran Nabi Musa a.s.  untuk menahan diri dari melakukan protes yang kedua kali tersebut  “hamba Allah” menjawab, firman-Nya:
قَالَ اَلَمۡ  اَقُلۡ لَّکَ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾  قَالَ اِنۡ سَاَلۡتُکَ عَنۡ شَیۡءٍۭ بَعۡدَہَا فَلَا تُصٰحِبۡنِیۡ ۚ قَدۡ بَلَغۡتَ مِنۡ لَّدُنِّیۡ عُذۡرًا ﴿﴾  
Ia, hamba Allah, berkata: "Bukankah telah aku katakan kepada engkau, se­sungguhnya engkau sama sekali tidak akan dapat bersabar bersamaku?"   Ia, Musa, berkata: "Jika aku bertanya kepada engkau mengenai sesuatu sesudah ini  maka janganlah engkau mengikutkan aku lagi bersama engkau, karena engkau sungguh telah  mempunyai cukup dalih dari diriku. (Al-Kahf [18]:76-77).
    Nampaknya Nabi Musa a.s. merasa tidak enak hati atas  tindakan beliau melakukan protes yang kedua kali, sehingga beliau sendiri yang memutuskan untuk tidak melanjutkan mengikuti “hamba Allah” jika untuk yang ketiga kalinya melakukan hal yang sama terhadap tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh “hamba Allah” tersebut, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ  اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ   اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ  لَتَّخَذۡتَ  عَلَیۡہِ  اَجۡرًا ﴿﴾
Maka berangkatlah kedua­nya, hingga ketika mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya tetapi mereka menolak untuk menerima kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba Allah,  memperbaikinya. Ia, Musa,  berkata: "Seandainya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).

Makna “Meminta Makan” Kepada Penduduk Kota &
Tidak Ada Kompromi dalam Masalah Agama

Ayat ini nampaknya mengandung arti. bahwa Nabi Musa a.s.  dan  Nabi Besar Muhammad saw.  akan mengajak orang-orang Yahudi dan Kristen untuk bekerja sama di jalan Allah, tetapi mereka akan menolak ajakan kedua-dua beliau itu. Itulah salah satu makna kalimat اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا -- “mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya tetapi mereka menolak untuk menerima kedua orang itu sebagai tamunya.
Sehubungan ajakan Nabi Besar Muhammad saw. jepada orang-orang Yahudi dan Kristen untuk melakukan “kerjasama di jalan Allah” tersebut Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ تَعَالَوۡا اِلٰی کَلِمَۃٍ سَوَآءٍۢ  بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَکُمۡ اَلَّا نَعۡبُدَ اِلَّا اللّٰہَ وَ لَا نُشۡرِکَ بِہٖ شَیۡئًا وَّ لَا یَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُوۡلُوا اشۡہَدُوۡا بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, marilah kepada satu kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Tetapi jika mereka berpaling maka katakanlah: “Jadi saksilah bahwa sesungguhnya kami orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (Āli ‘Imran [3]:65). 
   Ayat ini dengan keliru dianggap oleh sementara orang seakan-akan memberikan dasar untuk mencapai suatu kompromi antara Islam di satu pihak dan Kristen serta agama Yahudi di lain pihak. Dikemukakan sebagai alasan bahwa bila agama-agama tersebut pun mengajarkan dan menanamkan Keesaan Tuhan, maka ajaran Islam lainnya yang dianggap menduduki tempat kedua dalam kepentingannya, sebaiknya ditinggalkan saja.
   Sulit dimengerti bahwa gagasan kompromi dalam urusan agama pernah dianjurkan dengan kaum,  yang dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutuk dengan sangat keras atas kepalsuan kepercayaan mereka dan ditantang begitu hebat untuk bermubahalah yakni bertanding doa meminta keputusan Allah Swt.   supaya diketahui pihak yang benar dan pihak yang palsu dalam kepercayaannya (QS.3:62).
    Nabi Besar Muhammad swaw.  dalam menulis surat dakwah kepada Heraclius  -- Kaisar Romawi, -- memakai ayat ini pula, malahan mendesak Heraclius supaya menerima Islam dan mengancamnya dengan ancaman azab Ilahi, bila ia menolak berbuat demikian (Bukhari). Hal itu tak ayal lagi menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap Keesaan Tuhan semata-mata, menurut Nabi Besar Muhammad saw.   tidak dapat menyelamatkan Heraclius dari azab Ilahi, sebab menurut Allah Swt. agama yang benar  dalam pandangan-Nya adalah agama Islam (QS.3:20 & 86; QS.5:4).

Cara yang Mudah Untuk  Mengetahui Pihak  
yang Benar-benar Berpegang Teguh Pada Tauhid

    Memang ayat ini dimaksudkan untuk menyarankan satu cara yang mudah dan sederhana yang dengan itu orang-orang Yahudi dan Kristen dapat sampai kepada keputusan yang tepat mengenai kebenaran Islam. Kaum Kristen, kendatipun mengaku beriman kepada Tauhid Ilahi, percaya pula kepada ketuhanan Isa, dan orang-orang Yahudi  — sungguhpun mengaku berpegang kuat kepada Tauhid — mereka mengikuti dengan membuta rahib-rahib dan ulama-ulama mereka, dan dengan demikian seolah-olah menempatkan mereka dalam kedudukan yang sama dengan Tuhan sendiri.
    Ayat ini menyuruh kedua golongan itu kembali kepada kepercayaan asal mereka, yakni Tauhid Ilahi, dan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan palsu yang menjadi perintang bagi mereka untuk masuk Islam. Jadi,  bukan   mencari kompromi dengan agama-agama itu, melainkan ayat ini sesungguhnya mengajak para pengikut agama itu untuk menerima Islam dengan menarik perhatian mereka kepada Tauhid yang sedikitnya dalam bentuk lahir, merupakan akidah pokok yang sama pada agama-agama tersebut, dapat berlaku sebagai satu dasar titik-temu untuk penyelidikan lebih lanjut.
    Secara sambil lalu baiklah di sini diperhatikan, bahwa surat yang disebut oleh Bukhari dan ahli-ahli hadist lainnya, dikirimkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.  kepada Heraclius dan beberapa kepala pemerintahan lain — Muqauqis, raja muda Mesir itu satu dari antara mereka — disusun dengan kata-kata dari ayat ini dan mengajak mereka untuk menerima Islam, akhir-akhir ini telah ditemukan dan ternyata mengandung kata-kata yang persis dikutip oleh Bukhari (The Riview of Religions jilid V, no. 8). Hal itu mengandung bukti kuat mengenai keotentikan Bukhari dan pula kitab-kitab hadits lainnya yang telah diakui.
Sehubungan dengan ketidak-murnian “Tauhid” yang dianut oleh  orang-orang Yahudi dan  Kristen tersebut Allah Swt. berfirman:
وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ  ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ  ابۡنُ  اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ  قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی  یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾  اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾  یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾   ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Dan  orang-orang Yahudi berkata: “Uzair adalah  anak Allah”, dan orang-orang Nasrani ber-kata: “Al-Masih adalah  anak  Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya, mereka  meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipalingkan dari Tauhid?  Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam, padahal  mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang mereka sekutukan.     Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.   Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan aga-ma yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau pun orang-orang musyrik tidak menyukainya.  (At-Taubah [9]:30-33).

Makna “Memperbaiki Dinding yang Hampir Runtuh”
Tanpa “Meminta Upah”

     Jadi itulah salah satu makna yang terkandung dalam kalimat “meminta makanan” dalam firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ  اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ   اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ  لَتَّخَذۡتَ  عَلَیۡہِ  اَجۡرًا ﴿﴾
Maka berangkatlah kedua­nya, hingga ketika mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya tetapi mereka menolak untuk menerima kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba Allah,  memperbaikinya. Ia, Musa,  berkata: "Seandainya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
Ada pun makna ayat  فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ   -- “Lalu  mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba Allah,  memperbaikinya (menegakkannya)“, salah satu makna “dinding yang hampir runtuh” adalah Tauhid serta ajaran-ajaran asli   Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.2:131-142) yang   oleh ulah buruk kaum-kaumnya  dibuat “hampir rubuh”  namun ditegakkan kembali  oleh “hamba Allah” yakni Nabi Besar Muhammad saw. dalam Al-Quran.
  
Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  4 Juni  2013  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar