بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 154
Tiga Keadaan Nafs (Jiwa) Manusia & Makna “Meminta Makan kepada Penduduk Kota” serta "Menegakkan Dinding yang
Hampir Roboh”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai kegagalan Nabi Musa a.s. berikutnya terhadap tindakan aneh “hamba Allah”
yang telah “membunuh seorang pemuda”
dan hubungannya dengan Nabi Yusuf a.s. yang telah memilih penjara
daripada berada di istana majikannya di Mesir, firman-Nya:
قَالَ لَا
تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا
نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ اَمۡرِیۡ عُسۡرًا ﴿﴾ فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah
engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku
dengan kesulitan dalam urusanku."
Maka keduanya berangkat hingga
ketika keduanya bertemu dengan seorang
pemuda lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak
berdosa bukan karena ia telah membunuh orang lain? Sungguh engkau
benar-benar telah melakukan sesuatu yang
keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
Seorang pemuda dalam bahasa mimpi antara lain mengandung arti: kejahilan, kekuatan dan dorongan nafsu jalang. Dibunuhnya pemuda itu oleh "hamba Allah" yang shalih
dalam kasyaf Nabi Musa a.s. berarti bahwa agama
Islam akan menuntut kepada para pengikutnya untuk mendatangkan semacam maut (kematian) atas keinginan dan hawa-nafsu yang rendah, yakni mengatasi
dan mengendalikan gejolak nafs
Ammarah yang keadaannya bagaikan “kuda liar” atau “sapi liar” yang dapat melemparkan dan menginjak-injak
orang yang berada di atas punggungnya.
Nabi Yusuf a.s. Memilih Hidup Dalam Penjara &
Tiga Macam Tingkatan Keadaan
Nafs (Jiwa) Manusia
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah ucapan
Nabi Yusuf a.s. ketika beliau berhasil melepaskan diri dari “ajakan berselingkuh” istri
majikan beliau di Mesir yang sangat cantik (QS.12:22-30), dan
Nabi Yusuf a.s. memilih kehidupan sempit dalam penjara
(QS.12:31-34) daripada kehidupan
mewah di rumah (istana) majikannya
namun sangat membahayakan keimanan
dan kesucian diri beliau, firman-Nya:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Yusuf
[12]:54).
Anak
kalimat illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran
yang berlainan:
(a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang, huruf mā di sini
menggantikan kata nafs.
(b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang, mā di sini
berarti man (siapa).
(c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.
Ketiga arti tersebut menunjuk
kepada ketiga taraf perkembangan ruhani
manusia, yakni:
(1) Arti pertama menunjuk kepada
taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan
ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28),
firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau, maka
masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:28-31).
Ayat ini merupakan
tingkat perkembangan ruhani tertinggi
ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya
dan Tuhan pun ridha kepadanya
(QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal
terhadap segala macam kelemahan akhlak,
diperkuat dengan kekuatan ruhani yang
khusus. Ia “manunggal” dengan Allah dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di
dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam
dirinya, dan di dunia inilah dan bukan
di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
(2) Arti kedua dikenakan kepada
orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri
sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ لَاۤ اُقۡسِمُ
بِیَوۡمِ الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿﴾ وَ لَاۤ اُقۡسِمُ
بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿﴾ اَیَحۡسَبُ الۡاِنۡسَانُ اَلَّنۡ نَّجۡمَعَ عِظَامَہٗ
ؕ﴿﴾ بَلٰی قٰدِرِیۡنَ
عَلٰۤی اَنۡ نُّسَوِّیَ بَنَانَہٗ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Tidak demikian! Aku bersumpah dengan Hari Kiamat. Dan,
tidak demikian! Aku bersumpah dengan
jiwa yang menyesali diri. Apakah manusia
menyangka bahwa Kami tidak akan mengumpul-kan tulang-tulangnya? Mengapa
tidak, bahkan Kami berkuasa menyusun
kembali jari-jemarinya (Al-Qiyamah [75]:1-5).
Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah
(jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat
kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs
lawwamah (jiwa yang menyesali diri), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya.
Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir. Jika manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir. Jika manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangan ruh manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa
yang tenteram – QS.75:28-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal
terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khāliq-nya.
Sehubungan dengan telah
tumbuhnya dalam diri seseorang keyakinan
akan adanya Hari Kebangkitan (Hari
Kiamat) tersebut, kata banān (jari jemari) menampilkan kekuasaan dan kekuatan manusia, karena dengan sarana jari-jarinya ia memegang
sebuah benda dan membela dirinya
sendiri.
Kata banān itu dapat
menyatakan juga tubuh manusia seutuhnya,
karena kadang-kadang sebutan bagian
suatu benda dapat menampilkan keseluruhan.
Ayat ini berarti bahwa Allah Swt. memiliki kekuasaan mengembalikan lagi semua kekuatan
manusia atau bahkan kekuatan seluruh bangsa
bila mereka sebenarnya mati dan tidak bernyawa lagi.
(3) Arti ketiga dikenakan kepada
orang, ketika nafsu kebinatangannya
bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah
(jiwa yang cenderung kepada keburukan – QS.12:54), firman-Nya:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Yusuf
[12]:54).
Nabi Yusuf a.s. berhasil membebaskan diri dari ancaman berbahaya keadaan naf
Ammarah karena beliau telah memilih penjara daripada tetap tinggal
di rumah majikannya dimana istri majikannya akan terus menerus menggodanya sampai ia dapat melaksanakan
keinginan buruknya, yang
melambangkan godaan-godaan kesenangan
duniawi yang sangat disukai oleh nafs Ammarah, firman-Nya:
قَالَ رَبِّ
السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ
کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ
مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾ فَاسۡتَجَابَ
لَہٗ رَبُّہٗ فَصَرَفَ عَنۡہُ کَیۡدَہُنَّ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ﴿﴾
Ia, Yusuf, berkata: “Ya Tuhan-ku, penjara itu lebih kusukai bagiku daripada apa yang mereka mengajak-ku
kepadanya, dan jika Engkau tidak
mengelakkan dari diriku tipu-daya mereka tentu aku akan cenderung kepada mereka
itu dan aku akan terma-suk
orang-orang yang jahil.” Maka Tuhan
mengabulkan doanya lalu mengelakkan dari tipu-daya mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Yusuf
[12]:34-35).
Keputusan
Nabi Musa a.s. Untuk Tidak
Melanjutkan
“Belajar Ilmu” dari “Hamba Allah”
Pendek kata, Nabi Musa a.s. kembali gagal
memenuhi janjinya untuk tidak
berkomentar mengenai tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh “hamba Allah”
yang telah “membunuh seorang pemuda,”
firman-Nya:
قَالَ لَا
تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا
نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ اَمۡرِیۡ عُسۡرًا ﴿﴾ فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah
engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku
dengan kesulitan dalam urusanku."
Maka keduanya berangkat hingga
ketika keduanya bertemu dengan seorang
pemuda lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak
berdosa bukan karena ia telah membunuh orang lain? Sungguh engkau
benar-benar telah melakukan sesuatu yang
keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
Atas ketidak-sabaran Nabi Musa a.s.
untuk menahan diri dari
melakukan protes yang kedua kali tersebut
“hamba Allah” menjawab, firman-Nya:
قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکَ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾ قَالَ اِنۡ سَاَلۡتُکَ عَنۡ شَیۡءٍۭ بَعۡدَہَا فَلَا تُصٰحِبۡنِیۡ ۚ قَدۡ
بَلَغۡتَ مِنۡ لَّدُنِّیۡ عُذۡرًا ﴿﴾
Ia,
hamba Allah, berkata: "Bukankah telah aku katakan kepada engkau, sesungguhnya engkau sama sekali tidak akan
dapat bersabar bersamaku?" Ia, Musa, berkata: "Jika aku
bertanya kepada engkau mengenai sesuatu sesudah ini maka janganlah
engkau mengikutkan aku lagi bersama engkau, karena engkau sungguh telah mempunyai cukup dalih dari diriku. (Al-Kahf [18]:76-77).
Nampaknya Nabi Musa a.s. merasa tidak
enak hati atas tindakan beliau
melakukan protes yang kedua kali,
sehingga beliau sendiri yang memutuskan untuk tidak melanjutkan mengikuti
“hamba Allah” jika untuk yang ketiga kalinya melakukan hal yang sama terhadap tindakan selanjutnya yang akan dilakukan
oleh “hamba Allah” tersebut, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا
فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا
یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ
شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ﴿﴾
Maka
berangkatlah keduanya, hingga ketika
mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba
Allah, memperbaikinya. Ia, Musa,
berkata: "Seandainya engkau
menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
Makna
“Meminta Makan” Kepada Penduduk Kota
&
Tidak
Ada Kompromi dalam Masalah Agama
Ayat ini nampaknya mengandung arti. bahwa Nabi
Musa a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw. akan mengajak orang-orang Yahudi dan Kristen
untuk bekerja sama di jalan Allah,
tetapi mereka akan menolak ajakan
kedua-dua beliau itu. Itulah salah satu makna kalimat اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا -- “mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya.“
Sehubungan ajakan
Nabi Besar Muhammad saw. jepada orang-orang Yahudi dan Kristen untuk melakukan
“kerjasama di jalan Allah” tersebut
Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ
یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ تَعَالَوۡا اِلٰی کَلِمَۃٍ سَوَآءٍۢ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَکُمۡ اَلَّا نَعۡبُدَ اِلَّا اللّٰہَ
وَ لَا نُشۡرِکَ بِہٖ شَیۡئًا وَّ لَا یَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا اَرۡبَابًا
مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُوۡلُوا اشۡہَدُوۡا بِاَنَّا
مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Hai Ahlul Kitab, marilah kepada satu
kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian
yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Tetapi jika mereka berpaling maka katakanlah: “Jadi saksilah bahwa sesungguhnya
kami orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (Āli
‘Imran [3]:65).
Ayat ini dengan keliru dianggap oleh sementara orang seakan-akan memberikan dasar untuk mencapai suatu kompromi antara Islam di satu pihak dan Kristen serta agama Yahudi di lain pihak. Dikemukakan sebagai alasan bahwa bila agama-agama tersebut pun mengajarkan dan menanamkan Keesaan Tuhan, maka ajaran Islam lainnya yang dianggap menduduki tempat kedua dalam kepentingannya,
sebaiknya ditinggalkan saja.
Sulit dimengerti bahwa gagasan kompromi dalam urusan agama pernah dianjurkan dengan kaum, yang dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutuk dengan sangat keras atas kepalsuan kepercayaan mereka dan ditantang
begitu hebat untuk bermubahalah yakni
bertanding doa meminta keputusan Allah Swt. supaya diketahui pihak yang benar dan pihak yang palsu dalam kepercayaannya (QS.3:62).
Nabi Besar Muhammad swaw. dalam menulis surat dakwah kepada Heraclius -- Kaisar Romawi, -- memakai ayat ini pula,
malahan mendesak Heraclius supaya menerima
Islam dan mengancamnya dengan
ancaman azab Ilahi, bila ia menolak berbuat demikian (Bukhari). Hal itu tak ayal lagi menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap Keesaan Tuhan semata-mata, menurut Nabi
Besar Muhammad saw. tidak
dapat menyelamatkan Heraclius dari azab Ilahi, sebab menurut Allah Swt. agama yang benar dalam pandangan-Nya adalah agama Islam (QS.3:20 & 86; QS.5:4).
Cara yang Mudah Untuk
Mengetahui Pihak
yang Benar-benar Berpegang
Teguh Pada Tauhid
Memang ayat ini dimaksudkan untuk
menyarankan satu cara yang mudah dan sederhana yang dengan itu orang-orang Yahudi dan Kristen dapat sampai kepada keputusan yang tepat mengenai kebenaran Islam. Kaum Kristen,
kendatipun mengaku beriman kepada Tauhid Ilahi, percaya pula kepada ketuhanan Isa, dan orang-orang Yahudi —
sungguhpun mengaku berpegang kuat kepada Tauhid
— mereka mengikuti dengan membuta rahib-rahib
dan ulama-ulama mereka, dan dengan
demikian seolah-olah menempatkan mereka dalam kedudukan yang sama dengan Tuhan
sendiri.
Ayat ini menyuruh kedua golongan
itu kembali kepada kepercayaan asal mereka, yakni Tauhid Ilahi, dan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan palsu yang
menjadi perintang bagi mereka untuk masuk Islam. Jadi, bukan
mencari kompromi dengan agama-agama itu, melainkan ayat ini
sesungguhnya mengajak para pengikut agama itu untuk menerima Islam dengan menarik perhatian
mereka kepada Tauhid yang sedikitnya
dalam bentuk lahir, merupakan akidah
pokok yang sama pada agama-agama
tersebut, dapat berlaku sebagai satu
dasar titik-temu untuk penyelidikan lebih lanjut.
Secara sambil lalu baiklah di
sini diperhatikan, bahwa surat yang disebut oleh Bukhari dan ahli-ahli
hadist lainnya, dikirimkan oleh Nabi
Besar Muhammad saw. kepada Heraclius
dan beberapa kepala pemerintahan lain — Muqauqis, raja muda Mesir itu satu dari
antara mereka — disusun dengan kata-kata dari ayat ini dan mengajak mereka untuk menerima
Islam, akhir-akhir ini telah ditemukan dan ternyata mengandung kata-kata
yang persis dikutip oleh Bukhari (The Riview of Religions jilid V,
no. 8). Hal itu mengandung bukti kuat mengenai keotentikan Bukhari dan pula kitab-kitab
hadits lainnya yang telah diakui.
Sehubungan dengan ketidak-murnian “Tauhid” yang dianut
oleh orang-orang Yahudi dan Kristen tersebut Allah Swt. berfirman:
وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ
اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ
قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾ اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا
مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ
وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ
مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا
لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ
بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang
Yahudi berkata: “Uzair adalah anak
Allah”, dan orang-orang Nasrani
ber-kata: “Al-Masih adalah anak
Allah.” Demikian itulah perkataan
mereka dengan mulutnya, mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Allah membinasakan
mereka, bagaimana mereka sampai dipalingkan
dari Tauhid? Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu
juga Al-Masih ibnu Maryam,
padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa.
Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci
Dia dari apa yang mereka sekutukan. Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.
Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan aga-ma yang haq
(benar), supaya Dia mengunggulkannya
atas semua agama walau pun orang-orang
musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).
Makna “Memperbaiki Dinding yang Hampir Runtuh”
Tanpa “Meminta Upah”
Jadi itulah salah satu makna yang
terkandung dalam kalimat “meminta makanan”
dalam firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا
فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا
یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ
شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ﴿﴾
Maka
berangkatlah keduanya, hingga ketika
mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba
Allah, memperbaikinya. Ia, Musa,
berkata: "Seandainya engkau
menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
Ada pun makna
ayat فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ -- “Lalu
mereka berdua menjumpai di sana
sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba Allah, memperbaikinya
(menegakkannya)“, salah satu makna “dinding yang hampir runtuh” adalah Tauhid serta ajaran-ajaran asli Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. (QS.2:131-142) yang
oleh ulah buruk kaum-kaumnya dibuat “hampir rubuh” namun ditegakkan
kembali oleh “hamba Allah” yakni Nabi Besar Muhammad saw. dalam Al-Quran.
Bersambung)
Rujukan: The Holy
Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 4 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar