Jumat, 14 Juni 2013

"Ruuhul Amiin" Turun Kepada "Al-Amiin" Membawa Wahyu Al-Quran & Perubahan Kiblat dari Baitul-Muqadas di Yerusalem ke BaitulLaah (Ka'bah) di Mekkah




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 146


   Rūhul Amīn Turun Kepada Al-Amīn Membawa Wahyu  Al-Quran & Nubuatan Perubahan Kiblat dari Baitul Muqadas di Yerusalem ke Baitullah (Ka’bah)  


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   akhir Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai  genapnya nubuatan  Bible tentang  “nabi yang seperti Musa” (Ulangan 15-20)  dalam wujud  Nabi Besar Muhammad saw.   firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.: 
وَ مَا کُنۡتَ بِجَانِبِ الطُّوۡرِ  اِذۡ نَادَیۡنَا وَ لٰکِنۡ رَّحۡمَۃً مِّنۡ رَّبِّکَ لِتُنۡذِرَ قَوۡمًا مَّاۤ  اَتٰىہُمۡ مِّنۡ نَّذِیۡرٍ  مِّنۡ قَبۡلِکَ  لَعَلَّہُمۡ  یَتَذَکَّرُوۡنَ﴿﴾
Dan engkau sekali-kali tidak  berada di lereng gunung Thur   ketika Kami berseru kepada Musa, tetapi ini adalah rahmat dari Tuhan engkau,  supaya engkau memberi  peringatan kepada kaum yang tidak pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan sebelum engkau supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Qashash [28]:47).  Lihat pula QS.20:12-13; QS.79:17-27.
      Ayat ini mengandung arti bahwa tidak mungkin  Nabi Besar Muhammad saw. yang mula-mula telah menyebabkan Nabi Musa a.s.  membuat nubuatan mengenai beliau saw. (Ulangan 18:15-20) dan kemudian menda'wakan diri diutus sebagai penggenap nubuatan  sebagai “nabi yang seperti Musa  atau sebagai “Nabi itu.”
Pendek kata, nubuatan-nubuatan  tentang kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “nabi yang seperti Musa” dalam Ulangan 18:15-20 tersebut demikian jelasnya, dan  pada umumnya para ulama Bani Israil pun   sangat  mengetahui hal tersebut, firman-Nya: 
وَ  اِنَّہٗ   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ   نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾  بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.  Telah turun dengannya  Ruh yang terpercaya   atas kalbu engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).

Rūhul Amīn” Turun Kepada “Al-Amīn

     Ayat 193  bermaksud mengatakan bahwa wahyu Al-Quran bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat para nabi Allah tersebut di atas, amanat Al-Quran juga telah diwahyukan oleh Allah Swt., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi terdahulu dikirim kepada kaum masing-masing, sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia, sebab Al-Quran “diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.”
     Dalam ayat  194, malaikat yang membawa wahyu Al-Quran disebut rūhul-amīn, yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan terakhir dipergunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan penggunaan nama kehormatan yang pertama (Rūhul-Amīn) mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi terhadap segala usaha yang merusak keutuhan teksnya (QS.15:10).
   Nama kehormatan ini secara khusus telah dipergunakan berkenaan dengan wahyu    Al-Quran, sebab janji pemeliharaan Ilahi yang kekal-abadi tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya, sehingga kata-kata dalam kitab suci itu, oleh karena berlalunya masa telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
       Sungguh menakjubkan,  bahwa di Mekkah   Nabi Besar Muhammad saw. sebelum diutus sebagai Rasul Allah pun  dikenal sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar kesaksian mengenai keterpercayaan Al-Quran, karena wahyu Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn (Ruh yang terpercaya) -- yakni Malaikat Jibrail  a.s. (QS.2:98-99) -- kepada seorang amin!
  Kata-kata “atas kalbu engkau” telah dibubuhkan untuk mengatakan  bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan hanya gagasan yang dicetuskan  Nabi Besar Muhammad saw.    dengan perkataan beliau sendiri (QS.53:1-12), melainkan benar-benar Kalam (Firman) Allah Swt..  Sendiri, yang turun kepada hati  Nabi Besar Muhammad saw. dengan perantaraan Malaikat Jibrail a.s. (QS.2:98-99).
       Hal diutusnya  Nabi Besar Muhammad saw.   dan hal turunnya (diwahyukan-Nya) Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Kabar-kabar gaib (nubuatan-nubuatan) tentang itu kita dapati dalam Kitab-kitab hampir setiap agama, akan tetapi Bible —yang merupakan kitab suci yang paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan pendahulunya dan dalam kemurniannya  konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat — mengandung paling banyak jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14. Itulah makna firman-Nya:
وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu.   Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:197-198).

Perintah  Menghadap “Kiblat Baru
Ketika Umat Islam Melaksanakan Shalat

   Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah firman Allah Swt. berikut ini mengenai dipindahkan-Nya  nikmat kenabian dari Bani Israil kepada Bani Isma’il melalui “nabi yang seperti Musa” tersebut:
سَیَقُوۡلُ السُّفَہَآءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلّٰىہُمۡ عَنۡ قِبۡلَتِہِمُ الَّتِیۡ کَانُوۡا عَلَیۡہَا ؕ قُلۡ لِّلّٰہِ الۡمَشۡرِقُ وَ الۡمَغۡرِبُ ؕ یَہۡدِیۡ مَنۡ  یَّشَآءُ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾
Orang-orang bodoh di antara manusia segera akan berkata: “Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblatnya yang mereka senantiasa menghadap kepadanya?”  Katakanlah: Milik Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petunjuk ke jalan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Baqarah [2]:143).
     Dalam beberapa ayat Surah Al-Baqarah sebelumnya sebelumnya (QS.2:125-130), secara khusus telah disinggung kenyataan, bahwa sesuai dengan rencana Ilahi Nabi Ibrahim a.s. telah menempatkan istri dan putra beliau, yakni Siti Hajar dan Isma’il a.s.   di Lembah Mekkah yang gundul dan gersang itu. Ketika Isma’il a.s.  tumbuh dewasa, Nabi  Ibrahim a.s. mendirikan kembali Ka’bah dengan bantuan putra beliau itu, dan selagi membangun kembali Ka’bah itu beliau mendoa kepada  Allah Swt.  agar membangkitkan di antara orang-orang Arab seorang nabi besar yang bakal menjadi Pembimbing dan Pemimpin umat manusia untuk segala masa (QS.2:130; QS.62:3). Dan pada saat yang telah ditentukan ketika Nabi besar itu muncul, rencana Allah Swt. Azali mulai bekerja dan Ka’bah dijadikan “kiblat” untuk seluruh umat manusia.
     Tetapi ketika berada di Mekkah,  Nabi Besar Muhammad saw. sesuai dengan kebiasaan lama beliau dan pula atas perintah Ilahi, menghadapkan wajah beliau saw. ke Baitulmuqadas di Yerusalem yang merupakan kiblat para nabi Israil. Di Medinah pun beliau saw. tetap menghadap ke arah Yerusalem. Tetapi beberapa bulan kemudian beliau saw. diperintahkan oleh Allah Swt.  supaya menghadapkan wajah beliau saw. ke arah Ka’bah. Hal itu dicela oleh orang-orang Yahudi.
      Ayat dalam pembahasan ini memberikan jawaban terhadap keberatan mereka, dan pula menjelaskan hikmah perintah untuk mengubah arah kiblat itu. Tetapi Al-Quran tidak pernah memberikan sesuatu perintah baru secara serentak. Al-Quran senantiasa mulai dengan menyediakan dahulu landasan untuk penerimaannya dengan memberikan alasan-alasan yang mendukung perintah itu, dan mencegah serta menjawab keberatan-keberatan yang mungkin timbul terhadap perintah itu.
      Karena perintah perubahan kiblat itu mungkin akan mengganggu ketenangan dan keseimbangan batin sebagian orang maka dalam ayat ini landasannya tengah disediakan dengan membuat satu pandangan umum bahwa pemilihan arah tertentu untuk beribadah itu tidak begitu penting. Apa yang penting ialah jiwa ketaatan kepada  Allah Swt.  dan semangat kesatuan di antara orang-orang yang beriman.
      Anak kalimat, Timur dan Barat adalah milik  Allah menerangkan bahwa pilihan Timur atau Barat itu tak begitu penting, dan karena tujuan hakiki adalah hanya Allah Swt. maka menetapkan arah tertentu itu terutama sekali dimaksudkan untuk menciptakan rasa persatuan. Ayat ini berarti pula bahwa suatu hari Ka’bah akan jatuh ke tangan kaum Muslim.

Umat Islam Sebagai “Umat yang Mulia” &
Beratnya Mengubah Arah  “Kiblat”

       Sehubungan dengan  perintah untuk menjadikan Ka’bah (baitullah) di Makkah sebagai kiblat  baru umat Islam tersebut, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ  اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً  اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ  ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan demikianlah  Kami menjadikan kamu satu umat yang mulia supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu. Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan  kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya. Dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah [2]:145).
     Al-wasath berarti: menempati kedudukan di tengah; baik dan mulia dalam pangkat (Aqrab). Kata itu dipakai di sini dalam arti baik dan mulia. Dalam QS.3:111 pun kaum Muslimin disebut “kaum terbaik”, firman-Nya kepada umat Islam:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ  الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia,  kamu menyuruh berbuat makruf, melarang dari berbuat munkar, dan beriman kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman, niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang fasik. (Āli ‘Imran [3]:111).
      Ayat ini bukan saja mencanangkan bahwa kaum Muslimin itu kaum  yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan menyebutkan pula sebab-sebabnya: (1) Mereka telah dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia seluruhnya; (2) telah menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemuliaan kaum Muslimin bergantung pada dan ditentukan oleh kedua syarat itu.
Kalimat لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا -- “supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu” (QS.2:145), kaum Muslimin diperingatkan di sini bahwa tiap-tiap keturunan (generasi) mereka harus menjaga dan mengawasi keturunan (generasi) berikutnya. Karena mereka kaum terbaik maka mereka berkewajiban senantiasa berjaga-jaga agar jangan jatuh dari taraf hidup yang tinggi seperti yang diharapkan dari mereka dan berusaha agar setiap keturunan berikutnya pun mengikuti jalan yang ditempuh oleh mereka yang telah menikmati pergaulan suci dengan Nabi Besar Muhammad saw..  Jadi  beliau saw. harus menjadi penjaga para pengikut beliau saw. yang terdekat sedang mereka pada gilirannya harus menjadi penjaga penerus-penerus mereka dan demikian seterusnya.
      Kata-kata  لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا -- supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu” itu dapat pula berarti, bahwa seperti  telah ditakdirkan, kaum Muslimin akan menjadi pemimpin umat manusia, dan dengan amal saleh mereka akan menjadi penerima karunia-karunia istimewa dari Allah Swt...  Dengan demikian kaum-kaum lain akan terpaksa mengambil kesimpulan bahwa orang-orang Islam mengikuti agama yang benar, dan dengan demikian kaum Muslimin akan menjadi saksi atas kebenaran Islam bagi orang-orang lain seperti halnya  Nabi Besar Muhammad saw.   telah menjadi saksi atas kebenaran Islam bagi mereka.

Perpindahan “Kiblat” Menjadi
Ujian Berat Bagi Semua Pihak

      Dari kata-kata  وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ  اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ – “Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan  kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya”,   tampak bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  telah mengambil Baitulmuqadas di Yerusalem sebagai kiblat beliau saw. atas perintah Ilahi, tetapi karena Baitulmuqadas itu dimaksudkan oleh Allah Swt.   hanya untuk menjadi kiblat sementara dan kelak akan digantikan Ka’bah di Makkah,  yang akan menjadi kiblat untuk seluruh umat manusia sepanjang masa, maka perintah bertalian dengan kiblat sementara itu tidak termasuk dalam Al-Quran.
Hal itu menunjukkan bahwa semua perintah yang sifatnya sementara semacam itu tidak dimasukkan dalam Al-Quran, hanya perintah-perintah yang bersifat kekal saja yang dimasukkan di dalamnya. Anggapan bahwa ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang sekarang tidak berlaku lagi sama sekali tidak berdasar.
     Orang-orang Arab itu sangat besar keterikatan mereka kepada Ka’bah, rumah ibadah tertua di Mekkah. Ka’bah adalah tempat peribadatan nasional mereka yang turun temurun semenjak zaman Nabi Ibrahim a.s. maka merupakan  cobaan berat bagi mereka ketika pada zaman permulaan Islam diperintahkan meninggalkan Ka’bah dan digantikannya dengan Baitulmuqadas di Yerusalem yang merupakan kiblat para Ahlulkitab (Bukhari dan Tafsir Ibnu Jarir).
      Demikian pula ketika kemudian di Medinah,  perubahan kiblat dari Baitulmuqadas ke Ka’bah merupakan ujian berat bagi kaum Yahudi dan Kristen. Jadi, perubahan kiblat itu ternyata merupakan ujian bagi para Ahlulkitab dan kaum Muslimin, begitu pula bagi kaum musyrikin Mekkah. Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قَدۡ نَرٰی تَقَلُّبَ وَجۡہِکَ فِی السَّمَآءِ ۚ فَلَنُوَلِّیَنَّکَ قِبۡلَۃً  تَرۡضٰہَا  ۪  فَوَلِّ وَجۡہَکَ شَطۡرَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ ؕ  وَ حَیۡثُ مَا کُنۡتُمۡ   فَوَلُّوۡا  وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ ؕ وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ  الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ؕ وَ مَا اللّٰہُ بِغَافِلٍ عَمَّا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Sungguh Kami melihat  engkau sering menengadahkan wajah engkau ke langit, karena itu  Kami niscaya akan memalingkan  engkau ke arah Kiblat yang engkau menyukainya, maka palingkanlah wajah engkau ke arah Masjidilharam, dan di mana pun  kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya.  Dan sesungguhnya orang-orang yang telah diberi kitab, mereka itu benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq  (kebenaran)  dari Tuhan mereka, dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (Al-Baqarah [2]:145).
    Ketika berada di Mekkah, Nabi Besar Muhammad Saw.  atas perintah Ilahi menghadapkan wajah beliau saw. di waktu shalat ke arah Baitulmuqadas di Yerusalem. Tetapi oleh karena dalam hati sanubari beliau saw. menginginkan Ka’bah menjadi kiblat beliau  -- dan beliau  saw. pun mempunyai semacam firasat bahwa pada akhirnya keinginan beliau saw. akan terkabul -- maka beliau saw. senantiasa mengambil tempat shalat yang sekaligus beliau saw. dapat menghadap ke Baitulmuqadas  di Yerusalem dan ke Ka’bah di Mekkah.
     Tetapi ketika  Nabi Besar Muhammad saw.  hijrah ke Medinah, mengingat letak kota, beliau saw. hanya dapat menghadap ke Baitulmuqadas saja. Dengan perubahan kiblat itu keinginan hati beliau saw. yang mendalam itu menjadi lebih mendalam lagi dan meskipun karena menghargai perintah  Allah Swt.   beliau saw. tidak mendoa bagi perubahan itu tetapi beliau saw. dengan penuh harapan dan keinginan menengadah ke langit menanti perintah mengenai perubahan itu. Itulah makna  -- “Sungguh Kami melihat  engkau sering menengadahkan wajah engkau ke langit
   Nuwalliyannaka berarti juga: “Kami akan menjadikan engkau penguasa dan penjaga.” Ungkapan ini merupakan nubuatan berganda, yaitu bahwa akhirnya Ka’bah akan menjadi kiblat semua orang dan bahwa pemilikan Ka’bah pun akan jatuh ke tangan Nabi Besar Muhammad saw..
    Kata-kata  وَ حَیۡثُ مَا کُنۡتُمۡ   فَوَلُّوۡا  وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ   -- “dan di mana pun  kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya”,  itu berarti bahwa meskipun dalam keadaan biasa kaum Muslimin diperintahkan menghadap ke Ka’bah pada waktu shalat, tetapi kepentingan soal arah itu sesungguhnya menempati urutan kedua. Perubahan kiblat ke Ka’bah itu dimaksudkan untuk mengadakan dan memelihara persatuan dan keseragaman dalam persaudaraan umat Islam.

Bertahan Pada “Kiblat” Masing-masing

     Kalimat selanjutnya وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ  الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ   – “mereka itu benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq  (kebenaran)  dari Tuhan mereka,” menegaskan bahwa pada hakikatnya golongan  Ahli Kitab mengetahui dari nubuatan-nubuatan dalam Kitab-kitab suci mereka bahwa dipindahkannya kiblat  dari Baitul Muqadas di Yerusalem ke Ka’bah (Baitullah) di Mekkah adalah haq (kebenaran).   Lihat Kejadian 21:21; Yahya 4:21; Yesaya 45:13;  dan Ulangan 32:2.
   Namun walau pun demikian pada kenyataannya dan pada pelaksanaan genapnya nubuatan tersebut mereka menolak melakukan perpindahan kiblat tersebut dengan berbagai alasan yang batil (tidak benar), firman-Nya:
وَ لَئِنۡ اَتَیۡتَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ بِکُلِّ اٰیَۃٍ مَّا تَبِعُوۡا قِبۡلَتَکَ ۚ وَ مَاۤ اَنۡتَ بِتَابِعٍ قِبۡلَتَہُمۡ ۚ وَ مَا بَعۡضُہُمۡ  بِتَابِعٍ قِبۡلَۃَ بَعۡضٍ ؕ وَ لَئِنِ اتَّبَعۡتَ اَہۡوَآءَہُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ  ۙ اِنَّکَ اِذًا  لَّمِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۘ 
Dan jika sekali pun engkau mendatangkan segala macam Tanda kepada orang-orang yang diberi Kitab,  mereka sekali-kali tidak akan mengikuti kiblat engkau dan engkau pun tidak akan menjadi pengikut kiblat mereka, dan sebagian mereka tidak akan menjadi  pengikut kiblat sebagian yang lain.  Dan jika engkau benar-benar mengikuti  keinginan mereka sesudah  ilmu datang kepada engkau, sesungguhnya jika demikian engkau benar-benar akan termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah [2]:146).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 28 Mei  2013  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar