بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 146
Rūhul
Amīn Turun Kepada Al-Amīn Membawa
Wahyu Al-Quran & Nubuatan Perubahan Kiblat
dari Baitul Muqadas di Yerusalem ke Baitullah (Ka’bah)
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai genapnya nubuatan Bible tentang “nabi yang seperti Musa” (Ulangan
15-20) dalam wujud Nabi Besar Muhammad saw. – firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَا
کُنۡتَ بِجَانِبِ الطُّوۡرِ اِذۡ
نَادَیۡنَا وَ لٰکِنۡ رَّحۡمَۃً مِّنۡ رَّبِّکَ لِتُنۡذِرَ قَوۡمًا مَّاۤ اَتٰىہُمۡ مِّنۡ نَّذِیۡرٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ لَعَلَّہُمۡ
یَتَذَکَّرُوۡنَ﴿﴾
Dan engkau sekali-kali tidak berada di lereng gunung Thur ketika Kami berseru kepada
Musa, tetapi ini adalah rahmat
dari Tuhan engkau, supaya
engkau memberi peringatan kepada kaum yang tidak pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan
sebelum engkau supaya mereka mendapat
nasihat. (Al-Qashash [28]:47).
Lihat pula QS.20:12-13; QS.79:17-27.
Ayat ini mengandung arti bahwa
tidak mungkin Nabi Besar Muhammad saw. yang
mula-mula telah menyebabkan Nabi Musa a.s. membuat nubuatan mengenai beliau saw. (Ulangan
18:15-20) dan kemudian menda'wakan diri
diutus sebagai penggenap nubuatan sebagai “nabi
yang seperti Musa” atau sebagai “Nabi itu.”
Pendek kata, nubuatan-nubuatan tentang
kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.
sebagai “nabi yang seperti Musa”
dalam Ulangan 18:15-20 tersebut demikian jelasnya, dan pada umumnya para ulama Bani Israil pun
sangat mengetahui hal tersebut, firman-Nya:
وَ اِنَّہٗ
لَتَنۡزِیۡلُ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ نَزَلَ
بِہِ الرُّوۡحُ الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾ بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ وَ
اِنَّہٗ لَفِیۡ زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾ اَوَ لَمۡ
یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً اَنۡ
یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ
اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan
oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam. Telah turun dengannya Ruh
yang terpercaya atas kalbu
engkau, supaya engkau
termasuk di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah
ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).
“Rūhul Amīn” Turun Kepada “Al-Amīn”
Ayat 193 bermaksud mengatakan bahwa wahyu
Al-Quran bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat para nabi Allah tersebut di atas, amanat Al-Quran juga telah diwahyukan oleh Allah Swt., tetapi
dengan perbedaan bahwa nabi-nabi
terdahulu dikirim kepada kaum masing-masing,
sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia, sebab Al-Quran
“diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.”
Dalam
ayat 194, malaikat yang membawa wahyu
Al-Quran disebut rūhul-amīn, yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103),
yakni ruh suci. Nama kehormatan
terakhir dipergunakan dalam Al-Quran
untuk menunjuk kepada kebebasan yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan
atau noda; dan penggunaan nama
kehormatan yang pertama (Rūhul-Amīn) mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat
perlindungan Ilahi terhadap segala usaha yang merusak keutuhan teksnya
(QS.15:10).
Nama kehormatan ini secara khusus telah dipergunakan berkenaan dengan wahyu Al-Quran, sebab janji pemeliharaan Ilahi yang kekal-abadi
tidak diberikan kepada kitab-kitab suci
lainnya, sehingga kata-kata dalam
kitab suci itu, oleh karena berlalunya masa telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
Sungguh menakjubkan, bahwa di Mekkah Nabi
Besar Muhammad saw. sebelum diutus sebagai Rasul Allah pun dikenal sebagai Al-Amīn (si benar;
terpercaya). Betapa besar penghormatan
Ilahi dan betapa besar kesaksian mengenai keterpercayaan Al-Quran, karena wahyu Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn
(Ruh yang terpercaya) -- yakni Malaikat Jibrail a.s.
(QS.2:98-99) -- kepada seorang amin!
Kata-kata “atas kalbu engkau” telah
dibubuhkan untuk mengatakan bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan hanya gagasan
yang dicetuskan Nabi Besar Muhammad saw.
dengan perkataan beliau
sendiri (QS.53:1-12), melainkan benar-benar Kalam
(Firman) Allah Swt.. Sendiri,
yang turun kepada hati Nabi Besar
Muhammad saw. dengan perantaraan Malaikat
Jibrail a.s. (QS.2:98-99).
Hal diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. dan hal turunnya (diwahyukan-Nya) Al-Quran,
kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Kabar-kabar gaib (nubuatan-nubuatan) tentang
itu kita dapati dalam Kitab-kitab
hampir setiap agama, akan tetapi Bible
—yang merupakan kitab suci yang
paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan
pendahulunya dan dalam kemurniannya
konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat — mengandung paling banyak
jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan
18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk
3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14. Itulah makna firman-Nya:
وَ اِنَّہٗ لَفِیۡ
زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾ اَوَ
لَمۡ یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan
sesungguhnya Al-Quran benar-benar
tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi
mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil
pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā
[26]:197-198).
Perintah Menghadap “Kiblat Baru”
Ketika Umat Islam Melaksanakan Shalat
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalah firman Allah Swt. berikut ini mengenai dipindahkan-Nya nikmat
kenabian dari Bani Israil kepada Bani Isma’il melalui “nabi yang seperti Musa” tersebut:
سَیَقُوۡلُ السُّفَہَآءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلّٰىہُمۡ عَنۡ
قِبۡلَتِہِمُ
الَّتِیۡ کَانُوۡا عَلَیۡہَا ؕ قُلۡ لِّلّٰہِ
الۡمَشۡرِقُ وَ الۡمَغۡرِبُ ؕ یَہۡدِیۡ مَنۡ یَّشَآءُ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿﴾
Orang-orang bodoh di antara manusia segera akan berkata: “Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblatnya yang
mereka senantiasa menghadap kepadanya?” Katakanlah: ”Milik Allah-lah timur dan barat, Dia
memberi petunjuk ke jalan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Baqarah [2]:143).
Dalam beberapa ayat Surah
Al-Baqarah sebelumnya sebelumnya (QS.2:125-130), secara khusus telah disinggung kenyataan,
bahwa sesuai dengan rencana Ilahi Nabi
Ibrahim a.s. telah menempatkan istri dan putra beliau, yakni Siti Hajar dan
Isma’il a.s. di Lembah
Mekkah yang gundul dan gersang itu. Ketika Isma’il a.s. tumbuh dewasa, Nabi Ibrahim a.s. mendirikan kembali Ka’bah dengan
bantuan putra beliau itu, dan selagi membangun kembali Ka’bah itu beliau mendoa
kepada Allah Swt. agar membangkitkan
di antara orang-orang Arab seorang nabi
besar yang bakal menjadi Pembimbing
dan Pemimpin umat manusia untuk
segala masa (QS.2:130; QS.62:3). Dan pada saat yang telah ditentukan ketika Nabi besar itu muncul, rencana Allah Swt. Azali
mulai bekerja dan Ka’bah dijadikan
“kiblat” untuk seluruh umat manusia.
Tetapi ketika berada di Mekkah, Nabi Besar Muhammad saw. sesuai dengan
kebiasaan lama beliau dan pula atas perintah
Ilahi, menghadapkan wajah beliau saw. ke Baitulmuqadas di Yerusalem
yang merupakan kiblat para nabi Israil. Di Medinah pun beliau saw. tetap
menghadap ke arah Yerusalem. Tetapi
beberapa bulan kemudian beliau saw. diperintahkan oleh Allah Swt. supaya menghadapkan wajah beliau saw. ke
arah Ka’bah. Hal itu dicela oleh
orang-orang Yahudi.
Ayat dalam pembahasan ini
memberikan jawaban terhadap keberatan
mereka, dan pula menjelaskan hikmah perintah
untuk mengubah arah kiblat itu.
Tetapi Al-Quran tidak pernah memberikan sesuatu perintah baru secara serentak. Al-Quran senantiasa mulai dengan
menyediakan dahulu landasan untuk
penerimaannya dengan memberikan alasan-alasan
yang mendukung perintah itu, dan
mencegah serta menjawab keberatan-keberatan
yang mungkin timbul terhadap perintah
itu.
Karena perintah perubahan kiblat itu mungkin akan
mengganggu ketenangan dan keseimbangan batin sebagian orang maka
dalam ayat ini landasannya tengah disediakan dengan membuat satu pandangan umum
bahwa pemilihan arah tertentu untuk beribadah itu tidak begitu penting. Apa
yang penting ialah jiwa ketaatan
kepada Allah Swt. dan semangat
kesatuan di antara orang-orang yang beriman.
Anak kalimat, Timur dan Barat
adalah milik Allah menerangkan bahwa
pilihan Timur atau Barat itu tak begitu penting, dan karena
tujuan hakiki adalah hanya Allah Swt.
maka menetapkan arah tertentu itu
terutama sekali dimaksudkan untuk menciptakan rasa persatuan. Ayat ini berarti pula bahwa suatu hari Ka’bah akan jatuh ke tangan kaum Muslim.
Umat Islam Sebagai “Umat yang Mulia” &
Beratnya Mengubah
Arah “Kiblat”
Sehubungan
dengan perintah untuk menjadikan
Ka’bah (baitullah) di Makkah sebagai kiblat
baru
umat Islam tersebut, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ کَذٰلِکَ
جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ
یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ
الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ اِلَّا
لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ
وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً اِلَّا
عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ ؕ وَ مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan
demikianlah Kami menjadikan kamu satu umat yang mulia
supaya kamu senantiasa menjadi
penjaga manusia dan supaya Rasul itu
senantiasa menjadi penjaga kamu. Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat
melainkan supaya Kami mengetahui orang
yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya.
Dan sesungguhnya hal ini
benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang
yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah
sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah [2]:145).
Al-wasath berarti: menempati
kedudukan di tengah; baik dan mulia dalam pangkat (Aqrab). Kata itu dipakai
di sini dalam arti baik dan mulia. Dalam QS.3:111 pun kaum Muslimin disebut “kaum terbaik”, firman-Nya kepada umat
Islam:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ
لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ وَ
تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ
اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik, yang dibangkitkan demi kebaikan
umat manusia, kamu menyuruh berbuat makruf, melarang
dari berbuat munkar, dan beriman
kepada Allah. Dan seandainya Ahlul
Kitab beriman, niscaya akan lebih
baik bagi mereka. Di antara mereka ada
yang beriman tetapi kebanyakan
mereka orang-orang fasik. (Āli ‘Imran [3]:111).
Ayat ini bukan saja
mencanangkan bahwa kaum Muslimin itu kaum
yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan
menyebutkan pula sebab-sebabnya: (1) Mereka telah dibangkitkan untuk
kepentingan umat manusia seluruhnya; (2) telah menjadi kewajiban mereka
menganjurkan berbuat kebaikan dan
melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemuliaan kaum Muslimin bergantung pada dan
ditentukan oleh kedua syarat itu.
Kalimat لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ
عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا -- “supaya
kamu senantiasa menjadi penjaga manusia
dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi
penjaga kamu” (QS.2:145), kaum Muslimin diperingatkan di sini bahwa tiap-tiap keturunan (generasi) mereka harus menjaga dan mengawasi keturunan
(generasi) berikutnya. Karena mereka kaum
terbaik maka mereka berkewajiban senantiasa berjaga-jaga agar jangan jatuh dari taraf hidup yang tinggi seperti yang diharapkan dari mereka dan
berusaha agar setiap keturunan berikutnya pun mengikuti jalan yang ditempuh
oleh mereka yang telah menikmati pergaulan
suci dengan Nabi Besar Muhammad saw.. Jadi beliau saw. harus menjadi penjaga para pengikut beliau saw. yang terdekat sedang mereka pada
gilirannya harus menjadi penjaga
penerus-penerus mereka dan demikian seterusnya.
Kata-kata لِّتَکُوۡنُوۡا
شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا -- supaya kamu senantiasa
menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu”
itu dapat pula berarti, bahwa seperti
telah ditakdirkan, kaum Muslimin akan menjadi pemimpin umat manusia, dan dengan amal saleh mereka akan menjadi penerima karunia-karunia istimewa dari Allah
Swt... Dengan demikian kaum-kaum lain akan terpaksa mengambil
kesimpulan bahwa orang-orang Islam
mengikuti agama yang benar, dan
dengan demikian kaum Muslimin akan
menjadi saksi atas kebenaran Islam bagi orang-orang lain
seperti halnya Nabi Besar Muhammad saw. telah menjadi saksi atas kebenaran Islam
bagi mereka.
Perpindahan “Kiblat” Menjadi
Ujian Berat Bagi Semua Pihak
Dari
kata-kata وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ
مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ – “Dan Kami
sekali-kali tidak menjadikan kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat
melainkan supaya Kami mengetahui orang
yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya”, tampak
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. telah mengambil Baitulmuqadas di Yerusalem
sebagai kiblat beliau saw. atas perintah Ilahi, tetapi karena Baitulmuqadas itu dimaksudkan oleh Allah
Swt. hanya untuk menjadi kiblat sementara dan kelak akan
digantikan Ka’bah di Makkah, yang akan menjadi kiblat untuk seluruh umat
manusia sepanjang masa, maka perintah
bertalian dengan kiblat sementara itu
tidak termasuk dalam Al-Quran.
Hal itu menunjukkan bahwa semua perintah yang sifatnya sementara semacam itu tidak dimasukkan
dalam Al-Quran, hanya perintah-perintah
yang bersifat kekal saja yang
dimasukkan di dalamnya. Anggapan bahwa ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang
sekarang tidak berlaku lagi sama sekali tidak berdasar.
Orang-orang Arab itu sangat besar keterikatan
mereka kepada Ka’bah, rumah ibadah
tertua di Mekkah. Ka’bah adalah
tempat peribadatan nasional mereka
yang turun temurun semenjak zaman Nabi Ibrahim a.s. maka merupakan cobaan
berat bagi mereka ketika pada zaman
permulaan Islam diperintahkan meninggalkan Ka’bah dan digantikannya dengan Baitulmuqadas
di Yerusalem yang merupakan kiblat
para Ahlulkitab (Bukhari dan Tafsir Ibnu Jarir).
Demikian pula ketika kemudian di
Medinah, perubahan kiblat dari Baitulmuqadas
ke Ka’bah merupakan ujian berat bagi kaum Yahudi dan Kristen.
Jadi, perubahan kiblat itu ternyata merupakan ujian
bagi para Ahlulkitab dan kaum Muslimin, begitu pula bagi kaum musyrikin Mekkah. Selanjutnya Allah
Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قَدۡ نَرٰی
تَقَلُّبَ وَجۡہِکَ فِی السَّمَآءِ ۚ فَلَنُوَلِّیَنَّکَ قِبۡلَۃً تَرۡضٰہَا
۪ فَوَلِّ وَجۡہَکَ شَطۡرَ
الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ ؕ وَ حَیۡثُ مَا
کُنۡتُمۡ فَوَلُّوۡا وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ ؕ وَ اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ
لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ
رَّبِّہِمۡ ؕ وَ مَا اللّٰہُ بِغَافِلٍ عَمَّا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Sungguh Kami melihat engkau sering menengadahkan wajah engkau ke
langit, karena itu Kami niscaya akan memalingkan engkau ke arah Kiblat yang engkau
menyukainya, maka palingkanlah wajah
engkau ke arah Masjidilharam, dan di
mana pun kamu berada hadapkanlah wajahmu
ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang yang telah diberi kitab, mereka itu benar-benar mengetahui
bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq (kebenaran)
dari Tuhan mereka, dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka
kerjakan (Al-Baqarah [2]:145).
Ketika berada di Mekkah, Nabi Besar Muhammad
Saw. atas perintah Ilahi menghadapkan wajah beliau saw. di waktu shalat ke
arah Baitulmuqadas di Yerusalem.
Tetapi oleh karena dalam hati sanubari beliau saw. menginginkan Ka’bah menjadi kiblat beliau -- dan beliau saw. pun mempunyai semacam firasat bahwa pada akhirnya keinginan
beliau saw. akan terkabul -- maka beliau saw. senantiasa mengambil tempat shalat yang sekaligus beliau saw.
dapat menghadap ke Baitulmuqadas di Yerusalem dan ke Ka’bah di Mekkah.
Tetapi ketika Nabi Besar Muhammad saw. hijrah
ke Medinah, mengingat letak kota, beliau saw. hanya dapat menghadap ke Baitulmuqadas saja. Dengan perubahan kiblat itu keinginan hati beliau saw. yang mendalam
itu menjadi lebih mendalam lagi dan meskipun karena menghargai perintah Allah Swt. beliau saw. tidak
mendoa bagi perubahan itu tetapi
beliau saw. dengan penuh harapan dan keinginan menengadah ke langit menanti perintah
mengenai perubahan itu. Itulah makna --
“Sungguh Kami melihat engkau sering menengadahkan wajah engkau ke
langit”
Nuwalliyannaka
berarti juga: “Kami akan menjadikan
engkau penguasa dan penjaga.” Ungkapan ini merupakan nubuatan berganda, yaitu bahwa akhirnya Ka’bah akan menjadi kiblat
semua orang dan bahwa pemilikan Ka’bah
pun akan jatuh ke tangan Nabi Besar Muhammad saw..
Kata-kata وَ حَیۡثُ
مَا کُنۡتُمۡ فَوَلُّوۡا وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ -- “dan
di mana pun kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya”, itu berarti bahwa meskipun dalam keadaan biasa
kaum Muslimin diperintahkan menghadap ke Ka’bah
pada waktu shalat, tetapi kepentingan soal arah
itu sesungguhnya menempati urutan kedua. Perubahan kiblat ke Ka’bah itu dimaksudkan untuk mengadakan
dan memelihara persatuan dan keseragaman dalam persaudaraan umat Islam.
Bertahan Pada “Kiblat”
Masing-masing
Kalimat selanjutnya وَ اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ
لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ
رَّبِّہِمۡ – “mereka itu benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq (kebenaran) dari Tuhan mereka,” menegaskan bahwa pada
hakikatnya golongan Ahli Kitab mengetahui dari nubuatan-nubuatan dalam Kitab-kitab suci mereka bahwa
dipindahkannya kiblat dari Baitul
Muqadas di Yerusalem ke Ka’bah
(Baitullah) di Mekkah adalah haq
(kebenaran). Lihat Kejadian
21:21; Yahya 4:21;
Yesaya 45:13; dan Ulangan
32:2.
Namun walau pun demikian pada kenyataannya dan
pada pelaksanaan genapnya nubuatan
tersebut mereka menolak melakukan perpindahan kiblat tersebut dengan berbagai alasan
yang batil (tidak benar), firman-Nya:
وَ لَئِنۡ
اَتَیۡتَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ بِکُلِّ اٰیَۃٍ مَّا تَبِعُوۡا
قِبۡلَتَکَ ۚ وَ مَاۤ اَنۡتَ بِتَابِعٍ قِبۡلَتَہُمۡ ۚ وَ مَا بَعۡضُہُمۡ بِتَابِعٍ قِبۡلَۃَ بَعۡضٍ ؕ وَ لَئِنِ
اتَّبَعۡتَ اَہۡوَآءَہُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ ۙ اِنَّکَ اِذًا لَّمِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۘ
Dan jika
sekali pun engkau mendatangkan segala
macam Tanda kepada orang-orang yang diberi Kitab, mereka sekali-kali tidak akan mengikuti kiblat engkau dan engkau pun tidak akan menjadi pengikut
kiblat mereka, dan sebagian mereka
tidak akan menjadi pengikut kiblat
sebagian yang lain. Dan
jika engkau benar-benar mengikuti
keinginan mereka sesudah ilmu datang kepada engkau, sesungguhnya
jika demikian engkau benar-benar akan
termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah [2]:146).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar