Rabu, 12 Juni 2013

Keabsahan Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai "Nabi yang Seperti Musa"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 145


  Keabsahan Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai “Nabi yang Seperti Musa


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   akhir Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai   kebiasaan buruk yang biasa di lakungan di kalangan Bani Israil atau Ahli Kitab, yaitu   biasa melakukan pengubahan terhadap ayat-ayat Kitab suci mereka,  sehingga akibatnya banyak nubuatan yang sangat jelas mengenai para nabi Allah yang kedatangannya dijanjikan  Allah Swt. kepada mereka – khususnya Nabi Besar Muhammad saw. – mereka mendustakannya, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتِیَ الَّتِیۡۤ اَنۡعَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ وَ اَوۡفُوۡا بِعَہۡدِیۡۤ اُوۡفِ بِعَہۡدِکُمۡ ۚ وَ اِیَّایَ فَارۡہَبُوۡنِ ﴿﴾ وَ اٰمِنُوۡا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَکُمۡ وَ لَا تَکُوۡنُوۡۤا اَوَّلَ کَافِرٍۭ بِہٖ ۪ وَ لَا تَشۡتَرُوۡا بِاٰیٰتِیۡ ثَمَنًا قَلِیۡلًا ۫ وَّ اِیَّایَ فَاتَّقُوۡنِ ﴿﴾  وَ لَا تَلۡبِسُوا الۡحَقَّ بِالۡبَاطِلِ وَ تَکۡتُمُوا الۡحَقَّ وَ اَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan penuhilah janji kamu  kepada-Ku, niscaya Aku penuhi pula janji-Ku kepadamu  dan hanya Aku-lah yang harus kamu takuti. Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan   menggenapi apa yang ada padamu, dan janganlah kamu menjadi orang-orang  yang pertama-tama kafir terhadapnya, janganlah kamu menjual Ayat-ayat-Ku dengan harga murah  dan hanya kepada Aku-lah kamu bertak-wa. Dan janganlah kamu  mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan jangan pula kamu menyembunyikan yang haq itu padahal kamu mengetahui.  (Al-Baqarah [2]:41-43).

Mushadiq  Berarti Menggenapi
 
     Sesudah Nabi Ibrahim a.s., “janji” dengan Allah Swt. tersebut itu telah diperbaharui kaum Bani Israil. “Janji” kedua ini disebut di berbagai tempat dalam Bible (Keluaran bab 20; Ulangan bab-bab 5, 18, 26). Ketika “janji” itu sedang dibuat dan keagungan Allah Swt.  sedang menjelma di Gunung Sinai, orang-orang Bani Israil begitu ketakutan melihat “peter (petir) dan kilat dan bunyi nafiri dan bukit yang berasap” (Keluaran 20:18)  yang menyertai penjelmaan itu sehingga mereka berseru kepada Nabi Musa a.s. katanya: “Hendaklah engkau sahaja berkata-kata dengan kami maka kami akan dengar, tetapi jangan Allah berfirman kepada kami, asal jangan kami mati kelak!” (Keluaran 20:19).
      Kata-kata yang sangat melanggar kesopanan itu menentukan nasib mereka, sebab atas kata-kata itu Allah Swt.   berfirman kepada Nabi Musa a.s.  bahwa kelak tidak ada Nabi Pembawa Syariat seperti beliau sendiri akan muncul di antara mereka. Nabi demikian akan datang kelak dari antara saudara-saudara  Bani Israil yaitu  Bani Isma’il.
     Jadi dalam ayat 41   Allah Swt.  memperingatkan kaum Bani Israil bahwa Dia telah membuat perjanjian dengan Nabi Ishaq a.s.  dan anak cucunya yang isinya adalah bahwa jika  mereka berpegang dan menyempurnakan janjinya dengan Allah Swt. serta patuh kepada segala perintah-Nya, maka Dia akan terus menganugerahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada mereka:  وَ اَوۡفُوۡا بِعَہۡدِیۡۤ اُوۡفِ بِعَہۡدِکُمۡ   -- “dan penuhilah janji kamu  kepada-Ku, niscaya Aku penuhi pula janji-Ku kepadamu.”
     Tetapi  bila mereka tidak menyempurnakan janji mereka, mereka akan terasing dari nikmat-nikmat-Nya. Maka setelah Bani Israil nyata-nyata lalai dalam menepati “janji” lalu  Allah Swt.  membangkitkan Nabi yang dijanjikan itu dari antara kaum Bani Isma’il, sesuai dengan janji Dia  sebelumnya, dan kemudian “perjanjian” itu dipindahkan kepada para pengikut Nabi baru itu.
      Ayat وَ اٰمِنُوۡا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَکُمۡ وَ لَا تَکُوۡنُوۡۤا اَوَّلَ کَافِرٍۭ بِہٖ   -- “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan   menggenapi apa yang ada padamu, dan janganlah kamu menjadi orang-orang  yang pertama-tama kafir terhadapnya.” Mushaddiq diserap dari shaddaqa, yang berarti: ia menganggap atau menyatakan dia atau sesuatu itu benar (Lexicon Lane).
      Jika kata itu dipakai dalam arti “menganggap hal itu benar” maka kata itu tidak diikuti oleh kata perangkai, atau hanya diikuti oleh kata perangkai ba’. Tetapi jika dipakai arti “menggenapi” seperti pada ayat ini, kata itu diikuti oleh kata perangkai lam (QS.2:92 dan QS.35:32).
     Dengan demikian di sini kata itu berarti “menggenapi” dan bukan “mengukuhkan” atau “menyatakan benar.”  Al-Quran menggenapi nubuatan-nubuatan yang termaktub dalam Kitab-kitab Suci terdahulu, mengenai kedatangan seorang Nabi Pembawa Syariat dan Kitab Suci untuk seluruh dunia. (QS.7:158). 
    Kapan saja Al-Quran menyatakan dirinya sebagai mushaddiq Kitab-kitab Suci sebelumnya, Al-Quran tidak membenarkan ajaran Kitab-kitab Suci itu, melainkan Al-Quran menyebutkan datang sebagai  menggenapi nubuatan-nubuatan Kitab-kitab Suci itu. Meskipun demikian Al-Quran mengakui semua Kitab Wahyu yang sebelumnya  berasal dari Allah Swt.,  tetapi Al-Quran tidak menganggap bahwa  semua ajaran itu sekarang benar dalam keseluruhannya, sebab bagian-bagiannya telah diubah dan banyak yang dimaksudkan hanya untuk masa tertentu, sekarang telah menjadi kuno.
      Atas dasar kenyataan itulah ketika salah seorang Sahabah bertanya kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai bagaimana sikap  terhadap Kitab-kitab  yang diturunkan sebelum Al-Quran – terutama Taurat dan Injil – beliau saw. menjawab: “Jangan membenarkan seluruhnya dan jangan pula mendustakan seluruhnya”. Itulah sebabnya arti mushadiq  sehubungan kedudukan Al-Quran terhadap Kitab-kitab suci sebelumnya bukanlah membenarkan melainkan menggenapi, karena pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. mau pun Al-Quran adalah menggenai nubuatan-nubuatan  yang tercantum dalam Kitab-kitab sebelumnya.
     Dalam ayat 43  orang-orang Yahudi dilarang: (1) mencampuradukkan haq dan batil dengan menukil ayat-ayat Kitab Suci mereka lalu memberi kepadanya penafsiran-penafsiran yang salah; dan (2) menghilangkan atau menyembunyikan haq, yaitu  menghapus nubuatan-nubuatan dalam Kitab-kitab Suci mereka yang mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. وَ لَا تَلۡبِسُوا الۡحَقَّ بِالۡبَاطِلِ وَ تَکۡتُمُوا الۡحَقَّ وَ اَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ  – “Dan janganlah kamu  mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan jangan pula kamu menyembunyikan yang haq itu padahal kamu mengetahui.”

Nabi Besar Muhammad Saw. adalah “Nabi yang Seperti Musa
  
   Berikut adalah beberapa  firman Allah Swt. dalam Al-Quran sehubungan  dengan nubuatan dalam Bible mengenai Nabi Besar Muhammad saw. yang disebut sebagai “nabi yang seperti Musa”:
Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan  Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan. Tepat seperti yang kamu minta dahulu kepada Tuhan Allahmu, di gunung Horeb, pada hari perkumpulan, dengan berkata: Tidak mau aku mendengar lagi suara Tuhan Allahku, dan api yang besar ini tidak mau aku melihatnya lagi, supaya jangan aku mati. Lalu berkatalah Tuhan kepadaku: Apa yang dikatakan mereka itu baik; seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut pertanggungjawaban. Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama Allah lain, nabi itu harus mati. (Ulangan 18:15-20).
    Bahwa  yang dimaksud dengan “nabi yang seperti Musa” atau “Nabi itu” adalah Nabi Besar Muhammad saw. – bukan Yesus Kristus atau Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. --  berikut adalah beberapa pernyataan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam Al-Quran:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَا مُوۡسَی الۡکِتٰبَ مِنۡۢ بَعۡدِ مَاۤ اَہۡلَکۡنَا الۡقُرُوۡنَ الۡاُوۡلٰی بَصَآئِرَ لِلنَّاسِ وَ ہُدًی وَّ رَحۡمَۃً  لَّعَلَّہُمۡ  یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾   وَ مَا کُنۡتَ بِجَانِبِ الۡغَرۡبِیِّ  اِذۡ  قَضَیۡنَاۤ اِلٰی مُوۡسَی الۡاَمۡرَ  وَ مَا کُنۡتَ  مِنَ  الشّٰہِدِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah memberikan kitab Taurat itu kepada Musa setelah Kami membinasakan generasi  terdahulu, sebagai  bukti-bukti yang terang bagi manusia dan petunjuk serta rahmat supaya mereka mendapat pelajaran. Dan engkau sekali-kali tidak ada di sebelah barat gunung itu, ketika Kami menetapkan hukum risalat kepada Musa, dan engkau sekali-kali tidak termasuk orang-orang yang menyaksikan. (Al-Qashash [28]:44-45).
     Ayat ini bermaksud mengatakan bahwa nubuatan Nabi Musa a.s. tentang Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “nabi yang seperti Musa   (Ulangan 18:18) telah genap begitu jelas dan demikian rincinya, seakan-akan  beliau saw.  secara pribadi hadir bersama Nabi Musa a.s. ketika Nabi Musa a.s. mengatakan nubuatan itu. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ لٰکِنَّاۤ  اَنۡشَاۡنَا قُرُوۡنًا فَتَطَاوَلَ عَلَیۡہِمُ الۡعُمُرُ ۚ وَ مَا کُنۡتَ ثَاوِیًا فِیۡۤ  اَہۡلِ مَدۡیَنَ تَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِنَا ۙ وَ لٰکِنَّا کُنَّا  مُرۡسِلِیۡنَ﴿﴾   
Tetapi Kami telah  menjadikan generasi-generasi  [setelah Musa] maka  berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan engkau sekali-kali tidak tinggal bersama penduduk Midian, yang membacakan Tanda-tanda Kami kepada mereka, tetapi Kami-lah yang mengutus rasul-rasul. (Al-Qashash [28]:46).
    Abad demi abad berlalu dan suatu silsilah (untaian) para nabi Allah muncul sesudah Nabi Musa a.s. dan mereka itu menablighkan amanat masing-masing, namun tidak ada di antara nabi-nabi itu pernah mengaku sebagai  seorang nabi yang seperti Nabi Musa a.s. yang mengenainya Nabi Musa a.s.  telah membuat nubuatan seperti tercantum dalam Ulangan 18:15-20, hingga Al-Quran diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad saw..
     Al-Quran mengumumkan  bahwa nubuatan agung Nabi Musa a.s.   itu telah genap dalam wujud  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.73:16). Jelaslah  bahwa nubuatan Nabi Musa a.s. itu dari Allah Swt. dan mustahil diletakkan dalam mulut beliau oleh Nabi Besar Muhammad saw.   yang datang sekitar 20  abad kemudian sesudah beliau. Kaum Nabi Musa a.s. hampir telah melupakan nubuatan itu dan nubuatan-nubuatan lain mengenai  Nabi Besar Muhammad saw.   akibat   berlalunya masa.

Nabi Musa a.s. dan Nabi Besar Muhammad Saw.
Pernah Hijrah Selama  10  Tahun
     Kata-kata  وَ مَا کُنۡتَ ثَاوِیًا فِیۡۤ  اَہۡلِ مَدۡیَنَ تَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِنَا -- “dan engkau sekali-kali tidak tinggal bersama penduduk Midian, yang membacakan Tanda-tanda Kami kepada mereka,” ini menunjuk kepada persesuaian besar antara  Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Nabi Musa a.s., yakni seperti Nabi Musa a.s.  yang tinggal di Midian untuk 10 tahun lamanya di tengah-tengah suatu bangsa yang asing dan kemudian kembali ke Mesir untuk melepaskan kaum beliau yang tertindas dari perbudakan Fir’aun, demikian juga Nabi Besar Muhammad saw. pun tinggal di Medinah selama 10 tahun dan kemudian datang ke Mekkah untuk menaklukkannya.
      Selanjutnya    Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenaI saat ketika Nabi Musa a.s. menerima risalah dari Allah Swt. di gunung Thur:   
وَ مَا کُنۡتَ بِجَانِبِ الطُّوۡرِ  اِذۡ نَادَیۡنَا وَ لٰکِنۡ رَّحۡمَۃً مِّنۡ رَّبِّکَ لِتُنۡذِرَ قَوۡمًا مَّاۤ  اَتٰىہُمۡ مِّنۡ نَّذِیۡرٍ  مِّنۡ قَبۡلِکَ  لَعَلَّہُمۡ  یَتَذَکَّرُوۡنَ﴿﴾
Dan engkau sekali-kali tidak  berada di lereng gunung Thur   ketika Kami berseru kepada Musa, tetapi ini adalah rahmat dari Tuhan engkau,  supaya engkau memberi peringatan kepada kaum yang tidak pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan sebelum engkau supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Qashash [28]:47).  Lihat pula QS.20:12-13; QS.79:17-27.
      Ayat ini mengandung arti bahwa tidak mungkin  Nabi Besar Muhammad saw. yang mula-mula telah menyebabkan Nabi Musa a.s.  membuat nubuatan mengenai beliau saw. (Ulangan 18:15-20) dan kemudian menda'wakan diri diutus sebagai penggenap nubuatan  sebagai “nabi yang seperti Musa  atau sebagai “Nabi itu.”
     Pendek kata, nubuatan-nubuatan  tentang kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “nabi yang seperti Musa” dalam Ulangan 18:15-20 tersebut demikian jelasnya, dan  pada umumnya para ulama Bani Israil pun   sangat  mengetahui hal tersebut, firman-Nya: 
وَ  اِنَّہٗ   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ   نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾  بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.  Telah turun dengannya  Ruh yang terpercaya atas kalbu engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).

Rūhul Amīn” Turun Kepada “Al-Amīn

    Ayat 193 ini bermaksud mengatakan bahwa wahyu Al-Quran bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat para nabi Allah tersebut di atas, amanat Al-Quran juga telah diwahyukan oleh Allah Swt., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi terdahulu dikirim kepada kaum masing-masing, sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia, sebab Al-Quran “diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.”
      Dalam ayat  194, malaikat yang membawa wahyu Al-Quran disebut rūhul-amīn, yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan terakhir dipergunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan penggunaan nama kehormatan yang pertama (Rūhul-Amīn) mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi terhadap segala usaha yang merusak keutuhan teksnya (QS.15:10).
     Nama kehormatan ini secara khusus telah dipergunakan berkenaan dengan wahyu Al-Quran, sebab janji pemeliharaan Ilahi yang kekal-abadi tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya, sehingga kata-kata dalam kitab suci itu, oleh karena berlalunya masa telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
Sungguh menakjubkan,  bahwa di Mekkah   Nabi Besar Muhammad saw. sebelum diutus sebagai Rasul Allah pun  dikenal sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar kesaksian mengenai keterpercayaan Al-Quran, karena wahyu Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn (Ruh yang terpercaya) -- yakni Malaikat Jibrail  a.s. (QS.2:98-99) -- kepada seorang amin!
   Kata-kata “atas kalbu engkau” telah dibubuhkan untuk mengatakan  bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan hanya gagasan yang dicetuskan  Nabi Besar Muhammad saw.    dengan perkataan beliau sendiri (QS.53:1-12), melainkan benar-benar Kalam (Firman) Allah Swt..  Sendiri, yang turun kepada hati  Nabi Besar Muhammad saw. dengan perantaraan Malaikat Jibrail a.s. (QS.2:98-99).
     Hal diutusnya  Nabi Besar Muhammad saw.   dan hal turunnya (diwahyukan-Nya) Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Kabar-kabar gaib (nubuatan-nubuatan) tentang itu kita dapati dalam Kitab-kitab hampir setiap agama, akan tetapi Bible —yang merupakan kitab suci yang paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan pendahulunya dan dalam kemurniannya  konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat — mengandung paling banyak jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14. Itulah makna firman-Nya:
وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:197-198).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 27 Mei  2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar