بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 155
Makna Menegakkan
“Dinding yang Hampir Roboh”
“Dinding yang Hampir Roboh”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai kegagalan Nabi Musa a.s. berikutnya terhadap tindakan aneh “hamba Allah”
yang telah “meminta makan kepada penduduk
kota” dan “mendirikan dinding yang hampir roboh” tanpa minta
upah, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا
فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا
یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ
شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ﴿﴾
Maka
berangkatlah keduanya, hingga ketika
mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba
Allah, memperbaikinya. Ia, Musa,
berkata: "Seandainya engkau
menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
Ayat ini nampaknya mengandung arti. bahwa Nabi Musa
a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw. akan mengajak orang-orang Yahudi dan Kristen
untuk bekerja sama di jalan Allah,
tetapi mereka akan menolak ajakan
kedua-dua beliau itu. Itulah salah satu makna kalimat اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا -- “mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya.“
Sehubungan ajakan
Nabi Besar Muhammad saw. kepada orang-orang
Yahudi dan Kristen untuk
melakukan “kerjasama di jalan Allah”
tersebut Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ
یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ تَعَالَوۡا اِلٰی کَلِمَۃٍ سَوَآءٍۢ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَکُمۡ اَلَّا نَعۡبُدَ اِلَّا
اللّٰہَ وَ لَا نُشۡرِکَ بِہٖ شَیۡئًا وَّ لَا یَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا
اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُوۡلُوا اشۡہَدُوۡا
بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Hai Ahlul Kitab, marilah kepada satu
kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian
yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Tetapi jika mereka berpaling maka katakanlah: “Jadi saksilah bahwa sesungguhnya
kami orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (Āli
‘Imran [3]:65).
Ayat ini dengan keliru dianggap oleh sementara orang seakan-akan memberikan dasar untuk mencapai suatu kompromi antara Islam di satu pihak, dan Kristen serta agama Yahudi di lain pihak. Dikemukakan sebagai alasan bahwa bila agama-agama tersebut pun mengajarkan dan menanamkan Keesaan Tuhan, maka ajaran Islam lainnya yang dianggap menduduki tempat kedua dalam kepentingannya
sebaiknya ditinggalkan saja.
Sulit dimengerti bahwa gagasan kompromi dalam urusan agama pernah dianjurkan dengan kaum Yahudi dan Kristen -- yang dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutuk dengan sangat keras atas kepalsuan kepercayaan mereka dan ditantang
begitu hebat untuk bermubahalah yakni
bertanding doa meminta keputusan Allah Swt. supaya diketahui pihak yang benar dan pihak yang palsu dalam kepercayaannya, firman-Nya:
اَلۡحَقُّ
مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُنۡ مِّنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾ فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ
اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟
ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ ہٰذَا لَہُوَ الۡقَصَصُ الۡحَقُّ ۚ
وَ مَا مِنۡ اِلٰہٍ اِلَّا اللّٰہُ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌۢ
بِالۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿﴾
Kebenaran (al-haqq) ini dari Rabb (Tuhan) engkau maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang
ragu. Tetapi barangsiapa membantah
engkau mengenainya setelah datang
kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah
kita panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu, perempuan-perempuan kami dan
perempuan-perempuan kamu, orang-orang kami dan orang-orang kamu, kemudian kita berdoa
supaya laknat Allah menimpa orang-orang yang berdusta.” Sesungguhnya ini benar-benar kisah yang haq
(benar), dan sekali-kali tidak ada Tuhan
yang patut disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Allah,
Dia benar-benar Maha Perkasa,
Maha Bijaksana. Lalu jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
berbuat kerusakan. (Āli
‘Imran [3]:61-64).
Dalam surat dakwah Nabi Besar Muhammad saw. kepada Heraclius -- Kaisar Romawi -- beliau saw. memakai ayat ini pula, malahan
mendesak Heraclius supaya menerima Islam
dan mengancamnya dengan ancaman azab Ilahi, bila ia menolak berbuat demikian (Bukhari). Hal itu tak ayal lagi
menunjukkan bahwa kepercayaannya
terhadap Keesaan Tuhan semata-mata,
menurut Nabi Besar Muhammad saw. tidak
dapat menyelamatkan Heraclius dari azab Ilahi, sebab menurut Allah Swt. agama yang benar dalam pandangan-Nya adalah agama Islam (QS.3:20 & 86; QS.5:4).
Cara yang Mudah Untuk
Mengetahui Pihak
yang Benar-benar Berpegang
Teguh Pada Tauhid
Memang ayat ini (Āli ‘Imran [3]:65) dimaksudkan untuk
menyarankan satu cara yang mudah dan sederhana yang dengan itu orang-orang Yahudi dan Kristen dapat sampai kepada keputusan yang tepat mengenai kebenaran Islam. Kaum Kristen, kendatipun mengaku beriman kepada Tauhid Ilahi,
percaya pula kepada ketuhanan Isa,
dan orang-orang Yahudi — sungguhpun mengaku berpegang kuat kepada Tauhid — mereka mengikuti dengan membuta
rahib-rahib dan ulama-ulama mereka, dan dengan demikian seolah-olah menempatkan
mereka dalam kedudukan yang sama
dengan Tuhan sendiri.
Ayat ini menyuruh kedua golongan
itu kembali kepada kepercayaan asal mereka, yakni Tauhid Ilahi, dan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan palsu yang
menjadi perintang bagi mereka untuk masuk Islam. Jadi, bukan
mencari kompromi dengan agama-agama itu, melainkan ayat ini
sesungguhnya mengajak para pengikut agama itu untuk menerima Islam dengan menarik perhatian
mereka kepada Tauhid yang sedikitnya
dalam bentuk lahir, merupakan akidah
pokok yang sama pada agama-agama
tersebut, dapat berlaku sebagai satu
dasar titik-temu untuk penyelidikan lebih lanjut.
Secara sambil lalu baiklah di
sini diperhatikan, bahwa surat yang disebut oleh Bukhari dan ahli-ahli
hadist lainnya, dikirimkan oleh Nabi
Besar Muhammad saw. kepada
Heraclius dan beberapa kepala pemerintahan lain — Muqauqis, raja muda Mesir itu
satu dari antara mereka — disusun dengan kata-kata dari ayat ini dan mengajak mereka untuk menerima Islam, akhir-akhir ini telah
ditemukan dan ternyata mengandung kata-kata yang persis dikutip oleh Bukhari (The Riview of Religions jilid V, no. 8). Hal itu mengandung
bukti kuat mengenai keotentikan Bukhari
dan pula kitab-kitab hadits lainnya
yang telah diakui.
Sehubungan dengan ketidak-murnian “Tauhid” yang dianut
oleh orang-orang Yahudi dan Kristen tersebut Allah Swt. berfirman:
وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ
اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ
قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾ اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا
مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ
وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ
مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا
لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ
بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang
Yahudi berkata: “Uzair adalah anak
Allah”, dan orang-orang Nasrani
ber-kata: “Al-Masih adalah anak
Allah.” Demikian itulah perkataan
mereka dengan mulutnya, mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Allah membinasakan
mereka, bagaimana mereka sampai dipalingkan
dari Tauhid? Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu
juga Al-Masih ibnu Maryam padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa.
Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci
Dia dari apa yang mereka sekutukan. Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.
Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan aga-ma yang haq
(benar), supaya Dia mengunggulkannya
atas semua agama walau pun orang-orang
musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).
Makna “Memperbaiki Dinding yang Hampir Runtuh”
Tanpa Minta Upah & Makna Aslim
(Berserah Diri)
Jadi itulah salah satu makna yang
terkandung dalam kalimat “meminta makanan”
dalam firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا
فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا
یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ
شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ﴿﴾
Maka
berangkatlah keduanya, hingga ketika
mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba
Allah, memperbaikinya. Ia, Musa,
berkata: "Seandainya engkau
menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
Ada pun makna
ayat فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ -- “Lalu
mereka berdua menjumpai di sana
sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba Allah, memperbaikinya
(menegakkannya)“, salah satu makna “dinding
yang hampir runtuh” adalah Tauhid serta
ajaran-ajaran asli Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s. dan Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.2:131-142) yang
oleh ulah buruk
kaum-kaumnya dibuat “hampir roboh” karena
ke dalamnya banyak sekali dilakukan berbagai penyimpangan arti dan makna
(QS.2:42-43 & 80, 175, QS.3:200; QS.5:45; QS.9-9), namun ditegakkan kembali oleh “hamba
Allah” yakni Nabi Besar Muhammad saw. dalam Al-Quran.
Berikut ini adalah beberapa firman Allah Swt. mengenai
Tauhid yang diwariskan Nabi Ibrahim a.s.
kepada anak-keturunan beliau a.s.:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ
اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی
الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ
لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling dari agama Ibrahim selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri? Dan sungguh Kami benar-benar telah memilihnya di dunia dan
sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk
orang-orang yang saleh. Ingatlah ketika Rabb-nya (Tuhan-nya) berfirman kepadanya: “aslim -- berserah-dirilah”,
ia berkata: ”Aku telah berserah diri kepada Tuhan
seluruh alam.” (Al-Baqarah [2]:131-132).
Kata aslim
(berserah-dirilah) mengandung makna,
bahwa karena tidak ada saat ditentukan untuk mati, maka orang hendaknya
setiap saat menjalani kehidupannya dengan berserah
diri (aslim) sepenuhnya kepada Allah Swt. (QS.3:103). Ayat ini dapat pula berarti bahwa orang beriman sejati hendaknya begitu
sepenuhnya berserah diri kepada kehendak Ilahi dan meraih keridhaan-Nya begitu sempurna sehingga
Allah Swt. dengan kemurahan-Nya yang tidak terbatas, akan mengatur demikian rupa sehingga kematian akan datang kepadanya pada saat
ketika ia berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya.
Itulah makna dari kata aslim (berserah diri) dan pelakunya
disebut Muslim sedangkan nama agama yang dianutnya adalah Islam.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اَمۡ کُنۡتُمۡ شُہَدَآءَ اِذۡ حَضَرَ یَعۡقُوۡبَ
الۡمَوۡتُ ۙ اِذۡ قَالَ لِبَنِیۡہِ مَا
تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِیۡ ؕ قَالُوۡا نَعۡبُدُ
اِلٰہَکَ وَ اِلٰـہَ اٰبَآئِکَ اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚۖ وَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اُمَّۃٌ قَدۡ
خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا
کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا
کَسَبۡتُمۡ ۚ وَ لَا
تُسۡـَٔلُوۡنَ
عَمَّا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Dan Ibrahim mewasiatkan yang demikian
kepada anak-anaknya dan demikian
pula Ya’qub seraya
berkata: “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri.” Ataukah
kamu hadir saat kematian menjelang Ya’qub ketika ia berkata kepada
anak-anaknya: “Apa-kah yang akan kamu
sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhan engkau dan Tuhan bapak-bapak engkau: Ibrahim,
Isma’il, dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Esa,
dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” Itulah umat yang telah berlalu, baginya apa yang mereka usahakan dan bagimu
apa yang kamu usahakan, dan kamu
tidak akan dimintai tanggungjawab mengenai apa yang senantiasa mereka kerjakan.
(Al-Baqarah
[2]:133-135).
Agama yang Hakiki Sejak Awal adalah Islam
dan Pemeluknya disebut Muslim
Pernyataan Allah Swt. dalam Al-Quran tersebut sesuai dengan kesaksian dalam Bible berikut ini:
“Pada waktu
ayah kami Ya’qub meninggal dunia, beliau memanggil kepada duabelas putranya,
dan berkata kepada mereka: Dengarlah akan perkataan bapakmu Israil” (Kejadian 49:2).
“Apakah kamu
masih mempunyai suatu keraguan dalam hatimu mengenai Yang Suci? Mubaraklah
Dia”. Mereka berkata: “Dengarlah hai Israil, ayah kami, sebagaimana tiada
keraguan di dalam hati Anda, demikian pula tiada dalam hati kami. Sebab Junjungan
itu Tuhan kami dan Dia Tunggal.” (Mider
Rabbah on Gen. par. 98 & on Deut. par.2). Bandingkan
pula Targ. Jer. on Deut. 6:4..
Namun
seiring dengan perjalanan waktu, Tauhid
dan ke-Muslim-an yang diwariskan Nabi Ibrahim a.s. kepada
anak-keturunan beliau a.s. tersebut kemudian berubah menjadi ke-Yahudi-an dan ke-Nasrani-an, padahal menurut Allah Swt. sejak awal pun agama yang diturunkan Allah Swt. adalah Islam
(QS.3:20 & 86) dan pemeluknya disebut Muslim (QS.22:70), firman-Nya:
وَ قَالُوۡا کُوۡنُوۡا ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی تَہۡتَدُوۡا ؕ قُلۡ بَلۡ
مِلَّۃَ اِبۡرٰہٖمَ حَنِیۡفًا ؕ وَ مَا
کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا
بِاللّٰہِ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡنَا وَ مَاۤ اُنۡزِلَ اِلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ وَ یَعۡقُوۡبَ وَ الۡاَسۡبَاطِ وَ
مَاۤ اُوۡتِیَ مُوۡسٰی وَ عِیۡسٰی وَ مَاۤ اُوۡتِیَ النَّبِیُّوۡنَ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ۚ لَا نُفَرِّقُ
بَیۡنَ اَحَدٍ
مِّنۡہُمۡ ۫ۖ وَ نَحۡنُ
لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan mereka
berkata: “Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani, baru-lah kamu akan
mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak,
bahkan turutilah agama Ibrahim yang lurus, dan ia sekali-kali bukan dari golongan orang-orang musyrik.” Katakanlah olehmu: “Kami beriman
kepada Allah, dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub
dan keturunannya, dan
beriman kepada yang diberikan
kepada Musa, Isa, dan kepada apa yang
diberikan kepada para nabiv dari Tuhan mereka, kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di
antara mereka, dan hanya kepada-Nya
kami berserah diri.” (Al-Baqarah [2]:136-137).
Hanīf
berarti: (1) orang yang berpaling dari kesesatan lalu memilih petunjuk (Mufradat); (2) orang yang dengan
tetapnya mengikuti agama yang benar dan tidak pernah menyimpang darinya; (3)
orang yang hatinya condong kepada Islam dengan sempurna dan tetap teguh di
dalamnya (Lexicon Lane); (4)
orang yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. (Aqrab-al-Mawarid); (5) orang yang beriman kepada semua nabi
(Tafsir
Ibnu Katsir).
Kata anak-cucu di sini
menunjuk kepada kedua belas suku Bani
Israil yang masing-masing disebut menurut nama kedua belas putra Nabi Ya’qub
a.s.. — Rubin, Simeon, Levi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Yusuf,
Benyamin, Dan, Naftali, Gad dan Asyer (Kejadian
35:23-26, 49: 28).
Kalimat “kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di
antara mereka“, hal itu sungguh menambah semarak keagungan Islam karena Islamlah satu-satunya agama yang mengakui nabi
semua bangsa, sedangkan agama-agama lain membatasi kenabian hanya pada lingkungannya masing-masing.
Sewajarnya Al-Quran hanya
menyebut nama nabi-nabi yang dikenal
oleh orang-orang Arab saja yang
kepadanya pertama-tama ajaran Islam
diberikan, tetapi Al-Quran membuat pernyataan umum yang maksudnya: “Tiada
kaum yang kepadanya tidak pernah diutus seorang Pemberi peringatan”, berikut
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
اِنۡ اَنۡتَ
اِلَّا نَذِیۡرٌ ﴿﴾ اِنَّاۤ
اَرۡسَلۡنٰکَ بِالۡحَقِّ بَشِیۡرًا وَّ نَذِیۡرًا ؕ وَ اِنۡ مِّنۡ
اُمَّۃٍ اِلَّا خَلَا فِیۡہَا
نَذِیۡرٌ﴿﴾ وَ اِنۡ یُّکَذِّبُوۡکَ فَقَدۡ کَذَّبَ الَّذِیۡنَ
مِنۡ قَبۡلِہِمۡ ۚ جَآءَتۡہُمۡ
رُسُلُہُمۡ بِالۡبَیِّنٰتِ وَ بِالزُّبُرِ وَ بِالۡکِتٰبِ الۡمُنِیۡرِ ﴿﴾ ثُمَّ
اَخَذۡتُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَکَیۡفَ کَانَ نَکِیۡرِ ﴿﴾
Engkau tidak
lain melainkan seorang pemberi
peringatan. Sesungguhnya Kami mengutus engkau dengan kebenaran
sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan tidak ada sesuatu kaum
pun melainkan telah diutus kepada mereka seorang pemberi peringatan. Dan jika mereka mendustakan engkau maka sungguh orang-orang sebelum mereka pun telah mendustakan, kepada mereka
telah datang rasul-rasul mereka dengan Tanda-tanda yang jelas, dengan Kitab-kitab suci dan de-ngan Kitab
yang menerangi.Kemudian Aku
tangkap orang-orang yang kafir maka bagaimana
mengerikannya penolakan terhadap-Ku!
(Al-Fāthir
[35]:24-27). Lihat pula QS.10:48; QS.13:8; QS.16:37.
Doa Nabi Ibrahim a.s. Ketika Mendirikan
Kembali Ka’bah Bersama
Nabi Isma’il a.s.
Kata-kata, “Kami tidak
membedakan seorang di antara mereka” berarti bahwa seorang Muslim tidak membeda-bedakan berbagai nabi Allah dalam hal kenabian. Kata-kata itu hendaknya jangan
dianggap mengandung arti bahwa semua nabi
itu taraf keruhaniannya sama, paham
demikian itu bertentangan dengan QS.2:254. Benarlah pernyataan Allah Swt.
berikut ini:
وَ جَاہِدُوۡا فِی
اللّٰہِ حَقَّ جِہَادِہٖ ؕ ہُوَ اجۡتَبٰىکُمۡ وَ مَا جَعَلَ عَلَیۡکُمۡ فِی
الدِّیۡنِ مِنۡ حَرَجٍ ؕ مِلَّۃَ
اَبِیۡکُمۡ اِبۡرٰہِیۡمَ ؕ ہُوَ سَمّٰىکُمُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ قَبۡلُ
وَ فِیۡ ہٰذَا لِیَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ
شَہِیۡدًا عَلَیۡکُمۡ وَ تَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ ۚۖ فَاَقِیۡمُوا
الصَّلٰوۃَ وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِاللّٰہِ ؕ ہُوَ مَوۡلٰىکُمۡ
ۚ فَنِعۡمَ الۡمَوۡلٰی وَ نِعۡمَ النَّصِیۡرُ ﴿﴾
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya, Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan
kesukaran padamu dalam urusan agama, Ikutilah agama bapakmu, Ibrahim, Dia telah memberi kamu nama Muslimin dahulu dan dalam Kitab ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu menjadi saksi atas umat manusia. Maka dirikanlah shalat,
bayarlah zakat, dan berpegang teguhlah
kepada Allah, Dia Pelindung kamu
maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (Al-Hajj [22]:79).
Kata-kata “Dia telah memberi kamu nama Muslimin, dahulu dan dalam Kitab ini,”
menunjuk kepada nubuatan Yesaya: “maka
engkau akan disebut dengan nama yang baharu, yang akan ditentukan oleh firman
Tuhan .....” (Yesaya 62:2
dan 65:15). Sedangkan isyarat dalam kata-kata“dan dalam Kitab ini”
ditujukan kepada doa Nabi Ibrahim a.s. .
yang dikutip dalam Al-Quran, yaitu:
رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
“Ya Tuhan
kami, jadikanlah kami berdua ini hamba
yang menyerahkan diri kepada Engkau, dan juga dari anak-cucu kami
jadikanlah satu umat yang tunduk kepada
Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat, Maha Penyayang”(Al-Baqarah [2]:129).
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman kepada umat Islam
mengenai benarnya ke—Muslim-an yang
mereka warisi dari Nabi Ibrahim a.s.:
فَاِنۡ اٰمَنُوۡا بِمِثۡلِ
مَاۤ اٰمَنۡتُمۡ بِہٖ فَقَدِ اہۡتَدَوۡا ۚ وَ اِنۡ تَوَلَّوۡا
فَاِنَّمَا ہُمۡ فِیۡشِقَاقٍ ۚ فَسَیَکۡفِیۡکَہُمُ اللّٰہُ ۚ وَ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ؕ صِبۡغَۃَ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ
اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ عٰبِدُوۡنَ ﴿﴾
Lalu jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman kepadanya
maka sungguh mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling maka sesungguhnya mereka dalam permusuhan terhadap kamu, tetapi Allah segera mencukupi engkau untuk
menghadapi mereka, dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Katakanlah:
“Kami menganut agama Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan
agama, dan kepada-Nya kami beribadah.” (Al-Baqarah [2]:138-139).
Orang-orang Islam diperingatkan dalam ayat 138, jika orang-orang Yahudi dan Kristen
sepakat dengan orang-orang Islam
dalam anggapan bahwa agama itu bukan turunan, melainkan sebagai penerimaan atas semua petunjuk wahyu, maka tidak ada perbedaan yang pokok antara mereka, jika
tidak demikian maka cara berfikir
mereka jauh berbeda dan jurang lebar memisahkan mereka, dan tanggung jawab atas perpecahan serta permusuhan
yang terjadi sebagai akibatnya terletak pada kaum Yahudi dan Kristen dan
tidak pada kaum Muslim.
Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 5 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar