Sabtu, 15 Juni 2013

Setiap Umat Beragama Bertahan Pada "Kiblatnya" dan "Pemahaman Agamanya" Masing-masing





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 147


   Setiap Umat Beragama Bertahan Pada  “Kiblatnya” dan “Pemahaman Agamanya” Masing-masing


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   akhir Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai  genapnya nubuatan Bible tentang  perpindahan kiblat dari Baitul-Muqadas di Yersusalem ke Baitullah (Ka’bah) di Mekkah,  sesuatu nubuatan dalam Bible, firman-Nya:
قَدۡ نَرٰی تَقَلُّبَ وَجۡہِکَ فِی السَّمَآءِ ۚ فَلَنُوَلِّیَنَّکَ قِبۡلَۃً  تَرۡضٰہَا  ۪  فَوَلِّ وَجۡہَکَ شَطۡرَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ ؕ  وَ حَیۡثُ مَا کُنۡتُمۡ   فَوَلُّوۡا  وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ ؕ وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ  الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ؕ وَ مَا اللّٰہُ بِغَافِلٍ عَمَّا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Sungguh Kami melihat  engkau sering menengadahkan wajah engkau ke langit, karena itu  Kami niscaya akan memalingkan  engkau ke arah Kiblat yang engkau menyukainya, maka palingkanlah wajah engkau ke arah Masjidilharam, dan di mana pun  kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya.  Dan sesungguhnya  orang-orang yang telah diberi kitab, mereka itu benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq  (kebenaran)  dari Tuhan mereka, dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (Al-Baqarah [2]:145).
    Ketika berada di Mekkah, Nabi Besar Muhammad Saw.  atas perintah Ilahi menghadapkan wajah beliau saw. di waktu shalat ke arah Baitulmuqadas di Yerusalem. Tetapi oleh karena dalam hati sanubari beliau saw. menginginkan Ka’bah menjadi kiblat beliau  -- dan beliau  saw. pun mempunyai semacam firasat bahwa pada akhirnya keinginan beliau saw. akan terkabul -- maka beliau saw. senantiasa mengambil tempat shalat yang sekaligus beliau saw. dapat menghadap ke Baitulmuqadas  di Yerusalem dan ke Ka’bah di Mekkah.
     Tetapi ketika  Nabi Besar Muhammad saw.  hijrah ke Medinah, mengingat letak kota, beliau saw. hanya dapat menghadap ke Baitulmuqadas saja. Dengan perubahan kiblat itu keinginan hati beliau saw. yang mendalam itu menjadi lebih mendalam lagi dan meskipun karena menghargai perintah  Allah Swt.   beliausaw. tidak mendoa bagi perubahan itu tetapi beliau saw. dengan penuh harapan dan keinginan menengadah ke langit menanti perintah mengenai perubahan itu. Itulah makna  -- “Sungguh Kami melihat  engkau sering menengadahkan wajah engkau ke langit
    Nuwalliyannaka berarti juga: “Kami akan menjadikan engkau penguasa dan penjaga.” Ungkapan ini merupakan nubuatan berganda, yaitu bahwa akhirnya Ka’bah akan menjadi kiblat semua orang dan bahwa pemilikan Ka’bah pun akan jatuh ke tangan Nabi Besar Muhammad saw..
     Kata-kata  وَ حَیۡثُ مَا کُنۡتُمۡ   فَوَلُّوۡا  وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ   -- “dan di mana pun  kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya”,  itu berarti bahwa meskipun dalam keadaan biasa kaum Muslimin diperintahkan menghadap ke Ka’bah pada waktu shalat, tetapi kepentingan soal arah itu sesungguhnya menempati urutan kedua. Perubahan kiblat ke Ka’bah itu dimaksudkan untuk mengadakan dan memelihara persatuan dan keseragaman dalam persaudaraan umat Islam.

Setiap Umat Beragama Bertahan Pada “Kiblat” dan
“Pemahaman Agamanya” Masing-masing

    Kalimat selanjutnya وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ  الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ   – “mereka itu benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq (kebenaran)  dari Tuhan mereka,” menegaskan bahwa pada hakikatnya golongan Ahli Kitab mengetahui dari nubuatan-nubuatan dalam Kitab-kitab suci mereka bahwa dipindahkannya kiblat  dari Baitul Muqadas di Yerusalem ke Ka’bah (Baitullah) di Mekkah adalah haq (kebenaran).   Lihat Kejadian 21:21; Yahya 4:21; Yesaya 45:13;  dan Ulangan 32:2.
   Namun walau pun demikian pada kenyataannya dan pada pelaksanaan genapnya nubuatan tersebut mereka menolak melakukan perpindahan kiblat tersebut dengan berbagai alasan yang batil (tidak benar), firman-Nya:
وَ لَئِنۡ اَتَیۡتَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ بِکُلِّ اٰیَۃٍ مَّا تَبِعُوۡا قِبۡلَتَکَ ۚ وَ مَاۤ اَنۡتَ بِتَابِعٍ قِبۡلَتَہُمۡ ۚ وَ مَا بَعۡضُہُمۡ  بِتَابِعٍ قِبۡلَۃَ بَعۡضٍ ؕ وَ لَئِنِ اتَّبَعۡتَ اَہۡوَآءَہُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ  ۙ اِنَّکَ اِذًا  لَّمِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۘ 
Dan jika sekali pun engkau mendatangkan segala macam Tanda kepada orang-orang yang diberi Kitab,  mereka sekali-kali tidak akan mengikuti kiblat engkau dan engkau pun tidak akan menjadi pengikut kiblat mereka, dan sebagian mereka tidak akan menjadi  pengikut kiblat sebagian yang lain.  Dan jika engkau benar-benar mengikuti  keinginan mereka sesudah  ilmu datang kepada engkau, sesungguhnya jika demikian engkau benar-benar akan termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah [2]:146).
     Ayat ini menunjuk kepada permusuhan orang-orang Yahudi dan Kristen bukan saja terhadap Islam, tetapi pula yang satu terhadap yang lain. Orang-orang Yahudi mempunyai Yerusalem sebagai kiblat mereka (Raja-raja 8:22-30; Daniel 6:10; Zabur 5:7 dan Yunus 2:4); sedangkan kaum Samaria, cabang kaum Yahudi yang dipencilkan dan juga menganut hukum syariat Nabi Musa a.s.  mereka telah menetapkan bukit tertentu di Palestina yang disebut Gerizim sebagai kiblat mereka (Commentary on the New Testament by W. Walsham How D.D).
  Orang-orang Kristen zaman permulaan mengikuti kiblat kaum Yahudi (Encyclopaedia  Britanica, 14 th. edition, V. 676 dan Jewish Encyclpopaedia, VI, 53). Kaum Kristen dari Najran melakukan kebaktian dalam masjid Nabi Besar Muhammad saw. di Medinah dengan wajah menghadap ke Timur (Zurqani, IV, 41).
     Jadi kaum Yahudi, kaum Samaria, dan Kristen mengikuti kiblat yang berlainan disebabkan oleh iri hati dan permusuhan satu sama lain وَ مَا بَعۡضُہُمۡ  بِتَابِعٍ قِبۡلَۃَ بَعۡضٍ - “dan sebagian mereka tidak akan menjadi  pengikut kiblat sebagian yang lain” Dalam keadaan demikian sia-sialah mengharapkan mereka akan mengikuti kiblat orang-orang Islam.
      Kembali kepada nubuatan tentang “nabi yang seperti Musa” yang dibangkitkan dari antara “saudara Bani Israil  (Ulangan 18:15-20) – yakni Nabi Besar Muhammad saw. yang  berasal dari keturunan Nabi Isma’il a.s. (Bani Isma’il) --   sebenarnya golongan Ahli Kitab tersebut sangat mengetahuinya  bagaikan mengenal anak-anak mereka sendiri,  namun mereka karena alasan kedengkian telah menyembunyikannya atau  mengubah maknanya atau berusaha menghilangkannya dari Kitab-kitab suci mereka, firman-Nya: 
اَلَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ یَعۡرِفُوۡنَہٗ کَمَا یَعۡرِفُوۡنَ اَبۡنَآءَہُمۡ ؕ وَ اِنَّ فَرِیۡقًا مِّنۡہُمۡ لَیَکۡتُمُوۡنَ الۡحَقَّ وَ ہُمۡ یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ؔ  اَلۡحَقُّ  مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾٪
Orang-orang yang telah Kami beri kitab, mereka mengenalnya  sebagaimana mereka mengenal    anak-anaknya, dan sesungguhnya segolongan dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui. Al-haqq (Kebenaran) ini dari Rabb (Tuhan) engkau, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah [2]:147-148).

Nabi Besar Muhammad Saw. Tidak Pernah Merasa Ragu
atas Kenabiannya sebagai “Nabi yang Seperti Musa”.
   Kata ganti “nya” (atau dia) dalam kalimat یَعۡرِفُوۡنَہٗ  - “mereka mengenalnya” dapat dianggap menunjuk kepada perubahan kiblat atau kepada Nabi Besar Muhammad saw.. Anak kalimat itu berarti bahwa para Ahlul Kitab mengetahui atas dasar nubuatan-nubuatan yang terdapat dalam Kitab-kitab suci mereka bahwa seorang nabi akan muncul di tengah-tengah orang Arab yang akan mempunyai hubungan istimewa dengan Ka’bah. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt.  di awal Bab ini:
وَ  اِنَّہٗ   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ   نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾  بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.  Telah turun dengannya  Ruh yang terpercaya atas kalbu engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).
   Kalimat terakhir dari firman Allah  sebelumnya  maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu”, firman-Nya:
اَلَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ یَعۡرِفُوۡنَہٗ کَمَا یَعۡرِفُوۡنَ اَبۡنَآءَہُمۡ ؕ وَ اِنَّ فَرِیۡقًا مِّنۡہُمۡ لَیَکۡتُمُوۡنَ الۡحَقَّ وَ ہُمۡ یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ؔ  اَلۡحَقُّ  مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾٪
Orang-orang yang telah Kami beri kitab, mereka mengenalnya  sebagaimana mereka mengenal    anak-anaknya, dan sesungguhnya segolongan dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui.   Al-haqq (kebenaran) ini dari Rabb (Tuhan) engkau, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah [2]:147-148).
       Pernyataan Allah Swt. tersebut tidak dapat diartikan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. – na’ūdzubilLāh min dzālik --  merasa ragu berkenaan dengan kenabian beliau saw.  sebagai “nabi yang seperti Musa” (Ulangan 18:18; QS.46:11) mau pun berkenaan dengan “perpindahan kiblat” tersebut, sebab  arti demikian bertentangan dengan firman Allah Swt. sebelumnya mengenai hasrat keras  beliau saw. mengenai Ka’bah (Baitullah) di  Mekkah sebagai kiblat bagi umat Islam, firman-Nya:
قَدۡ نَرٰی تَقَلُّبَ وَجۡہِکَ فِی السَّمَآءِ ۚ فَلَنُوَلِّیَنَّکَ قِبۡلَۃً  تَرۡضٰہَا  ۪  فَوَلِّ وَجۡہَکَ شَطۡرَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ ؕ  وَ حَیۡثُ مَا کُنۡتُمۡ   فَوَلُّوۡا  وُجُوۡہَکُمۡ شَطۡرَہٗ ؕ وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ لَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ  الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ؕ وَ مَا اللّٰہُ بِغَافِلٍ عَمَّا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Sungguh Kami melihat  engkau sering menengadahkan wajah engkau ke langit, karena itu  Kami niscaya akan memalingkan  engkau ke arah Kiblat yang engkau menyukainya, maka palingkanlah wajah engkau ke arah Masjidilharam, dan di mana pun  kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya.  Dan sesungguhnya  orang-orang yang telah diberi kitab, mereka itu benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya pemindahan kiblat ini adalah haq  (kebenaran)  dari Tuhan mereka, dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (Al-Baqarah [2]:145).

Tantangan Melakukan Mubahalah (Tanding Doa) 
Menafikan Faham Tindakan Kekerasan

       Berikut ini beberapa ayat Al-Quran lainnya yang menggunakan kata “mumtarīna(orang yang ragu) berkenaan dengan  haq (kebenaran) yang turun kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  padahal yang dimaksud oleh  kalimat tersebut bukanlah Nabi Besar Muhammad saw. melainkan para penentang beliau saw. yang selalu meragukan  hujjah mau pun tanda-tanda kebenaran Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat jelas sekali pun (QS.6:112-114), berikut  adalah firman Allah Swt. mengenai tantangan melakukan mubahalah (bertanding doa)  yang diajukan oleh Nabi Besar Muhammad saw. sebagai cara terakhir yang paling aman dalam meminta keputusan Allah Swt.  untuk menentukan pihak yang benar dan pihak yang batil (palsu)::
اَلۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُنۡ مِّنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾   فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟ ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾   اِنَّ ہٰذَا لَہُوَ الۡقَصَصُ الۡحَقُّ ۚ وَ مَا مِنۡ  اِلٰہٍ  اِلَّا اللّٰہُ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌۢ  بِالۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Kebenaran (al-haqq) ini dari Tuhan engkau maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang raguTetapi barangsiapa membantah engkau mengenainya setelah datang kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah kita panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu,  perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, orang-orang kami dan orang-orang kamu, kemudian kita berdoa supaya laknat Allah menimpa orang-orang yang berdusta.”  Sesungguhnya ini benar-benar  kisah yang haq (benar), dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali  Allah, dan sesungguhnya Allah,  Dia benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.    Lalu jika mereka berpaling  maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.  (Āli ‘Imran [3]:61-64).
     Pembahasan ajaran Kristen yang digarap oleh Surah Āli ‘Imran ini telah berakhir dalam ayat 62 ini. Rujukan  itu, seperti telah disebut di atas, tertuju kepada suatu utusan orang-orang Kristen dari Najran, terdiri atas 40 orang dipimpin oleh kepala kabilah mereka ‘Abd-al-Masih, yang terkenal dengan nama Al-’Āqib. Mereka menjumpai Nabi Besar Muhammad saw. di masjid beliau, dan pertukaran pikiran tentang akidah yang dinamakan mereka ketuhanan Isa berlangsung beberapa lama.
      Ketika masalahnya telah dibahas secukupnya dan para anggota delegasi ternyata masih tetap berpegang pada ajaran mereka, maka  Nabi Besar Muhammad saw. mematuhi perintah Ilahi yang tercantum dalam ayat ini, sebagai langkah penghabisan mengajak mereka untuk ikut serta dengan beliau saw. dalam semacam adu kekuatan doa dan yang secara teknis disebut mubahalah, yakni menyeru agar kutukan Allah Swt.    menimpa penganut kepercayaan palsu.
    Tetapi karena orang-orang Kristen itu  tidak merasa yakin mengenai dasar kepercayaan mereka maka mereka menolak menerima tantangan itu, dengan demikian secara tidak langsung mengakhiri kepalsuan akidah mereka (Zurqani). Cara Islami yang diperintahkan Allah Swt.  kepada Nabi Besar Muhammad saw. untuk memutuskan yang haq (benar) dan yang batil (palsu)  tersebut sama sekali menggugurkan  faham  sesat melakukan tindak  kekerasan  dalam menyikapi perbedaan faham yang marak di Akhir Zaman ini.
       Secara sambil lalu baiklah disebutkan bahwa sewaktu berlangsung tukar pikiran dengan delegasi Kristen dari Najran itu,  Nabi Besar Muhammad saw.   mengizinkan mereka melakukan sembahyang di masjid beliau dengan cara mereka sendiri, dan mereka melakukan dengan menghadap ke timur, suatu sikap toleransi keagamaan yang tiada taranya, dalam sejarah agama (Zurqani).

Makna ‘Ilm (Ilmu Pengetahuan)
Yang Diperselisihkan Golongan Ahli Kitab

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kata “mumtarīna” (orang yang ragu) sehubungan dengan penolakan terhadap Nabi Besar Muhammad  saw. dan Al-Quran: 
اَفَغَیۡرَ اللّٰہِ اَبۡتَغِیۡ حَکَمًا وَّ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ  اِلَیۡکُمُ الۡکِتٰبَ مُفَصَّلًا ؕ وَ الَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ یَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہٗ مُنَزَّلٌ مِّنۡ رَّبِّکَ بِالۡحَقِّ فَلَا تَکُوۡنَنَّ  مِنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Apakah aku harus mencari hakim yang bukan-Allah, padahal Dia-lah Yang telah menurunkan kepada kamu Kitab dengan penjelasan terinci? Dan orang-orang yang telah Kami beri  Kitab, mereka itu mengetahui sesungguhnya Kitab itu diturunkan dari Tuhan eng-kau dengan sebenarnya, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu.  (Al-An’ām [6]:115).
 “Kitab” dalam ayat tersebut dapat juga mengacu kepada Al-Quran sebab tidak hanya Kitab-kitab Suci terdahulu saja, tetapi juga Al-Quran sendiri memberikan kesaksian terhadap kebenaran Nabi Besar Muhammad saw..  Al-Quran mengandung ajaran-ajaran yang sungguhpun berlawanan dengan pendapat-pendapat dan kepercayaan-kepercayaan yang populer saat itu, namun orang-orang yang sehat akalnya – yang terhadap mereka ajaran-ajaran ini dibacakan dan diterangkan -- terpaksa mengakui bahwa ajaran-ajaran itu memang masuk akal.
Kemudian Allah Swt. berfirman lagi mengenai kedengkian Bani Israil kepada Nabi Besar Muhammad saw. yang muncul di kalangan "saudara mereka" yaitu  Bani Isma'il : 
وَ لَقَدۡ بَوَّاۡنَا بَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ مُبَوَّاَ صِدۡقٍ وَّ رَزَقۡنٰہُمۡ مِّنَ الطَّیِّبٰتِ ۚ فَمَا اخۡتَلَفُوۡا حَتّٰی جَآءَہُمُ الۡعِلۡمُ ؕ اِنَّ رَبَّکَ یَقۡضِیۡ بَیۡنَہُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ فِیۡمَا کَانُوۡا فِیۡہِ  یَخۡتَلِفُوۡنَ ﴿﴾  فَاِنۡ کُنۡتَ فِیۡ شَکٍّ مِّمَّاۤ  اَنۡزَلۡنَاۤ  اِلَیۡکَ فَسۡـَٔلِ الَّذِیۡنَ یَقۡرَءُوۡنَ الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ لَقَدۡ جَآءَکَ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُوۡنَنَّ  مِنَ  الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ لَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ الَّذِیۡنَ  کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ  فَتَکُوۡنَ  مِنَ  الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾  اِنَّ الَّذِیۡنَ حَقَّتۡ عَلَیۡہِمۡ کَلِمَتُ رَبِّکَ لَا  یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah menempatkan Bani Israil di tempat yang baik dan  Kami merezekikan kepada mereka barang-barang yang baik, maka mereka tidak berselisih hingga datang kepada mereka pengetahuan, sesungguhnya Tuhan engkau  akan memberi keputusan di antara mereka pada Hari Kiamat dalam hal apa yang senantiasa mereka perselisihkan. Maka jika engkau ada dalam keraguan mengenai apa yang telah Kami turunkan kepada engkau  maka tanyalah orang-orang yang membaca Kitab sebelum engkau. Sungguh   haq (kebenaran) benar-benar telah datang kepada engkau dari Rabb (Tuhan) engkau, karena itu janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu. Dan janganlah engkau termasuk di antara orang-orang yang telah mendustakan Tanda-tanda Allah, maka engkau akan termasuk di antara orang-orang yang rugi. (Yunus [10]:94-96).
      Yang dimaksud dengan ‘ilm (ilmu pengetahuan) dapat merujuk kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan dapat juga kepada Al-Quran, sebab kedua hal itulah yang menjadi  obyek  perselisihan” di kalangan Bani Israil. Dan kalimat  Maka jika engkau ada dalam keraguan mengenai apa yang telah Kami turunkan kepada engkau  maka tanyalah orang-orang yang membaca Kitab sebelum engkau” sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Surah Asy-Syu’arā yang telah dikemukakan  sebelumnya:
وَ  اِنَّہٗ   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ   نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾  بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.  Telah turun dengannya  Ruh yang terpercaya   atas kalbu engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dansesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).
   Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai sangat dikenalnya nubuatan-nubuatan  dalam Bible tentang  Nabi Besar Muhammad saw.  sebagai "nabi yang seperti Musa":
اَلَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ یَعۡرِفُوۡنَہٗ کَمَا یَعۡرِفُوۡنَ اَبۡنَآءَہُمۡ ؕ وَ اِنَّ فَرِیۡقًا مِّنۡہُمۡ لَیَکۡتُمُوۡنَ الۡحَقَّ وَ ہُمۡ یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ؔ  اَلۡحَقُّ  مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾٪
Orang-orang yang telah Kami beri kitab, mereka mengenalnya  sebagaimana mereka mengenal    anak-anaknya, dan sesungguhnya segolongan dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui. Al-haq (kebenaran) ini dari Tuhan engkau, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah [2]:147-148).
    Sebagaimana telah dijelaskan bahwa seruan “karena itu  janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu   bukan ditujukan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.,  tetapi kepada setiap pembaca Al-Quran – terutama  para penentang Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran --  tidak pula kata-kata “telah Kami turunkan kepada engkau” menunjukkan bahwa seruan itu tertuju kepada beliau saw., sebab di berbagai tempat dalam Al-Quran disebutkan bahwa Al-Quran diturunkan kepada semua orang (QS.2:137; QS.21:11). Ayat yang langsung menyusul berikutnya pun mendukung pandangan ini, sebab tidak mungkin  Nabi Besar Muhammad saw.  termasuk golongan orang-orang “yang menolak Tanda-tanda dari Allah”.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 29 Mei  2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar