بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 136
Pengurbanan
Besar
Nabi Ibrahim a.s. dan
Nabi Isma’il a.s. & Pengutusan
Nabi Ibrahim a.s. dan
Nabi Isma’il a.s. & Pengutusan
Nabi
Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan Azar -- ayah mertuanya – dan dengan kaumnya,
dan berakhir dengan upaya pembunuhan
Nabi Ibrahim a.s. yang dilemparkan ke dalam kobaran
api, namun Allah Swt. dengan cara
yang khusus menyelamatkan beliau a.s.,
firman-Nya:
وَ
نَجَّیۡنٰہُ وَ لُوۡطًا اِلَی الۡاَرۡضِ الَّتِیۡ بٰرَکۡنَا فِیۡہَا
لِلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَہَبۡنَا لَہٗۤ اِسۡحٰقَ ؕ وَ یَعۡقُوۡبَ نَافِلَۃً ؕ وَ کُلًّا جَعَلۡنَا صٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ وَ جَعَلۡنٰہُمۡ
اَئِمَّۃً یَّہۡدُوۡنَ بِاَمۡرِنَا وَ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡہِمۡ فِعۡلَ الۡخَیۡرٰتِ وَ اِقَامَ
الصَّلٰوۃِ وَ اِیۡتَآءَ الزَّکٰوۃِ ۚ وَ
کَانُوۡا لَنَا عٰبِدِیۡنَ﴿ۚۙ﴾
Dan Kami telah menyelamatkan dia (Ibrahim) dan
Luth ke negeri yang telah Kami berkati di dalamnya untuk seluruh umat manusia. Dan Kami menganugerahkan kepadanya Ishaq, dan seorang cucu, Ya’qub, dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami, dan Kami wahyukan kepada
mereka untuk berbuat kebaikan-kebaikan,
dan mendirikan shalat serta membayar zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah. (Al-Anbiyā
[21]:72-74).
Nabi Ibrahim a.s. bepergian dari Ur (Mesopotamia) ke
Harran dan dari sana atas perintah Ilahi
ke Kanaan -- “negeri yang
dijanjikan” yang Allah Swt. telah
tetapkan akan diberikan kepada keturunan
beliau (QS.21:106-107). Perjalanan Nabi Ibrahim a.s. itu mempunyai tujuan dan
maksud yang tepat. Semua nabi Allah yang
besar atau para pengikut mereka - sesuai
dengan maksud dan rencana Ilahi - pada suatu waktu harus hijrah, meninggalkan
kampung halaman mereka.
Kembali kepada Surah Ash-Shāffāt, dimana peristiwa perdebatan sampai dengan
peristiwa upaya pembunuhan Nabi
Ibrahim a.s. tersebut dijelaskan --
dengan rincian yang agak berbeda -- sebagai
berikut, firman-Nya:
فَتَوَلَّوۡا
عَنۡہُ مُدۡبِرِیۡنَ ﴿﴾ فَرَاغَ اِلٰۤی
اٰلِہَتِہِمۡ فَقَالَ اَلَا
تَاۡکُلُوۡنَ ﴿ۚ﴾ مَا لَکُمۡ لَا تَنۡطِقُوۡنَ ﴿﴾ فَرَاغَ عَلَیۡہِمۡ
ضَرۡبًۢا بِالۡیَمِیۡنِ ﴿﴾ فَاَقۡبَلُوۡۤا
اِلَیۡہِ یَزِفُّوۡنَ ﴿۹﴾ قَالَ اَتَعۡبُدُوۡنَ مَا تَنۡحِتُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ اللّٰہُ
خَلَقَکُمۡ وَ مَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ قَالُوا ابۡنُوۡا
لَہٗ بُنۡیَانًا فَاَلۡقُوۡہُ فِی الۡجَحِیۡمِ ﴿﴾ فَاَرَادُوۡا بِہٖ
کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَسۡفَلِیۡنَ
﴿﴾
Maka mereka
berpaling darinya meninggalkannya. Maka ia
pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala
mereka lalu ia berkata: “Mengapakah
kamu tidak makan? Apa yang terjadi
atas kamu hingga kamu tidak bicara?”
Lalu secara diam-diam ia memukul mereka dengan tangan kanan.
Setelah itu mereka bergegas
datang kepadanya. Ia, Ibrahim, berkata: ”Apakah kamu menyembah apa yang telah kamu pahat? Padahal Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu.” Mereka berkata: “Buatlah untuknya suatu bangunan
lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang
menyala-nyala.” Maka mereka hendak merencanakan tipu daya terhadapnya,
lalu Kami menjadikan mereka orang-orang
yang paling hina. (Ash-Shāffāt [37]:91-99).
Perkataan Nabi Ibrahim a.s. kepada
kaumnya -- Ia, Ibrahim, berkata: ”Apakah kamu menyembah apa yang
telah kamu pahat? Padahal Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu.” --
benar-benar sangat telak, sehingga
mereka hanya bisa berkata seperti umumnya orang-orang
yang kalah dalam berdebat “Mereka berkata: “Buatlah untuknya suatu bangunan
lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala!”
Sifat
paling menonjol Tuhan Yang Hidup adalah Dia
bercakap-cakap dengan abdi-Nya
yang terpilih dan mendengar doa-doanya
serta mengabulkannya. Hanya tuhan yang mati dan tidak hidup sajalah yang tidak memiliki kemampuan berbicara atau mendengar dan mengabulkan
doa-doa para penyembahnya.
Karena tangan kanan itu perlambang kekuatan
dan kekuasaan, maka ayat ini
mengandung arti bahwa Nabi Ibrahim a.s. memukul
berhala-berhala itu dengan kekuatan penuh sampai pecah berkeping-keping. Yamīn
berarti pula sumpah, maka ayat ini dapat pula berarti bahwa Nabi
Ibrahim a.s. memecahkan berhala-berhala itu dalam
memenuhi sumpahnya (QS.21:58).
Makna
ayat فَاَرَادُوۡا
بِہٖ کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ
الۡاَسۡفَلِیۡنَ – ”maka
mereka hendak merencanakan tipu
daya terhadapnya, lalu Kami
menjadikan mereka orang-orang yang paling hina,” karena musuh-musuh Nabi Ibrahim a.s. digagalkan
dalam rencana-rencana buruk mereka
melawan Nabi Ibrahim a.s. lalu mereka
dihinggapi perasaan hina yang
mendalam.
Kelahiran dan Pengurbanan Besar Nabi Isma’il a.s.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai hijrah Nabi Ibrahim a.s.,
sebagai petunjuk Allah Swt. yang
diperoleh Nabi Ibrahim a.s. dari tawajjuh
(menghadap Allah Swt.) yang beliau a.s. lakukan, firman-Nya:
وَ
قَالَ اِنِّیۡ ذَاہِبٌ اِلٰی رَبِّیۡ سَیَہۡدِیۡنِ ﴿﴾ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ
مِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ فَبَشَّرۡنٰہُ بِغُلٰمٍ
حَلِیۡمٍ ﴿﴾ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَہُ السَّعۡیَ قَالَ یٰبُنَیَّ اِنِّیۡۤ اَرٰی فِی الۡمَنَامِ اَنِّیۡۤ اَذۡبَحُکَ فَانۡظُرۡ مَاذَا تَرٰی ؕ قَالَ
یٰۤاَبَتِ افۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ ۫ سَتَجِدُنِیۡۤ
اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ مِنَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan ia (Ibrahim)
berkata: “Sesungguhnya aku hendak pergi
menghadap kepada Tuhan-ku, Dia segera akan
memberiku petunjuk.” Ia berdoa: “Hai Tuhan-ku, anugerahkanlah
kepadaku anak-anak yang saleh.” Maka Kami memberikan kabar gembira kepadanya
mengenai se-orang anak laki-laki yang
berhati lembut. Lalu tatkala anak
itu telah berusia cukup untuk dapat berlari-lari bersamanya ia, Ibrahim,
berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyem-belih engkau, maka
pikirkanlah apa pendapat engkau?”
Ia, Isma’il, berkata: “Hai bapakku, lakukanlah
apa yang telah diperintahkan kepada engkau, engkau pasti akan mendapatiku, insya Allah, termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shāffāt [37]:100-103).
Al-Quran dan Bible berbeda mengenai siapa dari
kedua putra Nabi Ibrahim a.s. apakah
Nabi Isma’il a.s. ataukah Nabi Ishaq a.s.
— yang sesuai dengan perintah
Ilahi dikurbankan oleh Nabi
Ibrahim a.s. Menurut Bible, putra itu ialah Nabi Ishaq a.s. (Kejadian
22:2). Pada pihak lain Al-Quran menyatakan dengan jelas dan gamblang bahwa putra yang dikorban itu ialah Nabi
Isma’il a.s..
Bible
sendiri bertentangan dalam uraian ini. Menurut Bible, Nabi Ibrahim a.s. diperintah mengurbankan putra
tunggalnya, tetapi Ishaq a.s. bukanlah satu-satunya putra beliau,
sebab Nabi Isma’il a.s.. lebih
tua kira-kira 13 tahun daripada Nabi Ishaq a.s. dan selama itu Nabi Isma’il
a.s. putra tunggal Nabi Ibrahim a.s.,
dan karena beliau putra pertama, maka lebih-lebih lagi menjadi kesayangan sang ayah. Oleh karena itu masuk akal jika Nabi Ibrahim a.s. telah diminta oleh
Allah Swt. mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, ialah satu-satunya putra yang bernama Isma’il.
Sebagian
penganjur Kristen telah gagal dan sia-sia berusaha menunjukkan, bahwa “karena
Ismail diperanakkan oleh seorang sahaya perempuan, ia lahir atas perihal
manusia secara wajar, sedang Ishak diperanakkan oleh perempuan merdeka, ia lahir oleh sebab perjanjian (Galatia 4:22-23). Di samping
kenyataan bahwa Siti Hajar, ibunda Isma’il a.s., termasuk keluarga raja Mesir
dan bukan seorang sahaya perempuan,
Isma’il a.s. berulang-ulang disebut dalam Bible putra Nabi Ibrahim a.s., sama benar seperti halnya Ishaq a.s.
isebut putra pula (Kejadian 16:16; 17:23-25).
Tambahan pula, janji-janji serupa itu
diberikan kepada Nabi Ibrahim a.s. mengenai kebesaran
Nabi Isma’il a.s. pada kelak
kemudian hari seperti juga mengenai Nabi Ishaq a.s. (Kejadian
16:10-1; 17:20).
Kecuali
penggantian nama Isma’il menjadi Ishaq, yang nampaknya disengaja, dan Marwah, sebuah bukit di sekitar Mekkah,
menjadi Moriah, tempat Nabi Ibrahim
a.s. telah meninggalkan Nabi Isma’il
a.s. bersama ibunya, Siti
Hajar, ketika Nabi Isma’il a.s. masih kanak-kanak,
tidak ada satu tempat pun dalam Bible
yang dapat memberikan dukungan sedikit pun kepada anggapan, bahwa Nabi Ibrahim
a.s. menyerahkan Nabi Ishaq
a.s. sebagai kurban dan bukan Nabi Isma’il a.s..
Namun demikian tidak ada jejak didapati dalam upacara-upacara keagamaan orang-orang Yahudi dan Kristen mengenai pengurbanan Nabi
Ishaq a.s. oleh Nabi Ibrahim a.s. menurut anggapan
mereka, sedangkan kaum Muslimin yang
merupakan keturunan ruhani Nabi
Ismail a.s. dengan semangat menyala-nyala memperingati pengurbanan yang diniatkan beliau, dengan menyembelih
domba-domba dan kambing-kambing
setiap tahun di seluruh dunia pada hari kesepuluh Dzul Hijjah. Pengurbanan domba
dan kambing oleh kaum Muslimin itu
membuktikan tanpa dapat dibantah atau diragukan, bahwa Nabi Isma’il a.s. itulah yang dibaktikan Nabi Ibrahim a.s. sebagai kurban, dan bukan Nabi
Ishaq a.s..
Makna “Pengurbanan yang
Besar”
Pada
hakikatnya Nabi Ibrahim a.s. tidak disuruh menyempurnakan kasyaf (mimpi) beliau dalam kenyataan
yang sungguh-sungguh. Hal itu hanya merupakan peragaan secara praktis mengenai niat dan kerelaan mengurbankan putranya, yang dikehendaki dari diri beliau. Kasyaf itu telah menjadi sempurna secara
simbolis pada diri Siti Hajar dan Nabi Isma’il a.s. , yang telah
ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. di
lembah Mekkah, yang pada saat itu merupakan padang belantara tandus dan kering gersang (QS.14:36-42).
Perbuatan
berani itu, sesungguhnya melambangkan pengurbanan
Nabi Isma’il a.s.. Perintah
Ilahi kepada Nabi Ibrahim a.s. pertama-tama
supaya mengurbankan putra beliau dan
kemudian mencegah melaksanakannya ke dalam amal nyata, menunjukkan pula bahwa perintah itu dimaksudkan menghapuskan pengurbanan manusia, suatu kebiasaan
sangat tidak manusiawi, yang lazim pada masa itu di antara kebanyakan bangsa.
Nabi Ibrahim a.s. pasti mengetahui bahwa
yang namanya mimpi pada umumnya
memerlukan ta’wil, namun demikian
demi menjaga kemurnian Tauhid Ilahi Nabi Ibrahim a.s. tidak mau mena’wilkan karena khawatir ada
unsur hawa-nafsu yang menyertai pena’wilan yang dilakukan. Mengenai pengorbanan Nabi Isma’il a.s. tersebut
selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّاۤ
اَسۡلَمَا وَ تَلَّہٗ لِلۡجَبِیۡنِ ﴿﴾ۚ وَ نَادَیۡنٰہُ
اَنۡ یّٰۤاِبۡرٰہِیۡمُ ﴿﴾ۙ قَدۡ
صَدَّقۡتَ الرُّءۡیَا ۚ اِنَّا کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ ہٰذَا
لَہُوَ الۡبَلٰٓـؤُا الۡمُبِیۡنُ ﴿﴾ وَ فَدَیۡنٰہُ
بِذِبۡحٍ عَظِیۡمٍ ﴿﴾ وَ تَرَکۡنَا عَلَیۡہِ فِی الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿﴾ۖ سَلٰمٌ
عَلٰۤی اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿﴾ کَذٰلِکَ نَجۡزِی
الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّہٗ مِنۡ عِبَادِنَا الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Maka
tatkala keduanya telah rela berserah diri dan ia, Ibrahim, telah
menelungkupkan anaknya pada dahinya. Maka
Kami berseru kepadanya: “Hai Ibrahim,
sungguh engkau telah menggenapi mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi ganjaran orang-orang yang
berbuat ihsan. Sesungguhnya ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan Kami
telah menebus dia, Isma’il, dengan pengurbanan yang besar. Dan Kami meninggalkan
nama baik baginya, Ibrahim, di antara umat-umat yang akan
datang. Selamat sejahtera atas Ibrahim.
Demikianlah Kami mengganjar orang-orang
yang berbuat ihsan. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami
yang beriman. (Ash-Shāffāt [37]:104-112).
Kesediaan Nabi Ibrahim a.s. mengurbankan
Nabi Isma’il a.s. telah
dilembagakan dalam peraturan Islam
mengenai “qurban” yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari acara ibadah haji. Makna yang tersimpul dalam ayat ini
dapat pula tentang penghapusan kebiasaan kurban
manusia, yang agaknya lazim di zaman Nabi Ibrahim a.s. dan mengenai penggantinya dengan pengurbanan binatang.
Kelahiran Nabi Besar Muhammad Saw. &
Makna Zalum dan Jahul
Namun perlu diketahui bahwa yang dimaksud
dengan “pengorbanan yang besar” bukan hanya terbatas kesediaan Nabi Isma’il a.s. untuk “disembelih” oleh Nabi Ibrahim a.s., melainkan berupa kesediaan beliau -- bersama ibunya, Siti Hajar – atas perintah Allah Swt. ditempatkan di lembah Bakkah (Makkah) yang kering dan
gersang, dan sebagai buah “pengorbanan besar” Nabi Isma’il a.s. tersebut lahir Nabi Besar Muhammad saw. yang membawa syariat terakhir dan tersempurna (QS.2:125-130; QS.14:36-38;
QS.5:4). Bahkan pada hakikatnya Nabi Besar Muhammad saw. inilah yang dimaksud
dengan “pengorbanan besar” itu وَ
فَدَیۡنٰہُ بِذِبۡحٍ عَظِیۡمٍ – “Dan Kami telah menebus dia, Isma’il, dengan pengurbanan yang besar.”
Kesediaan Nabi Besar Muhammad saw. mengemban amanat syariat terakhir dan tersempurna benar-benar merupakan suatu “pengorbanan
besar”, sebab diturunkannya agama Islam (Al-Quran) sebagai agama dan kitab suci terakhir dan tersempurna
(QS.5:4) seakan-akan merupakan kedatangan Allah Swt. Sendiri, sehingga Nabi Musa a.s. pun tidak sanggup melihat “Tajjali-Nya” (penampakkan
keagungan-Nya) ke atas sebuah “gunung” (QS.7:144-146), sebab hanya Nabi Besar Muhammad saw. – yakni insan
kamil (manusia sempurna) -- sajalah
yang bersedia mengemban amanat terakhir
dan tersempurna yang sangat berat
serta memerlukan pengorbanan besar tersebut,
firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada
seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka
takut terhadapnya, akan sedangkan insan
(manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai
terhadap di-rinya. (Al-Ahzāb [33]:73).
Hamala al-amānata berarti: ia
membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum
adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama,
yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu
berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas
kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari
kata jahil, yang berarti lalai,
dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
(1) Manusia dianugerahi
kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri
besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31)
yakni takhallaqu bi-akhlaqillāh. Sungguh
inilah amanat agung yang hanya insan (manusia)
sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya, sedangkan makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para
malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya. Mereka
seakan-akan menolak mengemban amanat
itu.
Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah
yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap
dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian
bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun
dan menjalani pengorbanan apa pun
demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan
diri atau alpa dalam arti bahwa
dalam mengkhidmati amanat-Nya yang
agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan
pribadinya dan hasratnya untuk
memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran
dan kata al-insan sebagai manusia
sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw., maka ayat ini akan berarti bahwa
dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah Nabi
Besar Muhammad saw. sendiri
saja yang mampu diamanati wahyu yang
mengandung syariat yang paling sempurna
dan penutup, ialah syariat Al-Quran, sebab tidak ada orang
atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak
diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan
sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia
dan makhluk-makhluk lainnya yang ada
di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak
mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh yakni bertasbih dengan pujian-Nya (QS.2:31-35; Qs’13:16; 16:50-51; QS.22:19; QS.41:10-13;
QS.57:2; QS.61:2; QS.62:2), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai
kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar
perintah Allah Swt., sebab ia aniaya
dan mengabaikan serta tidak
mempedulikan tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai
ayat ini didukung oleh QS.41:12.
Abul Anbiyā (Bapak Para Nabi) &
Imam Umat Manusia
Jadi,
kembali kepada Nabi Ibrahim a.s., adakah
bukti yang lebih besar bagi Nabi Ibrahim a.s. yang telah meninggalkan nama baik, dari kenyataan bahwa pengikut
tiga agama besar — Islam, Kristen, dan Yahudi — merasa bangga
mengaitkan garis keturunan mereka
kepada Sang Datuk yang sangat mulia
itu, Abul Anbiya (bapak para nabi)
yaitu Nabi Ibrahim a.s.?
Setelah kabar
gembira mengenai peristiwa kelahiran dan pengorbanan
Nabi Isma’il a.s. tersebut selanjutnya
Allah Swt. mengemukakan kabar gembira
mengenai kelahiran Nabi Ishaq a.s., yang membuktikan bahwa peristiwa
“penyembelihan” Nabi Isma’il a.s. terjadi sebelum Nabi Ishaq a.s. lahir, dengan
demikian yang dimaksud dengan “putra
tunggal” Nabi Ibrahim a.s. yang dikorbankan
adalah Nabi Isma’il a.s., bukan Nabi Ishaq a.s., firman-Nya:
وَ بَشَّرۡنٰہُ بِاِسۡحٰقَ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ وَ بٰرَکۡنَا
عَلَیۡہِ وَ عَلٰۤی اِسۡحٰقَ ؕ وَ مِنۡ
ذُرِّیَّتِہِمَا مُحۡسِنٌ وَّ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِہٖ مُبِیۡنٌ ﴿﴾٪
Dan Kami pun
telah memberi kabar gembira
kepadanya mengenai Ishaq, seorang nabi dari golongan orang-orang
shalih. Dan Kami melimpahkan berkat kepadanya, Isma’il, dan juga kepada
Ishaq. Dan di antara keturunan keduanya ada yang berbuat ihsan dan ada pula yang berbuat zalim yang nyata
terhadap dirinya sendiri. (Ash-Shāffāt [37]:113-114).
Kata-kata, “Kami melimpahkan
berkat atasnya,” menunjuk kepada karunia
Allah Swt. yang dianugerahkan kepada keturunan Nabi Ibrahim a.s. dengan
perantaraan Nabi Isma’il a.s., karena Nabi Ishaq a.s. telah disebut secara
terpisah dengan menyebut nama beliau, firman-Nya:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ
اِنِّیۡ جَاعِلُکَ
لِلنَّاسِ اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ وَ اِذۡ جَعَلۡنَا
الۡبَیۡتَ مَثَابَۃً لِّلنَّاسِ
وَ اَمۡنًا ؕ وَ اتَّخِذُوۡا مِنۡ مَّقَامِ
اِبۡرٰہٖمَ مُصَلًّی ؕ وَ عَہِدۡنَاۤ اِلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ اَنۡ طَہِّرَا بَیۡتِیَ لِلطَّآئِفِیۡنَ وَ الۡعٰکِفِیۡنَ وَ
الرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ ﴿﴾ وَ اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّ اجۡعَلۡ ہٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّ ارۡزُقۡ اَہۡلَہٗ مِنَ
الثَّمَرٰتِ مَنۡ اٰمَنَ مِنۡہُمۡ بِاللّٰہِ
وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ قَالَ وَ
مَنۡ کَفَرَ فَاُمَتِّعُہٗ قَلِیۡلًا ثُمَّ اَضۡطَرُّہٗۤ اِلٰی عَذَابِ
النَّارِ ؕ وَ بِئۡسَ
الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Ibrahim diuji oleh
Tuhan-nya dengan beberapa perintah maka dilaksana-kannya sepenuhnya.
Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau imam bagi manusia.” Ia, Ibrahim, berkata: “Dan
jadikanlah juga imam dari keturunanku.” Dia berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak
berlaku bagi orang-orang zalim.”
Dan ingatlah ketika Kami jadikan Rumah (Ka’bah) itu tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman,
dan jadikanlah
maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim
dan Isma'il: “Sucikanlah rumah-Ku itu untuk orang-orang
yang tawaf, yang ‘itikaf, yang rukuk dan yang sujud.” Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata:
“Ya Tuhan-ku, jadikanlah tempat ini kota
yang aman dan berikanlah rezeki
berupa buah-buahan kepada penduduknya dari antara mereka yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian.”
Dia berfirman: “Dan orang yang kafir pun maka Aku akan memberi sedikit kesenangan kepadanya kemudian akan
Aku paksa ia ma-suk ke dalam
azab Api, dan itulah seburuk-buruk
tempat kembali.” (Al-Baqarah [2]:125-127).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar