Jumat, 21 Juni 2013

Arti "Al-Khabiir" & Makna "Melobangi Perahu" dan "Membunuh Pemuda" serta Hubungannya dengan "Nafs Ammarah"



 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 153


       Arti Al-Khabīr & Makna “Melubangi Perahu” dan “Membunuh Pemuda  Serta Hubungannya dengan
 Nafs Ammarah
        

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   akhir  Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai  makna   “ikan” bekal perjalanan  Nabi Musa a.s. dan “teman mudanya”  yang meloncat ke dalam “pertemuan dua lautan”,  firman-Nya:
قَالَ اَرَءَیۡتَ اِذۡ اَوَیۡنَاۤ  اِلَی الصَّخۡرَۃِ فَاِنِّیۡ نَسِیۡتُ الۡحُوۡتَ ۫ وَ مَاۤ  اَنۡسٰنِیۡہُ  اِلَّا الشَّیۡطٰنُ اَنۡ اَذۡکُرَہٗ ۚ  وَ اتَّخَذَ سَبِیۡلَہٗ  فِی الۡبَحۡرِ ٭ۖ عَجَبًا ﴿﴾  قَالَ ذٰلِکَ مَا کُنَّا نَبۡغِ ٭ۖ فَارۡتَدَّا عَلٰۤی اٰثَارِہِمَا قَصَصًا﴿ۙ﴾
la, teman mudanya,  berkata: "Apakah engkau melihat ketika kita berlindung  di batu keras tadi lalu sesungguhnya aku  lupa akan  ikan itu, dan  sama sekali tidak ada yang membuat aku melupakannya untuk mengingatnya kecuali syaitan, dan ia mengambil jalannya ke laut secara  menakjubkan." la, Musa, berkata: "Itulah apa yang kita cari." Maka mereka ber­dua kembali sambil mengikuti lagi jejak kaki mereka berdua. (Al-Kahf [18]:64-65).

“Hamba Allah” yang Dicari-cari Nabi Musa a.s.

Kata-kata, وَ اتَّخَذَ سَبِیۡلَہٗ  فِی الۡبَحۡرِ ٭ۖ عَجَبًا -- "dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang menakjubkan" dalam QS.18:64-65 sebelumnya, menyatakan bahwa ketakwaan dan ibadah sejati kepada Allah Swt. akan lenyap dari orang-orang  Yahudi dan Kristen, yakni “ikan” (ketakwaan) tersebut telah  meloncat ke dalam “lautan” berikutnya yaitu agama Islam, yang di tempat itu “hamba Allah”, yakni Nabi Besar Muhammad saw., atau “nabi yang seperti Musa” (Ulangan 18:18) atau “Roh Kebenaran” (Yahya 16:12-13) atau “Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-39). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَوَجَدَا عَبۡدًا مِّنۡ عِبَادِنَاۤ اٰتَیۡنٰہُ رَحۡمَۃً  مِّنۡ عِنۡدِنَا وَ عَلَّمۡنٰہُ مِنۡ لَّدُنَّا عِلۡمًا ﴿﴾
Maka mereka bertemu dengan seorang hamba dari hamba-­hamba Kami,  yang Kami telah menganugerahi rahmat dari Kami, dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari hadirat Kami. (Al-Kahf [18]:66).
 Siapakah "hamba Allah" ('abd) Yang telah dikaruniai rahmat Allah dan yang telah diajar pula ilmu oleh-Nya dan yang untuk mencarinya Nabi Musa a.s. dalam menaati perintah Ilahi  telah menempuh perjalanan yang begitu panjang dan sukar, dan yang merupakan pusat perhatian dan pemegang peranan utama dalam seluruh kisah itu? Orang itu tidak ada lain adalah Muhammad Rasulullah saw.,  yang ruhnya telah mendapat perwujudan dalam kasyaf Nabi Musa a.s.  — alasan­-alasan untuk itu adalah sebagai berikut:
(a) Nabi Besar Muhammad saw. telah disebut 'abd (hamba) Allah  dalam Al-Quran (QS.2:24; QS.8:42; QS.17:2; QS.18:2; QS.25:2. QS.39:37; QS. 53:11; QS.72:20). Sesungguhnya beliau adalah 'abd Allah (hamba Allāh) yang paling utama.
(b) Beliau saw. disebut rahmatul lil 'ālamīn,  pembawa rahmat untuk seluruh alam (QS.21:108), nama julukan itu dalam Al-Quran tidak dikemukakan kepada siapa pun yang lain kecuali kepada beliau saw..  
(c) Beliau saw. dikaruniai ma'rifat Ilahi yang berlimpah-limpah (QS.4:115; QS.27:7).
(d) "Hamba Allah" ini telah memberitahukan kepada Nabi Musa a.s.  bahwa beliau itu tidak akan berdiam diri (ayat 68), dan  Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan telah bersabda:
"Alangkah baiknya jika  Nabi Musa a.s. tetap berdiam diri, apabila beliau berbuat demikian tentu kita akan dianugerahi lebih banyak ilmu mengenai hal-hal yang gaib" (Bukhari, Kitab al-Tafsir).
Hakikatnya ialah Nabi Musa a.s. pernah menyaksikan tajali Ilahi (penampakan kegagahan Tuhan) dalam perjalanan dari Madyan ke Mesir (QS.28:30). Tetapi di masa kemudian beliau diberitahu. bahwa seorang nabi akan muncul di antara saudara-saudara Bani lsrail yang dalam mulutnya Allah akan mernberikan segala firman-Nya (Ulangan 18: 18-22).
Kata-kata nubuatan ini mengandung arti bahwa nabi yang dijanjikan itu akan menjadi tempat penampakan Tuhan yang lebih besar daripada penampakan pada diri Nabi Mus a.s., karena itu dengan sendirinya Nabi Musa a.s. ingin melihat gerangan siapakah "nabi itu". Untuk memenuhi keinginan itu Allah Swt.  membuat Nabi Musa  a.s. melihat dalam kasyaf bahwa "nabi itu" memiliki kemampuan-kemampuan ruhani yang jauh lebih tinggi.
"Hamba Allah" yang berilmu yang nampak dalam kasyaf kepada Nabi Musa a.s., yang oleh umum dikenal dengan nama Khidir tidak lain ialah ruh Penghulu para nabi yang mulia, Muhammad Rasulullah Saw.,  yang seolah-olah telah memperoleh jasad lahir. Lihat QS.7:144.

Pentingnya  Bersabar   & Makna Sifat Allah Swt. Al-Khabīr 

      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai dialog antara Nabi Musa a.s. dengan “hamba Allah” yang dicari-carinya:
قَالَ لَہٗ مُوۡسٰی ہَلۡ اَتَّبِعُکَ عَلٰۤی اَنۡ تُعَلِّمَنِ  مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا ﴿﴾   قَالَ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾  وَ کَیۡفَ تَصۡبِرُ  عَلٰی مَا لَمۡ تُحِطۡ بِہٖ خُبۡرًا ﴿﴾
Musa berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikuti engkau supaya engkau mengajarkan ke­padaku petunjuk dari apa  yang telah diajarkan kepada engkau?” Ia berkata: "Sesungguhnya engkau  tidak  akan pernah sanggup bersabar bersamaku,  dan bagaimanakah engkau dapat bersabar atas sesuatu yang engkau tidak dapat menguasai pengetahuan mengenainya?" (Al-Kahf [18]:67-69).
    Khubran berasal dari kata khabara   atau khubrah -- yang merupakan salah satu sifat Allah Swt. Al-Khabīr  yakni Yang Maha Mengetahui segala kabar segala sesuatu secara menyeluruh dan terinci  --  berikut beberapa pendapat ‘ulama salaf tentang Sifat Allah Swt. Al-Khabīr tersebut: Penjelasan ulama tentang makna Al-Khabīr:
    (1) Ibnu Manzhur mengatakan: “(Maknanya adalah) Yang Maha Mengetahui apa yang lalu dan apa yang akan datang.”
    (2) Al-Khaththabi mengatakan: “Yang Maha Mengetahui seluk-beluk hakikat sesuatu.”
   (3) Abu Hilal Al-Askari  mengatakan dalam kitabnya Al-Furuq Al-Lughawiyyah: “Perbedaan antara al-ilmu (yang diambil darinya nama Al-’Alim) dan al-khubru (yang diambil darinya nama Al-Khabīr); bahwa al-khubru artinya mengetahui seluk-beluk sesuatu yang diketahui sesuai dengan hakikatnya, sehingga kata al-khubru memiliki makna yang lebih dari kata al-ilmu.” (Dinukil dari kitab Shifatullah karya‘Alawi As-Saqqaf)
    (4) Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Al-Khubrah (yang darinya diambil nama Al-Khabīr), artinya adalah mengetahui dalamnya sesuatu. Ilmu terhadap bagian luar dari sesuatu tidak diragukan merupakan sifat kesempurnaan dan terpuji. Akan tetapi mengetahui bagian dalamnya tentu lebih sempurna. Sehingga Al-’Alim, maknanya Maha berilmu terhadap apa yang tampak dari sesuatu, sedangkan Al-Khabīr adalah Maha berilmu terhadap apa yang tidak tampak dari sesuatu.
  Bila terkumpul antara ilmu dan khubrah, maka ini lebih sempurna dalam meliputi sesuatu. Terkadang dikatakan bahwa khubrah mempunyai makna yang lebih dari ilmu. Karena kata khabīr dipahami oleh orang-orang adalah seseorang yang mengetahui sesuatu dan mahir dalam hal ini. Berbeda dengan seseorang yang hanya memiliki pengetahuan saja, tapi tidak punya kemahiran pada apa yang dia ilmu, maka dia tidak disebut khabīr. Atas dasar ini, kata Al-Khabīr memiliki makna yang lebih dari sekadar ilmu.”(Tafsir surah Al-Hujurāt).
    (5) Asy-Syaikh As-Sa’di   mengatakan: “Al-Khabīr Al-’Alim, adalah yang ilmunya meliputi segala yang lahir maupun yang batin, yang tersembunyi dan yang tampak, yang mesti terjadi, yang tidak mungkin terjadi, serta yang mungkin terjadi, di alam yang atas maupun yang bawah, yang terdahulu, yang sekarang, dan yang akan datang. Maka, tidak tersembunyi padanya sesuatu pun.”
    Al-mukhtabaru  artinya laboratorium, suatu tempat yang di dalamnya dilakukan penyelidikan secara terinci dan mendalam  berbagai obyek yang ingin  diketahui berbagai hal  (hakikat)  mengenai berbagai obyek  yang diselidiki di laboratorium tersebut. Jadi, arti al-mukhtabaru (laboratorium) tersebut memcakup semua definisi tentang  kata khubrah  atau sifat Al-Khabīr  yang dikemukakan para ‘ulama tersebut.
     Jadi, menurut jawaban “hamba Allah” tersebut,   Nabi Musa a.s.  tidak mendapat taufik untuk mencapai puncak-puncak ketinggian makrifat yang telah dicapai oleh ilmu keruhanian Nabi Besar Muhammad saw..  atau “hamba Allah” tersebut, sehingga “hamba Allah” tersebut telah memberitahu Nabi Musa a.s. mengenai ketidak-sabaran beliau dalam mempelajari  “ilmu pengetahuan” yang khusus diajarkan Allah Swt. kepada “hamba Allah” tersebut.

Perbedaan Ketidaksabaran Pengikut Nabi Musa a.s. dengan
Kesabaran  Para Sahabah Nabi Besar Muhammad Saw.

 Kenyataan membuktikan bahwa kesabaran dan ketabahan yang telah diperlihatkan oleh para pengikut Nabi Musa a.s. di bawah  cobaan-cobaan dan kesulitan-kesulitan di jalan Allah  tidak mencapai taraf dan bentuk setinggi mutu yang dicapai oleh pengikut-pengikut  Nabi Besar Muhammad saw.  (QS.5:22-25 dan Bukhari, Kitab al-Maghazi).
Ayat ini membandingkan pula watak Nabi Musa a.s.  dan  Nabi Besar Muhammad saw.. Nabi Musa a.s. . dengan tidak sabar menanyakan kepada "hamba Allah" mengenai hal-hal yang beliau tidak mengerti, sedangkan tetapi  Nabi Besar Muhammad saw.  dalam peristiwa mikraj  yang beliau saw. alami menunggu dengan sabar  hingga malaikat Jibril a.s. menjelaskan kepada beliau arti berbagai hal  aneh yang beliau saw. lihat dalam mi'raj  beliau saw..
Perbedaan dalam watak di antara kedua nabi besar itu telah tercermin pula dalam tingkah laku para pengikut masing-masing. Jika Bani Israil terus-menerus mengganggu Nabi Musa a.s.  dengan segala macam pertanyaan yang tidak penting dan bodoh itu, maka sikap sahabat-sahabat  Nabi Besar Muhammad saw. ditandai oleh jiwa waqar (kesatria) dan mengekang diri. Mereka dengan saksama menghindarkan diri dari mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah agama. Baik  Nabi Besar Muhammad saw.  maupun sahabat-sahabat beliau saw., kedua-duanya dengan sangat setia mengamalkan nasihat yang tersebut dalam  QS.20:115, firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ اَنۡزَلۡنٰہُ  قُرۡاٰنًا عَرَبِیًّا وَّ صَرَّفۡنَا فِیۡہِ مِنَ الۡوَعِیۡدِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ اَوۡ  یُحۡدِثُ  لَہُمۡ  ذِکۡرًا﴿﴾  فَتَعٰلَی اللّٰہُ  الۡمَلِکُ الۡحَقُّ ۚ وَ لَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یُّقۡضٰۤی اِلَیۡکَ وَحۡیُہٗ ۫ وَ  قُلۡ  رَّبِّ  زِدۡنِیۡ  عِلۡمًا ﴿﴾
Dan demikianlah  Kami telah menurunkannya Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami telah menerangkan berulang-ulang di dalamnya ber-bagai macam ancaman supaya mereka bertakwa atau supaya  perkataan ini mengingatkan mereka. Maka  Mahatinggi Allah, Raja Yang Haq. Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum pewahyuannya dilengkapkan kepada engkau, dan katakanlah: "Ya Tuhan‑ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan?   (Thā Hā [20]:114-115).
 Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan pernah bersabda: "Carilah ilmu pengetahuan sekalipun mungkin ditemukannya jauh di rantau Cina" (Shagir, jilid I). Di tempat lain dalam Al-Quran telah dilukiskan sebagai "karunia Allah yang sangat besar" (QS.2:270 & QS. 4:114). Ilmu itu ada dua macam: (a) ilmu yang dianugerahkan kepada manusia dengan perantaraan wahyu dan yang telah mencapai kesempurnaan dalam wujud Al-Quran. (b) ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan usaha dan jerih-payahnya sendiri.

Pelajaran Pertama  Hamba Allah” adalah “Melubangi Perahu
Yakni “Pengorbanan Harta di Jalan Allah

   Terhadap “dugaan“ yang dikemukakan oleh  “hamba Allah” tersebut selanjutnya Allah Swt. menjelaskan jawaban Nabi Musa a.s. yang merasa “yakin diri”, firman-Nya:
قَالَ سَتَجِدُنِیۡۤ  اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ صَابِرًا وَّ لَاۤ اَعۡصِیۡ  لَکَ  اَمۡرًا ﴿﴾  قَالَ فَاِنِ اتَّبَعۡتَنِیۡ فَلَا تَسۡـَٔلۡنِیۡ عَنۡ شَیۡءٍ  حَتّٰۤی  اُحۡدِثَ  لَکَ  مِنۡہُ  ذِکۡرًا﴿٪﴾
Dia berkata: "Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar jika Allah menghendaki dan aku tidak akan menolak apa pun perintah engkau."    Ia berkata: “Maka jika engkau mengikutiku,  janganlah engkau menanyakan ke­padaku mengenai sesuatu hingga aku menceriterakannya kepada engkau mengenainya." (Al-Kahf [18]:70-71).
   Kenyataan membuktikan  benarnya dugaan atau pernyataan “hamba Allah” mengenai ketidak-sabaran Nabi Musa a.s. terhadap pelajaran pertama yang diajarkan “hamba Allah” tersebut, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا رَکِبَا فِی السَّفِیۡنَۃِ خَرَقَہَا ؕ قَالَ اَخَرَقۡتَہَا لِتُغۡرِقَ اَہۡلَہَا ۚ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا اِمۡرًا ﴿﴾   قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾
Maka keduanya berangkat hingga ketika mereka berdua naik perahu ia melubanginya   Musa berkata: "Apakah engkau melubanginya untuk me­nenggelamkan penumpangnya? Sungguh  engkau benar-benar  telah melakukan   sesuatu perkara jahat."    Ia, hamba Allah,  berkata: "Tidakkah telah  aku katakan sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku? (Al-Kahf [18]:72-73).
   Beberapa ayat yang mendahuluinya berlaku hanya sebagai pengantar untuk masalah isra' Nabi Musa a.s., tetapi dengan ayat ini mulailah uraian mengenai kejadian sebenarnya yang nampak kepada Nabi Musa a.s. dalam kasyaf beliau. Kata-kata  "ia melubanginya" bila ditakwilkan akan berarti bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  akan menetapkan peraturan-peraturan (syariat) yang seolah-olah membuat lubang pada perahu, yang dalam bahasa mimpi menggambarkan kekayaan dunia, hal itu berarti bahwa beliau saw. akan menjaga agar kekayaan hendaknya jangan bertumpuk pada tangan beberapa orang  tetapi supaya terbagi secara adil dan merata.
"Hamba Allah" yang saleh dalam kasyaf Nabi Musa a.s., yaitu Nabi Besar Muhammad saw.,   di sini digambarkan mengatakan kepada Nabi Musa a.s. . bahwa oleh karena terdapat perbedaan besar dalam kedua ajaran itu, maka Nabi Musa a.s. tidak dapat menyertai beliau saw., maksudnya pengikut Nabi Musa a.s. tidak akan menerima  Nabi Besar Muhammad saw., temasuk dalam masalah pembelanjaan  (pengorbanan) harta kekayaan di jalan Allah, berikut beberapa firman Allah Swt. mengenai hal tersebut:
لَقَدۡ سَمِعَ اللّٰہُ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّ اللّٰہَ فَقِیۡرٌ وَّ نَحۡنُ اَغۡنِیَآءُ ۘ سَنَکۡتُبُ مَا قَالُوۡا وَ قَتۡلَہُمُ الۡاَنۡۢبِیَآءَ بِغَیۡرِ حَقٍّ ۙ وَّ نَقُوۡلُ ذُوۡقُوۡا عَذَابَ الۡحَرِیۡقِ ﴿﴾  ذٰلِکَ بِمَا قَدَّمَتۡ اَیۡدِیۡکُمۡ وَ اَنَّ اللّٰہَ لَیۡسَ بِظَلَّامٍ  لِّلۡعَبِیۡدِ  ﴿﴾ۚ
Sungguh  Allah benar-benar telah mendengar ucapan orang-orang yang berkata:  Sesungguhnya  Allah miskin sedangkan kami kaya.” Kami segera  akan mencatat apa yang mereka katakan, dan mereka    berusaha membunuh nabi-nabi tanpa  haq dan Kami berfirman: “Rasakanlah  oleh kamu  azab yang membakar!” Yang demikian itu disebabkan oleh apa yang telah didahulukan oleh  tangan kamu sendiri”, dan sesungguhnya  Allah sekali-kali tidak zalim terhadap hamba-hamba-Nya.  (Āli ‘Imran [3]:182-183). Lihat pula QS.5:65.
      Ketika orang-orang Yahudi diseru untuk membelanjakan kekayaan mereka di jalan Allah (QS.3:181), mereka mengejek kaum Muslimin dengan mengatakan: “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya”. Kalimat itu melukiskan pula perasaan batin orang-orang kikir yang menggabungkan diri kepada suatu gerakan baru, tetapi merasa sangat berat untuk memenuhi keperluan-keperluan keuangan yang semakin membesar itu. Firman-Nya lagi:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ  اَنۡفِقُوۡا  مِمَّا رَزَقَکُمُ  اللّٰہُ ۙ قَالَ  الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنُطۡعِمُ مَنۡ لَّوۡ  یَشَآءُ  اللّٰہُ   اَطۡعَمَہٗۤ ٭ۖ اِنۡ اَنۡتُمۡ   اِلَّا  فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Belanjakanlah dari apa yang telah  Allah rezekikan kepada kamu,”   orang-orang kafir itu berkata kepada  orang-orang yang beriman: ”Apakah kami harus memberi makan kepada orang yang  jika Allah menghendaki   Dia Sendiri akan memberinya makan? Tidaklah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.” (Yā Sīn [36]:48).

Salah Satu Tanda Orang yang Bertakwa

     Dalam ajaran Islam (Al-Quran) pembelanjaan rezaki apa pun di jalan Allah Swt, merupakan salah satu tanda orang-orang yang bertakwa, firman-Nya:
ذٰلِکَ  الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی  لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ  مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ  یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾
Inilah  Kitab yang sempurna itu,    tidak ada keraguan di da-amnya,   petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.  Yaitu orang-orang yang beriman kepada  yang gaib,  mendirikan shalat dan mereka   membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan  kepada mereka. (Al-Baqarah [2]:3-4).
   Rizq berarti  sesuatu yang dianugerahkan  Allah Swt.   kepada manusia, baik anugerah itu, bersifat kebendaan atau selain itu (Al-Mufradat). Ayat  ini menentukan tiga petunjuk dan menjelaskan tiga tingkat kesejahteraan ruhani manusia:
    (1) Ia harus beriman kepada kebenaran yang tersembunyi dari pandangan mata dan di luar jangkauan pancaindera, sebab kepercayaan demikian  menunjukkan bahwa ia mempunyai ketakwaan yang sejati.
    (2) Bila ia merenungkan keajaiban alam semesta dan tertib serta rancangan menakjubkan yang terdapat di dalamnya, dan bila  sebagai hasil dari renungan itu ia menjadi yakin akan adanya Dzat Yang menciptakan  maka suatu hasrat yang tidak dapat ditahan untuk mempunyai perhubungan nyata dan benar dengan Dzat itu menguasai dirinya. Hasrat  tersebut terpenuhi dengan mendirikan shalat.
     (3) Akhirnya, ketika orang beriman itu berhasil menegakkan  hubungan yang hidup dengan Khāliq-nya (Pencipta-nya), ia merasakan adanya dorongan batin untuk berbakti kepada sesama manusia, yakni     dan mereka   membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan  kepada mereka.”
     Pendek kata, mengikuti “pelajaran pertama” yang dilakukan oleh “hamba Allah” tersebut Nabi Musa a.s. tidak dapat menahan diri untuk bersabar menghadapinya dan melakukan protes, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا رَکِبَا فِی السَّفِیۡنَۃِ خَرَقَہَا ؕ قَالَ اَخَرَقۡتَہَا لِتُغۡرِقَ اَہۡلَہَا ۚ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا اِمۡرًا ﴿﴾   قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾
Maka keduanya berangkat hingga ketika mereka berdua naik perahu ia melubanginya Musa berkata: "Apakah engkau melubanginya untuk me­nenggelamkan penumpangnya? Sungguh engkau benar-benar  telah melakukan sesuatu perkara jahat."    Ia, hamba Allah,  berkata: "Tidakkah telah  aku katakan sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku? (Al-Kahf [18]:72-73).

Pelajaran Kedua “Membunuh Pemuda” &
Pentingnya Mengatasi  Nafs Ammarah

  Menyadari pelanggarannya    Nabi Musa a.s. meminta “hamba Allah” untuk memaafkan kesalahan beliau, firman-Nya:
قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ  اَمۡرِیۡ  عُسۡرًا ﴿﴾  فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی   اِذَا  لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ  اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا  زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ  نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku   dengan kesulitan dalam  urusanku."   Maka keduanya be­rangkat hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang pe­muda  lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak berdosa bukan karena ia telah  membunuh orang lain? Sungguh  engkau benar-benar telah melakukan  sesuatu yang keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
 Kata intalaqa (keduanya berangkat) yang pada ayat-ayat ini telah beberapa kali dipergunakan, adalah kata yang persis dipakai oleh malaikat Jibril a.s. untuk Nabi Besar Muhammad saw.  dalam mi'raj beliau saw., “Mari kita berangkat”.
Seorang pemuda dalam bahasa mimpi  antara lain mengandung arti: kejahilan, kekuatan  dan dorongan nafsu jalang. Dibunuhnya pemuda  itu oleh "hamba Allah" yang shalih dalam kasyaf Nabi Musa a.s. berarti bahwa agama Islam akan menuntut kepada para pengikutnya untuk mendatangkan semacam maut (kematian) atas keinginan dan hawa-nafsu yang rendah, yakni mengatasi dan mengendalikan  gejolak nafs Ammarah yang keadaannya bagaikan “kuda liar” atau “sapi liar”  yang dapat melemparkan dan menginjak-injak orang yang berada di atas punggungnya.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah ucapan Nabi Yusuf a.s. ketika beliau berhasil melepaskan  diri dari “ajakan berselingkuh” istri majikan beliau di Mesir yang sangat cantik (QS.12:22-30),  dan  Nabi Yusuf a.s.  memilih kehidupan sempit dalam  penjara  (QS.12:31-34) daripada kehidupan mewah di  rumah (istana) majikannya namun sangat membahayakan keimanan dan kesucian diri beliau, firman-Nya:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku,  sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
    Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf  di sini menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang,  di sini berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.
     Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia, yakni:
    (1) Arti pertama menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28).
     (2) Arti kedua dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya.
   (3) Arti ketiga dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan – QS.12:54).

Memilih Hidup Dalam Penjara

       Nabi Yusuf a.s. berhasil membebaskan diri dari  ancaman berbahaya keadaan  naf Ammarah   karena beliau telah memilih penjara daripada tetap tinggal di rumah majikannya  dimana istri majikannya akan terus menerus menggodanya sampai ia dapat melaksanakan keinginan buruknya, yang melambangkan  godaan-godaan kesenangan duniawi  yang sangat disukai oleh nafs Ammarah, firman-Nya:
قَالَ رَبِّ السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ  اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ  اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾  فَاسۡتَجَابَ لَہٗ  رَبُّہٗ  فَصَرَفَ عَنۡہُ کَیۡدَہُنَّ ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ﴿﴾
Ia, Yusuf, berkata:  “Ya Tuhan-ku, penjara itu lebih kusukai bagiku daripada apa yang mereka mengajak-ku kepadanya, dan jika Engkau tidak mengelakkan dari diriku tipu-daya mereka tentu aku akan cenderung kepada mereka itu dan aku akan terma-suk orang-orang yang jahil.” Maka Tuhan mengabulkan doanya lalu mengelakkan dari   tipu-daya mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Yusuf [12]:34-35).
   Pendek kata, Nabi Musa a.s. kembali gagal memenuhi janjinya untuk tidak berkomentar mengenai tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh “hamba Allah”  yang telah “membunuh seorang pemuda,” firman-Nya:
قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ  اَمۡرِیۡ  عُسۡرًا ﴿﴾  فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی   اِذَا  لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ  اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا  زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ  نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku   dengan kesulitan dalam  urusanku."   Maka keduanya be­rangkat hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang pe­muda  lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak berdosa bukan karena ia telah  membunuh orang lain? Sungguh  engkau benar-benar telah melakukan  sesuatu yang keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).

Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  3 Juni  2013  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar