بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 153
Arti Al-Khabīr
& Makna “Melubangi Perahu” dan “Membunuh Pemuda” Serta Hubungannya dengan
Nafs Ammarah
Nafs Ammarah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai makna “ikan” bekal
perjalanan Nabi Musa a.s. dan “teman
mudanya” yang meloncat ke dalam “pertemuan dua lautan”, firman-Nya:
قَالَ اَرَءَیۡتَ اِذۡ اَوَیۡنَاۤ اِلَی الصَّخۡرَۃِ فَاِنِّیۡ نَسِیۡتُ الۡحُوۡتَ ۫ وَ مَاۤ اَنۡسٰنِیۡہُ اِلَّا الشَّیۡطٰنُ اَنۡ اَذۡکُرَہٗ ۚ وَ اتَّخَذَ سَبِیۡلَہٗ فِی الۡبَحۡرِ ٭ۖ عَجَبًا ﴿﴾ قَالَ ذٰلِکَ مَا کُنَّا
نَبۡغِ ٭ۖ
فَارۡتَدَّا عَلٰۤی اٰثَارِہِمَا قَصَصًا﴿ۙ﴾
la,
teman mudanya, berkata:
"Apakah engkau melihat ketika kita
berlindung di batu keras tadi lalu
sesungguhnya aku lupa akan ikan
itu, dan sama sekali tidak ada yang membuat aku melupakannya untuk mengingatnya kecuali syaitan, dan ia mengambil jalannya ke laut secara
menakjubkan." la, Musa, berkata: "Itulah apa yang kita cari." Maka mereka berdua kembali sambil mengikuti lagi jejak kaki mereka
berdua. (Al-Kahf [18]:64-65).
“Hamba
Allah” yang Dicari-cari Nabi Musa a.s.
Kata-kata, وَ اتَّخَذَ سَبِیۡلَہٗ فِی الۡبَحۡرِ ٭ۖ عَجَبًا -- "dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan
cara yang menakjubkan" dalam QS.18:64-65 sebelumnya, menyatakan bahwa ketakwaan dan ibadah sejati kepada Allah Swt. akan lenyap dari orang-orang Yahudi dan Kristen, yakni “ikan” (ketakwaan) tersebut telah meloncat ke dalam “lautan” berikutnya yaitu agama Islam, yang di tempat itu “hamba
Allah”, yakni Nabi Besar Muhammad saw.,
atau “nabi yang seperti Musa” (Ulangan
18:18) atau “Roh Kebenaran” (Yahya
16:12-13) atau “Dia yang datang dalam
nama Tuhan” (Matius 23:37-39). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَوَجَدَا عَبۡدًا مِّنۡ عِبَادِنَاۤ اٰتَیۡنٰہُ رَحۡمَۃً مِّنۡ عِنۡدِنَا وَ
عَلَّمۡنٰہُ مِنۡ لَّدُنَّا
عِلۡمًا ﴿﴾
Maka
mereka bertemu dengan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang Kami
telah menganugerahi rahmat dari Kami, dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari hadirat Kami. (Al-Kahf [18]:66).
Siapakah
"hamba Allah" ('abd) Yang telah dikaruniai rahmat Allah dan yang telah diajar pula ilmu oleh-Nya dan yang untuk mencarinya Nabi Musa a.s. dalam menaati perintah Ilahi telah menempuh perjalanan yang begitu panjang dan sukar, dan yang merupakan pusat perhatian dan pemegang peranan utama dalam seluruh kisah itu?
Orang itu tidak ada lain adalah Muhammad Rasulullah saw., yang ruhnya
telah mendapat perwujudan dalam kasyaf Nabi Musa a.s. — alasan-alasan untuk itu adalah
sebagai berikut:
(a) Nabi Besar Muhammad saw. telah disebut 'abd
(hamba) Allah dalam Al-Quran (QS.2:24;
QS.8:42; QS.17:2; QS.18:2; QS.25:2. QS.39:37; QS. 53:11; QS.72:20).
Sesungguhnya beliau adalah 'abd Allah (hamba Allāh) yang paling utama.
(b) Beliau saw. disebut rahmatul lil 'ālamīn, pembawa rahmat untuk seluruh alam
(QS.21:108), nama julukan itu dalam Al-Quran tidak dikemukakan kepada siapa pun
yang lain kecuali kepada beliau saw..
(c) Beliau saw. dikaruniai ma'rifat Ilahi yang berlimpah-limpah (QS.4:115; QS.27:7).
(d) "Hamba Allah" ini telah memberitahukan
kepada Nabi Musa a.s. bahwa
beliau itu tidak akan berdiam diri
(ayat 68), dan Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda:
"Alangkah
baiknya jika Nabi Musa a.s. tetap
berdiam diri, apabila beliau berbuat demikian tentu kita akan dianugerahi lebih
banyak ilmu mengenai hal-hal yang gaib" (Bukhari, Kitab al-Tafsir).
Hakikatnya ialah Nabi Musa a.s. pernah menyaksikan tajali
Ilahi (penampakan kegagahan Tuhan) dalam perjalanan dari Madyan ke Mesir
(QS.28:30). Tetapi di masa kemudian beliau diberitahu. bahwa seorang nabi akan muncul di antara saudara-saudara Bani lsrail yang dalam mulutnya Allah akan mernberikan segala firman-Nya (Ulangan 18: 18-22).
Kata-kata nubuatan
ini mengandung arti bahwa nabi yang dijanjikan itu akan menjadi tempat penampakan Tuhan yang lebih besar
daripada penampakan pada diri Nabi Mus a.s., karena itu dengan sendirinya Nabi
Musa a.s. ingin melihat gerangan siapakah "nabi itu". Untuk memenuhi keinginan itu Allah Swt. membuat Nabi Musa a.s. melihat dalam kasyaf bahwa "nabi itu" memiliki kemampuan-kemampuan
ruhani yang jauh lebih tinggi.
"Hamba Allah" yang berilmu yang nampak dalam
kasyaf kepada Nabi Musa a.s., yang oleh umum dikenal dengan nama Khidir tidak lain ialah ruh Penghulu para nabi yang mulia, Muhammad Rasulullah Saw., yang seolah-olah telah memperoleh jasad lahir. Lihat QS.7:144.
Pentingnya Bersabar
& Makna Sifat Allah Swt. Al-Khabīr
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
dialog antara Nabi Musa a.s. dengan
“hamba Allah” yang dicari-carinya:
قَالَ لَہٗ مُوۡسٰی ہَلۡ اَتَّبِعُکَ
عَلٰۤی اَنۡ
تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا ﴿﴾ قَالَ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾ وَ کَیۡفَ
تَصۡبِرُ عَلٰی مَا لَمۡ تُحِطۡ
بِہٖ خُبۡرًا ﴿﴾
Musa
berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikuti
engkau supaya engkau mengajarkan kepadaku
petunjuk dari apa yang telah diajarkan kepada engkau?” Ia berkata: "Sesungguhnya engkau
tidak akan pernah sanggup
bersabar bersamaku, dan
bagaimanakah engkau dapat bersabar atas
sesuatu yang engkau tidak dapat menguasai pengetahuan mengenainya?" (Al-Kahf [18]:67-69).
Khubran berasal dari kata khabara
atau khubrah -- yang merupakan salah satu sifat Allah Swt. Al-Khabīr yakni Yang Maha
Mengetahui segala kabar segala
sesuatu secara menyeluruh dan terinci --
berikut beberapa pendapat ‘ulama salaf
tentang Sifat Allah Swt. Al-Khabīr
tersebut: Penjelasan ulama tentang makna Al-Khabīr:
(1) Ibnu Manzhur mengatakan: “(Maknanya adalah) Yang Maha Mengetahui apa yang lalu dan apa yang akan datang.”
(1) Ibnu Manzhur mengatakan: “(Maknanya adalah) Yang Maha Mengetahui apa yang lalu dan apa yang akan datang.”
(2) Al-Khaththabi mengatakan: “Yang Maha
Mengetahui seluk-beluk hakikat sesuatu.”
(3) Abu Hilal Al-Askari mengatakan
dalam kitabnya Al-Furuq Al-Lughawiyyah:
“Perbedaan antara al-ilmu (yang
diambil darinya nama Al-’Alim) dan al-khubru (yang diambil darinya nama Al-Khabīr); bahwa al-khubru artinya mengetahui seluk-beluk
sesuatu yang diketahui sesuai dengan hakikatnya, sehingga kata al-khubru memiliki makna yang lebih dari
kata al-ilmu.” (Dinukil dari kitab Shifatullah
karya‘Alawi As-Saqqaf)
(4) Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan:
“Al-Khubrah (yang darinya diambil
nama Al-Khabīr), artinya adalah mengetahui dalamnya sesuatu. Ilmu
terhadap bagian luar dari sesuatu
tidak diragukan merupakan sifat kesempurnaan dan terpuji. Akan tetapi
mengetahui bagian dalamnya tentu lebih
sempurna. Sehingga Al-’Alim, maknanya
Maha berilmu terhadap apa yang tampak
dari sesuatu, sedangkan Al-Khabīr
adalah Maha berilmu terhadap apa yang
tidak tampak dari sesuatu.
Bila terkumpul antara ilmu dan khubrah, maka
ini lebih sempurna dalam meliputi sesuatu. Terkadang dikatakan
bahwa khubrah mempunyai makna yang
lebih dari ilmu. Karena kata khabīr dipahami oleh orang-orang adalah
seseorang yang mengetahui sesuatu dan
mahir dalam hal ini. Berbeda dengan
seseorang yang hanya memiliki pengetahuan
saja, tapi tidak punya kemahiran pada
apa yang dia ilmu, maka dia tidak
disebut khabīr. Atas dasar ini, kata Al-Khabīr memiliki makna yang lebih dari
sekadar ilmu.”(Tafsir surah Al-Hujurāt).
(5) Asy-Syaikh As-Sa’di mengatakan: “Al-Khabīr Al-’Alim,
adalah yang ilmunya meliputi segala yang lahir maupun yang batin, yang tersembunyi
dan yang tampak, yang mesti terjadi,
yang tidak mungkin terjadi, serta yang mungkin terjadi, di alam yang atas
maupun yang bawah, yang terdahulu, yang sekarang, dan yang akan datang. Maka,
tidak tersembunyi padanya sesuatu pun.”
Al-mukhtabaru artinya laboratorium,
suatu tempat yang di dalamnya dilakukan penyelidikan
secara terinci dan mendalam
berbagai obyek yang ingin diketahui
berbagai hal (hakikat) mengenai berbagai obyek yang diselidiki di laboratorium tersebut. Jadi, arti al-mukhtabaru (laboratorium) tersebut memcakup semua definisi tentang kata khubrah
atau sifat Al-Khabīr yang dikemukakan
para ‘ulama tersebut.
Jadi, menurut jawaban “hamba Allah” tersebut, Nabi
Musa a.s. tidak mendapat taufik untuk mencapai puncak-puncak ketinggian makrifat yang telah dicapai oleh ilmu keruhanian Nabi Besar Muhammad
saw.. atau “hamba Allah” tersebut, sehingga
“hamba Allah” tersebut telah memberitahu Nabi Musa a.s. mengenai ketidak-sabaran beliau dalam
mempelajari “ilmu pengetahuan” yang
khusus diajarkan Allah Swt. kepada “hamba Allah” tersebut.
Perbedaan Ketidaksabaran Pengikut Nabi Musa a.s. dengan
Kesabaran Para Sahabah Nabi Besar Muhammad Saw.
Kenyataan
membuktikan bahwa kesabaran dan ketabahan yang telah diperlihatkan oleh
para pengikut Nabi Musa a.s. di bawah
cobaan-cobaan
dan kesulitan-kesulitan di jalan
Allah tidak mencapai taraf dan bentuk setinggi mutu yang dicapai oleh pengikut-pengikut Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.5:22-25 dan Bukhari, Kitab al-Maghazi).
Ayat ini membandingkan pula watak Nabi Musa a.s. dan
Nabi Besar Muhammad saw.. Nabi Musa a.s.
. dengan tidak sabar
menanyakan kepada "hamba Allah" mengenai hal-hal yang beliau tidak mengerti, sedangkan tetapi Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mikraj yang beliau saw.
alami menunggu dengan sabar hingga malaikat
Jibril a.s. menjelaskan kepada
beliau arti berbagai hal aneh yang beliau
saw. lihat dalam mi'raj beliau
saw..
Perbedaan dalam watak
di antara kedua nabi besar itu telah
tercermin pula dalam tingkah laku
para pengikut masing-masing. Jika Bani Israil terus-menerus mengganggu Nabi Musa a.s. dengan segala macam pertanyaan yang tidak penting dan bodoh itu, maka sikap
sahabat-sahabat Nabi Besar Muhammad
saw. ditandai oleh jiwa waqar
(kesatria) dan mengekang diri. Mereka
dengan saksama menghindarkan diri
dari mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai masalah-masalah agama. Baik Nabi Besar Muhammad saw. maupun sahabat-sahabat beliau saw., kedua-duanya dengan sangat setia mengamalkan nasihat yang tersebut
dalam QS.20:115, firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ
اَنۡزَلۡنٰہُ قُرۡاٰنًا عَرَبِیًّا وَّ
صَرَّفۡنَا فِیۡہِ مِنَ الۡوَعِیۡدِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ اَوۡ یُحۡدِثُ
لَہُمۡ ذِکۡرًا﴿﴾ فَتَعٰلَی اللّٰہُ
الۡمَلِکُ الۡحَقُّ ۚ وَ لَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ
یُّقۡضٰۤی اِلَیۡکَ وَحۡیُہٗ ۫ وَ
قُلۡ رَّبِّ زِدۡنِیۡ
عِلۡمًا ﴿﴾
Dan
demikianlah Kami telah menurunkannya Al-Quran dalam
bahasa Arab dan Kami telah
menerangkan berulang-ulang di dalamnya ber-bagai macam ancaman supaya mereka bertakwa atau supaya perkataan
ini mengingatkan mereka. Maka Mahatinggi
Allah, Raja Yang Haq. Dan janganlah
engkau tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum pewahyuannya dilengkapkan kepada
engkau, dan katakanlah: "Ya
Tuhan‑ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan? (Thā Hā [20]:114-115).
Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: "Carilah ilmu pengetahuan sekalipun mungkin ditemukannya
jauh di rantau Cina" (Shagir, jilid I). Di tempat lain
dalam Al-Quran telah dilukiskan sebagai "karunia Allah yang sangat besar" (QS.2:270 & QS. 4:114). Ilmu itu ada dua macam: (a) ilmu yang
dianugerahkan kepada manusia dengan perantaraan wahyu dan yang telah mencapai kesempurnaan dalam wujud Al-Quran. (b) ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan usaha dan jerih-payahnya
sendiri.
Pelajaran Pertama “Hamba
Allah” adalah “Melubangi Perahu”
Yakni “Pengorbanan Harta di Jalan Allah”
Terhadap “dugaan“ yang dikemukakan
oleh “hamba Allah” tersebut selanjutnya
Allah Swt. menjelaskan jawaban Nabi Musa a.s. yang merasa “yakin diri”,
firman-Nya:
قَالَ
سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ
صَابِرًا وَّ لَاۤ اَعۡصِیۡ لَکَ اَمۡرًا ﴿﴾ قَالَ فَاِنِ اتَّبَعۡتَنِیۡ فَلَا تَسۡـَٔلۡنِیۡ عَنۡ شَیۡءٍ حَتّٰۤی
اُحۡدِثَ لَکَ
مِنۡہُ ذِکۡرًا﴿٪﴾
Dia
berkata: "Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar jika Allah menghendaki
dan aku tidak akan menolak apa pun
perintah engkau." Ia
berkata: “Maka jika engkau mengikutiku,
janganlah engkau menanyakan kepadaku mengenai sesuatu hingga aku menceriterakannya kepada engkau
mengenainya." (Al-Kahf [18]:70-71).
Kenyataan membuktikan benarnya dugaan atau pernyataan “hamba Allah” mengenai ketidak-sabaran Nabi Musa a.s.
terhadap pelajaran pertama yang
diajarkan “hamba Allah” tersebut, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا رَکِبَا
فِی السَّفِیۡنَۃِ خَرَقَہَا ؕ قَالَ اَخَرَقۡتَہَا
لِتُغۡرِقَ اَہۡلَہَا ۚ لَقَدۡ
جِئۡتَ شَیۡئًا اِمۡرًا ﴿﴾ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾
Maka
keduanya berangkat hingga ketika mereka
berdua naik perahu ia melubanginya Musa
berkata: "Apakah engkau
melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh engkau
benar-benar telah melakukan sesuatu perkara jahat." Ia, hamba Allah, berkata: "Tidakkah telah aku katakan
sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku? (Al-Kahf [18]:72-73).
Beberapa ayat yang mendahuluinya berlaku hanya
sebagai pengantar untuk masalah isra' Nabi Musa a.s., tetapi dengan ayat
ini mulailah uraian mengenai kejadian sebenarnya yang nampak kepada Nabi Musa
a.s. dalam kasyaf beliau. Kata-kata
"ia melubanginya" bila ditakwilkan akan berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. akan menetapkan peraturan-peraturan (syariat) yang seolah-olah membuat lubang pada perahu, yang dalam bahasa mimpi menggambarkan kekayaan dunia, hal itu berarti bahwa beliau saw. akan menjaga agar kekayaan
hendaknya jangan bertumpuk pada tangan beberapa orang tetapi supaya terbagi secara adil dan merata.
"Hamba Allah" yang saleh dalam kasyaf Nabi Musa a.s., yaitu Nabi Besar Muhammad saw., di
sini digambarkan mengatakan kepada Nabi Musa a.s. . bahwa oleh
karena terdapat perbedaan besar dalam
kedua ajaran itu, maka Nabi Musa a.s.
tidak dapat menyertai beliau saw.,
maksudnya pengikut Nabi Musa a.s.
tidak akan menerima Nabi Besar Muhammad
saw., temasuk dalam masalah pembelanjaan (pengorbanan) harta kekayaan di jalan Allah, berikut beberapa firman Allah Swt.
mengenai hal tersebut:
لَقَدۡ
سَمِعَ اللّٰہُ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّ اللّٰہَ فَقِیۡرٌ وَّ نَحۡنُ
اَغۡنِیَآءُ ۘ سَنَکۡتُبُ مَا قَالُوۡا وَ قَتۡلَہُمُ الۡاَنۡۢبِیَآءَ بِغَیۡرِ
حَقٍّ ۙ وَّ نَقُوۡلُ ذُوۡقُوۡا عَذَابَ الۡحَرِیۡقِ ﴿﴾ ذٰلِکَ بِمَا قَدَّمَتۡ اَیۡدِیۡکُمۡ وَ اَنَّ اللّٰہَ
لَیۡسَ بِظَلَّامٍ لِّلۡعَبِیۡدِ ﴿﴾ۚ
Sungguh Allah
benar-benar telah mendengar ucapan orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya
Allah miskin sedangkan
kami kaya.” Kami segera akan mencatat apa yang mereka katakan,
dan mereka berusaha membunuh nabi-nabi tanpa haq
dan Kami berfirman: “Rasakanlah oleh kamu
azab yang membakar!” Yang demikian itu disebabkan oleh apa yang telah didahulukan oleh tangan kamu sendiri”, dan sesungguhnya Allah
sekali-kali tidak zalim terhadap hamba-hamba-Nya. (Āli ‘Imran [3]:182-183). Lihat
pula QS.5:65.
Ketika
orang-orang Yahudi diseru untuk membelanjakan
kekayaan mereka di jalan Allah
(QS.3:181), mereka mengejek kaum Muslimin dengan mengatakan: “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya”.
Kalimat itu melukiskan pula perasaan batin orang-orang
kikir yang menggabungkan diri kepada suatu gerakan baru, tetapi merasa sangat
berat untuk memenuhi keperluan-keperluan
keuangan yang semakin membesar itu. Firman-Nya lagi:
وَ اِذَا
قِیۡلَ لَہُمۡ اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقَکُمُ اللّٰہُ ۙ قَالَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا
اَنُطۡعِمُ مَنۡ لَّوۡ یَشَآءُ اللّٰہُ
اَطۡعَمَہٗۤ ٭ۖ اِنۡ اَنۡتُمۡ
اِلَّا فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾
Dan apabila
dikatakan kepada mereka: “Belanjakanlah
dari apa yang telah Allah rezekikan
kepada kamu,” orang-orang kafir itu
berkata kepada orang-orang yang beriman:
”Apakah kami harus memberi makan
kepada orang yang jika Allah menghendaki Dia Sendiri akan memberinya makan?
Tidaklah kamu melainkan dalam kesesatan
yang nyata.” (Yā Sīn [36]:48).
Salah Satu Tanda Orang yang
Bertakwa
Dalam ajaran Islam (Al-Quran) pembelanjaan
rezaki apa pun di jalan Allah Swt, merupakan salah satu tanda orang-orang yang bertakwa,
firman-Nya:
ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾
Inilah
Kitab yang sempurna itu, tidak ada keraguan di da-amnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan
shalat dan mereka membelanjakan sebagian dari
apa yang Kami rezekikan kepada mereka. (Al-Baqarah [2]:3-4).
Rizq berarti sesuatu yang dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia, baik anugerah itu,
bersifat kebendaan atau selain itu (Al-Mufradat). Ayat ini menentukan tiga petunjuk dan
menjelaskan tiga tingkat kesejahteraan
ruhani manusia:
(1) Ia harus beriman kepada kebenaran yang
tersembunyi dari pandangan mata dan di
luar jangkauan pancaindera, sebab kepercayaan demikian menunjukkan bahwa ia mempunyai ketakwaan yang sejati.
(2) Bila ia merenungkan keajaiban alam
semesta dan tertib serta rancangan menakjubkan yang terdapat di
dalamnya, dan bila sebagai hasil dari renungan itu ia menjadi yakin akan adanya Dzat Yang menciptakan
maka suatu hasrat yang tidak dapat ditahan untuk mempunyai perhubungan nyata dan benar dengan Dzat itu menguasai dirinya. Hasrat
tersebut terpenuhi dengan mendirikan shalat.
(3) Akhirnya, ketika orang beriman itu berhasil menegakkan hubungan
yang hidup dengan Khāliq-nya (Pencipta-nya), ia merasakan adanya dorongan batin untuk berbakti kepada sesama manusia, yakni “dan mereka membelanjakan
sebagian dari apa yang Kami rezekikan
kepada mereka.”
Pendek kata, mengikuti “pelajaran
pertama” yang dilakukan oleh “hamba Allah” tersebut Nabi Musa a.s. tidak dapat
menahan diri untuk bersabar menghadapinya
dan melakukan protes, firman-Nya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا رَکِبَا
فِی السَّفِیۡنَۃِ خَرَقَہَا ؕ قَالَ اَخَرَقۡتَہَا
لِتُغۡرِقَ اَہۡلَہَا ۚ لَقَدۡ
جِئۡتَ شَیۡئًا اِمۡرًا ﴿﴾ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ اِنَّکَ لَنۡ تَسۡتَطِیۡعَ مَعِیَ صَبۡرًا ﴿﴾
Maka
keduanya berangkat hingga ketika mereka
berdua naik perahu ia melubanginya Musa berkata: "Apakah engkau melubanginya untuk menenggelamkan
penumpangnya? Sungguh engkau benar-benar telah melakukan sesuatu perkara jahat." Ia, hamba Allah, berkata: "Tidakkah telah aku katakan
sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku? (Al-Kahf [18]:72-73).
Pelajaran
Kedua “Membunuh Pemuda” &
Pentingnya
Mengatasi “Nafs Ammarah”
Menyadari pelanggarannya Nabi Musa a.s. meminta “hamba Allah” untuk
memaafkan kesalahan beliau, firman-Nya:
قَالَ لَا
تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا
نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ اَمۡرِیۡ عُسۡرًا ﴿﴾ فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah
engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku
dengan kesulitan dalam urusanku."
Maka keduanya berangkat hingga
ketika keduanya bertemu dengan seorang
pemuda lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak
berdosa bukan karena ia telah membunuh orang lain? Sungguh engkau
benar-benar telah melakukan sesuatu yang
keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
Kata intalaqa (keduanya berangkat) yang pada ayat-ayat ini telah beberapa kali
dipergunakan, adalah kata yang persis dipakai oleh malaikat Jibril a.s. untuk Nabi
Besar Muhammad saw. dalam mi'raj
beliau saw., “Mari kita berangkat”.
Seorang pemuda dalam bahasa mimpi antara lain mengandung arti: kejahilan, kekuatan dan dorongan nafsu jalang. Dibunuhnya pemuda itu oleh "hamba Allah" yang shalih
dalam kasyaf Nabi Musa a.s. berarti bahwa agama
Islam akan menuntut kepada para pengikutnya untuk mendatangkan semacam maut (kematian) atas keinginan dan hawa-nafsu yang rendah, yakni mengatasi
dan mengendalikan gejolak nafs
Ammarah yang keadaannya bagaikan “kuda liar” atau “sapi liar” yang dapat melemparkan dan menginjak-injak
orang yang berada di atas punggungnya.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah ucapan
Nabi Yusuf a.s. ketika beliau berhasil melepaskan diri dari “ajakan berselingkuh” istri majikan
beliau di Mesir yang sangat cantik (QS.12:22-30), dan
Nabi Yusuf a.s. memilih kehidupan sempit dalam penjara (QS.12:31-34) daripada kehidupan mewah di rumah
(istana) majikannya namun sangat membahayakan keimanan dan kesucian diri
beliau, firman-Nya:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ
ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ
بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Yusuf
[12]:54).
Anak
kalimat illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran
yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang, huruf mā di sini
menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang, mā di sini
berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.
Ketiga arti tersebut menunjuk
kepada ketiga taraf perkembangan ruhani
manusia, yakni:
(1) Arti pertama menunjuk kepada
taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan
ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28).
(2) Arti kedua dikenakan kepada
orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri
sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang
ia dikalahkan olehnya.
(3) Arti ketiga dikenakan kepada
orang, ketika nafsu kebinatangannya
bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah
(jiwa yang cenderung kepada keburukan – QS.12:54).
Memilih Hidup Dalam Penjara
Nabi Yusuf a.s. berhasil membebaskan diri dari ancaman berbahaya keadaan naf
Ammarah karena beliau telah memilih penjara daripada tetap tinggal
di rumah majikannya dimana istri majikannya akan terus menerus menggodanya sampai ia dapat melaksanakan
keinginan buruknya, yang
melambangkan godaan-godaan kesenangan
duniawi yang sangat disukai oleh nafs Ammarah, firman-Nya:
قَالَ رَبِّ
السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ
کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ
مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾ فَاسۡتَجَابَ
لَہٗ رَبُّہٗ فَصَرَفَ عَنۡہُ کَیۡدَہُنَّ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ﴿﴾
Ia, Yusuf, berkata: “Ya Tuhan-ku, penjara itu lebih kusukai bagiku daripada apa yang mereka mengajak-ku
kepadanya, dan jika Engkau tidak
mengelakkan dari diriku tipu-daya mereka tentu aku akan cenderung kepada mereka
itu dan aku akan terma-suk
orang-orang yang jahil.” Maka Tuhan
mengabulkan doanya lalu mengelakkan dari tipu-daya mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Yusuf
[12]:34-35).
Pendek kata, Nabi Musa a.s. kembali gagal
memenuhi janjinya untuk tidak berkomentar mengenai tindakan selanjutnya yang
dilakukan oleh “hamba Allah” yang telah “membunuh seorang pemuda,”
firman-Nya:
قَالَ لَا
تُؤَاخِذۡنِیۡ بِمَا
نَسِیۡتُ وَ لَا تُرۡہِقۡنِیۡ مِنۡ اَمۡرِیۡ عُسۡرًا ﴿﴾ فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَا لَقِیَا غُلٰمًا فَقَتَلَہٗ ۙ قَالَ اَقَتَلۡتَ نَفۡسًا زَکِیَّۃًۢ بِغَیۡرِ نَفۡسٍ ؕ لَقَدۡ جِئۡتَ شَیۡئًا نُّکۡرًا ﴿﴾
Musa berkata: "Janganlah
engkau menuntutku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku
dengan kesulitan dalam urusanku."
Maka keduanya berangkat hingga
ketika keduanya bertemu dengan seorang
pemuda lalu ia membunuhnya. Musa berkata: "Apakah engkau membunuh seseorang yang tidak
berdosa bukan karena ia telah membunuh orang lain? Sungguh engkau
benar-benar telah melakukan sesuatu yang
keji!" (Al-Kahf [18]:74-75).
Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 3 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar