بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 151
Isra (Perjalanan Ruhani)
Nabi Musa a.s.
Mencari “Hamba Allah”
Nabi Musa a.s.
Mencari “Hamba Allah”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai “ayat Kursiy”, yang pada hakikatnya tentang
masalah Tauhid Ilahi dan kenabian, firman-Nya:
اَللّٰہُ
لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ
لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ
یَشۡفَعُ عِنۡدَہٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ
اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ ۚ وَ لَا
یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ
الۡعَلِیُّ الۡعَظِیۡمُ﴿﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Maha Hidup, Yang Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan
Penegak segala sesuatu. Kantuk tidak menyentuh-Nya dan tidak pula tidur. Milik-Nya apa pun yang ada di seluruh
langit dan apa pun yang ada di bumi. Siapakah
yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya? Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan
mereka dan apa pun di belakang mereka, dan mereka tidak meliputi sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia
kehendaki. Singgasana ilmu-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan
tidak memberatkan-Nya menjaga keduanya,
dan Dia Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah
[2]:256).
Pada hakikatnya ayat Kursiy -- dalam
hubungannya dengan orang yang
mendapat izin Allah Swt. memberikan syafaat
-- merupakan ayat mengenai misi kenabian, karena tugas utama setiap Rasul
Allah adalah menyeru kaumnya
supaya hanya menyembah Allah Swt.
dan menjauhi thaghut (QS.16:37),
sebagaimana juga dikemukakan dalam ayat selanjutnya (QS.2:257).
Ayat Kursiy dimulai tentang masalah Tauhid
yaitu sifat-sifat tanzihiyah Allah Swt., yakni sifat-sifat yang
khusus dimiliki Allah Swt., yaitu Al-Hayyu, Al-Qayyum,
tidak pernah ngantuk mau tidur, yang tanpa sifat-sifat tersebut
maka tatanam alam semesta ini akan hancur atau berantakan tidak keruan.
Tidak Perlu Paksaan dan Kekerasan
Kursiy
berarti: singgasana, kursi, tembok penunjang; ilmu; kedaulatan kekuasaan (Aqrab); Karāsi itu
jamak dari kursiy dan berarti orang-orang
terpelajar. Ayat itu dengan indah
menggambarkan Keesaan Tuhan
serta Sifat-sifat-Nya yang agung.
Konon Nabi Besar Muhammad saw. pernah
bersabda bahwa Ayat Al-Kursiy itu ayat Al-Quran yang paling mulia (Muslim). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
لَاۤ
اِکۡرَاہَ فِی الدِّیۡنِ ۟ۙ قَدۡ تَّبَیَّنَ الرُّشۡدُ مِنَ الۡغَیِّ ۚ فَمَنۡ
یَّکۡفُرۡ بِالطَّاغُوۡتِ وَ یُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰہِ فَقَدِ اسۡتَمۡسَکَ
بِالۡعُرۡوَۃِ الۡوُثۡقٰی ٭ لَا انۡفِصَامَ
لَہَا ؕ وَ اللّٰہُ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh
jalan benar itu nyata bedanya
dari kesesatan, karena itu barangsiapa kafir kepada thāghūt dan
beriman kepada Allah, maka
sungguh ia telah
berpegang kepada suatu pegangan yang sangat kuat lagi tidak akan putus, dan
Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:257).
Perintah dalam ayat 255 sebelumnya -- untuk melakukan pengorbanan khusus guna kepentingan agama dan memerangi musuh Islam -- boleh jadi
dapat menimbulkan salah pengertian,
seakan-akan Allah Swt. menghendaki kaum
Muslimin menggunakan kekerasan guna menablighkan agama mereka.
Ayat 257 melenyapkan salah paham itu dan bukan saja melarang kaum Muslimin, dengan kata-kata yang sangat tegas
mempergunakan kekerasan dalam rangka
menarik orang-orang bukan-Muslim masuk
Islam, tetapi memberikan pula alasan-alasan mengapa kekerasan tidak boleh dipakai untuk
tujuan tersebut. Alasan itu ialah karena kebenaran
(haq) itu nyata berbeda dari kesesatan
maka tidak ada alasan untuk membenarkan penggunaan kekerasan. Islam adalah kebenaran yang nyata.
Dalam Bab 148 telah dikemukakan 2
firman Allah Swt. mengenai beratnya
pemikulan amanat syariat Islam, yang
apabila diserahkan kepada Nabi Musa a.s. maka beliau tidak akan mampu memikulnya, yang mengenai ketidak-mampuan Nabi Musa a.s. tersebut dalam firman Allah
selanjutnya digambarkan bahwa Nabi Musa a.s. pingsan ketika Allah Swt. bertajalli
(menampakkan keagungan-Nya) ke atas sebuah gunung, firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ
اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ
وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya
enggan memikulnya dan mereka takut
terhadapnya, akan sedangkan insan
(manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghu-kum orang-orang munafik lelaki
dan orang-orang munafik perempuan,
dan orang-orang
musyrik lelaki dan orang-orang
musyrik perempuan, dan
Allah senantiasa kembali dengan kasih
sayang kepada orang-orang lelaki
dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun,
Maha Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:73-74).
Kesempurnaan “Daya Pikul” Nabi Besar Muhammad Saw.
Yakni “Nabi yang Seperti Musa” atau
“Hamba Allah”
Hamala al-amānata
berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati
amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang
adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda
itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri
dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul
adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalah “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam suatu peristiwa ruhani ketika
Allah Swt. melakukan tajjaliyat-Nya (menampakkan
keagungan-Nya) kepada gunung dalam rangka menjawab keinginan Nabi Musa a.s.
ingin “melihat” Allah Swt., yakni ingin mengetahui keagungan Nabi Besar Muhammad saw. yang kedatangannya dijanjikan dari kalangan Bani Isma’il –
yakni “nabi yang seperti Musa” -- yang
kepadanya Allah Swt. mengamanatkan “seluruh
kebenaran” (Ulangan 18:15-19),
firman-Nya:
وَ لَمَّا
جَآءَ مُوۡسٰی
لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ
وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ اِلَی
الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا
تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ
جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی
صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ
سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan
dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengannya,
ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah
kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku tetapi pandanglah
gunung itu, lalu jika ia tetap ada
pada tempatnya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.” Maka tatkala
Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada
gunung itu Dia menjadikannya
hancur lebur,dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat
kepada Engkau dan aku adalah
orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”
(Al-A’rāf
[7]:144).
Sehubungan dengan tidak perlu adanya paksaan dan kekerasan mengenai agama
Islam, berikut ini adalah sikap “sabar”
seorang “hamba Allah” atas sikap Nabi
Musa a.s. yang berulang kali tidak
memenuhi janjinya ketika belajar “ilmu” yang diajarkan khusus Allah Swt. kepada “hamba Allah” tersebut, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ
مُوۡسٰی لِفَتٰىہُ لَاۤ اَبۡرَحُ حَتّٰۤی اَبۡلُغَ مَجۡمَعَ الۡبَحۡرَیۡنِ اَوۡ اَمۡضِیَ حُقُبًا ﴿﴾
Dan
ingatlah ketika Musa berkata kepada teman mudanya: "Aku tidak akan
berhenti menempuh perjalanan ini
sebelum aku sampai ke tempat pertemuan
dua lautan atau aku akan berjalan bertahun-tahun lamanya.
(Al-Kahf [18]:61).
Mulai dengan ayat ini masalah isra' Nabi Musa a.s. dibahas.
Seperti telah dikemukakan mengenai
ayat-ayat sebelumnya, para pengikut Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. mencapai kekuasaan
dan kesejahteraan duniawi yang
besar, dan dalam perjalanan mereka yang senantiasa berubah-ubah itu telah dua kali
meninggalkan jejak yang tidak dapat dihapuskan dari sejarah dunia.
Masa kesejahteraan yang dua kali dialami bangsa-bangsa
Kristen diumpamakan dalam QS.18:33 sebagai "dua kebun." Masa
yang pertama mulai dengan masuknya Kaisar Roma Konstantin ke dalam agama
Kristen tatkala agama Kristen menjadi agama
negara, dan keadaan demikian tetap bertahan hingga lahirnya Nabi Besar Muhammad saw. atau “Nabi yang
seperti Musa” atau “Roh Kebenaran”.
Masa yang kedua dan yang lebih penting di
antara kedua masa ini telah dijelmakan di Akhir
Zaman ini. ketika bangsa-bangsa
Kristen dari barat telah memperoleh kekuasaan
dan kehormatan duniawi sangat besar,
sehingga bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus melayani mereka seperti khadim-khadim dan budak-budak sahaya.
Di tengah-tengah dua
kebun itu mengalir suatu "sungai" (QS.18:34), "sungai"
itu menandakan lahirnya dan naiknya agama
Islam ke jenjang kekuasaan, yang meninggalkan bekas (pengaruh) amat mendalam pada sejarah manusia, di tengah masa
peralihan antara kedua kurun zaman tersebut.
Isra (Perjalanan
Ruhani) Nabi Musa a.s.
Untuk
memberikan latar belakang sejarah bagi uraian ini, dan untuk membuatnya nampak
seperti suatu keseluruhan yang bersambungan, penjelasan agak terinci tentang isra
Nabi Musa a.s. telah diberikan dalam ayat ini dan beberapa ayat yang,
berikutnya. Nabi Musa a.s. telah menubuatkan kedatangan seorang nabi yang
serupa dengan beliau (Ulangan
18:18). Nubuatan ini telah disinggung pula dalam Al-Quran pada QS.73:16.
Dengan
meletakkan uraian mengenai perjalanan
ruhani Nabi Musa a.s. di tengah-tengah uraian mengenai penghuni-penghuni gua (Al-Kahf) dan Ya’juj (Gog) serta Ma’juj
(Magog) — yang melukiskan dua zaman yaitu zaman permulaan agama Kristen dan
kemajuannya di zaman kemudian — Al-Quran telah menunjuk kepada kenyataan, bahwa
nabi yang dijanjikan dalam nubuatan Nabi Musa a.s., yang harus pula
berlaku sebagai matsil (serupa dengan) beliau (Nabi yang seperti Musa),
akan muncul di tengah-tengah dua kurun
zaman itu. Dengan demikian kejadian-kejadian tersebut telah diuraian
menurut urutannya dalam sejarah. Kembali kepada firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ
مُوۡسٰی لِفَتٰىہُ لَاۤ اَبۡرَحُ حَتّٰۤی اَبۡلُغَ مَجۡمَعَ الۡبَحۡرَیۡنِ اَوۡ اَمۡضِیَ حُقُبًا ﴿﴾
Dan
ingatlah ketika Musa berkata kepada teman mudanya: "Aku tidak akan
berhenti menempuh perjalanan ini
sebelum aku sampai ke tempat pertemuan
dua lautan atau aku akan berjalan bertahun-tahun lamanya.
(Al-Kahf [18]:61).
Huqub itu kata jamak dari huqbah
yang berarti: masa panjang, masa tidak tentu, zaman, tujuh puluh tahun atau
lebih (Lexicon Lane dan Al-Mufradat). Isra' Nabi Musa
a.s. seperti pula isra'
Nabi Besar Muhammas saw. (QS.17:2) bukan merupakan perjalanan jasmani melainkan
suatu pengalaman ruhani, yang melalui
pengalaman itu Nabi Musa a.s. dipindahkan dari tubuhnya yang terdiri dari daging dan darah kepada
suatu tubuh ruhani. Bible dan Al-Quran kedua-duanya
mendukung pendapat ini. Beberapa keterangan yang diajukan dalam mendukung
pendapat itu adalah sebagai berikut:
(1) Bible yang dianggap oleh orang-orang Kristen suatu
naskah yang kurang-lebih dapat dipercaya mengenai kehiclupan Musa a.s., sama
sekali tidak menyebut kejadian yang sangat luar biasa dan ajaib itu, bahkan
secara sambil lalu tidak menyinggungnya.
(2) Sebelum dan sesudah Nabi Musa a.s. ditugaskan sebagai nabi Allah beliau diketahui
hanya satu kali menempuh perjalanan vaitu ke Madyan (Midian). Bible dan
Al-Quran kedua-duanya menyebut perjalanan itu. Keduanya bersepakat juga bahwa
Nabi Musa a.s. menempuh perjalanan ke Madyan itu seorang diri, sedang dalam
perjalanan yang disinggung dalam ayat
ini dan ayat-ayat berikutnya telah
dikemukakan bahwa beliau ditemani oleh "muridnya” (teman mudanya).
(3) Tidak ada tempat di dunia yang dikenal dengan nama
Majma’al-Bahrain. Ungkapan ini hanya dapat berarti "tempat
bertemunya dua lautan". Tempat seperti itu yang paling dekat kepada tempat tinggal Nabi
Musa a.s. — sesudah beliau meninggalkan Mesir — ialah Bab al-Mandab yang mempersatukan Laut Merah dengan Lautan Hindia:
dan Selat Dardanella yang
menggabungkan Laut Tengah dengan Laut Marmora, dan Al-Bahrain tempat bertemunya perairan Teluk Persia dengan Lautan
Hindia. Dan semua tempat ini hanya Selat
Dardanella yang mungkin merupakan teluk tempat pertemuan seperti itu dapat
terjadi, sebab pada jalan dari Mesir ke
selat itu terletak Kanaan yang
menjadi tempat tujuan Nabi Musa a.s.,
tetapi yang tidak dapat dicapai oleh beliau di masa hidupnya.
Bukan Perjalanan Jasmani &
“Teman Muda” Nabi Musa a.s.
Tiga tempat tersebut semuanya berjarak kurang lebih
seribu mil dari tempat tinggal Nabi Musa a.s., dan mengingat tidak adanya
sarana lalu lintas dan pengangkutan yang baik pada masa itu beliau niscaya memerlukan beberapa bulan
untuk menempuh jarak yang begitu panjang. Dan Nabi Musa a.s. tidak dapat
meninggalkan kaum beliau (Bani
Israil) untuk waktu begitu lama tanpa membahayakan kesejahteraan ruhani mereka, lebih-lebih sesudah beliau mengalami
pengalaman pahit mengenai mereka -- kembali menyembah patung anak sapi -- ketika beliau meninggalkan mereka selama
empat puluh hari waktu beliau pergi ke
Gunung Thur memenuhi janji
Allah Swt. (QS.20:84-99).
Ungkapan majma'al-bahrain agaknya menunjuk
kepada tempat bertemunya dua agama yaitu
agama Nabi Musa a.s. dan agama Islam. Kecuali bukti-bukti
dari luar ini, ada pula banyak bukti dari dalam seperti nampak dari ayat-ayat
61-83, yang menunjukkan bahwa perjalanan itu bukan suatu kejadian jasmani.
melainkan pengalaman ruhani Nabi Musa a.s.:
(a) "Hamba Allāh itu" melubangi perahu (ayat
72) supaya perahu itu jangan dirampas oleh raja. Apakah perahu itu masih dapat
melaut sesudah dirusakkannya ataukah tidak? Jika perahu itu dapat melaut,
mengapa tidak dirampas oleh raja? Jika tidak dapat melaut, mengapa tidak
tenggelam? Di alam jasmani ini tidak pernah diketahui ada sebuah perahu yang
tetap terapung setelah dibuat lubang yang besar pada lunasnya (dasarnya).
Tetapi dalam kasyaf hal semacam itu
mungkin terjadi.
(b) Di alam jasmani ini tidak ada manusia yang
berakal, lebih-lebih seorang nabi. yang akan merenggut nyawa seseorang tanpa
alasan yang sah, seperti yang katanya disebut telah dilakukan oleh "hamba
Allah" itu (ayat 75).
(c) Bagaimana mungkin nabi Allāh yang besar dan
seorang yang amat mulia lagi berpandangan jauh seperti.Nabi Musa a.a. dapat menvalahkan "hamba
Allah" oleh karena "hamba Allah" itu tidak sudi menuntut upah
dari dua anak laki-laki miskin yang yatim sebagai uang lelah untuk memperbaiki
dinding rumah mereka yang telah ambruk itu, disebabkan hanya karena orang-orang
di kota itu telah menolak untuk menjamu Nabi Musa a.s. dan "hamba
Allah" itu? Perlakuan apakah yang dibuat oleh anak-anak yatim itu sehingga menjadikan Nabi Musa a.s. tidak senang terhadap mereka? Para
penghuni kota itu sendirilah dan bukan anak-anak itu, yang telah menolak untuk
menjamu mereka sebagai tamu.
(d) Tidaklah masuk akal bahwa seorang nabi besar seperti Nabi Musa a.s. akan
menempuh suatu perjalanan yang
meletihkan itu untuk mencari "hamba Allah" hanya untuk belajar dari beliau bagaimana
caranya membuat lubang dalam perahu, dan membunuh seorang pemuda, ataupun memperbaiki suatu dinding tanpa minta upah. Selain dari itu, Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah
bersabda:
"Alangkah baiknya bila
Musa a.s. berdiam diri, supaya Allāh membukakan kepada kita lebih banyak
rahasia gaib" (Bukhari,
Kitab al-Tafsir).
Tetapi dalam perbuatan
luar biasa yang konon telah dilakukan oleh "hamba Allah" itu sedikit pun tidak nampak rahasia-rahasia
gaib. Menurut Mawardi, "hamba Allah" itu — yang untuk menemuinya Nabi
Musa a.s. telah menempuh perjalanan — bukanlah seorang manusia, melainkan
seorang malaikat Allah (Tafsir Ibnu Katsir).
Semua kenyataan ini, bila diperhatikan keseluruhannya
akan menampakkan bukti-bukti yang sangat kuat, bahwa perjalanan Nabi Musa a.s. tidak lain hanyalah suatu kasyaf
(Pengalaman ruhani) yang perlu ditakwilkan
dan ditafsirkan untuk mengerti
hakikat dan maknanya yang sebenarnya. Kata-kata
"teman mudanya" (ayat 61) dapat menunjuk kepada Yusak
bin Nun, tetapi lebih tepat lagi bila dikenakan kepada Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. karena Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. itu teman
muda Nabi Musa a.s. yang datangnya
bukan hendak merombak hukum Taurat
atau kitab nabi-nabi melainkan hendak
menggenapkannya (Matius
5:17).
Ucapan Nabi Musa a.s.,
“Aku tidak akan berhenti menempuh perjalanan ini sebelum aku sampai
ke tempat pertemuan dua lautan” menunjukkan, bahwa teman muda Nabi Musa a.s. menemani beliau menjelang akhir perjalanan beliau. Nabi Musa a.s. tidak nampak membawa "teman muda" itu untuk bersama
beliau dari waktu permulaan perjalanan
beliau. Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. datang 1400 tahun sesudah beliau.
Kata-kata “meskipun
aku harus terus berjalan bertahun-tahun lamanya” menunjukkan bahwa syariat Nabi Mus a.s. masih akan tetap
berlaku beberapa abad lamanya. Jangka waktu mulai dari zaman Nabi Musa a.s.
sampai kepada kebangkitan Nabi
Besar Muhammad saw, ketika zaman Nabi Musa a.s., berakhir,
meliputi 2000 tahun lebih.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 2 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar