Selasa, 18 Juni 2013

Isra (Perjalanan Ruhani) Nabi Musa a.s. Mencari "Hamba Allah"


 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 151


   Isra (Perjalanan Ruhani) 
Nabi Musa a.s.
Mencari “Hamba Allah”  


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   akhir  Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai  ayat Kursiy”, yang pada hakikatnya  tentang  masalah Tauhid Ilahi dan kenabian, firman-Nya:       
اَللّٰہُ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَۚ اَلۡحَیُّ الۡقَیُّوۡمُ ۬ۚ لَا تَاۡخُذُہٗ سِنَۃٌ وَّ لَا نَوۡمٌ ؕ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ مَنۡ ذَا الَّذِیۡ یَشۡفَعُ  عِنۡدَہٗۤ  اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ؕ یَعۡلَمُ مَا بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ مَا خَلۡفَہُمۡ  ۚ وَ لَا یُحِیۡطُوۡنَ بِشَیۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِہٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ کُرۡسِیُّہُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ ۚ وَ لَا یَـُٔوۡدُہٗ حِفۡظُہُمَا ۚ وَ ہُوَ الۡعَلِیُّ  الۡعَظِیۡمُ﴿﴾
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Maha Hidup, Yang  Maha Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan Penegak segala sesuatu. Kantuk tidak menyentuh-Nya dan tidak pula tidur. Milik-Nya apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun  yang ada di bumi.  Siapakah yang dapat memberi syafaat di hadirat-Nya kecuali dengan izin-Nya?  Dia mengetahui apa pun yang ada di hadapan mereka dan apa pun di belakang mereka, dan mereka tidak meliputi sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.  Singgasana ilmu-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan tidak memberatkan-Nya menjaga keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Agung. (Al-Baqarah [2]:256). 
    Pada hakikatnya ayat Kursiy  -- dalam hubungannya dengan orang yang mendapat izin Allah Swt. memberikan syafaat  -- merupakan ayat  mengenai misi kenabian, karena tugas utama setiap Rasul Allah  adalah menyeru kaumnya  supaya hanya menyembah Allah Swt. dan menjauhi thaghut (QS.16:37), sebagaimana juga dikemukakan dalam ayat selanjutnya (QS.2:257).
     Ayat Kursiy dimulai tentang masalah Tauhid  yaitu sifat-sifat  tanzihiyah Allah Swt., yakni sifat-sifat yang khusus dimiliki Allah Swt., yaitu  Al-Hayyu, Al-Qayyum, tidak pernah  ngantuk mau tidur, yang tanpa sifat-sifat tersebut maka  tatanam alam semesta ini akan hancur atau berantakan tidak keruan.

Tidak Perlu   Paksaan dan Kekerasan

   Kursiy berarti: singgasana, kursi, tembok penunjang; ilmu; kedaulatan  kekuasaan (Aqrab); Karāsi itu jamak dari kursiy dan berarti orang-orang terpelajar. Ayat itu dengan indah  menggambarkan Keesaan Tuhan serta Sifat-sifat-Nya yang agung. Konon Nabi Besar Muhammad saw.  pernah bersabda bahwa Ayat Al-Kursiy itu ayat Al-Quran yang paling mulia (Muslim). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
لَاۤ اِکۡرَاہَ فِی الدِّیۡنِ ۟ۙ قَدۡ تَّبَیَّنَ الرُّشۡدُ مِنَ الۡغَیِّ ۚ فَمَنۡ یَّکۡفُرۡ بِالطَّاغُوۡتِ وَ یُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰہِ فَقَدِ اسۡتَمۡسَکَ بِالۡعُرۡوَۃِ الۡوُثۡقٰی ٭ لَا انۡفِصَامَ  لَہَا ؕ وَ اللّٰہُ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Tidak ada paksaan  dalam agama. Sungguh  jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan, karena itu barangsiapa kafir kepada thāghūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh  ia  telah berpegang kepada suatu pegangan yang sangat kuat lagi tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:257). 
     Perintah dalam ayat 255 sebelumnya  -- untuk melakukan pengorbanan khusus guna kepentingan agama dan memerangi musuh Islam -- boleh jadi dapat menimbulkan salah pengertian, seakan-akan Allah Swt.  menghendaki kaum Muslimin menggunakan kekerasan guna menablighkan agama mereka.
     Ayat 257  melenyapkan salah paham itu dan bukan saja melarang kaum Muslimin, dengan kata-kata yang sangat tegas mempergunakan kekerasan dalam rangka menarik orang-orang bukan-Muslim masuk Islam, tetapi memberikan pula alasan-alasan mengapa kekerasan tidak boleh dipakai untuk tujuan tersebut. Alasan itu ialah karena kebenaran (haq) itu nyata berbeda dari kesesatan maka tidak ada alasan untuk membenarkan penggunaan kekerasan. Islam adalah  kebenaran yang nyata.   
    Dalam Bab 148 telah dikemukakan 2 firman Allah Swt. mengenai beratnya pemikulan amanat syariat Islam, yang apabila diserahkan kepada Nabi Musa a.s. maka beliau tidak akan mampu memikulnya, yang mengenai ketidak-mampuan Nabi Musa a.s. tersebut dalam firman Allah selanjutnya digambarkan bahwa Nabi Musa a.s. pingsan ketika Allah Swt. bertajalli (menampakkan keagungan-Nya) ke atas sebuah gunung, firman-Nya:    
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾  لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghu-kum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan   perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).

Kesempurnaan “Daya Pikul” Nabi Besar Muhammad Saw.
Yakni “Nabi yang Seperti Musa atau “Hamba Allah

     Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
       Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam suatu peristiwa  ruhani ketika Allah Swt. melakukan tajjaliyat-Nya  (menampakkan keagungan-Nya) kepada gunung   dalam rangka menjawab keinginan Nabi  Musa a.s. ingin “melihat” Allah Swt.,  yakni ingin mengetahui keagungan Nabi Besar Muhammad saw. yang kedatangannya dijanjikan dari kalangan Bani Isma’il – yakni “nabi yang seperti Musa” -- yang kepadanya Allah Swt. mengamanatkan “seluruh kebenaran  (Ulangan 18:15-19), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengannya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur,dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
     Sehubungan dengan tidak perlu adanya paksaan dan kekerasan mengenai agama Islam, berikut ini adalah sikap “sabar” seorang “hamba Allah” atas  sikap Nabi Musa a.s. yang berulang kali tidak memenuhi janjinya ketika belajar “ilmu” yang diajarkan khusus Allah Swt. kepada “hamba Allah” tersebut, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِفَتٰىہُ لَاۤ  اَبۡرَحُ حَتّٰۤی اَبۡلُغَ  مَجۡمَعَ الۡبَحۡرَیۡنِ اَوۡ اَمۡضِیَ حُقُبًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada teman muda­nya: "Aku tidak akan berhenti me­nempuh perjalanan ini sebelum aku sampai ke tempat pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan bertahun-tahun lamanya.   (Al-Kahf [18]:61).
Mulai dengan ayat ini masalah isra' Nabi Musa a.s.   dibahas. Seperti telah dikemukakan  mengenai ayat-ayat sebelumnya,  para pengikut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. mencapai kekuasaan dan kesejahteraan duniawi yang besar,  dan dalam perjalanan mereka yang senantiasa berubah-ubah itu telah dua kali meninggalkan jejak yang tidak dapat dihapuskan dari sejarah dunia.
Masa kesejahteraan yang dua kali dialami bangsa-bangsa Kristen diumpamakan dalam   QS.18:33 sebagai "dua kebun." Masa yang pertama mulai dengan masuknya Kaisar Roma Konstantin ke dalam agama Kristen tatkala agama Kristen menjadi agama negara, dan keadaan demikian tetap bertahan hingga lahirnya  Nabi Besar Muhammad saw. atau “Nabi yang seperti Musa” atau “Roh Kebenaran”.
  Masa yang kedua dan yang lebih penting di antara kedua masa ini telah dijelmakan di Akhir Zaman ini. ketika bangsa-bangsa Kristen dari barat telah memperoleh kekuasaan dan kehormatan duniawi sangat besar, sehingga bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus melayani mereka seperti khadim-khadim dan budak-budak sahaya.
Di tengah-tengah dua kebun itu mengalir suatu "sungai" (QS.18:34), "sungai" itu menandakan lahirnya dan naiknya agama Islam ke jenjang kekuasaan, yang meninggalkan bekas (pengaruh) amat mendalam pada sejarah manusia, di tengah masa peralihan antara kedua kurun zaman tersebut.

Isra (Perjalanan Ruhani) Nabi Musa a.s.

 Untuk memberikan latar belakang sejarah bagi uraian ini, dan untuk membuatnya nampak seperti suatu keseluruhan yang bersambungan, penjelasan agak terinci tentang isra Nabi Musa a.s. telah diberikan dalam ayat ini dan beberapa ayat yang, berikutnya. Nabi Musa a.s. telah menubuatkan kedatangan seorang nabi yang serupa dengan beliau (Ulangan 18:18). Nubuatan ini telah disinggung pula dalam Al-Quran pada QS.73:16.
 Dengan meletakkan uraian mengenai perjalanan ruhani Nabi Musa a.s. di tengah-tengah uraian mengenai penghuni­-penghuni gua (Al-Kahf) dan Ya’juj (Gog) serta Ma’juj (Magog) — yang melukiskan dua zaman  yaitu  zaman permulaan agama Kristen dan kemajuannya di zaman kemudian — Al-Quran telah menunjuk kepada kenyataan, bahwa nabi yang dijanjikan dalam nubuatan Nabi Musa a.s., yang harus pula berlaku sebagai matsil (serupa dengan) beliau (Nabi yang seperti Musa), akan muncul di tengah-tengah dua kurun zaman itu. Dengan demikian kejadian-kejadian tersebut telah diuraian menurut urutannya dalam sejarah. Kembali kepada firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِفَتٰىہُ لَاۤ  اَبۡرَحُ حَتّٰۤی اَبۡلُغَ  مَجۡمَعَ الۡبَحۡرَیۡنِ اَوۡ اَمۡضِیَ حُقُبًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada teman muda­nya: "Aku tidak akan berhenti me­nempuh perjalanan ini sebelum aku sampai ke tempat pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan bertahun-tahun lamanya.   (Al-Kahf [18]:61).
  Huqub itu kata jamak dari huqbah yang berarti: masa panjang, masa tidak tentu, zaman, tujuh puluh tahun atau lebih (Lexicon Lane dan Al-Mufradat). Isra' Nabi Musa a.s. seperti pula isra' Nabi Besar Muhammas saw. (QS.17:2) bukan merupakan perjalanan jasmani  melainkan suatu pengalaman ruhani, yang melalui pengalaman itu Nabi Musa a.s. dipindahkan dari tubuhnya  yang terdiri dari daging dan darah kepada suatu tubuh  ruhani. Bible dan Al-Quran kedua-duanya mendukung pendapat ini. Beberapa keterangan yang diajukan dalam mendukung pendapat itu adalah sebagai berikut:
(1) Bible yang dianggap oleh orang-orang Kristen suatu naskah yang kurang-lebih dapat dipercaya mengenai kehiclupan Musa a.s., sama sekali tidak menyebut kejadian yang sangat luar biasa dan ajaib itu, bahkan secara sambil lalu tidak menyinggungnya.
(2) Sebelum dan sesudah Nabi Musa a.s.  ditugaskan sebagai nabi Allah  beliau diketahui hanya satu kali menempuh perjalanan vaitu ke Madyan (Midian). Bible dan Al-Quran kedua-duanya menyebut perjalanan itu. Keduanya bersepakat juga bahwa Nabi Musa a.s. menempuh perjalanan ke Madyan itu seorang diri, sedang dalam perjalanan yang disinggung dalam           ayat ini dan ayat-ayat  berikutnya telah dikemukakan bahwa beliau ditemani oleh "muridnya” (teman mudanya).
(3) Tidak ada tempat di dunia yang dikenal dengan nama Majma’al-Bahrain. Ungkapan ini hanya dapat berarti "tempat bertemunya dua lautan". Tempat seperti itu  yang paling dekat kepada tempat tinggal Nabi Musa a.s. — sesudah beliau meninggalkan Mesir — ialah Bab al-Mandab yang mempersatukan Laut Merah dengan Lautan Hindia: dan Selat Dardanella yang menggabungkan Laut Tengah dengan Laut Marmora, dan Al-Bahrain tempat bertemunya perairan Teluk Persia dengan Lautan Hindia. Dan semua tempat ini hanya Selat Dardanella yang mungkin merupakan teluk tempat pertemuan seperti itu dapat terjadi,  sebab pada jalan dari Mesir ke selat itu terletak Kanaan yang menjadi tempat tujuan Nabi Musa a.s.,  tetapi yang tidak dapat dicapai oleh beliau di masa hidupnya.

Bukan Perjalanan Jasmani &
“Teman Muda” Nabi Musa a.s.

Tiga tempat tersebut semuanya berjarak kurang lebih seribu mil dari tempat tinggal Nabi Musa a.s., dan mengingat tidak adanya sarana lalu lintas dan pengangkutan yang baik pada masa itu  beliau niscaya memerlukan beberapa bulan untuk menempuh jarak yang begitu panjang. Dan Nabi Musa a.s. tidak dapat meninggalkan kaum beliau (Bani Israil) untuk waktu begitu lama tanpa membahayakan kesejahteraan ruhani mereka, lebih­-lebih sesudah beliau mengalami pengalaman pahit mengenai mereka -- kembali menyembah patung anak sapi --  ketika beliau meninggalkan mereka selama empat puluh hari  waktu beliau pergi ke Gunung Thur  memenuhi janji   Allah Swt. (QS.20:84-99).
Ungkapan majma'al-bahrain agaknya menunjuk kepada tempat bertemunya dua agama yaitu  agama Nabi Musa a.s.  dan agama Islam. Kecuali bukti-bukti dari luar ini, ada pula banyak bukti dari dalam seperti nampak dari ayat-ayat 61-83, yang menunjukkan bahwa perjalanan itu bukan suatu kejadian jasmani. melainkan pengalaman ruhani Nabi Musa a.s.:
(a) "Hamba Allāh itu" melubangi perahu (ayat 72) supaya perahu itu jangan dirampas oleh raja. Apakah perahu itu masih dapat melaut sesudah dirusakkannya ataukah tidak? Jika perahu itu dapat melaut, mengapa tidak dirampas oleh raja? Jika tidak dapat melaut, mengapa tidak tenggelam? Di alam jasmani ini tidak pernah diketahui ada sebuah perahu yang tetap terapung setelah dibuat lubang yang besar pada lunasnya (dasarnya). Tetapi  dalam kasyaf hal semacam itu mungkin terjadi.
(b) Di alam jasmani ini tidak ada manusia yang berakal, lebih-lebih seorang nabi. yang akan merenggut nyawa seseorang tanpa alasan yang sah, seperti yang katanya disebut telah dilakukan oleh "hamba Allah" itu (ayat 75).
(c) Bagaimana mungkin nabi Allāh yang besar dan seorang yang amat mulia lagi berpandangan jauh seperti.Nabi Musa a.a.  dapat menvalahkan "hamba Allah" oleh karena "hamba Allah" itu tidak sudi menuntut upah dari dua anak laki-laki miskin yang yatim sebagai uang lelah untuk memperbaiki dinding rumah mereka yang telah ambruk itu, disebabkan hanya karena orang-orang di kota itu telah menolak untuk menjamu Nabi Musa a.s. dan "hamba Allah" itu? Perlakuan apakah yang dibuat oleh anak-anak yatim itu  sehingga menjadikan Nabi Musa a.s.  tidak senang terhadap mereka? Para penghuni kota itu sendirilah dan bukan anak-anak itu, yang telah menolak untuk menjamu mereka sebagai tamu.
(d) Tidaklah masuk akal bahwa seorang nabi besar seperti Nabi Musa a.s. akan menempuh suatu perjalanan yang meletihkan itu untuk mencari "hamba Allah"  hanya untuk belajar dari beliau bagaimana caranya membuat lubang dalam perahu, dan membunuh seorang pemuda, ataupun memperbaiki suatu dinding tanpa minta upah.  Selain dari itu,  Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda:
"Alangkah baiknya bila Musa a.s. berdiam diri, supaya Allāh membukakan kepada kita lebih banyak rahasia gaib" (Bukhari, Kitab al-Tafsir).
Tetapi dalam perbuatan luar biasa yang konon telah dilakukan oleh "hamba Allah" itu  sedikit pun tidak nampak rahasia­-rahasia gaib. Menurut Mawardi, "hamba Allah" itu — yang untuk menemuinya Nabi Musa a.s. telah menempuh perjalanan — bukanlah seorang manusia, melainkan seorang malaikat Allah (Tafsir Ibnu Katsir).
Semua kenyataan ini, bila diperhatikan keseluruhannya akan menampakkan bukti­-bukti yang sangat kuat, bahwa perjalanan Nabi Musa a.s.   tidak lain hanyalah suatu kasyaf (Pengalaman ruhani) yang perlu ditakwilkan dan ditafsirkan untuk mengerti hakikat dan maknanya yang sebenarnya. Kata-kata  "teman mudanya" (ayat 61) dapat menunjuk kepada Yusak bin Nun, tetapi lebih tepat lagi bila dikenakan kepada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  karena  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  itu teman muda  Nabi Musa a.s. yang datangnya bukan hendak merombak hukum Taurat atau kitab nabi-nabi  melainkan hendak menggenapkannya (Matius 5:17).
Ucapan Nabi Musa a.s.,  Aku tidak akan berhenti menempuh perjalanan ini sebelum aku sampai ke tempat pertemuan dua lautan” menunjukkan, bahwa teman muda Nabi Musa a.s.  menemani beliau menjelang akhir perjalanan beliau. Nabi Musa a.s.  tidak nampak membawa "teman muda" itu untuk bersama beliau dari waktu permulaan perjalanan beliau. Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. datang 1400 tahun sesudah beliau.
Kata-kata  meskipun aku harus terus berjalan bertahun-tahun lamanya” menunjukkan bahwa syariat Nabi Mus a.s. masih akan tetap berlaku beberapa abad lamanya. Jangka waktu mulai dari zaman Nabi Musa a.s. sampai kepada kebangkitan Nabi Besar Muhammad saw, ketika zaman Nabi Musa a.s., berakhir, meliputi 2000 tahun lebih.


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  2 Juni  2013  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar