Kamis, 06 Juni 2013

Sebelum Menjadi "Nur di atas Nur" Nabi Besar Muhammad Saw. adalah "Minyak Pelita yang Nyaris Bercahaya"






بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 140


Sebelum  Menjadi "Nur di  atas Nur"  Nabi Besar Muhammad Saw. adalah 
"Minyak Pelita  yang Nyaris Bercahaya"  


 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan perumpamaan  quat qudsiyah (daya pensucian ruhani) Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, yang hanya dalam waktu 23 tahun saja revolusi akhlak dan ruhani  yang digerakkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. telah membuat “bangsa Arab jahiliyah” yang berada “dalam kesesatan yang nyata” (QS.62:3) berubah menjadi   umat terbaik” yang diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111).
     Selanjutnya telah dikemukakan firman-Nya mengenai  misal (perumpamaan) yang dikemukakan Allah Swt. dalam Surah An-Nūr ayat 30 mengenai kesempurnaan akhlak dan ruhani serta makrifat Ilahi Nabi Besar Muhammad saw.,  yang digambarkan “Nur (cahaya) di atas nur (cahaya)”, firman-Nya:
اَللّٰہُ  نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ مَثَلُ نُوۡرِہٖ کَمِشۡکٰوۃٍ  فِیۡہَا مِصۡبَاحٌ ؕ اَلۡمِصۡبَاحُ فِیۡ زُجَاجَۃٍ ؕ اَلزُّجَاجَۃُ کَاَنَّہَا کَوۡکَبٌ دُرِّیٌّ یُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَۃٍ مُّبٰرَکَۃٍ  زَیۡتُوۡنَۃٍ  لَّا شَرۡقِیَّۃٍ  وَّ لَا غَرۡبِیَّۃٍ ۙ یَّکَادُ زَیۡتُہَا یُضِیۡٓءُ وَ لَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡہُ نَارٌ ؕ نُوۡرٌ عَلٰی نُوۡرٍ ؕ یَہۡدِی اللّٰہُ  لِنُوۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ ؕ وَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi. Perumpamaan nur-Nya   seperti sebuah relung yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada dalam kaca. Kaca itu seperti bintang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati, yaitu  pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat, minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya. Nur di atas nur. Allah memberi bimbingan menuju nur-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil untuk manusia, dan Allah Maha  Mengetahui segala sesuatu.  (An-Nūr [24]:36).
      Nur berarti cahaya sebagai lawan dari kegelapan. Kata nur mempunyai pengertian lebih luas dan lebih menembus dan juga lebih bertahan (lama) daripada dhiya (Lexicon Lane).   Misykat berarti:  relung dalam sebuah tembok  yakni lobang atau lekuk dalam tembok yang tidak menembus dinding itu; lampu yang ditempatkan di sana memberi cahaya lebih banyak daripada di tempat lain; tiang yang dipuncaknya diletakkan lampu (Lexicon Lane).   Zujajah berarti: kaca; bola dari kaca (Lexicon Lane).
      Ayat ini merupakan tamsil (perumpamaan) yang indah. Ayat ini membicarakan tiga buah benda — pelita,  kaca, dan relung. Nur Ilahi disebutkan terkurung di dalam tiga benda tersebut yang bila digabung bersama membuat binar dan kilau cahayanya menjadi lengkap dan sempurna. Memang “pelita” itulah yang menjadi sumber cahaya;  “kaca” yang melindungi lampu itu menjaga supaya cahayanya jangan padam oleh tiupan angin serta menambah terangnya; dan “relung” menjaga cahaya itu.
    Tamsil ini dengan tepat dapat dikenakan kepada lampu senter yang bagian-bagiannya adalah kawat-kawat listrik yang memberikan cahaya, bola-lampu yang melindungi cahaya itu dan reflektor yang memancarkan dan menyebarkan cahaya serta memberi arah kepadanya.
     Dalam istilah ruhani,  tiga buah benda itu — “lampu”, “kaca” dan “relung” — masing-masing dapat melukiskan cahaya Ilahi, para nabi Allah yang melindungi cahaya itu dari menjadi padam serta menambah kilau dan terangnya, dan para khalifah Nabi  yang menyebarkan dan memancarkan cahaya Ilahi dan memberikan arah dan tujuan untuk menjadi petunjuk dan sinar penerang dunia.

“Minyak yang Nyaris Bercahaya” &
  Makna-makna Lainnya dari Tamsil “Nur di atas nur

        Ayat ini selanjutnya menyatakan bahwa minyak yang dipakai menyalakan lampu itu mempunyai kemurnian yang semurni-murninya dan dapat menyala sampai batas hingga membuat minyak itu berkobar menyala-nyala  sekalipun tidak dinyalakan api. Minyak itu diambil dari pohon yang bukan dari timur dan bukan juga dari barat, yaitu yang tidak bersifat pilih kasih terhadap sesuatu kaum tertentu.
     Ayat ini dapat pula mempunyai tafsiran lain lagi. Nur (cahaya) yang tersebut dalam ayat ini dapat dianggap menunjuk kepada  Nabi Besar Muhammad saw.,  sebab beliau saw. dalam Al-Quran disebut nur (QS.5:16), dalam keadaan demikian “relung” berarti “hati” Nabi Besar Muhammad saw.. , dan “lampu” berarti fitrat beliau saw. yang amat murni,  khalis dan dikaruniai sifat-sifat terpuji, serta mengandung arti bahwa nur Ilahi yang telah ditanamkan dalam fitrat beliau adalah sebersih dan secemerlang hablur (kristal). Bila nur wahyu Ilahi turun kepada nur fitrat Nabi Besar Muhammad saw.  maka  nur itu bersinar dengan kilauan berlipat ganda, yang oleh Al-Quran dilukiskan dengan kata-kata “nur di atas nur”.
      Nur Nabi Besar Muhammad saw. ini telah dibantu oleh minyak yang keluar dari pohon yang bukan hanya terang dan cemerlang tetapi juga berlimpah-limpah, mantap, dan kekal (seperti arti dan maksud kata mubarakah itu), dan dimaksudkan menyinari timur dan barat kedua-duanya. Lagi pula hati Nabi Besar Muhammad saw. begitu suci bersih, dan fitrat beliau dianugerahi kemampuan yang begitu mulia, sehingga beliau layak melaksanakan tugas-tugas misi agung beliau, bahkan sebelum wahyu Ilahi turun kepada beliau. Inilah maksud kata-kata “yang minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuhnya.”
      Tamsil (perumpamaan) ini dapat pula diberi tafsiran lain lagi. Relung dalam ayat ini berarti jasad manusia. Jasad manusia berisi ruh  serta mengantarkan cahaya, yang berarti badan (tubuh) manusia itu berisikan misbah atau pelita ruh yang menyinari akal manusia dan menghubungkannya dengan Tuhan.
     Pelita itu terletak dalam zujajah (kaca) yang menjaganya terhadap kemudaratan dan cacat serta menambah dan memantulkan cahaya-nya, zujājah yang melambangkan otak manusia susunannya begitu sempurna, sehingga telah menjuruskan beberapa ahli filsafat untuk mengira bahwa akal manusia adalah sumber asli cahaya Ilahi.
     Cahaya itu dibantu oleh minyak yang berasal dari suatu pohon yang diberkati, yaitu dari kebenaran-kebenaran yang pokok lagi abadi, yang tidak merupakan milik khusus orang-orang timur atau pun barat. Kebenaran-kebenaran kekal-abadi itu telah tertanam dalam fitrat manusia dan hampir-hampir akan menampakkan dirinya meskipun tanpa bantuan wahyu Ilahi.

Rumah-rumah yang Dipenuhi Cahaya Ilahi

   Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai  keberkatan yang diperoleh orang-orang yang  menerima seruan Nabi Besar Muhammad saw.:
فِیۡ  بُیُوۡتٍ اَذِنَ اللّٰہُ  اَنۡ تُرۡفَعَ وَ یُذۡکَرَ فِیۡہَا اسۡمُہٗ ۙ یُسَبِّحُ لَہٗ  فِیۡہَا بِالۡغُدُوِّ وَ الۡاٰصَالِ ﴿ۙ﴾
Di dalam rumah yang Allah telah mengizinkan supaya ditinggikan dan nama-Nya diingat di dalamnya,  bertasbih kepada-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang. (An-Nūr [24]:37-39).
     Ayat ini berisikan suatu bukti dan juga suatu nubuatan. Ayat ini menubuatkan, bahwa rumah-rumah yang disinari oleh cahaya yang terdapat dalam Al-Quran akan dimuliakan dan para penghuninya senantiasa akan mengirim persembahan sanjung-puji kepada Allah Swt. Ini akan merupakan bukti bahwa rumah-rumah itu disinari oleh nur Ilahi. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
  رِجَالٌ ۙ لَّا تُلۡہِیۡہِمۡ تِجَارَۃٌ  وَّ لَا بَیۡعٌ عَنۡ ذِکۡرِ اللّٰہِ وَ  اِقَامِ الصَّلٰوۃِ  وَ  اِیۡتَآءِ الزَّکٰوۃِ ۪ۙ یَخَافُوۡنَ یَوۡمًا تَتَقَلَّبُ فِیۡہِ الۡقُلُوۡبُ وَ الۡاَبۡصَارُ ﴿٭ۙ﴾ لِیَجۡزِیَہُمُ اللّٰہُ  اَحۡسَنَ مَا عَمِلُوۡا وَ یَزِیۡدَہُمۡ مِّنۡ فَضۡلِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ  بِغَیۡرِ  حِسَابٍ  ﴿﴾
Orang-orang lelaki, tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah perniagaan dan tidak pula jual-beli, mendirikan shalat dan membayar zakat, mereka takut akan hari ketika   di dalamnya hati dan mata berubah-ubah,  supaya  Allah memberi mereka ganjaran yang sebaik-baiknya atas apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah akan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.  (An-Nūr [24]:3839).
     Ayat ini merupakan pengakuan agung terhadap ketakwaan dan kebaikan sahabat-sahabat  Nabi Besar Muhammad saw.  dan terhadap kecintaan mereka kepada Allah Swt.. Mereka itu orang-orang — demikian kata ayat itu — yang berdaging dan bertulang. Mereka pun mempunyai kemauan-kemauan dan keinginan-keinginan duniawi, pekerjaan-pekerjaan, dan kesibukan-kesibukan.
    Para Sahabah Nabi Besar Muhammad saw. bukan rahib-rahib atau pertapa-pertapa (para faqir) yang telah memutuskan hubungan dengan dunia. Namun di tengah-tengah segala kesibukan dan perjuangan dalam urusan dunianya, mereka tidak lalai menjalankan kewajiban-kewajiban mereka kepada Allah Swt. (haququlLāh) dan manusia (haququl ‘ibād).

Kegelapan di atas Kegelapan

      Lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang menolak seruan Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran: 
وَ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡۤا اَعۡمَالُہُمۡ کَسَرَابٍۭ بِقِیۡعَۃٍ یَّحۡسَبُہُ الظَّمۡاٰنُ مَآءً ؕ حَتّٰۤی اِذَا جَآءَہٗ  لَمۡ  یَجِدۡہُ شَیۡئًا وَّ وَجَدَ  اللّٰہَ عِنۡدَہٗ  فَوَفّٰىہُ حِسَابَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ سَرِیۡعُ الۡحِسَابِ ﴿ۙ﴾  اَوۡ کَظُلُمٰتٍ فِیۡ بَحۡرٍ لُّجِّیٍّ یَّغۡشٰہُ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ مَوۡجٌ مِّنۡ فَوۡقِہٖ سَحَابٌ ؕ ظُلُمٰتٌۢ  بَعۡضُہَا فَوۡقَ بَعۡضٍ ؕ اِذَاۤ اَخۡرَجَ یَدَہٗ  لَمۡ  یَکَدۡ یَرٰىہَا ؕ وَ مَنۡ  لَّمۡ یَجۡعَلِ اللّٰہُ   لَہٗ   نُوۡرًا  فَمَا  لَہٗ  مِنۡ  نُّوۡرٍ ﴿٪﴾
Dan orang-orang kafir   amal-amal mereka bagaikan fatamorgana di padang pasir, orang-orang  yang haus menyangkanya air,  hingga apabila ia mendatanginya  ia tidak mendapati sesuatu pun, dan ia mendapati Allah di sisinya lalu Dia membayar penuh perhitungannya, dan Allah sangat cepat dalam perhitungan.  Atau seperti kegelapan di lautan yang dalam, di atasnya gelombang demi gelombang meliputinya, di atasnya lagi ada awan hitam. Kegelapan sebagiannya di atas sebagian lain. Apabila ia mengulurkan tangannya ia hampir-hampir tidak dapat melihatnya,  dan barangsiapa baginya   Allah tidak menjadikan nur maka baginya tidak ada nur.  (An-Nūr [24]:40-41).
  Dalam ayat-ayat 37-39 di atas telah dikemukakan kata-kata penghargaan yang ditujukan kepada suatu golongan manusia  yaitu para pencinta nur Ilahi dan hamba-hamba Allah yang bertakwa. Ayat ini dan ayat sebelumnya membicarakan sesuatu golongan manusia lainnya  yaitu anak-anak kegelapan.  Golongan pertama menerima nur serta berjalan di dalamnya. Keadaan mereka yang sungguh membangkitkan rasa iri itu telah digambarkan dalam tamsil dengan kata-kata “nur di atas nur”.
      Sedangkan golongan kedua menolak nur Ilahi dan memilih jalan kegelapan dalam rimba keragu-raguan. Segala usaha mereka terbukti sia-sia serta menyesatkan, laksana suatu fatamorgana. Mereka suka kepada kegelapan, mengikuti langkah kegelapan dan tinggal dalam kegelapan,  maka keadaan mereka yang tidak menarik itu telah dilukiskan dengan tepat dan jelas lagi terperinci dengan kata-kata  “atau seperti kegelapan di lautan yang dalam, di atasnya gelombang demi gelombang meliputinya, di atasnya lagi ada awan hitam. Kegelapan sebagiannya di atas sebagian lain.

Para Penentang Rasul Allah Memilih “Kegelapan

   Sehubungan dengan dua macam tamsil (perumpamaan) tersebut, Allah Swt. berfirman mengenai  mereka:
اَوَ مَنۡ کَانَ مَیۡتًا فَاَحۡیَیۡنٰہُ وَ جَعَلۡنَا لَہٗ نُوۡرًا یَّمۡشِیۡ بِہٖ فِی النَّاسِ کَمَنۡ مَّثَلُہٗ فِی الظُّلُمٰتِ لَیۡسَ بِخَارِجٍ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ زُیِّنَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا فِیۡ کُلِّ قَرۡیَۃٍ اَکٰبِرَ مُجۡرِمِیۡہَا لِیَمۡکُرُوۡا فِیۡہَا ؕ وَ مَا یَمۡکُرُوۡنَ  اِلَّا بِاَنۡفُسِہِمۡ وَ مَا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿﴾  وَ اِذَا جَآءَتۡہُمۡ اٰیَۃٌ  قَالُوۡا لَنۡ نُّؤۡمِنَ حَتّٰی نُؤۡتٰی مِثۡلَ مَاۤ اُوۡتِیَ رُسُلُ اللّٰہِ ؕۘؔ اَللّٰہُ اَعۡلَمُ حَیۡثُ یَجۡعَلُ رِسَالَتَہٗ ؕ سَیُصِیۡبُ الَّذِیۡنَ اَجۡرَمُوۡا صَغَارٌ عِنۡدَ اللّٰہِ وَ عَذَابٌ شَدِیۡدٌۢ بِمَا کَانُوۡا یَمۡکُرُوۡنَ﴿﴾  فَمَنۡ یُّرِدِ اللّٰہُ اَنۡ یَّہۡدِیَہٗ یَشۡرَحۡ صَدۡرَہٗ لِلۡاِسۡلَامِ ۚ وَ مَنۡ یُّرِدۡ  اَنۡ یُّضِلَّہٗ یَجۡعَلۡ صَدۡرَہٗ ضَیِّقًا حَرَجًا کَاَنَّمَا یَصَّعَّدُ فِی السَّمَآءِ ؕ کَذٰلِکَ یَجۡعَلُ اللّٰہُ الرِّجۡسَ عَلَی الَّذِیۡنَ لَا  یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾  وَ ہٰذَا صِرَاطُ رَبِّکَ مُسۡتَقِیۡمًا ؕ قَدۡ فَصَّلۡنَا الۡاٰیٰتِ  لِقَوۡمٍ  یَّذَّکَّرُوۡنَ ﴿﴾   لَہُمۡ دَارُ السَّلٰمِ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ وَ ہُوَ وَلِیُّہُمۡ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Dan apakah orang yang telah mati lalu Kami menghidupkannya dan Kami menjadikan baginya cahaya dan ia berjalan dengan cahaya itu  di tengah-tengah manusia, sama  seperti keadaan  orang yang berada di dalam berbagai macam kegelapan  dan ia  sekali-kali tidak  dapat keluar darinya?  Demikianlah telah ditam-pakkan indah bagi orang-orang kafir apa yang senantiasa mereka kerjakan. Dan demikianlah Kami  menjadikan di dalam tiap negeri pendosa-pendosa besarnya, supaya mereka melakukan makar di dalam negeri itu, tetapi sekali-kali tidak ada yang terkena makar mereka kecuali dirinya sendiri tetapi mereka tidak menya-darinya.   Dan apabila datang kepada mereka suatu Tanda, mereka berkata:  Kami   tidak akan pernah beriman hingga kami diberi seperti apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul Allah.” Allah Maha Mengetahui di mana Dia akan menempatkan risalah-Nya. yakni tugas kerasulan, kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras segera akan ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan karena mereka senantiasa melakukan makar.   Maka barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberi petunjuk kepadanya, Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam, sedangkan barangsiapa yang Dia hendak menyesatkannya, Dia menjadikan dadanya  sesak lagi sempit seakan-akan ia sedang naik ke langit. Seperti itulah  Allah menimpakan siksaan kepada orang-orang yang tidak beriman.   Dan  inilah jalan Tuhan engkau yang lurus, sesungguhnya Kami telah menjelaskan Ayat-ayat (Tanda-tanda)  bagi kaum yang suka mengambil pelajaran.   Bagi mereka  rumah keselamatan di sisi Tuhan mereka dan Dia Pelindung mereka disebabkan apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-An’ām [6]:123-127).
      Jadi, kembali kepada  masalah 4 tugas utama Nabi Besar Muhammad saw. yang dikemukakan  Allah Swt. dan Nabi Ibrahim a.s. yang berbeda urutannya, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾    
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, (Al-Jumu’ah [62]:3).
   Tugas suci Nabi Besar Muhammad saw.  meliputi penunaian keempat macam kewajiban mulia yang disebut dalam ayat ini. Tugas agung dan mulia itulah yang dipercayakan kepada beliau saw, sebab untuk kedatangan beliau saw. di tengah-tengah orang-orang Arab buta huruf itu,  leluhur beliau saw., Nabi Ibrahim a.s., telah memanjatkan doa beberapa ribu tahun yang lampau ketika dengan disertai putranya, Nabi Isma’il a.s.,  beliau mendirikan dasar (pondasi) Ka’bah (QS.2:130).
 Pada hakikatnya tidak ada Pembaharu dapat benar-benar berhasil dalam misinya bila ia tidak menyiapkan dengan contoh mulia dan quat-qudsiahnya (daya pensuciannya), suatu jemaat yang pengikut-pengikutnya terdiri dari orang-orang mukhlis, patuh, dan bertakwa, yang kepada mereka itu mula-mula mengajarkan cita-cita dan asas-asas ajarannya serta mengajarkan falsafat, arti, dan kepentingan cita-cita dan asas-asas ajarannya itu,  kemudian mengirimkan pengikut-pengikutnya ke luar negeri untuk mendakwahkan ajaran itu kepada bangsa lain.
 Didikan (ta’lim dan tarbiyat) yang  Nabi Besar Muhammad saw. berikan kepada para pengikut beliau saw. telah memperluas dan mempertajam kecerdasan mereka, dan filsafat ajaran beliau saw. menimbulkan dalam diri mereka keyakinan iman, dan contoh mulia beliau  saw. menciptakan di dalam diri mereka kesucian hati. Kenyataan-dasar agama itulah yang diisyaratkan oleh ayat ini.

Hikmah Perbedaan Urutan Tugas Nabi Besar Muhammad Saw.

    Bandingkan urutan tugas Nabi Besar Muhammad saw. yang dikemukakan Allah Swt. dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 3 tersebut dengan urutan tugas beliau saw. yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim a.s. dalam doa yang dipanjatkan beliau bersama Nabi Ismail a.s. sekitar  3000 tahun sebelumnya, firman-Nya:
رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾٪
Ya Tuhan kami, bangkitkanlah  seorang rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan Ayat-ayat (Tanda-tanda) Engkau kepada mereka, yang mengajarkan Kitab  dan hikmah  kepada mereka serta akan mensucikan mereka, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:128-130).
       Urutan tugas Nabi Besar Muhammad saw. dalam doa Nabi Ibrahim a.s. adalah (1) membacakan Tanda-tanda-Nya, (2) mengajarkan Kitab, (3) mengajarkan   hikmah   (4) mensucikan mereka. Sedangkan urutan yang dikemukakan Allah Swt. adalah: (1) membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,  (2) mensucikan mereka,   (3) mengajarkan Kitab, (4)   Hikmah.
      Tugas  Nabi Besar Muhammad saw. yaitu  mensucikan mereka yang merupakan urutan yang terakhir (nomor 4) dalam doa Nabi Ibrahim a.s., diletakkan sebagai urutan nomor 2  dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 3 tersebut. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan: Mengapa kedua urutan tugas Nabi Besar Muhammad saw. tersebut tidak sama?
     Jawabannya adalah: Urutan tugas yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah merupakan urutan tugas yang  sesuai dengan logika, yakni “mensucikan mereka” merupakan hasil dari tiga tugas Nabi Besar Muhammad saw. sebelumnya yaitu (1) membacakan Tanda-tanda-Nya, (2) mengajarkan Kitab, (3) mengajarkan   hikmah. 
      Sedangkan urutan tugas yang dikemukakan Allah Swt. dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 3 lebih mengedepankan keluarbiasaan  pengaruh quat qudsiyah  (daya pensucian ruhani) yang dimiliki oleh Nabi Besar Muhammad saw., sehingga walau pun hukum-hukum syariat Islam (Al-Quran) serta hikmahnya belum seluruhnya diwahyukan Allah Swt. dan diajarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw., tetapi “pembacaan Tanda-tanda  Allah Swt.“ yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. telah mampu menimbulkan  kesucian pada akhlak dan ruhani para sahabat  (pengikut sejati) beliau saw. (QS.3:32; QS.33:22).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 22 Mei  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar