Senin, 10 Juni 2013

Keputusan "Pilatus" Akhir Zaman Membebaskan "Al-Masih Mau'ud a.s." dari Tuduhan Dusta Para Penentang




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 143


  Keputusan “Pilatus” Akhir Zaman Membebaskan “Al-Masih Mau’ud a.s.” dari Tuduhan Dusta Para Penentang   


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   perlakuan zalim para pemuka Yahudi terhadap Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan berusaha membunuh beliau melalui penyaliban (QS.4:158-159),  hal yang sama pun di Akhir Zaman ini dialami juga oleh misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. --  yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.  berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnya, (Az-Zukhruf [43]:58).
     Yang dimaksud “kaum engkau” adalah umat Islam, bukan kaum Quraisy Makkah, sebab mereka sama sekali tidak berkepentingan dengan  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili atau pun dengan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., tetapi umat Islam berdasarkan sabda Nabi Besar Muhammad saw. benar-benar mempercayai bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan datang lagi, sebagaimana yang juga dipercayai oleh kaum Nasrani.
   Shadda (yashuddu) berarti: ia menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-ul-Mawarid). Jadi, firman Allah Swt. mengandung nubuatan (kabar gaib), bahwa sebagaimana Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili  telah dihadapkan oleh para pemuka Yahudi ke pengadilan penguasa kerajaan Rumawi yang dipimpin oleh Pilatus – dengan tuduhan melakukan hujatan dan akan merebut kekuasaan pemerintan;    demikian pula Mirza Ghulam Ahmad a.s. -- yakni Al-Masih Mau’ud di Akhir zaman -- ini pun telah diajukan ke pengadilan pemerintah kerajaan Inggris di Hindustan,  yang dipimpin oleh Kapten Douglas dengan tuduhan dusta bahwa beliau merencanakan melakukan pembunuhan terhadap pendeta Dr. Martin Clarc. Tuduhan dusta tersebut didukung oleh Mlv. Muhammad Hussein Batalwi, penentang keras Mirza Ghulam Ahmad a.s., bahkan  ulama Islam tersebut benar-benar telah datang ke pengadilan dengan  memakai  suatu “jubah kebesaran”.
      Berikut penjelasan Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam buku   Kisyti Nuh (Bahtera Nuh)   berkenaan dengan peristiwa tuduhan dusta tersebut:

Nubuatan Dalam Surah Al-Fatihah &
Kiasan “Kelahiran Ruhani 

    “Hendaknya ini pun  diperhatikan bahwa di antara tujuan-tujuan agung Surah Al-Fatihah adalah doa:
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾  صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah  Engkau beri nikmat atas mereka” (Al-Fatihah [1]:6)
   Seperti halnya di dalam doa Injil dimohonkan makanan (roti) sehari-hari maka di dalam doa ini segala nikmat dari Tuhan  yang pernah diberikan kepada para rasul dan  para nabi  terdahulu dimohonkan. Perbandingan itu patut ditilik pula. Seperti halnya berkat kemakbulan doa Hadhrat Al-Masih, orang-orang Kristen telah memperoleh banyak bahan keperluan pangan (māidah), demikian pula berkat kemakbulan doa Quran Syarif melalui Rasulullah saw., orang-orang shalih dan suci di kalangan umat Islam -- pada  khususnya orang-orang sempurna dari antara mereka -- ditetapkan sebagai ahli-waris para nabi Bani Israil.
    Pada hakikatnya kebangkitan Masih Mau’ud dari antara umat ini pun merupakan buah kemakbulan doa itu pula. Sebab walaupun banyak orang shalih dan suci telah menyerupai  para nabi Bani Israil secara tersembunyi, akan tetapi Masih Mau’ud umat ini dengan perintah dan seizin Tuhan dibangkitkan untuk menandingi Masih Israili, supaya ada persamaan antara umat Muhammad saw. dan umat Musa a.s.. Atas tujuan itulah maka Masih ini (Mirza Ghulam Ahmad a.s. – Ed.) dalam tiap seginya diberi persamaan dengan Ibnu Maryam, sehingga  kepada Ibnu Maryam ini pun datang  cobaan seperti halnya kepada  Ibnu Maryam Israili.
    Sebagaimana Isa Ibnu Maryam dilahirkan hanya semata-mata karena tiupan Tuhan, demikian pula Al-Masih ini pun – sesuai dengan janji dalam Surah At-Tahrim – dilahirkan dari kandungan “Siti Maryam”, hanya semata-mata karena tiupan Tuhan. Dan sebagaimana dengan lahirnya Isa Ibnu Maryam, bangkit kegemparan dan golongan penentang yang membuta-tuli mengatakan kepada Maryam:  Laqad ji-ti syay-a fariyya --  “Sungguh engkau benar-benar telah melakukan sesuatu yang amat tidak senonoh”, demikian pula di sini pun dikatakan dan digaduhkan. Dan seperti halnya Allah Ta’ala memberi jawaban kepada  para penentang pada waktu bersalinnya Maryam Israili berkenaan dengan Isa:
وَ  لِنَجۡعَلَہٗۤ  اٰیَۃً  لِّلنَّاسِ وَ رَحۡمَۃً  مِّنَّا ۚ وَ کَانَ  اَمۡرًا مَّقۡضِیًّا
“Dan agar Kami dapat menjadikannya suatu Tanda bagi manusia sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang telah diputuskan” – QS. Maryam [19]:22).
      Jawaban itulah yang diberikan Allah Ta’ala mengenai diriku kepada para penentang, di dalam “Barāhīn Ahmadiyya” pada waktu kelahiran-ruhaniku secara kiasan, dan Dia mengatakan, “Kamu sekalian tidak akan dapat  menghancurkan dia dengan makar (tipu-muslihat) kamu sekalian. Aku akan menjadikan Dia Tanda rahmat bagi orang-orang dan hal demikian itu telah ditakdirkan  semenjak semula.”
    Kemudian, seperti halnya ‘alim-ulama Yahudi menjatuhkan fatwa kafir terhadap Hadhrat Isa  a.s., dan seorang cendekiawan Yahudi yang nakal merumuskan fatwa, dan cendekiawan lainnya menjatuhkan  fatwa  tersebut, sehingga beratus-ratus alim-ulama cendekiawan dari Baitul-Muqaddas yang kebanyakan Ahli Hadits, mereka mencap kafir kepada Hadhrat Isa a.s..[1] 
     Kejadian serupa itu pulalah yang berlaku atas diri saya. Dan kemudian seperti halnya sesudah pencapan (fatwa) kafir terhadap Hadhrat Isa itu beliau amat disusahkan. Beliau dicaci-maki sejadi-jadinya.  Mereka menulis kitab-kitab yang mengandung ejekan-ejekan dan lontaran kata-kata buruk. Keadaan serupa itu pun  terjadi sekarang. Seakan-akan sesudah jangka waktu 1.800 tahun Isa itu juga lahir lagi, dan orang-orang Yahudi itu juga telah lahir lagi.

Batu Penjuru

غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ              -- “bukan mereka yang dimurkai," (QS.1:7) itulah nubuatan yang Tuhan telah jelaskan sejak dahulu. Akan tetapi orang-orang itu tidak  bersabar sebelum mereka menjadi orang-orang seperti kaum Yahudi yang dilaknat Tuhan. Sebuah dari batu-bata tamsilan itu telah diletakkan  oleh Tuhan Sendiri, yakni aku telah diutus sebagai Masih Islam tepat pada permulaan abad ke-14 seperti halnya Al-Masih ibnu Maryam diutus pada permulaan abad ke-14, dan bagi diri  saya Dia tengah memperlihatkan Tanda-tanda-Nya yang hebat, dan di bawah bentangan langit ini tidak ada kemampuan  pada pihak golongan lawan manapun – baik dari pihak orang-orang Islam ataupun orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen dan sebagainya --  untuk melawan Tanda-tanda itu. Betapa manusia yang hina-dina dapat mengadu kekuatan dengan Tuhan. Ini merupakan landasan (pondasi)  pertama Tuhan.
    Setiap orang yang ingin memecahkan batu  pondasi (batu penjuru) yang berasal dari Allah itu (Nabi Isa  Ibnu Maryam a.s. Israili  Ed) tidak akan dapat memecahkannya. Akan tetapi batu-bata  ini jika menimpa orang ia akan menghancur-leburkan dia, sebab batu-bata  ini kepunyaan Allah dan tangan itu adalah Tangan Allah. Sedangkan batu-bata (batu pondasi) lain telah dipersiapkan untuk menandingi batu-bata ini supaya mereka melakukan terhadap diriku seperti telah dikerjakan orang-orang Yahudi dahulu sampai demikian jauhnya, sehingga guna membinasakan diriku  mereka telah mengajukan tuduhan perkara pembunuhan, yang mengenai itu Tuhan telah memberitahukan kepadaku lebih dahulu.
   Perkara yang dituduhkan terhadapku adalah lebih berat daripada perkara yang dituduhkan kepada Isa Ibnu Maryam, sebab dasar perkara Hadhrat Isa a.s. adalah hanya berkenaan dengan pertentangan keagamaan, yang menurut hakim (Pilatus) adalah suatu perkara kecil, bahkan tidak berarti sama sekali. Akan tetapi perkara yang dituduhkan kepadaku adalah tuduhan mengenai upaya pembunuhan.

Kehinaan yang Dialami Maulvi Muhammad Hussain Batalwi

     Sebagaimana di dalam perkara Al-Masih, ‘alim-ulama Yahudi tampil untuk memberi kesaksian, misalnya di dalam perkara ini pun ada beberapa di antara alim-ulama memberi kesaksian. Untuk pekerjaan ini Allah Ta’ala telah memilih Maulvi Muhammad Hussain Batalwi, yang datang untuk memberi kesaksian seraya mengenakan jubah yang terjuntai panjang sekali.
   Sebagaimana halnya Kepala Imam (Kepala Pendeta Yahudi) telah datang untuk memberi kesaksian  supaya Al-Masih dinaikkan ke tiang salib, demikian pula hal serupa itu pun telah terjadi. Bedanya hanyalah Kepala Imam mendapat kursi di dalam majlis pengadilan Pilatus, sebab para pemerintahan kerajaan Romawi orang-orang terkemuka dari bangsa Yahudi biasa mendapat kursi, dan beberapa di antara mereka pun ada pula yang menjadi hakim (magistrate) kehormatan. Oleh karena itulah menurut tata-tertib pengadilan Kepala Imam itu disediakan kursi, sedangkan Al-Masih Ibnu Maryam disuruh berdiri di hadapan meja pengadilan sebagai seorang tertuduh.
   Akan tetapi di dalam perkaraku  keadaan terjadi sebaliknya. Yakni, bertolak-belakang dengan harapan pihak lawan, Kapten Douglas – yang penampilannya menyerupai tokoh Pilatus – duduk di atas kursi hakim, telah menawarkan kursi kepada saya.   “Pilatus” ini ternyata lebih berakhlak daripada Pilatus Masih Ibnu Maryam, sebab ia menunjukkan keberanian dan kegigihan menegakkan tata-tertib pengadilan di dalam urusan peradilan
     Tetapi  ia sedikit pun tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi dari atasan, dan pertimbangan yang menyangkut kebangsaan dan agama tidak menimbulkan perubahan sikap di dalam dirinya. Ia memperlihatkan suatu teladan yang baik dalam menjalankan peradilan dengan penuh ketabahan demikian rupa, sehingga andaikan pribadinya dianggap sebagai tokoh kebanggaan bangsanya dan suri teladan bagi para hakim maka hal itu bukan tidak pada tempatnya.
     Peradilan adalah suatu perkara pelik. Selama orang menduduki kursi jabatan hakim tetapi tidak mengesampingkan segela perhubungan, selama itu ia tidak akan dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi kami memberi kesaksian yang benar, bahwa “Pilatus” yang ini telah melaksanakan kewajibannya dengan sepenuhnya.  Kendatipun Pilatus pertama orang Romawi, namun ia tidak menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Saking takutnya ia membuat Al-Masih sasaran kesusahan-kesusahan besar.
   Perbedaan ini patut untuk diperingati selama-lamanya di kalangan Jemaat kita sepanjang dunia ini masih berwujud. Selama seruan Jemaat ini mencapai ratusan ribu dan jutaan pribadi, selama itu hakim yang berniat shalih ini akan senantiasa diperingati dengan penuh pujian. Dan hal itu merupakan keberuntungannya yang baik, karena Tuhan telah memilih dia untuk mengemban tugas itu.
     Betapa besar ujian bagi seorang hakim, ketika dihadapkan kepadanya dua golongan:  satu golongan di antaranya adalah penganjur agamanya sendiri, dan golongan lainnya (tertuduh) adalah seorang lawan agamanya, lagi diterangkan kepadanya orang itu (tertuduh) adalah lawan sengit agamanya. Akan tetapi “Pilatus” yang pemberani itu telah mengatasi ujian tersebut dengan sangat tabah, sementara kepadanya ditunjukkan tempat pada kitab-kitab yang di dalamnya terdapat baris-baris – di mana dari kekurang-fahamannya kata-katanya dapat dianggap menyerang agama Kristen dengan sangat tajam.
   Lagi pula itu ditampilkan dengan suatu cara yang tidak bersahabat. Akan tetapi wajahnya tidak menampakkan perubahan sekelumit pun, sebab  dikarenakan oleh hati-nuraninya yang jernih ia telah sampai kepada hakikat, dan karena ia telah mencari pangkal perkara itu dengan hati lurus, oleh karena itulah Tuhan telah membantunya. Dia telah mengilhamkan kebenaran kepada hatinya, lalu kepadanya dibukakan hakikat yang sebenarnya dan ia sangat gembira sekali bahwa ia telah melihat jalan keadilan. Dia memberikan kursi kepadaklu   bertentangan dengan keinginan  penuduh, hanya semata-mata demi keadilan.
    Sedangkan tatkala Maulvi Muhammad Hussain – yang seperti halnya Kepala Imam Yahudi – datang untuk memberi kesaksian yang berlawanan, ia mendapati saya didudukan di atas kursi, dan tidak tampak kepadanya perlakuan penghinaan yang didambakan matanya untuk menyaksikan diri saya memperoleh kehinaan. Kemudian, karena menganggap dirinya sederajat ia pun menghendaki kursi dari “Pilatus” ini Akan tetapi “Pilatus” ini menghardiknya, dan dengan nada keras berkata, bahwa dia dan bapaknya belum pernah mendapat  hak-kursi (kehormatan), lagi tidak ada petunjuk dari jawatannya untuk menyediakan kursi bagi dia.

Persamaan Pendapat  Pilatus Pertama dan “Pilatus” Terakhir

   Kini, perbedaan tersebut patut direnungkan, bahwa Pilatus pertama dari takutnya kepada orang-orang Yahudi telah menyediakan kursi bagi beberapa saksinya yang terhormat, sedangkan Hadhrat Al-Masih yang dihadapkan sebagai seorang tertuduh dibiarkan saja berdiri. Padahal di dalam hatinya yang jujur ia (Pilatus) menaruh rasa-kasih kepada Al-Masih, bahkan seolah-olah seperti muridnya; dan  istrinya sendiri adalah murid istimewa Al-Masih yang disebut waliullah. Akan tetapi rasa takut telah menyebabkan dia mengambil tindakan demikian jauh, sehingga tanpa hak telah menyerahkan Al-Masih yang tak berdosa itu ke tangan orang-orang Yahudi, padahal bukan tuduhan  seperti yang dituduhkan kepadaku,   yaitu membunuh seseorang, melainkan hanyalah hal biasa mengenai perbedaan faham tentang agama. Akan tetapi Pilatus yang bangsa Romawi itu tidak mempunyai hati yang kuat. Ia menjadi ketakutan ketika didengarnya bahwa ia akan diadukan kepada Kaisar.
     Kemudian ada satu lagi perbandingan antara Pilatus  pertama dan “Pilatus  ini yang patut diperingati: Ketika Masih Ibnu Maryam dihadapkan ke muka pengadilan, Pilatus pertama berkata kepada orang-orang Yahudi, bahwa ia tidak melihat di dalam diri Al-Masih suatu kesalahan. Begitu pula ketika Al-Masih terakhir ini di hadapkan kepada “Pilatus”  terakhir tersebut, dan Al-Masih ini berkata, “Seyogianya kepada saya diberikan tenggang waktu selama beberapa hari untuk memberikan jawaban atas tuduhan pembunuhan itu”, maka “Pilatus” terakhir ini berkata bahwa ia tidak  menuduh apa pun kepadaku. 
   Ucapan kedua-dua Pilatus ini benar-benar mengandung persamaan di antara satu dengan yang lain. Seandainya pun ada perbedaan maka hal itu hanyalah bahwa Pilatus pertama tidak dapat memegang teguh ucapannya, sehingga ketika dikatakan kepadanya bahwa mereka akan mengadukan halnya kepada Kaisar lalu ia menjadi ketakutan dan ia dengan sengaja menyerahkan Hadhrat Al-Masih a.s. kepada  orang-orang Yahudi yang haus darah itu, walaupun penyerahan yang dilakukannya itu dilakukan dengan hati yang sedih, dan istrinya pun berduka-cita pula, sebab kedua-duanya sangat percaya kepada Al-Masih. Akan tetapi ketika dilihatnya orang-orang Yahudi sangat gaduh dan ribut ia dikuasai oleh sifat pengecut.
   Ya, memang secara sembunyi-sembunyi ia berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Al-Masih dari tiang salib, dan ia pun telah berhasil dari usahanya itu. Akan tetapi setelah itu Al-Masih telah dinaikkan di atas kayu salib dan dari sakitnya yang bukan alang kepalang ia sampai kepada keadaan pingsan yang demikian rupa parahnya, sehingga ia seakan-akan merupakan maut (kematian) juga keadaannya.
  Namun bagaimana pun juga, karena upaya Pilatus Romawi tersebut maka jiwa Al-Masih Ibnu Maryam telah selamat.  Sedangkan guna keselamatan jiwanya sedah sejak sebelumnya doa Al-Masih terkabul. Silakan lihat Perjanjian Baru, Surat kiriman kepada orang-orang Iberani, bab 5 ayat 7.[2]  Setelah itu Al-Masih a.s. melarikan diri dari wilayah itu secara sembunyi-sembunyi dan sampailah di Kasymir, di sanalah beliau wafat.
   Anda sekalian telah mendengar bahwa kuburan beliau terletak di desa Khan Yar, Srinagar. Semua itu adalah hasil upaya Pilatus. Kendati pun aktivitas Pilatus pertama tidak luput dari aneka-ragam kepengecutan, akan tetapi jika ia menghargai ucapannya sendiri yang menyatakan ia tidak melihat suatu kesalahan pada diri orang ini (Al-Masih) maka baginya tidaklah sulit untuk membebaskan Al-Masih, sementara ia berkewenangan untuk membebaskannya. Akan tetapi ketika mendengar teriakan orang-orang akan mengadukannya kepada Kaisar ia menjadi ketakutan.
    Namun “Pilatus” terakhir ini tidak takut kepada para pendeta, padahal pada peristiwa ini pun yang memegang tahta adalah seorang kaisar perempuan, tetapi kaisar perempuan ini jauh lebih baik daripada kaisar yang dahulu. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi siapa pun untuk menekan seorang hakim dan melepaskan keadilan menghantui kaisar perempuan itu.
   Bagaimana pun dibandingkan dengan peristiwa Al-Masih pertama, terhadap Al-Masih terakhir ini kegaduhan dan makar (konspirasi) banyak ditimbulkan. Sedangkan lawan saya dan segala pemimpin bangsa telah berkumpul. Akan tetapi “Pilatus” terakhir ini cinta kebenaran, dan ia memperlihatkan keteguhan dalam memegang pernyataannya dengan mengatakan kepadaku, bahwa ia tidak menuduhku melakukan pembunuhan. Jadi, ia telah membebaskanku dengan sangat mulus dan jantan, sedangkan Pilatus pertama telah bekerja dengan memakai kelihaian untuk menyelamatkan Al-Masih. Akan tetapi “Pilatus” ini pada hari ketika saya dibebaskan telah memenuhi tuntutan yang seyogianya dikehendaki dalam sidang pengadilan, dengan cara yang tidak diwarnai kepengecutan.
      Pada hari itu pun seorang pencuri – yang adalah seorang anggota Bala Keselamatan – di hadapkan ke muka pengadilan. Hal demikian terjadi karena berbarengan dengan Al-Masih pertama pun ada seorang pencuri yang dihadapkan. Pencuri  yang tertangkap bersamaaan dengan Al-Masih terakhir ini tidak dinaikkan ke  palang salib dan tulang-tulangnya tidak dipatahkan seperti dialami oleh pencuri yang ditangkap bersama-sama dengan Al-Masih pertama, melainkan dipenjarakan tiga bulan.”
    Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad  a.s. dalam bukunya Kisyti Nuh (bahtera Nuh) tersebut membuktikan sempurnanya nubuatan dalam firman-Nya sebelum ini mengenai misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnya, (Az-Zukhruf [43]:58).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 25 Mei  2013




[1]) Pada masa Hadhrat Isa a.s. walau terdapat banyak firqah di kalangan  bangsa Yahudi, akan tetapi yang dianggap berjalan di atas kebenaran adalah  dua aliran, yang pertama ialah yang mengikuti hukum Taurat, dari Kitab itulah mereka menarik kesimpulan untuk memecahkan masalah-masalah secara ijtihad; yang kedua ialah aliran Ahli Hadits yang beranggapan bahwa dalam mengambil keputusan-keputusan kedudukan Hadits lebih tinggi daripada Taurat.
Kaum Ahli Hadits ini sangat banyak terdapat dan tersebar di negeri-negeri Israil, mereka bertingkah lagi berlandaskan pada Hadits-hadits yang kebanyakannya adalah menentang dan melawan Taurat. Dalil mereka itu adalah demikian inilah bahwa beberapa masalah syariat seperti masalah-masalah peribadahan, mu’amallah (transaksi, bertingkah laku) dan hukum-peraturan resmi tidak terdapat dalam Taurat dan untuk itu di dapat keterangan dari  hadits, nama kitab Hadits itu ialah Talmud, yang di dalamnya terdapat  sabda-sabda setiap nabi menurut zamannya.
Hadits-hadits tersebut sampai waktu yang lama tetap merupakan tuturan, dan setelah lama kemudian baru direkam secara tertulis. Oleh karena itu di dalamnya terdapat pula beberapa bagian pengandaian (perkiraan), dan oleh karena itu pada saat itu kaum Yahudi terpecah menjadi 72   aliran, yang masing-masing mempunyai Haditsnya yang terpisah, sementara para ahli Hadits tersebut tidak lagi menaruh perhatian pada Taurat. kebanyakannya mereka beramal menurut Hadits, sedangkan Taurat seakan-akan tidak terpakai dan diabaikan. Apabila kebetulan bersesuaian dengan Hadits, mereka terima; dan jika tidak maka mereka menolaknya.
 Pendeknya,  di zaman seperti itulah lahir Hadhrat Isa a.s. dan beliau berhadapan pada khususnya dengan kaum Ahli Hadits yang lebih menghormati Hadits-hadits daripada Taurat. Dan di dalam tulisan-tulisan para nabi telah lebih dahulu diberitahukan bahwa ketika orang-orang yahudi akan terpecah jadi beberapa golongan dan meninggalkan Kitab Ilahi, mereka sebaliknya akan beramal menurut Hadits-hadits, maka disaat itulah akan diutus kepada seorang seorang Hakim Adil yang disebut Masih dan mereka tidak akan menerimanya. Pada akhirnya mereka akan ditimpa azab keras, dan azab itu berupa  tha’un (pes). Na’ūdzubillāh (Pen.)
[2]) Al-Masih sendiri berkata bagai nubuwatan, bahwa kecuali  Tanda Nabi Yunus, tiada tanda lain  lagi yang akan diperlihatkan. Pendeknya, di dalam ucapan itu Al-Masih mengisyaratkan bahwa, “Sebagaimana halnya Yunus dalam keadan hidup masuk ke dalam perut ikan dan dalam keadaan hidup pula keluar, demikian pula halnya aku akan masuk hidup-hidup dalam kuburan dan akan keluar dalam keadaan masih hidup”. Jadi tanda ini selain keadaan demikian – Al-Masih diturunkan dari salib dalam keadaan hidup dan dimasukkan ke dalam kuburan dalam keadaan  hidup – betapa dapat menjadi kenyataan. Dan demikianlah yang dikatakan Hadhrat Al-Masih bahwa tidak ada tanda lain lagi yang akan diperlihatkan. Di dalam kalimat itu seakan-akan Al-Masih menyangkal perkataan orang-orang bahwa Al-Masih telah memperlihatkan Tanda dengan kenaikannya ke langit (Pen.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar