بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 156
Nabi Besar Muhammad Saw. Pewaris
Sempurna “Millat” (Agama) Nabi Ibrahim a.s. & Hakikat “Pemuda yang Dibunuh” oleh “Hamba Allah”
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai millat (agama) Nabi Ibrahim a.s. dan ke-Muslim-an
para penganut millat Nabi Ibrahim
a.s. tersebut:
وَ جَاہِدُوۡا فِی
اللّٰہِ حَقَّ جِہَادِہٖ ؕ ہُوَ اجۡتَبٰىکُمۡ وَ مَا جَعَلَ عَلَیۡکُمۡ فِی الدِّیۡنِ
مِنۡ حَرَجٍ ؕ مِلَّۃَ اَبِیۡکُمۡ
اِبۡرٰہِیۡمَ ؕ ہُوَ سَمّٰىکُمُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ قَبۡلُ وَ فِیۡ
ہٰذَا لِیَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ شَہِیۡدًا
عَلَیۡکُمۡ وَ تَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ ۚۖ فَاَقِیۡمُوا
الصَّلٰوۃَ وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِاللّٰہِ ؕ ہُوَ مَوۡلٰىکُمۡ
ۚ فَنِعۡمَ الۡمَوۡلٰی وَ نِعۡمَ النَّصِیۡرُ ﴿﴾
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya, Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan
kesukaran padamu dalam urusan agama, Ikutilah millat (agama) bapakmu, Ibrahim, Dia telah memberi kamu nama Muslimin dahulu dan dalam Kitab ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu menjadi saksi atas umat manusia. Maka dirikanlah shalat,
bayarlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada
Allah, Dia Pelindung kamu maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (Al-Hajj [22]:79).
Nubuatan Nabi Yesaya a.s. tentang
Nama “Muslim”
Kata-kata “Dia telah memberi kamu nama Muslimin, dahulu dan dalam Kitab ini,”
menunjuk kepada nubuatan Nabi Yesaya a.s.:
“maka engkau akan disebut dengan nama yang
baharu, yang akan ditentukan oleh firman Tuhan .....” (Yesaya 62:2 dan 65:15).
Sedangkan isyarat dalam kata-kata“dan
dalam Kitab ini” ditujukan kepada doa
Nabi Ibrahim a.s. yang dikutip dalam Al-Quran ketika
mendirikan kembali Ka’bah bersama Nabi Isma’il a.s., yaitu:
رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
“Ya Tuhan
kami, jadikanlah kami berdua ini hamba yang menyerahkan diri kepada Engkau,
dan juga dari anak-cucu kami
jadikanlah satu umat yang tunduk kepada
Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Penerima taubah, Maha Penyayang ”(Al-Baqarah
[2]:129).
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman kepada umat Islam
mengenai benarnya ke—Muslim-an yang
mereka warisi dari Nabi Ibrahim a.s.:
فَاِنۡ اٰمَنُوۡا بِمِثۡلِ
مَاۤ اٰمَنۡتُمۡ بِہٖ فَقَدِ اہۡتَدَوۡا ۚ وَ اِنۡ تَوَلَّوۡا
فَاِنَّمَا ہُمۡ فِیۡشِقَاقٍ ۚ فَسَیَکۡفِیۡکَہُمُ اللّٰہُ ۚ وَ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ؕ صِبۡغَۃَ اللّٰہِ ۚ وَ
مَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ عٰبِدُوۡنَ ﴿﴾
Lalu jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman kepadanya
maka sungguh mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling maka sesungguhnya mereka dalam permusuhan terhadap kamu, tetapi Allah segera mencukupi engkau untuk
menghadapi mereka, dan Dia Maha
Mendengar, Maha Mengetahui. Katakanlah:
“Kami menganut agama Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan
agama, dan kepada-Nya kami beribadah.” (Al-Baqarah [2]:138-139).
Orang-orang Islam diperingatkan dalam ayat 138, jika orang-orang Yahudi dan Kristen
sepakat dengan orang-orang Islam
dalam anggapan bahwa agama itu bukan turunan, melainkan sebagai penerimaan atas semua petunjuk wahyu, maka tidak ada perbedaan yang pokok antara mereka, jika
tidak demikian maka cara berfikir
mereka jauh berbeda dan jurang lebar memisahkan mereka, dan tanggung jawab atas perpecahan serta permusuhan
yang terjadi sebagai akibatnya terletak pada kaum Yahudi dan Kristen dan
tidak pada kaum Muslim.
Puncak Kesempurnaan Islam dan Ke-Muslim-an
di Zaman Nabi Besar Muhammad Saw.
di Zaman Nabi Besar Muhammad Saw.
Ayat صِبۡغَۃَ
اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ
عٰبِدُوۡنَ -- “Katakanlah:
“Kami menganut agama Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan
agama, dan kepada-Nya kami beribadah”, shibghah berarti: celup atau
warna; macam atau ragam atau sifat sesuatu; agama; peraturan hukum;
pembaptisan. Shibghatallāh berarti: agama Allah; sifat yang
dianugerahkan Allah Swt. kepada
manusia (Aqrab-al-Mawarid).
Agama itu disebut shibghah karena agama mewarnai manusia seperti celup
atau warna mewarnai sesuatu.
Shibghah dipakai di sini sebagai
pelengkap kata kerja yang mahzuf (tidak disebut karena telah diketahui).
Menurut tata bahasa Arab, kadang-kadang bila ada satu kehendak keras untuk
membujuk seseorang melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, maka kata kerjanya
ditinggalkan dan hanya tujuannya saja yang disebut. Maka kata-kata seperti na’khudzu
(kami telah mengambil) atau nattabi’u (kami telah mengikuti) dapat
dianggap sudah diketahui dan anak kalimat itu akan berarti “kami telah menerima atau kami telah menganut
agama sebagaimana Tuhan menghendaki supaya kami menerima atau mengikutinya.”
Kembali kepada firman Allah Swt.
yang merupakan pokok bahasan mengenai kegagalan
Nabi Musa a.s. yang ketiga kalinya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا
فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا
یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ
شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ﴿﴾
Maka
berangkatlah keduanya, hingga ketika
mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya
tetapi mereka menolak untuk menerima
kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba
Allah, memperbaikinya. Ia, Musa,
berkata: "Seandainya engkau
menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
Ucapan Nabi Musa a.s.: "Seandainya engkau menghendaki, niscaya
engkau dapat mengambil upah untuk
itu" bertentangan prinsip aslim (berserah diri kepada Allah Swt.)
atau Tauhid yang hanif (lurus dan tulus) yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada
anak-keturunan beliau a.s., bahkan diwarisi oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam bentuknya yang paling
sempurna.
Berikut firman Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai hal tersebut:
قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا
قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا
ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّ
صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ
مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ
اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:
“Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk
oleh Tuhan-ku kepada jalan lurus, agama yang teguh, agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah dari orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupan-ku, dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam;
tidak ada sekutu bagi-Nya,
untuk itulah aku diperintahkan, dan akulah
orang pertama yang berserah diri. (Al-An’ām
[6]:162-164).
Sangkalan
Atas Itikad “Penebusan Dosa”
Shalat, korban, hidup, dan mati meliputi seluruh bidang amal perbuatan
manusia; dan Nabi Besar Muhammad saw. disuruh menyatakan bahwa semua segi kehidupan di dunia ini
dipersembahkan oleh beliau saw. kepada Allah
Swt., semua
amal ibadah beliau saw. dipersembahkan
kepada Allah Swt., semua pengorbanan dilakukan beliau untuk Dia;
segala penghidupan dihibahkan beliau saw.
untuk berbakti kepada-Nya, maka bila
di jalan agama Nabi Besar Muhammad saw. mencari maut
(kematian) itu pun guna meraih keridhaan-Nya.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Tauhid dan ke-Muslim-an (aslim) yang Nabi Besar Muhammad saw. pegang-teguh dan ajarkan kepada umat manusia:
قُلۡ
اَغَیۡرَ اللّٰہِ اَبۡغِیۡ رَبًّا وَّ ہُوَ رَبُّ کُلِّ شَیۡءٍ ؕ وَ لَا تَکۡسِبُ
کُلُّ نَفۡسٍ اِلَّا عَلَیۡہَا ۚ وَ لَا
تَزِرُ وَازِرَۃٌ وِّزۡرَ اُخۡرٰی ۚ ثُمَّ اِلٰی رَبِّکُمۡ مَّرۡجِعُکُمۡ
فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ
فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ ﴿﴾ وَ ہُوَ الَّذِیۡ جَعَلَکُمۡ خَلٰٓئِفَ الۡاَرۡضِ
وَ رَفَعَ بَعۡضَکُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰکُمۡ ؕ اِنَّ رَبَّکَ سَرِیۡعُ الۡعِقَابِ ۫ۖ وَ اِنَّہٗ
لَغَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Katakanlah:
”Apakah aku akan
mencari Tuhan yang bukan-Allah,
padahal Dia-lah Rabb (Tuhan) segala sesuatu?” Dan tiada jiwa mengupayakan sesuatu melainkan
akan menimpa dirinya, dan tidak pula seorang pemikul beban memikul beban orang lain,. kemudian
kepada Rabb (Tuhan) kamu tempat kembalimu, maka Dia akan memberitahu kamu apa-apa yang
mengenainya kamu berselisih. Dan
Dia-lah Yang menjadikan kamu penerus-penerus
di bumi, dan Dia meninggikan sebagian
kamu dari sebagian yang lain dalam derajat supaya Dia menguji kamu dengan apa punyang telah Dia berikan kepadamu.
Sesungguhnya Tuhan engkau
sangat cepat dalam menghukum, dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-An’ām [6]:165-166).
Seperti halnya ayat-ayat QS.17:16;
QS.53:40-41, ayat 165 mengandung sanggahan keras terhadap ajaran Penebusan Dosa dan secara tegas
menarik perhatian terhadap kenyataan bahwa setiap
orang harus memikul salibnya
sendiri, yaitu mempertanggungjawabkan amal-perbuatannya sendiri. Pengorbanan dari siapa pun – termasuk
Yesus Kristus -- sebagai pengganti
tidak akan memberi manfaat.
Ayat 166
sekaligus merupakan anjuran dan peringatan kepada kaum Muslimin. Mereka diberitahu bahwa kepada
mereka akan dianugerahkan kekuatan
serta kekuasaan, dan tugas mengatur urusan bangsa-bangsa akan
diserahkan ke tangan mereka. Mereka harus melaksanakan kewajiban mereka dengan tidak-berat-sebelah
dan adil, sebab mereka harus mempertanggung-jawabkan tugas kewajiban
mereka kepada Allah Swt., Wujud Yang Menjadikan
mereka.
Perpisahan “Hamba Allah” dengan Nabi Musa a.s. &
Makna “Orang Miskin” dan “Perahu yang Dilubangi”
Atas kegagalan Nabi Musa a.s.
yang ketiga kalinya tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ ہٰذَا فِرَاقُ
بَیۡنِیۡ وَ بَیۡنِکَ ۚ سَاُنَبِّئُکَ
بِتَاۡوِیۡلِ مَا لَمۡ
تَسۡتَطِعۡ عَّلَیۡہِ صَبۡرًا ﴿﴾ اَمَّا السَّفِیۡنَۃُ فَکَانَتۡ لِمَسٰکِیۡنَ یَعۡمَلُوۡنَ فِی
الۡبَحۡرِ فَاَرَدۡتُّ اَنۡ اَعِیۡبَہَا وَ کَانَ وَرَآءَہُمۡ مَّلِکٌ یَّاۡخُذُ کُلَّ سَفِیۡنَۃٍ غَصۡبًا ﴿﴾
Ia
berkata: "Inilah perpisahan
antara aku dengan engkau. Sekarang
aku akan memberitahukan kepada engkau takwil dari apa yang engkau tidak sanggup bersabar mengenainya.
Adapun perahu itu maka adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusaknya karena di belakang mereka ada seorang raja yang senantiasa merampas
setiap perahu. (Al-Kahf [18]:79-80).
Dengan kata-kata "orang miskin" di sini dapat bermaksud "orang-orang Islam." Membuat lubang dalam perahu mengandung arti bahwa
ajaran Islam (Al-Quran) akan
mendorong orang-orang Muslim
menginfakkan harta kekayaan mereka di
jalan Allah melalui zakat dan sedekah.
Hal tersebut -- menurut orang-orang Yahudi -- akan nampak sebagai sumber
kelemahan ekonomi dan bukan sumber
kekuatan serta kesejahteraan yang
sejati, tetapi hakikat yang sebenarnya tidak demikian. Raja zalim dalam isra'
Nabi Musa a.s. itu dapat mengisyaratkan kepada kerajaan-kerajaan Bizantin dan Iran, yang tentu akan menerkam seluruh negara Arab, seandainya
negeri (jazirah Arabia) itu tidak
nampak kepada mereka sebagai tanah yang
miskin dan kering, karena itu mereka pikir untuk apa payah-payah menaklukkannya.
Dengan demikian negeri itu tetap utuh untuk Nabi
Besar Muhammad saw., yang menggenapi nubuatan
dalam Taurat dan Injil (QS.7:158-159; QS.46:11; QS.61:6-7). Mengenai beberapa nubuatan Bible berkenaan dengan N abi Besar
Muhammad saw. lihat Matius
23:39; Yahya 14:16, 26; 16:7-14; Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya
21:13-17 dan 20:62; Syiru ‘Lasyar 1:5-6; Habakuk 3:7.
Makna “Membunuh Pemuda”
dan “Anak yang Shaleh”
Selanjutnya “Hamba Allah” menjelaskan makna dari tindakan aneh berikutnya yang dilakukannya yaitu “membunuh seorang pemuda”:
وَ اَمَّا الۡغُلٰمُ فَکَانَ
اَبَوٰہُ مُؤۡمِنَیۡنِ فَخَشِیۡنَاۤ اَنۡ یُّرۡہِقَہُمَا طُغۡیَانًا وَّ کُفۡرًا ﴿ۚ﴾ فَاَرَدۡنَاۤ اَنۡ یُّبۡدِلَہُمَا رَبُّہُمَا خَیۡرًا مِّنۡہُ زَکٰوۃً وَّ اَقۡرَبَ رُحۡمًا ﴿﴾
"Dan adapun anak muda itu kedua
orang tuanya adalah orang-orang yang
beriman maka kami khawatir bahwa
dia akan melibatkan kedua orangtuanya
ke dalam pelanggaran dan kekafiran. Maka
kami menginginkan supaya Tuhan mereka akan mengganti kepada mereka berdua anak yang lebih baik daripada dia dalam kesucian dan lebih dekat dalam kasih-sayang.
(Al-Kahf [18]:81-82).
Ghulam (seorang
pemuda) seperti dikemukakan di atas, dalam mimpi
atau kasyaf mengandung arti:
kejahilan, kekuatan, dan dorongan-dorongan nafsu jalang.
"Orangtuanya" dalam ayat ini menunjuk tubuh dan ruh
manusia, sebab sumber (yaitu orangtua) yang darinya terbit semua nilai-akhlak
ialah gabungan tubuh dan ruh manusia, yang di sini dilukiskan
sebagai "orang-orang yang beriman”.
Kenapa demikian? Sebab, seperti vane diajarkan oleh Islam, manusia pada hakikatnva cenderung kepada kebaikan. "Orang-orang yang beriman” ini dapat terseret kepada keburukan oleh dorongan-dorongan
yang telah dilukiskan sebagai "pemuda”. Islam memusnahkan
dorongan-dorongan tersebut dan membiarkan manusia
— baik jasad maupun ruh manusia — untuk maju dan berkembang meialui garis-garis yang membawa kepada kemanfaatan
dan dengan demikian mencapai tujuan mulia
kehidupan manusia, yakni beribadah
kepada Allah Swt. (QS.51:57) dan manusia layak disebut “khalifatullah fil ardhi (wakil Allah di muka bumi” -- QS.2:31).
“Pemuda yang
dibunuh” oleh “hamba Allah” tersebut dapat pula mengisyaratkan kepada
keadaan manusia pada tingkatan nafs
ammarah sebagaimana yang disinggung oleh Nabi Yusuf a.s. pada Bab 154,
firman-Nya:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Yusuf
[12]:54).
Anak
kalimat illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran
yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang, huruf mā di sini
menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku
berkasih sayang, mā di sini
berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.
Tiga Tingkat Perkembangan Nafs
(Jiwa) Manusia
Ketiga arti tersebut menunjuk
kepada ketiga taraf perkembangan ruhani
manusia, yakni:
(1) Arti pertama menunjuk kepada
taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan
ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28),
firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau, maka
masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[89]:28-31).
Ayat ini merupakan
tingkat perkembangan ruhani tertinggi
ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya
dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23).
Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat
surgawi, ia menjadi kebal
terhadap segala macam kelemahan akhlak,
diperkuat dengan kekuatan ruhani yang
khusus. Ia “manunggal” dengan Allah dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di
dunia inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam
dirinya, dan di dunia inilah dan bukan
di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
(2) Arti kedua dikenakan kepada
orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri
sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ لَاۤ اُقۡسِمُ
بِیَوۡمِ الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿﴾ وَ لَاۤ اُقۡسِمُ
بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿﴾ اَیَحۡسَبُ الۡاِنۡسَانُ اَلَّنۡ نَّجۡمَعَ عِظَامَہٗ
ؕ﴿﴾ بَلٰی قٰدِرِیۡنَ
عَلٰۤی اَنۡ نُّسَوِّیَ بَنَانَہٗ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Tidak demikian! Aku bersumpah dengan Hari Kiamat. Dan,
tidak demikian! Aku bersumpah dengan
jiwa yang menyesali diri. Apakah manusia
menyangka bahwa Kami tidak akan mengumpul-kan tulang-tulangnya? Mengapa
tidak, bahkan Kami berkuasa menyusun
kembali jari-jemarinya (Al-Qiyamah [75]:1-5).
Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah
(jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat
kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs
lawwamah (jiwa yang menyesali diri), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya.
Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di
dalam diri manusia memperoleh keunggulan.
Itulah permulaan kebangkitan akhlak,
dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir
Jika manusia tidak
mempunyai pertanggung-jawaban, dan
seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban
atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangan ruh manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa
yang tenteram – QS.75:28-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal
terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khāliq-nya.
Sehubungan dengan telah
tumbuhnya dalam diri seseorang keyakinan
akan adanya Hari Kebangkitan (Hari
Kiamat) tersebut, kata banān (jari jemari) menampilkan kekuasaan dan kekuatan manusia, karena dengan sarana jari-jarinya ia memegang
sebuah benda dan membela dirinya
sendiri.
Kata banān itu dapat
menyatakan juga tubuh manusia seutuhnya,
karena kadang-kadang sebutan bagian
suatu benda dapat menampilkan keseluruhan.
Ayat ini berarti bahwa Allah Swt. memiliki kekuasaan mengembalikan lagi semua kekuatan
manusia atau bahkan kekuatan seluruh bangsa
bila mereka sebenarnya mati dan tidak bernyawa lagi.
(3) Arti ketiga dikenakan kepada
orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya.
Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan
– QS.12:54), firman-Nya:
وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama
sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Yusuf
[12]:54).
Nabi Yusuf a.s. berhasil membebaskan diri dari ancaman berbahaya keadaan naf
Ammarah karena beliau telah memilih penjara daripada tetap tinggal
di rumah majikannya dimana istri majikannya akan terus menerus menggodanya sampai ia dapat melaksanakan
keinginan buruknya, yang
melambangkan godaan-godaan kesenangan
duniawi yang sangat disukai oleh nafs Ammarah, firman-Nya:
قَالَ رَبِّ
السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ
کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ
مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾ فَاسۡتَجَابَ
لَہٗ رَبُّہٗ فَصَرَفَ عَنۡہُ کَیۡدَہُنَّ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ﴿﴾
Ia, Yusuf,
berkata: “Ya Tuhan-ku, penjara itu lebih kusukai bagiku daripada
apa yang mereka mengajak-ku kepadanya, dan jika Engkau tidak mengelakkan dari diriku tipu-daya mereka tentu aku
akan cenderung kepada mereka itu dan aku
akan terma-suk orang-orang yang jahil.” Maka Tuhan mengabulkan doanya lalu
mengelakkan dari tipu-daya mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Yusuf
[12]:34-35).
Jadi, pada
hakikatnya perkembangan keadaan nafs (jiwa) manusia dari keadaan nafs Ammarah, menjadi keadaan nafs Lawwamah, lalu meraih keadaan
tingkat nafs- al-Mutmainnah tersebut
merupakan penggantian “pemuda yang
dibunuh” oleh “hamba Allah”
tersebut dengan “anak yang shaleh”,
firman-Nya:
وَ اَمَّا الۡغُلٰمُ فَکَانَ
اَبَوٰہُ مُؤۡمِنَیۡنِ فَخَشِیۡنَاۤ اَنۡ یُّرۡہِقَہُمَا طُغۡیَانًا وَّ کُفۡرًا ﴿ۚ﴾ فَاَرَدۡنَاۤ اَنۡ یُّبۡدِلَہُمَا رَبُّہُمَا خَیۡرًا مِّنۡہُ زَکٰوۃً وَّ اَقۡرَبَ رُحۡمًا ﴿﴾
"Dan adapun anak muda itu kedua
orang tuanya adalah orang-orang yang
beriman maka kami khawatir bahwa
dia akan melibatkan kedua orangtuanya
ke dalam pelanggaran dan kekafiran. Maka
kami menginginkan supaya Tuhan mereka akan mengganti kepada mereka berdua anak yang lebih baik daripada dia dalam kesucian dan lebih dekat dalam kasih-sayang.
(Al-Kahf [18]:81-82).
Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar