Senin, 24 Juni 2013

Nabi Besar Muhammad Saw. Pewaris Sempurna "Millat" (Agama) Nabi Ibrahim a.s. & Hakikat "Pemuda yang Dibunuh" oleh "Hamba Allah"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 156


Nabi Besar Muhammad Saw. Pewaris Sempurna “Millat  (Agama) Nabi Ibrahim a.s.  & Hakikat “Pemuda yang Dibunuh” oleh “Hamba Allah”  


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  akhir  Bab   sebelumnya telah dikemukakan mengenai   millat (agama) Nabi Ibrahim a.s. dan ke-Muslim-an para penganut millat Nabi Ibrahim a.s. tersebut:
وَ جَاہِدُوۡا فِی اللّٰہِ حَقَّ جِہَادِہٖ ؕ ہُوَ اجۡتَبٰىکُمۡ وَ مَا جَعَلَ عَلَیۡکُمۡ فِی الدِّیۡنِ مِنۡ حَرَجٍ ؕ مِلَّۃَ  اَبِیۡکُمۡ اِبۡرٰہِیۡمَ ؕ ہُوَ سَمّٰىکُمُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ۬ۙ مِنۡ قَبۡلُ وَ فِیۡ ہٰذَا  لِیَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ شَہِیۡدًا عَلَیۡکُمۡ وَ تَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ ۚۖ فَاَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ اٰتُوا الزَّکٰوۃَ  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِاللّٰہِ ؕ ہُوَ مَوۡلٰىکُمۡ ۚ فَنِعۡمَ الۡمَوۡلٰی وَ نِعۡمَ النَّصِیۡرُ ﴿﴾
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad  yang sebenar-benarnya, Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran padamu dalam urusan agama, Ikutilah millat (agama) bapakmu, Ibrahim, Dia telah memberi kamu nama Muslimin dahulu dan dalam Kitab ini,  supaya Rasul itu menjadi saksi atas kamu  dan supaya kamu menjadi saksi atas umat manusia. Maka dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah, Dia Pelindung kamu  maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung  dan sebaik-baik Penolong. (Al-Hajj [22]:79).

Nubuatan Nabi Yesaya a.s. tentang Nama “Muslim

    Kata-kata “Dia telah memberi kamu nama Muslimin, dahulu dan dalam Kitab ini,” menunjuk kepada nubuatan Nabi Yesaya a.s.:
maka engkau akan disebut dengan nama yang baharu, yang akan ditentukan oleh firman Tuhan .....” (Yesaya 62:2 dan 65:15).
    Sedangkan isyarat dalam kata-kata“dan dalam Kitab ini” ditujukan kepada doa  Nabi Ibrahim a.s.  yang dikutip dalam Al-Quran ketika mendirikan kembali Ka’bah bersama Nabi Isma’il a.s., yaitu:
رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً  لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua ini hamba yang menyerahkan diri kepada Engkau, dan juga dari anak-cucu kami jadikanlah satu umat yang tunduk kepada Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubah, Maha Penyayang ”(Al-Baqarah [2]:129).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada umat Islam mengenai benarnya ke—Muslim-an yang mereka warisi dari Nabi Ibrahim a.s.:
فَاِنۡ اٰمَنُوۡا بِمِثۡلِ مَاۤ  اٰمَنۡتُمۡ  بِہٖ فَقَدِ اہۡتَدَوۡا ۚ وَ اِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّمَا ہُمۡ فِیۡشِقَاقٍ ۚ فَسَیَکۡفِیۡکَہُمُ اللّٰہُ ۚ وَ ہُوَ السَّمِیۡعُ  الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ؕ      صِبۡغَۃَ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً  ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ عٰبِدُوۡنَ ﴿﴾
Lalu jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman kepadanya maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan  jika mereka berpaling  maka sesungguhnya mereka dalam permusuhan terhadap kamu, tetapi Allah segera mencukupi engkau untuk menghadapi mereka, dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.   Katakanlah: “Kami menganut agama  Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan agama, dan kepada-Nya kami beribadah.” (Al-Baqarah [2]:138-139).
    Orang-orang Islam diperingatkan dalam ayat 138, jika orang-orang Yahudi dan Kristen sepakat dengan orang-orang Islam dalam anggapan bahwa agama itu bukan turunan, melainkan sebagai penerimaan atas semua petunjuk wahyu, maka tidak ada perbedaan yang pokok antara mereka, jika tidak demikian maka cara berfikir mereka jauh berbeda dan jurang lebar memisahkan mereka, dan tanggung jawab atas perpecahan serta permusuhan yang terjadi sebagai akibatnya terletak pada kaum Yahudi dan Kristen dan tidak pada kaum Muslim.

Puncak Kesempurnaan Islam dan Ke-Muslim-an 
di Zaman Nabi Besar Muhammad Saw.

     Ayat صِبۡغَۃَ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً  ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ عٰبِدُوۡنَ   --  Katakanlah: “Kami menganut agama  Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan agama, dan kepada-Nya kami beribadah”, shibghah berarti: celup atau warna; macam atau ragam atau sifat sesuatu; agama; peraturan hukum; pembaptisan. Shibghatallāh berarti: agama Allah; sifat yang dianugerahkan Allah Swt.  kepada manusia (Aqrab-al-Mawarid). Agama itu disebut shibghah  karena agama mewarnai manusia seperti celup atau warna mewarnai sesuatu.
    Shibghah dipakai di sini sebagai pelengkap kata kerja yang mahzuf (tidak disebut karena telah diketahui). Menurut tata bahasa Arab, kadang-kadang bila ada satu kehendak keras untuk membujuk seseorang melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, maka kata kerjanya ditinggalkan dan hanya tujuannya saja yang disebut. Maka kata-kata seperti na’khudzu (kami telah mengambil) atau nattabi’u (kami telah mengikuti) dapat dianggap sudah diketahui dan anak kalimat itu akan berarti “kami telah menerima atau kami telah menganut agama sebagaimana Tuhan menghendaki supaya kami menerima atau mengikutinya.”
      Kembali kepada firman Allah Swt. yang merupakan pokok bahasan mengenai kegagalan Nabi Musa a.s. yang ketiga kalinya:
فَانۡطَلَقَا ٝ حَتّٰۤی اِذَاۤ  اَتَیَاۤ اَہۡلَ قَرۡیَۃِۣ   اسۡتَطۡعَمَاۤ اَہۡلَہَا فَاَبَوۡا اَنۡ یُّضَیِّفُوۡہُمَا فَوَجَدَا فِیۡہَا جِدَارًا یُّرِیۡدُ اَنۡ یَّنۡقَضَّ فَاَقَامَہٗ ؕ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ  لَتَّخَذۡتَ  عَلَیۡہِ  اَجۡرًا ﴿﴾
Maka berangkatlah kedua­nya, hingga ketika mereka sampai kepada penduduk sebuah kota, mereka berdua meminta makanan kepada penduduknya tetapi mereka menolak untuk menerima kedua orang itu sebagai tamunya. Lalu mereka berdua menjumpai di sana sebuah dinding yang hampir runtuh maka ia, hamba Allah,  memperbaikinya. Ia, Musa,  berkata: "Seandainya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu." (Al-Kahf [18]:78).
      Ucapan Nabi Musa a.s.:  "Seandainya engkau menghendaki, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu"   bertentangan prinsip aslim (berserah diri kepada Allah  Swt.)  atau Tauhid yang hanif (lurus dan tulus) yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada anak-keturunan  beliau a.s., bahkan diwarisi oleh Nabi Besar Muhammad saw. dalam bentuknya yang paling sempurna.
    Berikut firman Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai hal tersebut:
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhan-ku kepada jalan lurus, agama yang teguh,  agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah dari orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupan-ku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh  alam; tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan,  dan akulah orang pertama  yang berserah diri. (Al-An’ām [6]:162-164).

Sangkalan Atas  Itikad “Penebusan Dosa

Shalat, korban, hidup, dan mati meliputi seluruh bidang amal perbuatan manusia; dan Nabi Besar Muhammad saw. disuruh menyatakan bahwa semua segi kehidupan di dunia ini dipersembahkan oleh beliau saw. kepada Allah Swt.,   semua amal ibadah beliau saw. dipersembahkan kepada  Allah Swt., semua pengorbanan dilakukan beliau untuk Dia; segala penghidupan dihibahkan beliau saw. untuk berbakti kepada-Nya, maka bila di jalan agama  Nabi Besar Muhammad saw.  mencari maut (kematian) itu pun guna meraih keridhaan-Nya.
 Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Tauhid dan ke-Muslim-an (aslim) yang Nabi Besar Muhammad saw. pegang-teguh dan ajarkan kepada umat manusia:
قُلۡ اَغَیۡرَ اللّٰہِ اَبۡغِیۡ رَبًّا وَّ ہُوَ رَبُّ کُلِّ شَیۡءٍ ؕ وَ لَا تَکۡسِبُ کُلُّ نَفۡسٍ  اِلَّا عَلَیۡہَا ۚ وَ لَا تَزِرُ وَازِرَۃٌ  وِّزۡرَ  اُخۡرٰی ۚ ثُمَّ اِلٰی رَبِّکُمۡ مَّرۡجِعُکُمۡ فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ  فِیۡہِ  تَخۡتَلِفُوۡنَ ﴿﴾  وَ ہُوَ الَّذِیۡ جَعَلَکُمۡ خَلٰٓئِفَ الۡاَرۡضِ وَ رَفَعَ بَعۡضَکُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ  اٰتٰکُمۡ ؕ اِنَّ رَبَّکَ سَرِیۡعُ  الۡعِقَابِ ۫ۖ وَ  اِنَّہٗ  لَغَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Katakanlah:  ”Apakah aku akan mencari Tuhan  yang bukan-Allah, padahal  Dia-lah Rabb (Tuhan) segala sesuatu?” Dan tiada jiwa mengupayakan sesuatu melainkan akan menimpa dirinya, dan  tidak pula seorang pemikul beban memikul beban orang lain,. kemudian kepada Rabb (Tuhan) kamu tempat kembalimu, maka Dia akan memberitahu kamu apa-apa yang mengenainya kamu berselisih.   Dan Dia-lah Yang menjadikan kamu penerus-penerus di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam derajat  supaya Dia menguji kamu dengan apa punyang telah Dia berikan kepadamu.  Sesungguhnya  Tuhan engkau sangat cepat dalam menghukum, dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-An’ām [6]:165-166).
Seperti halnya ayat-ayat QS.17:16; QS.53:40-41, ayat 165  mengandung sanggahan keras terhadap ajaran Penebusan Dosa dan secara tegas menarik perhatian terhadap kenyataan bahwa setiap orang harus memikul salibnya sendiri, yaitu mempertanggungjawabkan amal-perbuatannya sendiri. Pengorbanan dari siapa pun – termasuk Yesus Kristus -- sebagai pengganti tidak akan memberi manfaat.
Ayat 166 sekaligus merupakan anjuran dan peringatan kepada kaum Muslimin. Mereka diberitahu bahwa kepada mereka akan dianugerahkan kekuatan serta kekuasaan, dan tugas mengatur urusan bangsa-bangsa akan diserahkan ke tangan mereka. Mereka harus melaksanakan kewajiban mereka dengan tidak-berat-sebelah dan adil, sebab mereka harus mempertanggung-jawabkan tugas kewajiban mereka kepada Allah Swt., Wujud Yang Menjadikan mereka.

Perpisahan “Hamba Allah” dengan Nabi Musa a.s. &
Makna “Orang Miskin” dan “Perahu yang Dilubangi

     Atas kegagalan Nabi Musa a.s. yang ketiga kalinya tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ ہٰذَا فِرَاقُ بَیۡنِیۡ وَ بَیۡنِکَ ۚ سَاُنَبِّئُکَ بِتَاۡوِیۡلِ مَا لَمۡ تَسۡتَطِعۡ عَّلَیۡہِ صَبۡرًا ﴿﴾  اَمَّا السَّفِیۡنَۃُ  فَکَانَتۡ لِمَسٰکِیۡنَ یَعۡمَلُوۡنَ فِی الۡبَحۡرِ فَاَرَدۡتُّ اَنۡ اَعِیۡبَہَا وَ کَانَ  وَرَآءَہُمۡ مَّلِکٌ یَّاۡخُذُ کُلَّ  سَفِیۡنَۃٍ  غَصۡبًا ﴿﴾
Ia berkata: "Inilah perpisah­an antara aku dengan engkau.  Sekarang aku  akan memberitahukan ke­pada engkau takwil dari apa yang engkau tidak sanggup bersabar mengenainya.  Adapun perahu itu maka ada­lah kepunyaan   orang-orang miskin  yang bekerja di laut, aku bermaksud merusaknya  karena di belakang mereka ada seorang raja yang senantiasa merampas setiap perahu.  (Al-Kahf [18]:79-80).
  Dengan kata-kata "orang miskin" di sini dapat bermaksud "orang-­orang Islam." Membuat lubang dalam perahu mengandung arti  bahwa ajaran Islam (Al-Quran) akan mendorong orang-orang Muslim menginfakkan harta kekayaan mereka di jalan Allah melalui zakat dan sedekah.
     Hal tersebut  -- menurut orang-orang Yahudi -- akan nampak sebagai sumber kelemahan ekonomi dan bukan sumber kekuatan serta kesejahteraan yang sejati, tetapi hakikat yang sebenarnya tidak demikian. Raja zalim dalam isra' Nabi Musa a.s. itu dapat  mengisyaratkan kepada   kerajaan-kerajaan Bizantin dan Iran, yang tentu akan menerkam seluruh negara Arab, seandainya negeri (jazirah Arabia) itu tidak nampak kepada mereka sebagai tanah yang miskin dan kering,  karena itu mereka pikir  untuk apa payah-payah menaklukkannya.
    Dengan demikian negeri itu tetap utuh untuk  Nabi Besar Muhammad saw., yang menggenapi nubuatan dalam Taurat dan Injil (QS.7:158-159; QS.46:11; QS.61:6-7). Mengenai beberapa nubuatan Bible berkenaan dengan N abi Besar Muhammad saw.  lihat Matius 23:39; Yahya 14:16, 26; 16:7-14; Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17 dan 20:62; Syiru ‘Lasyar 1:5-6; Habakuk 3:7.

Makna “Membunuh Pemuda” dan “Anak yang Shaleh

      Selanjutnya “Hamba Allah”  menjelaskan makna dari tindakan aneh berikutnya yang dilakukannya yaitu “membunuh seorang pemuda”:
وَ اَمَّا الۡغُلٰمُ فَکَانَ اَبَوٰہُ  مُؤۡمِنَیۡنِ  فَخَشِیۡنَاۤ  اَنۡ یُّرۡہِقَہُمَا طُغۡیَانًا وَّ کُفۡرًا ﴿ۚ﴾  فَاَرَدۡنَاۤ  اَنۡ یُّبۡدِلَہُمَا رَبُّہُمَا خَیۡرًا مِّنۡہُ  زَکٰوۃً  وَّ  اَقۡرَبَ  رُحۡمًا ﴿﴾
"Dan adapun anak muda itu  kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman maka kami khawatir bahwa dia akan me­libatkan kedua orangtuanya ke dalam pelanggaran dan kekafiran. Maka kami menginginkan supaya  Tuhan mereka akan mengganti  kepada mereka berdua anak yang lebih baik daripada dia dalam kesucian dan lebih dekat dalam kasih-sayang. (Al-Kahf [18]:81-82).
 Ghulam (seorang pemuda) seperti dikemukakan di atas, dalam mimpi atau kasyaf mengandung arti: kejahilan, kekuatan, dan dorongan-dorongan nafsu jalang. "Orangtuanya" dalam ayat ini menunjuk tubuh dan ruh manusia, sebab sumber (yaitu orangtua) yang darinya terbit semua nilai-akhlak ialah gabungan tubuh dan ruh manusia, yang di sini dilukiskan sebagai "orang-orang yang beriman”.
Kenapa demikian? Sebab,  seperti vane diajarkan oleh Islam, manusia pada hakikatnva cenderung kepada kebaikan. "Orang-orang yang beriman”  ini dapat terseret kepada keburukan oleh dorongan-dorongan yang telah dilukiskan sebagai "pemuda”. Islam memusnahkan dorongan-dorongan tersebut dan membiarkan manusia — baik jasad maupun ruh manusia — untuk maju dan berkembang meialui garis-garis yang membawa kepada kemanfaatan dan dengan demikian mencapai tujuan mulia kehidupan manusia, yakni beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57) dan manusia layak disebut “khalifatullah fil ardhi (wakil Allah di muka bumi”  -- QS.2:31).
Pemuda yang dibunuh” oleh “hamba Allah” tersebut dapat pula mengisyaratkan kepada keadaan manusia pada tingkatan nafs ammarah sebagaimana yang disinggung oleh Nabi Yusuf a.s. pada Bab 154, firman-Nya:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku,  sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
     Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf  di sini menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang,  di sini berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya.

Tiga Tingkat Perkembangan Nafs (Jiwa) Manusia

     Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia, yakni:
     (1) Arti pertama menunjuk kepada taraf ketika manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau, maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).
  Ayat ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
     (2) Arti kedua dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  لَاۤ   اُقۡسِمُ   بِیَوۡمِ  الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿﴾  وَ  لَاۤ   اُقۡسِمُ  بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿﴾  اَیَحۡسَبُ الۡاِنۡسَانُ اَلَّنۡ نَّجۡمَعَ عِظَامَہٗ ؕ﴿﴾  بَلٰی قٰدِرِیۡنَ  عَلٰۤی  اَنۡ  نُّسَوِّیَ بَنَانَہٗ ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Tidak demikian! Aku bersumpah dengan Hari Kiamat.   Dan, tidak demikian! Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali diri. Apakah manusia menyangka bahwa Kami tidak akan mengumpul-kan tulang-tulangnya?  Mengapa tidak, bahkan Kami  berkuasa menyusun kembali jari-jemarinya (Al-Qiyamah [75]:1-5).
 Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya. Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir
Jika manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangan ruh manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.75:28-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khāliq-nya.
 Sehubungan dengan telah tumbuhnya  dalam diri  seseorang keyakinan akan adanya Hari Kebangkitan (Hari Kiamat) tersebut,  kata banān (jari jemari) menampilkan kekuasaan dan kekuatan manusia, karena dengan sarana jari-jarinya ia memegang sebuah benda dan membela dirinya sendiri.
Kata banān itu dapat menyatakan juga tubuh manusia seutuhnya, karena kadang-kadang sebutan bagian suatu benda dapat menampilkan keseluruhan. Ayat ini berarti bahwa Allah Swt. memiliki kekuasaan mengembalikan lagi semua kekuatan manusia atau bahkan kekuatan seluruh bangsa bila mereka sebenarnya mati dan tidak bernyawa lagi.
   (3) Arti ketiga dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan – QS.12:54), firman-Nya:
وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku,  sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Yusuf [12]:54).
     Nabi Yusuf a.s. berhasil membebaskan diri dari  ancaman berbahaya keadaan  naf Ammarah   karena beliau telah memilih penjara daripada tetap tinggal di rumah majikannya  dimana istri majikannya akan terus menerus menggodanya sampai ia dapat melaksanakan keinginan buruknya, yang melambangkan  godaan-godaan kesenangan duniawi  yang sangat disukai oleh nafs Ammarah, firman-Nya:
قَالَ رَبِّ السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ  اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ  اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾  فَاسۡتَجَابَ لَہٗ  رَبُّہٗ  فَصَرَفَ عَنۡہُ کَیۡدَہُنَّ ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ﴿﴾
Ia, Yusuf, berkata:  “Ya Tuhan-ku, penjara itu lebih kusukai bagiku daripada apa yang mereka mengajak-ku kepadanya, dan jika Engkau tidak mengelakkan dari diriku tipu-daya mereka tentu aku akan cenderung kepada mereka itu dan aku akan terma-suk orang-orang yang jahil.” Maka Tuhan mengabulkan doanya lalu   mengelakkan dari   tipu-daya mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Yusuf [12]:34-35).
    Jadi, pada hakikatnya perkembangan keadaan nafs (jiwa) manusia dari keadaan nafs Ammarah, menjadi keadaan nafs Lawwamah, lalu meraih keadaan tingkat nafs- al-Mutmainnah tersebut merupakan penggantian “pemuda yang dibunuh” oleh “hamba Allah” tersebut dengan “anak yang shaleh”, firman-Nya:
وَ اَمَّا الۡغُلٰمُ فَکَانَ اَبَوٰہُ  مُؤۡمِنَیۡنِ  فَخَشِیۡنَاۤ  اَنۡ یُّرۡہِقَہُمَا طُغۡیَانًا وَّ کُفۡرًا ﴿ۚ﴾  فَاَرَدۡنَاۤ  اَنۡ یُّبۡدِلَہُمَا رَبُّہُمَا خَیۡرًا مِّنۡہُ  زَکٰوۃً  وَّ  اَقۡرَبَ  رُحۡمًا ﴿﴾
"Dan adapun anak muda itu  kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman maka kami khawatir bahwa dia akan me­libatkan kedua orangtuanya ke dalam pelanggaran dan kekafiran.    Maka kami menginginkan supaya  Tuhan mereka akan mengganti  kepada mereka berdua anak yang lebih baik daripada dia dalam kesucian dan lebih dekat dalam kasih-sayang. (Al-Kahf [18]:81-82).

Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  7 Juni  2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar