بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 148
“Pujian-pujian Terselubung” Allah Swt. Terhadap Upaya
Keras dan Doa Nabi Besar Muhammad
Saw. dalam Menyebarkan Kesempurnaan
Ajaran Islam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai tantangan melakukan mubahalah
(pertandingan doa) yang diajukan
Nabi Besar Muhammad saw. kepada rombongan golongan Kristen dari Najran, yang membuktikan bahwa Nabi Besar Muhammad
saw. tidak pernah meragukan sedikit
pun mengenai kenabiannya mau pun
mengenai agama Islam (Al-Quran), sebagai agama
dan kitab suci terakhir dan
tersempurna untuk semua umat manusia (QS.5:4; QS.7:158-159), firman-Nya:
اَلۡحَقُّ
مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُنۡ مِّنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾ فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ
اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟
ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ ہٰذَا لَہُوَ الۡقَصَصُ الۡحَقُّ ۚ
وَ مَا مِنۡ اِلٰہٍ اِلَّا اللّٰہُ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا
فَاِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌۢ
بِالۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Kebenaran (al-haqq) ini dari Rabb (Tuhan) engkau maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang
ragu. Tetapi barangsiapa membantah
engkau mengenainya setelah datang
kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah
kita panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu, perempuan-perempuan kami dan
pe-rempuan-perempuan kamu, orang-orang kami dan orang-orang kamu, kemudian kita
berdoa supaya laknat Allah menimpa orang-orang yang berdusta.” Sesungguhnya ini benar-benar kisah yang haq
(benar), dan sekali-kali tidak ada Tuhan
yang patut disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Allah,
Dia benar-benar Maha Perkasa,
Maha Bijaksana. Lalu jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
berbuat kerusakan. (Āli
‘Imran [3]:61-64).
Pembahasan ajaran Kristen
yang digarap oleh Surah Āli ‘Imran ini
telah berakhir dalam ayat 62 ini. Rujukan
itu, seperti telah disebut di atas, tertuju kepada suatu utusan orang-orang
Kristen dari Najran, terdiri atas 40 orang dipimpin oleh kepala kabilah
mereka ‘Abd-al-Masih, yang terkenal
dengan nama Al-’Āqib. Mereka
menjumpai Nabi Besar Muhammad saw. di masjid
beliau saw., dan pertukaran pikiran tentang akidah yang dinamakan mereka ketuhanan Isa berlangsung beberapa lama.
Ketika masalahnya telah dibahas
secukupnya dan para anggota delegasi ternyata masih tetap berpegang pada ajaran mereka, maka Nabi Besar Muhammad saw. mematuhi perintah Ilahi yang tercantum dalam ayat ini, sebagai langkah penghabisan mengajak mereka
untuk ikut serta dengan beliau saw. dalam semacam adu kekuatan doa dan yang secara teknis disebut mubahalah, yakni menyeru agar kutukan Allah Swt. menimpa penganut kepercayaan palsu.
Tetapi karena orang-orang Kristen
itu tidak
merasa yakin mengenai dasar kepercayaan
mereka maka mereka menolak
menerima tantangan itu, dengan
demikian secara tidak langsung mengakhiri kepalsuan
akidah mereka (Zurqani).
Cara Islami yang diperintahkan Allah
Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.
untuk memutuskan yang haq (benar) dan yang batil (palsu) tersebut sama sekali menggugurkan faham sesat melakukan tindak kekerasan dalam menyikapi perbedaan faham yang marak di Akhir Zaman ini.
Tidak Perlu Ada Paksaaan dan Kekerasan
Dalam Masalah Agama
Secara sambil lalu baiklah
disebutkan bahwa sewaktu berlangsung tukar
pikiran dengan delegasi Kristen
dari Najran itu, Nabi Besar Muhammad
saw. mengizinkan mereka melakukan sembahyang
di masjid beliau dengan cara
mereka sendiri, dan mereka melakukan dengan menghadap ke timur, suatu sikap toleransi keagamaan yang tiada taranya,
dalam sejarah agama (Zurqani).
Oleh karena itu tidak ada alasan
untuk melakukan tuduhan dusta bahwa
Nabi Besar Muhammad saw. dalam menyebarkan ajaran Islam (Al-Quran) senantiasa menggunakan cara-cara kekerasan. Dengan tegas Allah Swt.
menyatakan bahwa tidak perlu dan tidak boleh melakukan paksaan dalam masalah agama
(QS.2:257), karena setelah kebenaran Islam dikemukakan kepada
manusia secara utuh, Allah Swt. memberikan kebebasan
kepada manusia untuk menerima
(beriman) atau untuk menolak (kufur),
firman-Nya:
وَ قُلِ
الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکُمۡ ۟ فَمَنۡ شَآءَ فَلۡیُؤۡمِنۡ وَّ مَنۡ شَآءَ فَلۡیَکۡفُرۡ ۙ اِنَّاۤ اَعۡتَدۡنَا
لِلظّٰلِمِیۡنَ نَارًا ۙ اَحَاطَ بِہِمۡ
سُرَادِقُہَا ؕ وَ اِنۡ یَّسۡتَغِیۡثُوۡا یُغَاثُوۡا بِمَآءٍ کَالۡمُہۡلِ یَشۡوِی
الۡوُجُوۡہَ ؕ بِئۡسَ الشَّرَابُ ؕ وَ سَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا ﴿﴾
Dan katakanlah: ”Inilah haq (kebenaran) dari Tuhan
kamu karena itu barangsiapa
menghendaki maka berimanlah,
dan barangsiapa menghendaki maka kafirlah”,
sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang yang zalim itu api yang
dinding-dindingnya mengepung mereka, dan jika mereka berteriak meminta tolong, mereka akan ditolong dengan air
seperti leburan timah, yang akan menghanguskan
wajah-wajah, sangat buruk minuman
itu dan sangat buruk tempat tinggal
itu! (Al-Kahf [18]:30).
Berikut
firman-Nya lagi mengenai ketidak-perluan melakukan pemaksaan dan kekerasan
dalam masalah penyebaran agama Islam:
وَ لَوۡ
شَآءَ رَبُّکَ لَاٰمَنَ مَنۡ فِی الۡاَرۡضِ کُلُّہُمۡ جَمِیۡعًا ؕ اَفَاَنۡتَ
تُکۡرِہُ النَّاسَ حَتّٰی یَکُوۡنُوۡا
مُؤۡمِنِیۡ ﴿﴾ وَ مَا کَانَ لِنَفۡسٍ اَنۡ تُؤۡمِنَ اِلَّا بِاِذۡنِ
اللّٰہِ ؕ وَ یَجۡعَلُ الرِّجۡسَ عَلَی الَّذِیۡنَ لَا یَعۡقِلُوۡنَ﴿﴾
Dan seandainya Tuhan
engkau menghendaki, niscaya semua
orang yang ada di bumi akan beriman seluruhnya. Apakah engkau akan memaksa manusia sehingga menjadi orang-orang
yang beriman?” Dan
sama sekali tidak seorang pun akan
beriman, kecuali dengan izin Allah. Dan Dia
menimpakan kemurkaan atas orang-orang yang tidak menggunakan akal. (Yunus
[10]:100-101).
Dari ayat-ayat ini jelas tanpa keraguan sedikit pun, bahwa Islam
tidak mengizinkan mempergunakan kekerasan
dalam menyebarkan ajarannya. Tidak
mungkin dapat dicapai iman sejati
hanya dengan menganut paham-paham
tertentu dengan lidah saja. Iman sejati itu hanya mungkin dengan izin Allah, artinya, dengan menjalankan (mengamalkan)
hukum-hukum Allah yang tertentu,
pasti serta dan tetap, dan itu hanya mungkin
jika orang-orang beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran dengan tulus ikhlas, bukan dengan cara paksaan mau pun kekerasan, yang hanya akan menimbulkan kemunafikan.
Bukan Merupakan Teguran
Melainkan “Pujian” Terselubung
Seperti halnya penggunakan kalimat mumtarīna
(orang yang ragu) yang disalahartikan mengenai Nabi Besar Muhammad saw. –
padahal beliau saw. tidak pernah merasa
ragu sedikit pun mengenai kenabian beliau
saw. mau pun mengenai kesempurnaan ajaran
Islam (Al-Quran) – demikian pula
kalimat اَفَاَنۡتَ تُکۡرِہُ
النَّاسَ حَتّٰی یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡ -- “Apakah
engkau akan memaksa manusia sehingga menjadi orang-orang
yang beriman?” pun telah disalah-tafsirkan para penentang seakan-akan Nabi Besar
Muhammad saw. dalam menyebarkan ajaran
Islam (Al-Quran) melakukan paksaan
dan kekerasan.
Memang benar bahwa Allah Swt.
dengan tegas telah melarang Nabi Besar Muhammad saw. dan umat Islam
melakukan paksaan dan tindak kekerasan dalam menyebarkan ajaran Islam (Al-Quran), namun demikian
bukan berarti beliau saw. dan umat Islam boleh bersikap santai dalam menyebarkan kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran).
Kenapa demikian? Sebab sikap santai
seperti itu bertentangan dengan beratnya
pemikulan amanat syariat Islam yang diemban oleh Nabi Besar Muhammad saw., dimana
ketika Allah Swt. menawarkan hal
itu kepada langi, bumi dan gunung-gunung
mereka semuanya menolak tetapi insan kamil (manusia sempurna), yaitu Nabi Besar Muhammad saw. menerimanya, firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ
اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ
وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya
enggan memikulnya dan mereka takut
terhadapnya, akan sedangkan insan
(manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghu-kum orang-orang munafik
lelaki dan orang-orang munafik
perempuan, dan orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang
musyrik perempuan, dan
Allah senantiasa kembali dengan kasih
sayang kepada orang-orang lelaki
dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun,
Maha Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:73-74).
Kesempurnaan “Daya Pikul” Nabi Besar Muhammad Saw.
Hamala al-amānata
berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati
amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang
adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda
itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri
dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul
adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti lalai, dungu, dan alpa (Lane).
(1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk
meresapkan dan menjelmakan di dalam
dirinya sifat-sifat Ilahi untuk
menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31; QS.51:57). Sungguh
inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat
raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda
lainnya — para malaikat, seluruh langit
(planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat
menandinginya.
Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu. Manusia (insan)
menerima tanggungjawab ini sebab
hanya dialah yang dapat melaksanakannya.
Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul
(mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya
sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung
kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan
apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu
mengabaikan diri atau alpa (jahul), dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia
dapat mengabaikan kepentingan pribadinya
dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran
dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad
saw., maka ayat ini akan berarti bahwa
dari semua penghuni seluruh langit
dan bumi, hanyalah beliau saw. sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat
Al-Quran (QS.5:4), sebab tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan
sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan
atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit.
Mereka itu semua — kecuali manusia —
menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu
sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum
itu mereka harus tunduk.
Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya
dan para malaikat juga melaksanakan
tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan
mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya (zhalum) dan mengabaikan serta tidak
mempedulikan (jahul) terhadap tugas
dan kewajibannya sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah Swt. (QS,51:57). Arti demikian mengenai ayat
ini didukung oleh QS.41:12.
Hakikat Permintaan
Nabi Musa a.s. Ingin “Melihat
Allah Swt.”
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah “pingsannya” Nabi Musa a.s.
dalam suatu peristiwa ruhani ketika Allah Swt. melakukan tajjaliyat-Nya (menampakkan
keagungan-Nya) kepada gunung dalam rangka menjawab keinginan Nabi Musa a.s.
ingin “melihat” Allah Swt., yakni ingin mengetahui keagungan Nabi Besar Muhammad saw. yang kedatangannya dijanjikan dari kalangan Bani Isma’il,
yang kepadanya Allah Swt. mengamanatkan “seluruh
kebenaran” (Ulangan 18:15-19),
firman-Nya:
وَ لَمَّا
جَآءَ مُوۡسٰی
لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ
وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ اِلَی
الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا
تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ
جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی
صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ
سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala
Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap
dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku,
perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman:
“Engkau tidak akan pernah dapat
melihat-Ku tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya maka engkau
pasti akan dapat melihat-Ku.”
Maka tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada gunung itu
Dia menjadikannya hancur lebur,dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia
sadar kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya
di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
Ayat
ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi
seseorang menyaksikan Allah Swt. dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat
bahwa Allah Swt. dapat disaksikan oleh mata jasmani
(QS.6:104). Jangankan melihat Allah
Swt. dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat
pula melihat malaikat-malaikat, kita
hanya dapat melihat penjelmaan mereka
belaka.
Begitu pula hanya tajalli
(penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah yang dapat kita saksikan,
tetapi Allah Swt. sendiri tidak. Oleh
karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi
Musa a.s. dengan segala makrifat mengenai sifat-sifat Allah Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang
mustahil.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat
menyaksikan Tajalli (penampakkan
kekuasaan) Allah Swt.,
dan bukan Wujud-Nya Sendiri.
Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah Swt. dalam bentuk “api”
dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (28:30). Jadi apa gerangan maksud Musa a.s. dengan
perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampakkanlah
kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
Permohonan itu nampaknya
mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna
Allah Swt. yang
kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad saw. beberapa masa kemudian. Nabi Musa a.s. diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara
Bani Israil akan muncul seorang “nabi
yang seperti dirinya”, yang di mulutnya Tuhan akan meletakkan Kalam-Nya
(Kitab Ulangan 18:18-22).
Nubuatan ini berkenaan dengan
suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi
Musa a.s., karena itu beliau dengan
sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan
Allah Swt. yang akan tampak
dalam tajalli yang dijanjikan itu. Nabi Musa a.s., berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan
itu, ada yang dapat diperlihatkan
kepada beliau.
“Roh Kebenaran” yang
Membawa “Semua Kebenaran”
Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa
Tajalli ini berada di luar batas kemampuan
beliau untuk menanggungnya, tajalli itu
tidak akan dapat terjelma pada hati
beliau, tetapi Nabi Musa a.s., memilih gunung
untuk bertajalli. Dalam peristiwa ruhani tersebut gunung itu berguncang
dengan hebat serta nampak seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. -- karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu -- rebah
tidak sadarkan diri (pingsan).
Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. dibuat sadar
(mengerti) bahwa beliau tidak mencapai taraf
yang demikian tingginya dalam martabat
keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat
Allah Swt. bertajalli
sebagaimana dimohonkan beliau.
Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, Baginda Nabi Muhammad saw. atau “nabi
yang seperti Musa” (Ulangan 18-18; QS.46:11).
Dengan kata lain, seandainya syariat Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat yang terakhir dan tersempurna – diberikan kepada Nabi Musa
a.s. untuk melaksanakannya maka Nabi Musa a.s. tidak akan mampu mengamalkannya secara sempurna sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar
Muhammad saw..
Mengisyaratkan kepada kenyataan
itulah pernyataan Allah Swt. melalui
sabda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) mengenai
kedatangan “Roh Kebenaran” yang akan
membawa “segala kebenaran”:
Masih banyak hal yang harus
Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.
Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran,
Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya
sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes
16:12-13)
Berdasarkan pernyataan Allah Swt. melalui
lidah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) tersebut dapat diketahui bahwa
kedatangan (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran)
paling belakang bukan seperti kelahiran "anak bungsu" -- sebagaimana
umumnya orang salah memahami -- melainkan karena agama Islam merupakan puncak
dari proses penyempurnaan hukum-hukum syariat yang dimulai dari para rasul
Allah pembawa syariat-syariat sebelumnya.
Itulah sebabnya kalau sebelum masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. syariat
Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat (Kitab suci) terakhir dan
tersempurna -- diturunkan kepada para Rasul Allah serta kepada
kaum-kaum para Rasul Allah tersebut, termasuk Nabi Musa a.a. dan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. maka mereka tidak akan mampu "memikulnya" atau
mengamalkannya, karena sama seperti misalnya kurikulum untuk para
mahasiswa di tingkat Universitas (Perguruan Tinggi) diberikan
kepada para siswa tingkatan SD atau SLTP atau SLTA.
Nabi Musa a.s. Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Mungkin pula permohonan Nabi Musa
a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir
(QS.2:56). Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan
beliau itu tidak layak. Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat
kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang
berarti Nabi Musa a.s. telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna
Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan
itu, dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.)
adalah orang yang pertama-tama beriman
kepada keluhuran kedudukan ruhani
yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar Muhammad
Saw..
Keimanan Nabi Musa a.s. kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu
telah disinggung juga dalam QS.46:11 berkenaan dengan kedatangan “Nabi yang seperti Musa”, sesuai dengan nubuatan dalam Bible (Ulangan
18:15-19). Gunung tersebut sebenarnya tidak
hancur-lebur.
Jadi, kata-kata itu telah
dipergunakan secara majasi (kiasan)
untuk menyatakan kehebatan gempa bumi
itu, lihat Keluaran 24:18,
untuk menggambarkan bahwa betapa beratnya amanat syariat
Islam yang harus dipikul
(dilaksanakan) oleh Nabi Besar Muhammad saw..
Kenapa demikian? Sebab beliau
saw. harus menjadi suri teladan yang
sempurna dalam segala hal (QS.33:33),
termasuk dalam hal menyebarkan ajaran
Islam (Al-Quran), yakni harus sampai kepada puncak pengupayaan yang mungkin dapat beliau saw. lakukan, tanpa harus
melakukan paksaan dan tindak kekerasan, sebagaimana yang
diperintahkan Allah Swt..
“Pujian Terselubung” Allah
Swt. Terhadap Upaya Keras
dan Doa Nabi Besar
Muhammad Saw.
Mengenai hal tersebut berikut
adalah firman-Nya kepada Nabi Besar
Muhammad saw. yang di dalamnya terkandung pujian
terselubung dari Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai upaya
keras yang beliau saw. lakukan dalam menyeru
umat manusia kepada kebenaran Islam
(Al-Quran):
وَ اِنۡ
کَانَ کَبُرَ عَلَیۡکَ اِعۡرَاضُہُمۡ فَاِنِ
اسۡتَطَعۡتَ اَنۡ تَبۡتَغِیَ نَفَقًا فِی الۡاَرۡضِ اَوۡ سُلَّمًا فِی
السَّمَآءِ فَتَاۡتِیَہُمۡ بِاٰیَۃٍ ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ لَجَمَعَہُمۡ عَلَی الۡہُدٰی فَلَا تَکُوۡنَنَّ
مِنَ الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾
Dan jika berpalingnya mereka terasa berat bagi
engkau, maka kalau engkau sanggup
mencari lubang ke dalam bumi atau tangga
ke langit, lalu engkau mendatangkan
kepada mereka suatu Tanda. Dan jika
Allah menghendaki niscaya mereka
akan dihimpun-Nya kepada petunjuk, maka janganlah sekali-kali engkau menjadi orang-orang yang jahil. (Al-An’ām
[6]:36).
Kata-kata mencari lubang tembusan ke dalam bumi berarti “menggunakan
daya-upaya dunawi,” yakni menablighkan
dan menyebarkan kebenaran, dan
kata-kata tangga ke langit, maknanya “menggunakan daya-upaya ruhani,” yakni memanjatkan doa ke hadirat Allah Swt. untuk memohon hidayah (petunjuk) bagi orang-orang
kafir dan sebagainya. Shalat
sungguh merupakan tangga yang dengan
itu orang (secara ruhani) dapat naik
ke langit. Dalam ayat ini Nabi Besar
Muhammad saw. diberi tahu (petunjuk) oleh Allah Swt. supaya menggunakan kedua upaya tersebut.
Kata jahil seperti dalam
QS.2:274 artinya “seseorang yang tidak
tahu-menahu” atau “tidak mengenal.” Nabi
Besar Muhammad saw. dianjurkan
agar jangan sampai tidak mengenal Hukum
Tuhan dalam perkara ini. Ayat itu pun menyingkapkan keprihatinan dan perhatian
besar Nabi Besar Muhammad saw. untuk kesejahteraan ruhani kaum beliau saw..
Beliau saw. bersedia untuk sedapat mungkin membawakan kepada mereka Tanda, sekalipun beliau saw. harus “mencari lubang tembusan ke dalam bumi atau tangga ke langit.”
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 30 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar