Sabtu, 15 Juni 2013

"Pujian-pujian" Terselubung Allah Swt. Terhadap Upaya Keras dan Doa Nabi Besar Muhammad Saw. dalam Menyebarkan Kesempurnaan Ajaran Islam




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 148


 “Pujian-pujian Terselubung”  Allah Swt. Terhadap  Upaya Keras dan Doa Nabi Besar Muhammad Saw. dalam Menyebarkan Kesempurnaan Ajaran Islam


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai  tantangan  melakukan mubahalah  (pertandingan doa) yang diajukan Nabi Besar Muhammad saw. kepada rombongan golongan Kristen dari Najran,  yang membuktikan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah meragukan sedikit pun mengenai kenabiannya mau pun mengenai  agama Islam (Al-Quran), sebagai agama dan kitab suci terakhir dan tersempurna untuk semua umat manusia (QS.5:4; QS.7:158-159), firman-Nya:
اَلۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُنۡ مِّنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾   فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟ ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾   اِنَّ ہٰذَا لَہُوَ الۡقَصَصُ الۡحَقُّ ۚ وَ مَا مِنۡ  اِلٰہٍ  اِلَّا اللّٰہُ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌۢ  بِالۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Kebenaran (al-haqq) ini dari Rabb (Tuhan) engkau maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu. Tetapi barangsiapa membantah engkau mengenainya setelah datang kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah kita panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu,  perempuan-perempuan kami dan pe-rempuan-perempuan kamu, orang-orang kami dan orang-orang kamu, kemudian kita berdoa supaya laknat Allah menimpa orang-orang yang berdusta.”  Sesungguhnya ini benar-benar  kisah yang haq (benar), dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali  Allah, dan sesungguhnya Allah,  Dia benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.    Lalu jika mereka berpaling  maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.  (Āli ‘Imran [3]:61-64).
      Pembahasan ajaran Kristen yang digarap oleh Surah Āli ‘Imran ini telah berakhir dalam ayat 62 ini. Rujukan  itu, seperti telah disebut di atas, tertuju kepada suatu  utusan orang-orang Kristen dari Najran, terdiri atas 40 orang dipimpin oleh kepala kabilah mereka ‘Abd-al-Masih, yang terkenal dengan nama Al-’Āqib. Mereka menjumpai Nabi Besar Muhammad saw. di masjid beliau saw., dan pertukaran pikiran tentang akidah yang dinamakan mereka ketuhanan Isa berlangsung beberapa lama.
     Ketika masalahnya telah dibahas secukupnya dan para anggota delegasi ternyata masih tetap berpegang pada ajaran mereka, maka  Nabi Besar Muhammad saw. mematuhi perintah Ilahi yang tercantum dalam ayat ini, sebagai langkah penghabisan mengajak mereka untuk ikut serta dengan beliau saw. dalam semacam adu kekuatan doa dan yang secara teknis disebut mubahalah, yakni menyeru agar kutukan Allah Swt.    menimpa penganut kepercayaan palsu.
   Tetapi karena orang-orang Kristen itu  tidak merasa yakin mengenai dasar kepercayaan mereka maka mereka menolak menerima tantangan itu, dengan demikian secara tidak langsung mengakhiri kepalsuan akidah mereka (Zurqani). Cara Islami yang diperintahkan Allah Swt.  kepada Nabi Besar Muhammad saw. untuk memutuskan yang haq (benar) dan yang batil (palsu)  tersebut sama sekali menggugurkan  faham  sesat melakukan tindak  kekerasan  dalam menyikapi perbedaan faham yang marak di Akhir Zaman ini.

Tidak Perlu Ada Paksaaan  dan Kekerasan
Dalam Masalah Agama

     Secara sambil lalu baiklah disebutkan bahwa sewaktu berlangsung tukar pikiran dengan delegasi Kristen dari Najran itu,  Nabi Besar Muhammad saw.   mengizinkan mereka melakukan sembahyang di masjid beliau dengan cara mereka sendiri, dan mereka melakukan dengan menghadap ke timur, suatu sikap toleransi keagamaan yang tiada taranya, dalam sejarah agama (Zurqani).
     Oleh karena itu tidak ada alasan untuk melakukan tuduhan dusta bahwa Nabi Besar Muhammad saw. dalam menyebarkan ajaran Islam (Al-Quran) senantiasa menggunakan cara-cara kekerasan. Dengan tegas Allah Swt. menyatakan bahwa tidak perlu dan tidak boleh melakukan paksaan dalam masalah agama (QS.2:257), karena  setelah kebenaran Islam dikemukakan kepada manusia secara utuh, Allah Swt. memberikan kebebasan kepada manusia untuk menerima (beriman) atau untuk menolak (kufur), firman-Nya:
وَ قُلِ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکُمۡ ۟ فَمَنۡ شَآءَ فَلۡیُؤۡمِنۡ وَّ مَنۡ شَآءَ  فَلۡیَکۡفُرۡ ۙ اِنَّاۤ اَعۡتَدۡنَا لِلظّٰلِمِیۡنَ نَارًا ۙ اَحَاطَ بِہِمۡ سُرَادِقُہَا ؕ وَ اِنۡ یَّسۡتَغِیۡثُوۡا یُغَاثُوۡا بِمَآءٍ کَالۡمُہۡلِ یَشۡوِی الۡوُجُوۡہَ ؕ بِئۡسَ الشَّرَابُ ؕ وَ سَآءَتۡ  مُرۡتَفَقًا ﴿﴾
Dan katakanlah:  ”Inilah haq (kebenaran) dari Tuhan kamu karena itu  barang­siapa menghendaki  maka beriman­lah, dan barangsiapa menghendaki  maka kafirlah”,   sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang yang zalim itu api yang dinding-dindingnya me­ngepung mereka, dan jika mereka berteriak meminta tolong, mereka akan ditolong dengan air seperti leburan timah, yang akan menghanguskan wajah-wajah, sangat buruk minum­an itu dan sangat buruk tempat tinggal itu! (Al-Kahf [18]:30).
   Berikut firman-Nya lagi mengenai ketidak-perluan melakukan pemaksaan dan kekerasan dalam masalah penyebaran agama Islam
وَ لَوۡ شَآءَ رَبُّکَ لَاٰمَنَ مَنۡ فِی الۡاَرۡضِ کُلُّہُمۡ جَمِیۡعًا ؕ اَفَاَنۡتَ تُکۡرِہُ النَّاسَ حَتّٰی  یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡ ﴿﴾  وَ مَا کَانَ لِنَفۡسٍ اَنۡ تُؤۡمِنَ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ یَجۡعَلُ الرِّجۡسَ عَلَی الَّذِیۡنَ لَا یَعۡقِلُوۡنَ﴿﴾
Dan  seandainya  Tuhan engkau menghendaki, niscaya semua orang yang ada di bumi akan beriman seluruhnya.  Apakah engkau akan memaksa  manusia sehingga menjadi orang-orang  yang beriman?”  Dan sama sekali tidak seorang pun akan beriman, kecuali dengan izin Allah. Dan  Dia menimpakan kemurkaan atas orang-orang yang tidak menggunakan akal. (Yunus [10]:100-101).
     Dari ayat-ayat  ini jelas tanpa keraguan sedikit pun, bahwa Islam tidak mengizinkan mempergunakan kekerasan dalam menyebarkan ajarannya. Tidak mungkin dapat dicapai iman sejati hanya dengan menganut paham-paham tertentu dengan lidah saja. Iman sejati itu hanya mungkin dengan izin Allah, artinya, dengan menjalankan (mengamalkan) hukum-hukum Allah yang tertentu, pasti serta dan tetap, dan itu  hanya mungkin jika orang-orang  beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran dengan tulus ikhlas, bukan dengan cara paksaan mau pun kekerasan, yang hanya akan menimbulkan kemunafikan.

Bukan Merupakan Teguran Melainkan “Pujian” Terselubung

    Seperti halnya penggunakan kalimat mumtarīna (orang yang ragu) yang disalahartikan mengenai Nabi Besar Muhammad saw. – padahal beliau saw. tidak pernah merasa ragu sedikit pun mengenai kenabian beliau saw. mau pun mengenai kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran) – demikian pula  kalimat   اَفَاَنۡتَ تُکۡرِہُ النَّاسَ حَتّٰی  یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡ  -- “Apakah engkau akan memaksa  manusia sehingga menjadi orang-orang  yang beriman? pun telah disalah-tafsirkan  para penentang seakan-akan Nabi Besar Muhammad saw. dalam menyebarkan ajaran Islam (Al-Quran) melakukan paksaan dan kekerasan.
       Memang benar bahwa  Allah Swt.  dengan tegas     telah melarang   Nabi Besar Muhammad saw. dan umat Islam melakukan paksaan dan tindak kekerasan dalam menyebarkan ajaran Islam (Al-Quran), namun demikian bukan berarti beliau saw. dan umat Islam boleh bersikap santai   dalam   menyebarkan  kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran).
      Kenapa demikian? Sebab  sikap santai seperti itu bertentangan dengan beratnya pemikulan amanat syariat Islam yang diemban oleh Nabi Besar Muhammad saw., dimana  ketika  Allah Swt. menawarkan hal itu kepada  langi, bumi dan gunung-gunung mereka semuanya menolak  tetapi insan  kamil  (manusia sempurna), yaitu Nabi Besar Muhammad saw. menerimanya, firman-Nya:    
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾  لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghu-kum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan   perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).

Kesempurnaan “Daya Pikul” Nabi Besar Muhammad Saw.  

    Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lane).
     (1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31; QS.51:57). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya.
    Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu. Manusia (insan) menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa (jahul),  dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
      (2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw.,  maka ayat ini akan berarti bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah  beliau saw.   sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran (QS.5:4),  sebab tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
       (3) Kalau kata hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
   Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya (zhalum) dan mengabaikan serta tidak mempedulikan (jahul) terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah Swt. (QS,51:57). Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.

Hakikat  Permintaan  Nabi Musa a.s. Ingin “Melihat Allah Swt.”

       Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam suatu peristiwa  ruhani ketika Allah Swt. melakukan tajjaliyat-Nya  (menampakkan keagungan-Nya) kepada gunung   dalam rangka menjawab keinginan Nabi  Musa a.s. ingin “melihat” Allah Swt.,  yakni ingin mengetahui keagungan Nabi Besar Muhammad saw. yang kedatangannya dijanjikan dari kalangan Bani Isma’il, yang kepadanya Allah Swt. mengamanatkan “seluruh kebenaran  (Ulangan 18:15-19), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur,dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
      Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan  Allah Swt.  dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat bahwa  Allah Swt.  dapat disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104). Jangankan melihat Allah Swt.  dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka.
     Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan)  Allah Swt.   sajalah yang dapat kita saksikan, tetapi  Allah Swt. sendiri tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s.  dengan segala makrifat mengenai sifat-sifat  Allah Swt.   akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
    Nabi Musa a.s.  mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan kekuasaan)   Allah Swt.,  dan bukan Wujud-Nya Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli  Allah Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (28:30). Jadi  apa gerangan maksud Musa a.s. dengan perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampakkanlah  kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
    Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna   Allah Swt.  yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad saw.  beberapa masa kemudian. Nabi Musa a.s.  diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil akan muncul seorang “nabi yang seperti dirinya”, yang di mulutnya Tuhan akan meletakkan Kalam-Nya (Kitab Ulangan 18:18-22).
     Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s.,  karena itu beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt.  yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan itu. Nabi Musa a.s.,   berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.

Roh Kebenaran” yang Membawa “Semua Kebenaran

      Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya,  tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, tetapi  Nabi Musa a.s.,  memilih gunung untuk bertajalli. Dalam peristiwa ruhani tersebut gunung itu berguncang dengan hebat  serta nampak  seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. --  karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu -- rebah tidak sadarkan diri (pingsan).
       Dengan cara demikian  Nabi Musa a.s.  dibuat sadar (mengerti) bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat  Allah Swt.   bertajalli sebagaimana dimohonkan beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, Baginda Nabi Muhammad saw. atau  nabi yang seperti Musa” (Ulangan 18-18; QS.46:11).
        Dengan kata lain, seandainya syariat Islam (Al-Quran)  -- yang merupakan syariat yang terakhir dan tersempurna – diberikan kepada Nabi Musa a.s. untuk melaksanakannya maka Nabi Musa a.s. tidak akan mampu mengamalkannya secara sempurna sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad saw..
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah pernyataan Allah Swt. melalui sabda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus)   mengenai  kedatangan  Roh Kebenaran  yang akan membawa “segala kebenaran”:
Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila  Ia datang,  yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes 16:12-13)
    Berdasarkan pernyataan Allah Swt. melalui lidah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) tersebut dapat diketahui bahwa kedatangan (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran) paling belakang bukan seperti kelahiran "anak bungsu" -- sebagaimana umumnya orang salah memahami -- melainkan karena agama Islam merupakan puncak dari proses penyempurnaan hukum-hukum syariat yang dimulai dari para rasul Allah  pembawa syariat-syariat sebelumnya. 
      Itulah sebabnya kalau sebelum masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. syariat Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat (Kitab suci) terakhir dan tersempurna --  diturunkan kepada para Rasul Allah serta kepada kaum-kaum para Rasul Allah tersebut, termasuk Nabi Musa a.a. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  maka mereka tidak akan mampu "memikulnya" atau mengamalkannya, karena sama seperti misalnya kurikulum untuk para mahasiswa di tingkat Universitas (Perguruan Tinggi) diberikan kepada   para siswa tingkatan SD atau SLTP  atau SLTA.

Nabi Musa  a.s. Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

      Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir (QS.2:56). Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak. Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti  Nabi Musa a.s. telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan itu,  dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar  Muhammad  Saw..
     Keimanan Nabi Musa a.s.   kepada Nabi Besar Muhammad saw.   itu telah disinggung juga dalam QS.46:11 berkenaan dengan kedatangan “Nabi yang seperti Musa”, sesuai dengan nubuatan dalam Bible (Ulangan 18:15-19). Gunung  tersebut sebenarnya tidak hancur-lebur.
       Jadi, kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu, lihat Keluaran 24:18, untuk menggambarkan bahwa betapa beratnya  amanat syariat Islam yang harus dipikul (dilaksanakan) oleh Nabi Besar Muhammad saw..
       Kenapa demikian? Sebab beliau saw. harus menjadi suri teladan yang sempurna dalam segala  hal (QS.33:33), termasuk dalam hal menyebarkan ajaran Islam (Al-Quran), yakni harus sampai kepada puncak pengupayaan yang mungkin dapat beliau saw. lakukan, tanpa harus melakukan paksaan dan tindak kekerasan, sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt..

“Pujian Terselubung”  Allah Swt. Terhadap   Upaya Keras 
dan Doa Nabi Besar Muhammad Saw.

      Mengenai hal tersebut berikut adalah  firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. yang di dalamnya terkandung pujian terselubung dari Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai upaya keras yang beliau saw. lakukan dalam menyeru umat manusia kepada kebenaran Islam (Al-Quran):
وَ اِنۡ کَانَ  کَبُرَ عَلَیۡکَ اِعۡرَاضُہُمۡ فَاِنِ اسۡتَطَعۡتَ اَنۡ تَبۡتَغِیَ نَفَقًا فِی الۡاَرۡضِ اَوۡ  سُلَّمًا فِی السَّمَآءِ  فَتَاۡتِیَہُمۡ  بِاٰیَۃٍ ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ  لَجَمَعَہُمۡ عَلَی الۡہُدٰی فَلَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ  الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾
Dan jika berpalingnya mereka terasa berat bagi engkau, maka kalau engkau sanggup mencari lubang ke dalam bumi  atau tangga ke langit, lalu engkau mendatangkan kepada mereka suatu Tanda. Dan  jika Allah menghendaki niscaya mereka akan dihimpun-Nya kepada petunjuk, maka janganlah sekali-kali engkau menjadi orang-orang yang jahil. (Al-An’ām [6]:36).
     Kata-kata  mencari lubang tembusan ke dalam bumi  berarti “menggunakan daya-upaya dunawi,” yakni menablighkan dan menyebarkan kebenaran, dan kata-kata tangga ke langit, maknanya “menggunakan daya-upaya ruhani,” yakni memanjatkan doa ke hadirat Allah Swt.   untuk memohon hidayah (petunjuk) bagi orang-orang kafir dan sebagainya. Shalat sungguh merupakan tangga yang dengan itu orang (secara ruhani) dapat naik ke langit.  Dalam ayat ini Nabi Besar Muhammad saw.  diberi tahu  (petunjuk) oleh Allah Swt. supaya menggunakan kedua upaya tersebut.
      Kata jahil seperti dalam QS.2:274 artinya  “seseorang yang tidak tahu-menahu” atau “tidak mengenal.”  Nabi Besar Muhammad saw.  dianjurkan agar jangan sampai tidak mengenal Hukum Tuhan dalam perkara ini. Ayat itu pun menyingkapkan keprihatinan dan perhatian besar  Nabi Besar Muhammad saw. untuk kesejahteraan ruhani kaum beliau saw.. Beliau saw. bersedia untuk sedapat mungkin membawakan kepada mereka Tanda, sekalipun beliau  saw. harus “mencari lubang tembusan ke dalam bumi atau tangga ke langit.”

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 30 Mei  2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar