بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 135
Kedalaman Makrifat
Ilahi Nabi Ibrahim a.s. & Persamaan Makna Rasul dan Nabi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan Azar -- ayah mertuanya – dan dengan kaumnya, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
اٰتَیۡنَاۤ اِبۡرٰہِیۡمَ رُشۡدَہٗ
مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا بِہٖ
عٰلِمِیۡنَ ﴿ۚ﴾
اِذۡ قَالَ لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَا ہٰذِہِ التَّمَاثِیۡلُ الَّتِیۡۤ
اَنۡتُمۡ لَہَا عٰکِفُوۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا
وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا لَہَا
عٰبِدِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ لَقَدۡ کُنۡتُمۡ اَنۡتُمۡ
وَ اٰبَآؤُکُمۡ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾
Dan sungguh sebelumnya Kami benar-benar telah memberikan kepada Ibrahim rusydahū
(petunjuknya) dan Kami mengetahui benar tentang dia. Ketika ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: “Patung-patung
apakah ini yang kamu duduk
tekun menyembah kepadanya?” Mereka berkata: “Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya.” Ia, Ibrahim, berkata: “Sungguh kamu dan bapak-bapakmu
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Anbiyā [21]:53-55).
Makna Kalimat “Pertanyaan” Mā (Apa)
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa huruf mā
(apa) dalam kalimat “Patung-patung apakah ini yang kamu duduk tekun menyembah kepadanya?“ menunjukkan celaan dan bukan suatu pertanyaan.
Contoh yang sama telah dilakukan Allah Swt. ketika berfirman kepada Nabi Musa a.s. seakan-akan
“bertanya” mengenai benda yang
dipegang Nabi Musa a.s. di tangan beliau, padahal Allah Swt. bukan bertanya melainkan
hendak memberi pengetahuan kepada
Nabi Musa a.s. sehubungan tongkat yang beliau pegang, yang tidak
diketahui oleh Nabi Musa a.s., firman-Nya:
وَ مَا تِلۡکَ بِیَمِیۡنِکَ یٰمُوۡسٰی ﴿﴾ قَالَ ہِیَ عَصَایَ ۚ اَتَوَکَّؤُا عَلَیۡہَا وَ
اَہُشُّ بِہَا عَلٰی غَنَمِیۡ وَ لِیَ فِیۡہَا مَاٰرِبُ اُخۡرٰی ﴿﴾ قَالَ اَلۡقِہَا یٰمُوۡسٰی ﴿﴾ فَاَلۡقٰہَا فَاِذَا ہِیَ حَیَّۃٌ تَسۡعٰی ﴿﴾ قَالَ خُذۡہَا وَ لَا
تَخَفۡ ٝ سَنُعِیۡدُہَا سِیۡرَتَہَا الۡاُوۡلٰی ﴿﴾ وَ اضۡمُمۡ یَدَکَ
اِلٰی جَنَاحِکَ تَخۡرُجۡ بَیۡضَآءَ
مِنۡ غَیۡرِ سُوۡٓءٍ اٰیَۃً
اُخۡرٰی ﴿ۙ﴾ لِنُرِیَکَ مِنۡ اٰیٰتِنَا الۡکُبۡرٰی ﴿ۚ﴾ اِذۡہَبۡ اِلٰی
فِرۡعَوۡنَ اِنَّہٗ طَغٰی ﴿٪﴾
"Dan
apa itu yang di tangan kanan engkau, hai Musa?"
Ia, Musa, berkata: "Ini tongkatku,
aku bertelekan padanya, dan
dengannya aku merontokkan daun-daun
untuk kambing-kambingku, dan bagiku
padanya ada beberapa keperluan lain. Dia berfirman: "Lemparkanlah
tongkat itu hai Musa." Maka ia
melemparkannya lalu tiba-tiba ia tampak seperti seekor
ular yang merayap dengan cepat. Dia berfirman: “Peganglah itu dan engkau
jangan takut, segera Kami akan
mengembalikannya kepada keadaannya semula. Dan kepitkanlah tangan engkau ke ketiak engkau, ia
akan keluar putih tanpa penyakit,
suatu Tanda yang lain, supaya Kami memperlihatkan kepada engkau beberapa dari Tanda-tanda Kami yang besar Pergilah
engkau kepada Fir’-aun, sesungguhnya ia telah melanggar batas." (Thā Hā [20]:18-25).
Nabi Musa a.s. menerangkan berbagai manfaat
tongkat yang beliau pegang, Ma'ārib (kegunaan-kegunaan) itu jamak dari ma'aribah
yang diambil dari ariba. Orang berkata ariba ilaihi berarti ia
memerlukannya dan berusaha memperolehnya; dan ma'ārib berarti:
keinginan-keinginan, kegunaan-kegunaan, kepentingan-kepentingan,
keperluan-keperluan, maksud-maksud (Lexicon
Lane), sefdangkan Allah Swt. lebih
mengetahui daripada Nabi Musa a.s.
mengenai tongkat tersebut.
Ketika Nabi
Musa a.s. melemparkannya, tongkat itu tidak benar-benar menjadi ular melainkan hanya dibuatnya nampak seperti ular. Oleh sebab itu
kejadian tidak bertentangan atau menyalahi sesuatu hukum alam. Mukjizat tersebut dimaksudkan,
selain untuk memberikan suatu bukti yang kuat untuk mendukung Nabi Musa
a.s. juga untuk menghibur beliau, bahwa
kaumnya tidak akan selamanya lekat pada kemusyrikan
dan kebiasaan buruk lainnya – yang
digambarkan sebagai “ular” -- tetapi
segera sesudah mendapat bimbingan dan
asuhan beliau, mereka akan kembali
menjadi sahabat beliau yang baik dan
takut kepada Allah Swt.. Ashā berarti juga kaum (Lexicon Lane).
Ada pun makna “mengepit tangan ke ketiak”, yad
berarti: tangan atau lengan, dan
secara kiasan berarti: anugerah,
kebajikan, kekuatan, wewenang, pertolongan, penjagaan, masyarakat, partai (Aqrab-ul-Mawarid). Salah satu arti yad (tangan) ialah satu
masyarakat atau kaum, dengan demikian ungkapan dalam teks mengandung suatu perintah bagi Nabi Musa a.s. bahwa beliau harus berikhtiar supaya kaum beliau selamanya dekat dengan beliau dan di bawah asuhan beliau.
Apabila Nabi
Musa a.s. berbuat demikian mereka
menjadi orang-orang yang amat saleh,
dan memancarkan cahaya ruhani serta
akan menjadi bersih dari semua
keburukan akhlak. Yad baidha' (tangan menjadi putih) dapat berarti dalil-dalil
yang nyata dan kuat. Nabi Musa a.s. memang telah dianugerahi dalil-dalil yang kuat dan kokoh untuk membuktikan kebenaran pendakwaan beliau sebagai seorang Rasul
Allah.
Mukjizat tongkat
rupanya merupakan salah satu Tanda Ilahi
terbesar yang diberikan kepada Nabi Musa a.s.. Ketika Nabi Musa a.s. diserahi
tugas kenabian nampaklah mukjizat
tongkat itu (QS.20:19). Ketika beliau pergi menyampaikan amanat beliau kepada Fir’aun, sekali
lagi mukjizat tongkat itu pulalah
yang ditampakkan kepadanya dan kepada tukang-tukang sihir (QS.20:70-74).
Ketika Bani Israil memerlukan air,
beliau diperintahkan memukul batu padas
dengan tongkat beliau (QS.2:61) dan
ketika beliau terpaksa harus menyeberangi laut, Allah Swt. memerintahkan beliau memukul laut dengan
tongkat beliau (QS.26:64).
Taqlid Buta yang Diwariskan dari Zaman ke Zaman
Jadi,
“pertanyaan” Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s. mengenai “tongkat” -- demikian juga juga pertanyaan Nabi Ibrahim a.s. kepada ayah mertuanya
dabn kaumnya mengenai berhala-berhala
sembahan mereka -- bukanlah bertanya
melainkan merupakan sindiran Nabi Ibrahim a.s.
mengenai berbagai kelemahan berhala-berhala
tersebut, yang dibuktikan oleh beliau dengan pemukulan patung-patung berhala
tersebut hingga hancur, kecuali satu
patung berhala terbesar yang
dibiarkan pada tempatnya untuk dijadikan rujukan oleh Nabi Ibrahim a.s.
melanjutnya sindiran beliau kepada
kaumnya, “Ini patung yang terbesar, coba tanyakan
kepada dia siapa orang yang telah menghancurkan rekan-rekannya itu.”
(QS.21:52—71).
Ketika berbicara dengan penyembah-penyembah berhala, biasanya
Nabi Ibrahim a.s. mempergunakan sindiran,
lihat QS.6:77, 78, 79. Nabi Ibrahim a.s.
mengatakan kepada kaumnya “Betapa tidak bergunanya dan sia-sianya
patung-patung yang kamu puja ini.” Jika Nabi Ibrahim a.s. biasa berbicara dengan memakai bahasa sindiran, maka Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
berbicara dengan bahasa kiasan.
Atas sindiran Nabi Ibrahim a.s. tersebut selanjutnya Allah
Swt. berfirman mengenai jawaban mereka: “Kami dapati bapak-bapak
kami menyembahnya”, yakni mereka sama sekali tidak memiliki
pengetahuan mengenai kemusyrikan yang
mereka warisi dari para pendahulu
mereka, yakni mereka hanya ikut-ikutan
saja secara taqlid buta.
Terhadap jawaban mereka itu Nabi Ibrahim
a.s. bersabda: “ Sungguh kamu dan bapak-bapakmu benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.”
Jadi, Nabi Ibrahim a.s. benar-benar mengetahui kebatilan dari kemusyrikan
yang digeluti kaum beliau, bukan hanya sekedar mencela tanpa dilandasi pengetahuan tentang Ketuhanan
(Tauhid) yang beliau kuasai sepenuhnya (QS.6:76).
Atas celaan
Nabi Ibrahim a.s. terhadap kemusyrikan yang mereka lakukan itu
mereka mempertanyakan keabsahan celaan tersebut, firman-Nya:
قَالُوۡۤا اَجِئۡتَنَا بِالۡحَقِّ اَمۡ اَنۡتَ مِنَ اللّٰعِبِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ بَلۡ رَّبُّکُمۡ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ
الَّذِیۡ فَطَرَہُنَّ ۫ۖ وَ اَنَا عَلٰی ذٰلِکُمۡ
مِّنَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿﴾ وَ تَاللّٰہِ لَاَکِیۡدَنَّ اَصۡنَامَکُمۡ بَعۡدَ اَنۡ تُوَلُّوۡا
مُدۡبِرِیۡنَ ﴿﴾
Mereka
berkata: “Apakah yang engkau datangkan kepada kami itu adalah haq, ataukah engkau termasuk orang-orang
yang bermain-main?” Ia (Ibrahim) berkata:
“Tidak, bahkan Tuhan kamu adalah Rabb
(Tuhan) seluruh langit dan bumi,
Dia-lah Yang telah menciptakannya,
dan atas hal itu aku termasuk
orang-orang yang menjadi saksi. Dan demi Allah, niscaya aku
akan membuat rencana melawan berhala-berhala
kamu, setelah kamu berlalu membalikkan punggungmu.” (Al-Anbiyā [21]:56-58).
Kedalaman Makrifat Ilahi Nabi Ibrahim a.s.
Perkataan Nabi Ibrahim a.s. “atas hal itu aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi “
sesuai dengan firman-Nya sebelum ini:
وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ اِبۡرٰہِیۡمَ
مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan
demikianlah Kami memperlihatkan kepada
Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi dan supaya ia menjadi di antara orang-orang
yang berkeyakinan. (Al-An’ām
[6]:76).
Dalam Surah Maryam berikut ini menjelaskan makrifat
Ilahi mendalam yang dimiliki
Nabi Ibrahim a.s., Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ
اذۡکُرۡ فِی الۡکِتٰبِ اِبۡرٰہِیۡمَ ۬ؕ
اِنَّہٗ کَانَ صِدِّیۡقًا نَّبِیًّا ﴿﴾ اِذۡ قَالَ
لِاَبِیۡہِ یٰۤاَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا یَسۡمَعُ وَ لَا یُبۡصِرُ وَ لَا
یُغۡنِیۡ عَنۡکَ شَیۡئًا ﴿﴾ یٰۤاَبَتِ اِنِّیۡ
قَدۡ جَآءَنِیۡ مِنَ الۡعِلۡمِ مَا لَمۡ
یَاۡتِکَ فَاتَّبِعۡنِیۡۤ اَہۡدِکَ
صِرَاطًا سَوِیًّا ﴿﴾ یٰۤاَبَتِ لَا
تَعۡبُدِ الشَّیۡطٰنَ ؕ اِنَّ الشَّیۡطٰنَ
کَانَ لِلرَّحۡمٰنِ عَصِیًّا ﴿﴾ یٰۤاَبَتِ اِنِّیۡۤ
اَخَافُ اَنۡ یَّمَسَّکَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحۡمٰنِ فَتَکُوۡنَ لِلشَّیۡطٰنِ
وَلِیًّا ﴿﴾
Dan
ceritakan kisah Ibrahim yang ada dalam Kitab itu, sesungguhnya
ia seorang yang senantiasa benar dan
seorang nabi. Ketika ia berkata kepada ayahnya: ”Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak
melihat, dan tidak dapat memberi
sesuatu manfaat kepada engkau? Wahai ayahku,
sungguh telah datang kepadaku
pengetahuan yang belum pernah datang kepada engkau maka ikutilah
aku, aku akan menunjukkan kepada engkau jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah
menyembah syaitan,
sesungguhnya syaitan itu senantiasa
durhaka terhadap Yang Maha Pemurah. Wahai
ayahku, sesungguhnya aku khawatir azab dari Yang Maha
Pemurah akan menimpa engkau lalu
engkau menjadi sahabat syaitan." (Maryam [19]:42-46).
"Al-Kitab" berarti Al-Quran. Di sini Nabi Besar Muhammad saw. disuruh menceriterakan kisah Nabi Ibrahim a.s. . seperti
yang tersebut dalam Al-Quran dan
bukan seperti tertera dalam Bible. Sebab
berbeda dengan kisah Nabi Ibrahim a.s. Bible, Al-Quran menggambarkan Nabi Ibrahim
a.s. sebagai seorang yang tulus dan benar, kebalikannya Bible menuduh beliau berdusta (Kejadian 20:13).
Al-Quran telah
memberi tekanan khas mengenai Nabi
Ibrahim a.s. sebagai seorang yang tulus dan benar, boleh jadi karena nanti di masa mendatang
ucapan-ucapan dusta akan dituduhkan
kepada Nabi Ibrahim a.s. oleh beberapa
ahli tafsir Al-Quran, karena mereka telah memperoleh informasi yang keliru dari Bible.
Arti Lain “Menyembah” &
Sikap
Keras Azar terhadap Nabi Ibrahim a.s.
Perkataan Nabi Ibrahim a.s. یٰۤاَبَتِ
لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا یَسۡمَعُ وَ لَا یُبۡصِرُ وَ لَا یُغۡنِیۡ عَنۡکَ شَیۡئًا -- “Wahai
ayahku, mengapa engkau menyembah
sesuatu yang tidak mendengar tidak
melihat, dan tidak dapat memberi
sesuatu manfaat kepada engkau?” Kata Ibadah
sebagai masdar-ismi dari kata ‘abada tidak terbatas hanya pada perbuatan sujud di hadapan Tuhan atau berhala, tetapi juga berarti
mengikuti seseorang dengan membabi buta dan tanpa berpikir, atau
menerima suatu gagasan atau kepercayaan tanpa menyelidikinya secara
kritis dengan mempergunakan akal yang
sehat.
Arti yang disebut terakhir itu jelas dari ayat itu
sendiri, sebab tidak ada orang yang pernah nampak menyembah syaitan dalam pengertian bahwa ia sujud
di depan syaitan dan mendoa kepadanya یٰۤاَبَتِ لَا
تَعۡبُدِ الشَّیۡطٰنَ ؕ اِنَّ الشَّیۡطٰنَ
کَانَ لِلرَّحۡمٰنِ عَصِیًّا -- “Wahai
ayahku, janganlah menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan itu senantiasa durhaka terhadap
Yang Maha Pemurah.“
Dalam ayat ini, bahkan dalam rangkuman seluruh
Surah, kemusyrikan telah berulang
kali dikecam dan dicela dengan kata-kata yang setegas-tegasnya dan
sekeras-kerasnya, dan sifat Ilahi Ar-Rahmān
(Maha Pemurah) telah berkali-kali pula disebut, sebab kemusyrikan dalam segala rupa dan bentuk merupakan akibat langsung
dari penolakan terhadap sifat Rahmāniyah
(Kemurahan Ilahi).
Menanggapi seruan
Nabi Ibrahim a.s. tersebut Azar – ayah mertua Nabi Ibrahim a.s. – menimpali
dengan sikap keras, firman-Nya:
قَالَ اَرَاغِبٌ اَنۡتَ عَنۡ اٰلِہَتِیۡ یٰۤـاِبۡرٰہِیۡمُ ۚ لَئِنۡ لَّمۡ
تَنۡتَہِ لَاَرۡجُمَنَّکَ وَ اہۡجُرۡنِیۡ
مَلِیًّا ﴿﴾ قَالَ سَلٰمٌ عَلَیۡکَ ۚ سَاَسۡتَغۡفِرُ لَکَ
رَبِّیۡ ؕ اِنَّہٗ کَانَ بِیۡ
حَفِیًّا ﴿﴾ وَ اَعۡتَزِلُکُمۡ
وَ مَا تَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ
اَدۡعُوۡا رَبِّیۡ ۫ۖ عَسٰۤی اَلَّاۤ اَکُوۡنَ
بِدُعَآءِ رَبِّیۡ شَقِیًّا ﴿﴾
Ia
berkata: "Apakah engkau membenci
tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika engkau benar-benar tidak berhenti niscaya aku akan mengusir engkau, dan tinggalkanlah
aku sampai masa yang lama." Ibrahim berkata: "Selamat sejahtera atas engkau. Aku segera akan memohon ampunan bagi engkau kepada Tuhan-ku, sesungguhnya Dia senantiasa sangat baik terhadapku, dan aku akan menjauhkan diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah
selain Allah, dan aku akan berdoa
kepada Tuhan-ku, mudah-mudahan dengan
berdoa kepada Tuhan-ku aku tidak menjadi kecewa." (Maryam
[19]:47-49).
Rajama-hū berarti: ia melemparinya
dengan batu hingga mati; ia menuduhnya atau memfitnahnya; mengutuknya atau
memakinya. ia menghalanginya; ia memutuskan segala perhubungan dengan dia (Lexicon Lane).
Hikmah Penyebutan Nabi Ishaq a.s. dan Nabi
Ya’qub a.s.
Dari ayat وَ اَعۡتَزِلُکُمۡ وَ مَا تَدۡعُوۡنَ مِنۡ
دُوۡنِ اللّٰہِ وَ اَدۡعُوۡا رَبِّیۡ -- “dan aku akan menjauhkan
diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah
selain Allah,” diketahui bahwa Nabi Ibrahim a.s. . nampaknya
mengisyaratkan kepada hijrah beliau
ke Kanaan. Beliau pergi dari Irak ke Kanaan dan dari Kanaan ke Mesir.
Beliau meninggalkan ayah beliau (Azar) dan kaum
beliau di Irak. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا
اعۡتَزَلَہُمۡ وَ مَا یَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ۙ وَہَبۡنَا لَہٗۤ اِسۡحٰقَ
وَ یَعۡقُوۡبَ ؕ وَ کُلًّا جَعَلۡنَا
نَبِیًّا﴿﴾ وَ وَہَبۡنَا لَہُمۡ
مِّنۡ رَّحۡمَتِنَا وَ جَعَلۡنَا لَہُمۡ
لِسَانَ صِدۡقٍ عَلِیًّا ﴿٪﴾
Maka
tatkala ia (Ibrahim) telah menjauhkan
diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya'qub dan
semua Kami jadikan
nabi. Dan Kami
anugerahkan kepada mereka sebagian rahmat
Kami, dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik
dan tinggi. (Maryam [19]:50-51).
Dalam ayat ini Nabi
Isma’il a.s. tidak
disebut-sebut. sekalipun beliau adalah putra Nabi Ibrahim a.s. yang tertua. Nabi Ishaq a.s. . dan
Nabi Ya'qub a.s. telah
disebut di sini secara sambil lalu saja
sebagai nabi-nabi biasa, sedang Nabi Isma’il a.s. baru
disebut secara terpisah dan tersendiri dalam ayat 55. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi Isma’il a.s. . memiliki
tingkatan ruhani yang lebih tinggi
dari Nabi Ishaq a.s.. maupun Nabi Ya'qub a.s..
Kata-kata, ja’alnā lahum lisāna shidqin ‘aliyyan (Kami
menjadikan mereka buah tutur yang baik
dan tinggi) berarti:
(1) Mereka
memperoleh nama yang baik dan diingat
orang dengan rasa hormat, kasih, dan cinta — baik oleh mereka yang hidup di masa mereka maupun oleh keturunan-keturunan yang
mendatang.
(2). Percakapan mereka penuh dengan hikmah dan budi
serta bersih dari segala macam kepahitan, kekotoran, kepalsuan. dan kebencian.
(3). Mereka
tidak takut menyatakan 'itikad-'itikad mereka, dan bersikap keras terhadap
orangorang kafir dan orang-orang yang tidak benar.
(4). Amal baik
mereka merupakan dan terus-menerus menjadi sekian banyak monumen serta
kenang-kenangan akan nama baik mereka.
Setelah menyinggung tentang Nabi Ishaq a.s. dan Nabi
Ya’qub a.s., ayat 52-54 Surah Maryam mengemukakan kisah Nabi
Musa a.s, dan Nabi Harun a.s., karena kedua rasul Allah tersebut merupakan
keturunan Nabi Ibrahim a.s. dari jalur Nabi Ishaq a.s. dan Nabi Ya’qub a.s.,
setelah itu barulah Allah Swt. mengemukakan kisah Nabi
Isma’il a.s., yang merupakan leluhur
Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اذۡکُرۡ
فِی الۡکِتٰبِ مُوۡسٰۤی ۫ اِنَّہٗ کَانَ
مُخۡلَصًا وَّ کَانَ رَسُوۡلًا نَّبِیًّا
﴿﴾ وَ نَادَیۡنٰہُ مِنۡ جَانِبِ الطُّوۡرِ الۡاَیۡمَنِ وَ قَرَّبۡنٰہُ نَجِیًّا ﴿﴾ وَ وَہَبۡنَا لَہٗ
مِنۡ رَّحۡمَتِنَاۤ اَخَاہُ
ہٰرُوۡنَ نَبِیًّا ﴿﴾
Dan
ceriterakanlah kisah Musa di
dalam Kitab Al-Quran, sesungguhnya ia seorang pilihan dan ia seorang rasul serta seorang
nabi. Dan Kami memanggilnya
dari sebelah kanan
gunung, dan Kami mendekatkannya untuk munajat. Dan
Kami menganugerahkan kepadanya dari rahmat Kami yakni asaudaranya,
Harun, sebagai nabi. (Maryam [19]:52-54).
Persamaan Makna Rasul
dan Nabi
Kata-kata: اِنَّہٗ کَانَ مُخۡلَصًا وَّ کَانَ رَسُوۡلًا نَّبِیًّا
-- Sesungguhnya ia seorang pilihan dan ia seorang rasul, seorang nabi, berkenaan dengan Nabi Musa a.s., menjelaskan
serta menghilangkan salah tanggapan
yang sudah umum, bahwa seorang rasul (utusan) ialah orang yang membawa syariat baru dan kitab baru, dan seorang nabi ialah orang yang diberi tugas
oleh Allah Swt. hanya untuk memperbaiki kaumnya, dan meskipun —
seperti halnya seorang rasul —
seorang nabi pun menerima wahyu-wahyu Ilahi, namun beliau tidak membawa syariat atau kitab
yang berisikan perintah-perintah dan peraturan-peraturan baru (syariat)
Menurut anggapan
keliru yang sudah meluas di kalangan
umum ini, tiap rasul mesti berpangkat nabi, tetapi tidak setiap nabi
adalah seorang rasul. Ayat yang sedang dibahas ini membatalkan pandangan
yang keliru tersebut, sebab jika
seorang rasul adalah orang yang membawa kitab baru dan syariat baru,
dan karena itu mestilah seorang nabi, kemudian tambahan kata nabi
kepada kata rasul dalam ayat ini dan ayat‑ayat lainnya adalah tidak
perlu dan berlebih-lebihan. Kenyataannya ialah bahwa tiap rasul itu
adalah nabi dan tiap nabi adalah rasul.
Kedua kata ini
dapat saling menggantikan, dan
menampilkan dua segi jabatan yang
sama dan dua tugas yang itu-itu
juga. Seorang mushlih rabbani (pembaharu suci) adalah seorang rasul,
karena beliau menerima amanat-amanat
dari Allah Swt. (risalat
berarti amanat) dalam pengertian bahwa beliau menyampaikan amanat-amanat itu kepada mereka yang kepadanya beliau diutus (nubuwwah berarti penyampaian amanat – QS.72:27-29).
Dengan demikian tiap rasul adalah nabi
sebab setelah menerima amanat-amanat
Tuhan, beliau menyampaikannya kepada kaumnya; dan setiap nabi adalah rasul
sebab beliau menyampaikan kepada kaumnya amanat-amanat
yang telah beliau terima dari Allah Swt.. Hanya saja tugas-tugas kenabian
mengikuti tugas-tugas kerasulan.
Dalam kedudukan beliau sebagai rasul, beliau mula pertama menerima amanat (risalat) dari Allah Swt. , dan sesudah itu dalam
kedudukan beliau sebagai nabi, beliau
menyampaikan amanat itu kepada
kaumnya. Itulah sebabnya mengapa di sini dan di tiap-tiap tempat lainnya dalam
Al-Quran bila kedua kata rasul dan nabi dipakai bersama-sama maka
tanpa kecuali kata nabi itu mengikuti kata rasul sebab itulah
urutannya yang wajar.
Setelah menceritakan keturunan Nabi Ibrahim a.s. melalui jalur Nabi Ishaq a.s. dan Nabi
Ya’qub a.s., selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Isma’il a.s.:
وَ اذۡکُرۡ
فِی الۡکِتٰبِ اِسۡمٰعِیۡلَ ۫ اِنَّہٗ کَانَ صَادِقَ الۡوَعۡدِ وَ کَانَ رَسُوۡلًا
نَّبِیًّا ﴿ۚ﴾ وَ
کَانَ یَاۡمُرُ اَہۡلَہٗ
بِالصَّلٰوۃِ وَ الزَّکٰوۃِ ۪ وَ
کَانَ عِنۡدَ رَبِّہٖ مَرۡضِیًّا ﴿﴾
Dan
ceriterakan kisah Isma’il
di dalam Kitab Al-Quran, sesungguhnya
ia adalah seorang yang janji-janjinya senantiasa benar,
dan ia adalah seorang rasul, seorang nabi. Dan ia
senantiasa menyuruh keluarganya mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia
diridhai oleh Tuhan-nya. (Maryam [19]:55-56).
Sesudah uraian tentang Nabi Musa a.s.
Lalu disebut keterangan mengenai
Nabi Isma’il a.s.. . Uraian mengenai beliau dimulai dengan kata-kata
"dan ceriterakan" dan
menunjukkan bahwa satu babak sejarah agama — yaitu sejarah keturunan Israil — telah ditutup dan kini babak baru, yaitu sejarah
keturunan Isma’il dimulai.
Sebagai Imam-imam yang Mendapat Petunjuk
dan Wahyu
Ilahi
Dalam firman-Nya berikut ini kedudukan
para nabi (rasul) Allah di kalangan Bani Israil – kecuali Nabi Musa a.s. sebagai nabi
(rasul) pembawa syariat – berkedudukan sebagai imam-imam, firman-Nya:
وَ
نَجَّیۡنٰہُ وَ لُوۡطًا اِلَی الۡاَرۡضِ الَّتِیۡ بٰرَکۡنَا فِیۡہَا
لِلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَہَبۡنَا
لَہٗۤ اِسۡحٰقَ ؕ وَ یَعۡقُوۡبَ نَافِلَۃً ؕ وَ کُلًّا جَعَلۡنَا صٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ وَ جَعَلۡنٰہُمۡ اَئِمَّۃً یَّہۡدُوۡنَ بِاَمۡرِنَا وَ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡہِمۡ فِعۡلَ
الۡخَیۡرٰتِ وَ اِقَامَ الصَّلٰوۃِ وَ
اِیۡتَآءَ الزَّکٰوۃِ ۚ وَ کَانُوۡا لَنَا عٰبِدِیۡنَ﴿ۚۙ﴾
Dan Kami telah menyelamatkan dia (Ibrahim) dan
Luth ke negeri yang telah Kami berkati di dalamnya untuk seluruh umat manusia. Dan Kami menganugerahkan kepadanya Ishaq, dan seorang cucu, Ya’qub, dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami, dan Kami wahyukan kepada
mereka untuk berbuat kebaikan-kebaikan,
dan mendirikan shalat serta membayar zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah. (Al-Anbiyā
[21]:72-74).
Nabi Ibrahim a.s. bepergian dari Ur (Mesopotamia) ke
Harran dan dari sana atas perintah Ilahi
ke Kanaan -- “negeri yang
dijanjikan” yang Allah Swt. telah
tetapkan akan diberikan kepada keturunan
beliau (QS.21:106-107). Perjalanan Nabi Ibrahim a.s. itu mempunyai tujuan dan
maksud yang tepat. Semua nabi Allah yang
besar atau para pengikut mereka - sesuai
dengan maksud dan rencana Ilahi - pada suatu waktu harus hijrah, meninggalkan
kampung halaman mereka.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar