بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Tiga Cara
Allah Swt. Berkomunikasi dengan Rasul Allah & Pentingnya
Kesinambungan Wahyu ILahi
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 110
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
pemberitahuan “hal-hal
gaib Allah Swt.” kepada seorang rasul
Allah, firman-Nya:
مَا کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی
مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی
یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ
وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ
یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ
وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali
tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya hingga Dia
memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia
kehendaki, karena itu berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
dan jika kamu beriman dan bertakwa,
maka bagi kamu ganjaran yang besar.
(Ali
‘Imrān [3]:180).
Kata-kata “tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia
kehendaki“ tidaklah berarti bahwa sebagian rasul-rasul terpilih dan sebagian lagi
tidak. Kata-kata itu berarti bahwa dari orang-orang
yang ditetapkan Allah Swt. sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih yang paling sesuai untuk zaman tertentu, di zaman rasul Allah itu dibangkitkan (QS.7:35-37).
Lebih terinci lagi mengenai pemberitahuan yang gaib kepada para Rasul yang Dia ridhai tersebut
selanjutnya Allah Swt. berfirman:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ اَنۡ
قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ
رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali
kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di
hadapannya dan di belakangnya,
supaya Dia mengetahui bahwa sungguh
mereka telah menyampaikan Amanat-amanat
Tuhan mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka
dan Dia membuat perhitungan mengenai
segala sesuatu. (Al-Jin [71]:27-29).
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib” berarti: diberi
pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan
mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.
Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna
membedakan antara sifat dan jangkauan
rahasia-rahasia gaib yang dibukakan
kepada seorang rasul Allah dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan
kepada orang-orang beriman
yang bertakwa lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Allah dianugerahi izhhar
‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas
yang gaib, maka rahasia-rahasia
yang diturunkan kepada orang-orang
bertakwa dan orang-orang suci
lainnya tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya
aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia
yang dibukakan kepada orang-orang
bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah itu dijamin keamanannya
terhadap pemutarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul Allah itu membawa tugas khusus dari Allah Swt. yang
harus dipenuhi (dilaksanakan sepenuhnya), dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan
oleh mereka kepada umat manusia.
Kisah Monumental “Adam - Malaikat – Iblis”
Begitu
pentingnya keberadaan “Khalifah Allah”
atau “Rasul Allah” tersebut yang
bahkan para malaikat pun tidak mampu
mengemukakan hakikat Al-Asmā Allah Swt. yang dikemukakan kepada para malaikat, hal tersebut membuktikan bahwa guna menciptakan “bumi baru dan langit baru”
(QS.14:49-53) -- setelah terjadi kemerosotan
akhlak dan ruhani yang parah di
kalangan umat manusia (QS. 30:42) akibat telah jauh dari masa kenabian
yang penuh berkat (QS.57:17-18) -- betapa pentingnya keberadaan “Khalifah Allah” atau Rasul Allah, yang kepadanya Allah Swt. berkenan memberitahukan “hal-hal gaib-Nya” berkenaan
berbagai hal yang diperlukan pada zaman itu, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ
فِی الۡاَرۡضِ
خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ
فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ
الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ
نُسَبِّحُ بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا
لَا تَعۡلَمُوۡنَ﴿﴾ وَ عَلَّمَ اٰدَمَ الۡاَسۡمَآءَ کُلَّہَا ثُمَّ عَرَضَہُمۡ
عَلَی الۡمَلٰٓئِکَۃِ ۙ فَقَالَ اَنۡۢبِـُٔوۡنِیۡ بِاَسۡمَآءِ ہٰۤؤُلَآءِ اِنۡ
کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ
لَا عِلۡمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ قَالَ یٰۤاٰدَمُ اَنۡۢبِئۡہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۚ فَلَمَّاۤ
اَنۡۢبَاَہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۙ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکُمۡ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ وَ
اَعۡلَمُ مَا تُبۡدُوۡنَ وَ مَا کُنۡتُمۡ تَکۡتُمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اِذۡ
قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫
وَ کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman
kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah
di bumi”, mereka berkata: “Apakah
Engkau akan menjadikan di dalamnya yakni di bumi orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan pujian
Engkau dan kami senantiasa mensucikan Engkau?” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama itu semuanya
kemudian Dia mengemukakan mereka
itu kepada para malaikat lalu Dia berfirman: “Beritahukanlah
kepada-Ku nama-nama mereka ini jika
kamu memang benar.” Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami tidak
memiliki pe-ngetahuan kecuali
apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami, sesungguhnya Engkau
benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Dia berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama mereka itu”, maka tatkala diberitahukannya
kepada mereka nama-nama mereka itu, Dia berfirman: “Bu-kankah telah Aku katakan kepada kamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia seluruh langit dan bumi dan mengetahui
apa pun yang kamu nyatakan dan apa
pun yang kamu sembunyikan?” Dan
ingatlah ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
yakni tunduk-patuhlah kamu
kepada Adam” lalu mereka sujud kecuali iblis,
ia menolak dan takabur, dan
ia termasuk dari antara orang-orang yang kafir (Al-Baqarah [2]:31-35).
Tiga Cara Allah Swt. Berkomunikasi dengan Rasul
Allah &
Pentingnya Kesinambungan Wahyu Ilahi
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam buku Barahīn-i Ahmadiyah pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad mengemukakan pendapatnya
yang dipercayai oleh umumnya umat Islam yakni mengenai kedatangan kedua kali Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. Itulah sebabnya Mlv. Muhammad Hussein Batalwi
telah memuji-muji buku Barahīn-i
Ahmadiyah dan penulisnya dalam
risalahnya Isya’atus Sunnah.
Namun
ketika Mirza Ghulam Ahmad diberitahu
oleh Allah Swt. bahwa Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. sebenarnya telah wafat,
dan yang dimaksud dengan kedatangan
kedua kalinya sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. adalah beliau –
yakni sebagai misal Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58) – kemudian Ulama Ahli Hadits (Wahabi) tersebut menjadi penentang keras Mirza Ghulam Ahmad a.s.
yang paling depan dan paling aktif.
Dua pendapat Mirza
Ghulam Ahmad a.s. yang berbeda
tentang masalah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
tersebut bukan merupakan ketidak-konsistenan beliau, sebab pendapat beliau yang pertama tentang
kedatangan kedua kali Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. adalah merupakan pendapat
umumnya umat Islam; sedangkan pendapat beliau setelah itu berkenaan telah wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
dan pendakwaan beliau sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. adalah berdasarkan wahyu Ilahi.
Mengisyaratkan kepada hal itu pulalah
firman Allah Swt. berikut ini mengenai pentingnya peran wahyu Ilahi berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَا
کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ یُّکَلِّمَہُ
اللّٰہُ اِلَّا وَحۡیًا اَوۡ مِنۡ
وَّرَآیِٔ حِجَابٍ اَوۡ یُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَیُوۡحِیَ بِاِذۡنِہٖ مَا یَشَآءُ ؕ
اِنَّہٗ عَلِیٌّ حَکِیۡمٌ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ اَوۡحَیۡنَاۤ
اِلَیۡکَ رُوۡحًا مِّنۡ اَمۡرِنَا ؕ مَا کُنۡتَ تَدۡرِیۡ مَا الۡکِتٰبُ وَ لَا الۡاِیۡمَانُ وَ لٰکِنۡ جَعَلۡنٰہُ نُوۡرًا نَّہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا ؕ وَ اِنَّکَ لَتَہۡدِیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ صِرَاطِ اللّٰہِ
الَّذِیۡ لَہٗ مَا فِی السَّمٰوٰتِ
وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ؕ اَلَاۤ اِلَی
اللّٰہِ تَصِیۡرُ الۡاُمُوۡرُ ﴿٪﴾
Dan sekali-kali tidak mungkin bagi manusia
bahwa Allah berbicara kepadanya,
kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang utusan guna mewahyukan
dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki, sesungguhnya, Dia
Maha Tinggi, Maha Bijaksana. Dan
demikianlah Kami telah mewahyukan kepada
engkau firman ini dengan perintah
Kami. Engkau sekali-kali tidak
mengetahui apa Kitab itu, dan tidak
pula mengetahui apa iman
itu, tetapi Kami telah menjadikan wahyu itu nur, yang dengan itu Kami
memberi pe-tunjuk kepada siapa yang Kami ke-hendaki dari antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke
jalan lurus, jalan
Allah Yang milik-Nya apa yang
ada di seluruh langit dan apa yang
ada di bumi. Ketahuilah, kepada Allah
segala perkara kembali. (Asy-Syurā
[42]:52-54).
Ayat 52
menyebut tiga cara Allah Swt. berbicara
(berkomunikasi) kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka:
(a) Dia berfirman secara langsung
kepada mereka tanpa perantara.
(b) Dia membuat mereka menyaksikan
kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau
kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar,
di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka.
Inilah arti kata-kata "dari belakang
tabir,"
(c)
Allah Swt. menurunkan seorang utusan atau seorang malaikat yang menyampaikan Amanat Ilahi.
Wahyu Al-Quran dalam ayat 53 disebut di sini ruh
(nafas hidup — Lexicon Lane),
sebab dengan perantaraannya, bangsa
yang telah mati keadaan akhlak dan keruhaniannya mendapat kehidupan baru. Agama Islam (Al-Quran) adalah kehidupan, nur, dan jalan yang membawa manusia kepada Allah Swt.
dan menyadarkan manusia akan tujuan agung
dan luhur kejadiannya.
Jadi,
sebelum Allah Swt. mewahyukan Al-Quran kepada Nabi Besar Muhammad saw. beliau saw. samam sekali tidak mengetahui
hakikat Kitab (Syariat) mau pun
masalah iman (keimanan), semuanya menjadi
jelas bagi beliau saw. setelah Allah Swt. menjelaskan melalui wahyu-Nya.
Pemberian Gelar “Al-Amin”
(Si Jujur) &
Tuntutan Jahiliyah yang
Berulang di Akhir Zaman
Dengan
demikian benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai kejujuran Nabi Besar Muhammad saw. --
dimana sebelumnya kaum
beliau sendiri telah memberi gelar al-Amin (si Jujur) kepada Nabi Besar
Muhammad saw. -- tetapi ketika beliau
saw atas perintah Allah mendakwakan
diri sebagai rasul Allah, tiba-tiba para pemuka
kaum Quraisy Makkah tersebut berbalik
menjadi penentang keras dan zalim beliau saw. dan mengemukakan berbagai
tuntutan mengenai wahyu Al-Quran ---
demikian pula yang terjadi dengan Mirza
Ghulam Ahmad a.s. setelah pendakwaan
diri sebagai Al-Masih Mau’d a.s. tersebut,
firman-Nya:
وَ اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِمۡ اٰیَاتُنَا بَیِّنٰتٍ ۙ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا
یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا ائۡتِ بِقُرۡاٰنٍ غَیۡرِ
ہٰذَاۤ اَوۡ بَدِّلۡہُ ؕ قُلۡ مَا
یَکُوۡنُ لِیۡۤ اَنۡ اُبَدِّلَہٗ مِنۡ
تِلۡقَآیِٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنۡ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا یُوۡحٰۤی اِلَیَّ ۚ
اِنِّیۡۤ اَخَافُ اِنۡ عَصَیۡتُ
رَبِّیۡ عَذَابَ یَوۡمٍ
عَظِیۡمٍ ﴿﴾ قُلۡ لَّوۡ شَآءَ
اللّٰہُ مَا تَلَوۡتُہٗ عَلَیۡکُمۡ وَ
لَاۤ اَدۡرٰىکُمۡ بِہٖ ۫ۖ فَقَدۡ لَبِثۡتُ فِیۡکُمۡ عُمُرًا مِّنۡ قَبۡلِہٖ ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾ فَمَنۡ
اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی
اللّٰہِ کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ
ؕ اِنَّہٗ لَا یُفۡلِحُ الۡمُجۡرِمُوۡنَ
﴿﴾
Dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat Kami yang
nyata, maka orang-orang yang tidak mengharapkan
pertemuan dengan Kami berkata: ”Datangkanlah yang bukan Al-Quran ini, atau ubahlah dia.” Katakanlah: “Sekali-kali
tidak patut bagiku untuk mengubahnya dari pihak diriku, tidaklah aku kecuali hanya mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku, sesungguhnya aku takut pada azab Hari yang
besar jika aku mendurhakai Tuhan-ku.” Katakanlah: “Seandainya Allah
menghendaki, aku sama sekali tidak akan membacakannya kepada kamu dan tidak pula Dia akan memberitahukan
mengenainya kepada kamu. Maka sungguh sebelum
ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang, tidakkah kamu
mempergunakan akal?” Maka siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu dusta terhadap
Allah atau mendustakan
Tanda-tanda-Nya? Sesungguhnya orang-orang
berdosa tidak akan berhasil.” (Yunus
[10]:16-18).
Tuntutan para pemuka kaum kafir Quraisy kepada
Nabi Besar Muhammad saw. “Datangkanlah
yang bukan Al-Quran ini, atau ubahlah dia” merupakan bukti kebutaan
mata ruhani mereka dan kejahiliyahan mereka, yakni mereka mereka sendiri sebelumnya
telah memberi gelar al-Amin (si Jujur) kepada Nabi Besar Muhammad saw., karena mereka
menjadi saksi mata bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. sebelum mendakwakan diri
sebagai rasul Allah tidak pernah berkata dusta atau melakukan pengkhianatan terhadap amanat
apa pun dipercayakan kepada beliau.
Tetapi ketika Nabi Besar Muhammad
saw. atas perintah Allah Swt. mendakwakan
diri beliau saw. sebagai rasul Allah
tiba-tiba mereka menuduh beliau saw.
sebagai pendusta dan mengada-ada wahyu Al-Quran dan meminta beliau saw.
untuk mengubah wahyu-wahyu Al-Quran yang
mencela keras kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka
lakukan.
Firman Allah Swt. dalam ayat 17 -- “Maka sungguh sebelum ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang,
tidakkah kamu mempergunakan akal?” -- pernyataan tersebut mengandung batu ujian yang amat jitu untuk menguji
kebenaran seseorang yang mengaku (mendakwakan)
dirinya seorang nabi (rasul Allah).
Bila kehidupan seorang nabi sebelum dakwa kenabiannya menampakkan kejujuran
dan ketulusan hati yang bertaraf luar
biasa tingginya -- dan di antara masa itu
dengan dakwa kenabiannya tidak ada masa-antara yang dapat memberikan kesan
bahwa beliau telah jatuh dari keutamaan akhlak yang tinggi tarafnya
itu -- maka dakwa kenabiannya harus
diterima sebagai dakwa orang yang tinggi
akhlaknya, orang jujur, dan benar.
Kenapa demikian? Sebab seseorang yang terbiasa kepada suatu sikap
atau tingkah-laku tertentu disebabkan
adat-kebiasaannya atau tabiatnya, akan memer-lukan waktu yang lama untuk mengadakan perubahan besar dalam dirinya untuk
menjadi orang baik atau orang buruk, karena itu bagaimanakah mungkin
Nabi Besar Muhammad saw. tiba-tiba dapat berubah menjadi seorang penipu,
padahal sepanjang kehidupan beliau saw.
sebelum dakwa kenabian, beliau saw. adalah
orang yang tidak ada taranya dalam kejujuran dan kelurusan?
Demikian pula halnya dengan Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang kemudian
atas perintah Allah Swt. mendakwakan
diri sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s., yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama di Akhir Zaman ini:
فَقَدۡ
لَبِثۡتُ فِیۡکُمۡ عُمُرًا مِّنۡ قَبۡلِہٖ
ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ
“Maka sungguh sebelum ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang,
tidakkah kamu mempergunakan akal?” (Yunus
[10]:17).
Ayat selanjutnya menjelaskan dua kebenaran yang kekal: (a) Orang-orang yang mengada-adakan dusta mengenai Allah Swt. dan orang-orang
yang menolak dan menentang
utusan-utusan-Nya sama sekali tidak
akan luput dari hukuman Tuhan; (b)
Pendusta-pendusta dan nabi-nabi palsu tidak dapat berhasil
dalam tujuannya:
فَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی اللّٰہِ کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ ؕ
اِنَّہٗ لَا یُفۡلِحُ الۡمُجۡرِمُوۡنَ ﴿﴾
Maka siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu dusta terhadap
Allah atau mendustakan
Tanda-tanda-Nya? Sesungguhnya orang-orang
berdosa tidak akan berhasil.” (Yunus
[10]:18).
Ketetapan Allah Swt. yang Abadi
&
HizbulLāh (Golongan Allah) yang Hakiki
Di berbagai peloksok dunia, lebih dari 1 abad (seratus tahun) para penentang
Mirza Ghulam Ahmad a.s. dan Jemaat Ahmadiyah yang beliau a.s. dirikan,
telah berusaha untuk menghancurkan missi suci beliau yaitu mewujudkan kejayaan
Islam yang kedua kali di Akhir Zaman ini (QS.61:10), namun yang
terjadi adalah firman-Nya berikut ini:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗۤ اُولٰٓئِکَ فِی
الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿﴾ کَتَبَ اللّٰہُ
لَاَغۡلِبَنَّ اَنَا وَ رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ قَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾ لَا تَجِدُ قَوۡمًا یُّؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ
الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ یُوَآدُّوۡنَ مَنۡ
حَآدَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ لَوۡ
کَانُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ اَوۡ
اِخۡوَانَہُمۡ اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ
ؕ اُولٰٓئِکَ کَتَبَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمُ
الۡاِیۡمَانَ وَ اَیَّدَہُمۡ بِرُوۡحٍ
مِّنۡہُ ؕ وَ یُدۡخِلُہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ
خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ اُولٰٓئِکَ
حِزۡبُ اللّٰہِ ؕ اَلَاۤ اِنَّ حِزۡبَ
اللّٰہِ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina. Allah
telah menetapkan: “Aku dan
rasul-rasul-Ku pasti akan menang.” Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. Engkau tidak akan mendapatkan suatu kaum yang menyatakan beriman kepada Allah dan Hari Akhir namun demikian mereka
mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walau pun mereka itu bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka Dia
telah menanamkan iman dan Dia
telah meneguhkan mereka dengan ilham dari Dia sendiri, dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam
kebun-kebun yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
kepada mereka dan mereka ridha
kepada-Nya. Itulah HizbulLāh (golongan
Allah). Ketahuilah, sesungguhnya HizbulLāh
(golongan Allāh) itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Mujādilah
[58]:21-23).
Ada tersurat nyata pada lembaran-lembaran sejarah bahwa kebenaran senantiasa menang terhadap kepalsuan, firman-Nya:
وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ کَانَ
زَہُوۡقًا ﴿﴾
Dan
katakanlah: ”Haq yakni kebenaran telah datang
dan kebatilan telah lenyap, sesungguhnya
kebatilan itu pasti lenyap.” (Bani
Israil [17]:82). Lihat
pula QS.21:19; QS.34:50).
Selanjutnya Allah Swt. QS.58:23 sebelumnya
menyatakan, bahwa sudah nyata bahwa
tidak mungkin terdapat persahabatan
atau perhubungan cinta sejati atau
sungguh-sungguh di antara orang-orang
beriman dengan orang-orang
kafir. Cita-cita, pendirian-pendirian, dan kepercayaan agama dari kedua golongan itu bertentangan satu sama lain, dan karena kesamaan dan perhubungan
kepentingan itu merupakan syarat
mutlak bagi perhubungan yang sungguh-sungguh erat menjadi tidak ada, maka orang-orang beriman diminta jangan mempunyai persahabatan yang erat
lagi mesra dengan orang-orang kafir.
Ikatan agama mengatasi
segala perhubungan lainnya, malahan
mengatasi pertalian darah yang amat dekat sekalipun. Ayat ini nampaknya
merupakan seruan umum. Tetapi secara khusus seruan itu tertuju kepada
orang-orang kafir yang ada dalam berperang dengan kaum Muslim.
Jadi, betapa kedatangan al-haq
(kebenaran) berupa pengutusan rasul Allah
di Akhir Zaman ini (QS.61:10) telah membuat Mlv. Muhammad Hussein Batalwi yang
sebelumnya sempat memuji-muji pembelaan
Mirza Ghulam Ahmad terhadap kesempurnaan agama
Islam (Al-Quran) serta kesucian akhlak dan ruhani
Nabi Besar Muhammad saw. tetapi ketika mendengar pendakwaan beliau sebagai Imam
Mahdi dan Al-Masih Akhir Zaman tiba-tiba menjadi seorang penentang yang paling depan dalam segala upaya menghancurkan missi
suci Mirza Ghulam Ahmad a.s..
Orang-orang
yang Terusir dari “Surga Keridhaan
Ilahi”
Seperti Keadaan “Anjing
Kehausan”
Benarlah pernyataan Allah
Swt. berikut ini mengenai orang-orang
yang mendustakan dan menentang rasul Allah seperti Bal’am
bin Baura (Bileam bin Beor) di zaman
nabi Musa a.s., Abu Jahal dkk di zaman Nabi Besar Muhammad saw., dan di Akhir Zaman ini adalah Mlv.
Muhammad Hussein Batalwi dkk,
firman-Nya:
وَ اتۡلُ
عَلَیۡہِمۡ نَبَاَ الَّذِیۡۤ اٰتَیۡنٰہُ
اٰیٰتِنَا فَانۡسَلَخَ مِنۡہَا فَاَتۡبَعَہُ الشَّیۡطٰنُ فَکَانَ مِنَ الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰہُ بِہَا وَ لٰکِنَّہٗۤ
اَخۡلَدَ اِلَی الۡاَرۡضِ وَ اتَّبَعَ ہَوٰىہُ ۚ فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ الۡکَلۡبِ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَیۡہِ یَلۡہَثۡ اَوۡ تَتۡرُکۡہُ
یَلۡہَثۡ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ۚ
فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّہُمۡ یَتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ سَآءَ مَثَلَاۨ الۡقَوۡمُ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا
بِاٰیٰتِنَا وَ اَنۡفُسَہُمۡ کَانُوۡا یَظۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ceritakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan
Tanda-tanda Kami kepadanya, lalu ia
melepaskan diri darinya maka syaitan mengikutinya dan jadilah ia termasuk
orang-orang yang sesat. Dan seandainya Kami menghendaki niscaya Kami meninggikan derajatnya dengan
itu, akan tetapi ia cenderung ke
bumi dan mengikuti hawa nafsunya, maka
keadaannya seperti seekor anjing yang
kehausan, jika engkau menghalaunya
ia menjulurkan lidahnya dan jika
engkau membiarkannya ia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah misal orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, maka kisahkanlah kisah ini supaya mereka
merenungkannya. Sangat buruk misal
orang-orang yang mendustakan
Tanda-tanda Kami, dan kepada diri
mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
(Al-A’rāf [17]:176-178).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar