بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 127
Kaum-kaum Purbakala yang Diazab Allah Swt.:
(1) Kaum Nabi Nuh a.s.
(1) Kaum Nabi Nuh a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
kejadian yang sangat mengerikan
pada saat terjadinya as-Sā’ah (QS.22:1-3
& QS.70:7-19), selanjutnya Allah
Swt. berfirman dalam Surah Al-Ma’ārij mengenai keadaan hamba-hamba Allah yang beriman
kepada Rasul Allah yang diutus kepada mereka serta kemajuan-kemajuan ruhani yang mereka
tempuh – yakni melakukan ma’arij (mi’raj) di dalam kehidupan mereka di dunia ini juga
-- firman-Nya:
مِّنَ اللّٰہِ ذِی الۡمَعَارِجِ ؕ﴿﴾ تَعۡرُجُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ الرُّوۡحُ
اِلَیۡہِ فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ
مِقۡدَارُہٗ خَمۡسِیۡنَ اَلۡفَ سَنَۃٍ ۚ﴿﴾ فَاصۡبِرۡ صَبۡرًا
جَمِیۡلًا﴿﴾
Azab itu dari Allah Yang memiliki
ma’ārij (tempat-tempat naik),
malaikat-malaikat dan ruh
itu naik kepada-Nya dalam satu hari
yang ukurannya lima puluh ribu tahun.
Maka bersabarlah dengan sabar yang baik. (Al-Ma’ārij [70]:4-6).
Jadi, sementara azab
yang akan menimpa orang-orang kafir akan membuat mereka binasa, Allah Swt. menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang taat kenaikan
ruhani (mi’raj) yang setinggi-tingginya. Berikut adalah firman Allah Swt. mengenai tingkatan-tingkatan ma’ārij (kenaikan-kenaikan ruhani) yang
dijalani oleh hamba-hamba Allah yang
hakiki pengikut sejati Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71; QS.33:33), yang dimulai dengan pelaksanaan shalat -- yang menurut Nabi Besar Muhammad saw.
merupakan mi’rajnya orang-orang
beriman -- firman-Nya:
اِنَّ الۡاِنۡسَانَ خُلِقَ
ہَلُوۡعًا ﴿ۙ﴾ اِذَا مَسَّہُ الشَّرُّ
جَزُوۡعًا ﴿ۙ﴾ وَّ اِذَا مَسَّہُ الۡخَیۡرُ
مَنُوۡعًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا الۡمُصَلِّیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَاتِہِمۡ
دَآئِمُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾ وَ
الَّذِیۡنَ فِیۡۤ اَمۡوَالِہِمۡ حَقٌّ
مَّعۡلُوۡمٌ ﴿۪ۙ﴾ لِّلسَّآئِلِ وَ الۡمَحۡرُوۡمِ ﴿۪ۙ﴾ وَ
الَّذِیۡنَ یُصَدِّقُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿۪ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ مِّنۡ عَذَابِ رَبِّہِمۡ
مُّشۡفِقُوۡنَ ﴿ۚ﴾ اِنَّ عَذَابَ رَبِّہِمۡ
غَیۡرُ مَاۡمُوۡنٍ ﴿﴾ وَ
الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ
حٰفِظُوۡنَ ﴿ۙ﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ
غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ﴿ۚ﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡعٰدُوۡنَ ﴿ۚ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِاَمٰنٰتِہِمۡ
وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ بِشَہٰدٰتِہِمۡ
قَآئِمُوۡنَ﴿۪ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَاتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ ﴿ؕ﴾ اُولٰٓئِکَ
فِیۡ جَنّٰتٍ مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya manusia diciptakan cepat
mengeluh. Apabila ditimpa keburukan ia gelisah, tetapi apabila mendapat kebaikan ia kikir, kecuali orang-orang yang shalat, Orang-orang yang mereka itu tetap (dawam)
mengerjakan shalat, dan
orang-orang yang dalam harta mereka ada
bagian yang ditentukan untuk orang miskin. Untuk yang meminta dan yang tidak meminta. Dan orang-orang yang membenarkan Hari Pembalasan, Dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan mereka.
Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman
dari azab Tuhan mereka. Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap istri-istri mereka atau yang dimiliki tangan kanan mereka, maka sesungguhnya mereka dalam
hal itu tidak tercela. Lalu barangsiapa mencari selain itu maka mereka
itulah yang melampaui batas. Dan orang-orang
yang menjaga amanat-amanatnya dan janji-janjinya, dan orang-orang
yang berdiri teguh pada kesaksian-kesaksiannya, dan orang-orang yang benar-benar
menjaga shalatnya. Mereka itulah di
dalam surga-surga, dimuliakan. (Al-Ma’ārij [70]:20-36).
Selaras dengan firman Allah Swt. dalam
Surah Al-Mu’minūn berikut ini Allah
Swt. merinci 7 tingkatan mi’raj yang harus dilalui oleh para pewaris surga firdaus, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ
صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ
﴿ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا
مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ
ۚ﴿﴾ فَمَنِ
ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ
عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ ۘ﴿﴾
اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah,
Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia, dan orang-orang
yang membayar zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka
atau apa yang dimiliki tangan kanannya
maka sesungguhnya mereka tidak
tercela, tetapi barangsiapa mencari selain dari itu
maka mereka itu orang-orang yang
melampaui batas. Dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian
mereka, dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka. Mereka itulah pewaris, yaitu orang-orang
yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka akan kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn
[23]:1-12)
Menantang Azab Ilahi Segera Datang
Makna
ayat اِنَّ الۡاِنۡسَانَ خُلِقَ
ہَلُوۡعًا – “manusia
diciptakan cepat mengeluh” dalam firman Allah Swt sebelumnya
(QS.70:20), manusia menurut pembawaannya
tidak sabar. Dalam QS.21:38 dikatakan “manusia diciptakan dari ketergesa-gesaan” -- termasuk tergesa-gesa menantang kepada Rasul
Allah untuk menyegerakan azab Ilahi yang diancamkan
(diperingatkan) kepada mereka., firman-Nya:
خُلِقَ الۡاِنۡسَانُ مِنۡ عَجَلٍ ؕ سَاُورِیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ فَلَا
تَسۡتَعۡجِلُوۡنِ ﴿﴾ وَ یَقُوۡلُوۡنَ مَتٰی ہٰذَا الۡوَعۡدُ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ لَوۡ یَعۡلَمُ الَّذِیۡنَ
کَفَرُوۡا حِیۡنَ لَا یَکُفُّوۡنَ عَنۡ وُّجُوۡہِہِمُ النَّارَ
وَ لَا عَنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ وَ
لَا ہُمۡ
یُنۡصَرُوۡنَ ﴿﴾ بَلۡ تَاۡتِیۡہِمۡ بَغۡتَۃً
فَتَبۡہَتُہُمۡ فَلَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ رَدَّہَا وَ لَا ہُمۡ یُنۡظَرُوۡنَ
﴿﴾ وَ لَقَدِ
اسۡتُہۡزِئَ بِرُسُلٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ فَحَاقَ بِالَّذِیۡنَ سَخِرُوۡا مِنۡہُمۡ
مَّا کَانُوۡا بِہٖ یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿﴾
Manusia diciptakan
dari sifat tergesa-gesa,
segera Aku akan perlihatkan kepada
kamu tanda-tanda-Ku, maka janganlah kamu minta kepada-Ku mempercepat
kedatangannya. Dan mereka
mengatakan: “Kapankah janji itu akan terjadi jika kamu adalah orang-orang yang benar?”
Seandainya orang-orang yang kafir mengetahui saat ketika mereka tidak akan dapat mengelakkan
api dari wajahnya dan tidak
pula dari punggungnya dan mereka
tidak akan ditolong. Bahkan azab itu akan datang kepada mereka dengan
tiba-tiba lalu membuat mereka panik, maka mereka tidak akan mampu menolaknya dan tidak pula mereka diberi tangguh. Dan sungguh rasul-rasul sebelum
engkau benar-benar telah diper-olok-olokkan, maka orang-orang dari antara mereka yang
memperolok-olokkan rasul telah
dikepung dengan apa
yang mereka perolok-olokkan. (Al-Anbiya [21]:38-42).
Ungkapan, khuliqal insānu min ‘ajal, mengandung arti bahwa sifat
tergesa-gesa merupakan bagian wujud (karakter/sifat) manusia, dan bahwa sifat itu merupakan corak yang begitu
penting dalam wataknya, sehingga dapat dikatakan bahwa seolah-olah manusia
dijadikan dari “ketergesa-gesaan”, yaitu manusia menurut fitratnya suka tergesa-gesa.
Apabila orang-orang Arab ingin menyatakan suatu sifat pembawaan utama seseorang, mereka
berkata: Khuliqa minhu artinya “ia
telah dijadikan dari itu”. Ungkapan-ungkapan serupa itu dipergunakan pula
di tempat-tempat lain dalam Al-Quran (QS.7:13; QS.30:55). Demikian juga makna ungkapan bahwa Allah Swt. telah
menjadikan iblis dan jin dari api dan Adam dari “tanah liat”
(QS.7:12-13) yakni iblis atau jin memiliki
sifat seperti kobaran api
yang sulit dikendalikan,
sedangkan Adam memiliki sifat patuh-taat
seperti “tanah liat” sehingga mudah
dibentuk sesuai dengan keinginan pengrajin “tanah liat” (keramik).
Itulah sebabnya jika Allah Swt. hendak menciptakan “bumi baru dan langit baru”
guna menggantikan tatanan “bumi lama dan langit nama” yang sudah rusak selalu melalui pengutusan seorang
“Khalifah Allah” atau “Rasul Allah”, salah satu di antaranya
adalah Nabi Adam a.s. yang diciptakan
dari “tanah liat” (QS.2:31-35),
dengan demikian kisah “Adam – Malaikat –
Iblis” merupakan suatu kisah monumental yang selalu terulang lagi dengan para pemeran
yang berbeda, termasuk di Akhir Zaman
ini.
Dari kisah monumental “Adam – Malaikat –
Iblis” tersebut dapat diketahui siapa atau pihak mana yang kemudian “diusir dari surga keridhaan” Allah Swt.
karena menolak perintah Allah Swt.
yang telah memerintahkan para
malaikat untuk “sujud” – yakni
patuh-taat sepenuhnya” -- kepada Adam,
yaitu Khalifah Allah di zamannya
(QS.7:12-14; QS.15:35); QS.38:78).
Selanjutnya akan dikemukakan kaum-kaum purbakala yang “diusir secara hina dari surga keridhaan
Allah Swt.” dan mendapat azab
Ilahi karena bersikap takabur dan
zalim terhadap Rasul-rasul Allah yang diutus kepada mereka. Khalifah Allah atau Rasul Allah selanjutnya setelah Nabi
Adam a.s. dan kaumnya adalah Nabi Nuh
a.s..
Kaum-kaum Purbakala yang Diazab
Allah Swt.:
Kaum Nabi Nuh a.s.
Kembali kepada Surah Ash-Shāffāt -- yang merupakan pokok pembahasan Blog ini
-- selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Nuh a.s.:
وَ لَقَدۡ نَادٰىنَا نُوۡحٌ فَلَنِعۡمَ الۡمُجِیۡبُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ نَجَّیۡنٰہُ وَ اَہۡلَہٗ
مِنَ الۡکَرۡبِ الۡعَظِیۡمِ ﴿۫ۖ﴾ وَ
جَعَلۡنَا ذُرِّیَّتَہٗ ہُمُ الۡبٰقِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ
تَرَکۡنَا عَلَیۡہِ فِی الۡاٰخِرِیۡنَ
﴿۫ۖ﴾ سَلٰمٌ عَلٰی نُوۡحٍ فِی الۡعٰلَمِیۡنَ﴿﴾ اِنَّا
کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾
اِنَّہٗ مِنۡ عِبَادِنَا
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ ثُمَّ اَغۡرَقۡنَا الۡاٰخَرِیۡنَ﴿﴾
Dan sungguh
Nuh benar-benar telah berseru
kepada Kami maka betapa baiknya Kami
selaku Pengabul doa. Dan Kami menyelamatkan dia dan keluarganya dari kesusahan yang besar. Dan Kami
menjadikan keturunannya yang tinggal
kekal. Dan Kami meninggalkan nama
baik atasnya pada generasi
seterusnya. Sejahteralah atas Nuh di
seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah
Kami membalas orang-orang yang berbuat ihsan. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami
yang beriman. kemudian Kami
menenggelamkan yang lain. (Ash-Shāffāt [37]:76-83).
Nabi Nuh a.s. meletakkan dasar-dasar peradaban manusia,
dan telah menjadi kenyataan sejarah yang kuat bahwa dengan kemajuan sesuatu kaum dalam peradaban maka jumlah
mereka cenderung bertambah, dan sebagai ekornya (akibatnya) terjadilah suatu kemunduran dalam jumlah warga masyarakat yang lebih rendah peradabannya yang tinggal
bersama mereka di daerah-daerah sama atau di sekitarnya.
Karena keturunan Nabi Nuh a.s. lebih tinggi peradabannya dan karena
lebih banyak memiliki sumber-sumber daya
kebendaan, agaknya mereka telah menyebar ke daerah-daerah lain dan menundukkan kaum-kaum yang berperadaban lebih rendah dan mereka ini
dalam perjalanan masa kaum-kaum tersebut melebur
diri ke dalam mereka lalu karena itu mereka ini menjadi punah. Inilah makna ayat:
وَ
جَعَلۡنَا ذُرِّیَّتَہٗ ہُمُ الۡبٰقِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ
تَرَکۡنَا عَلَیۡہِ فِی الۡاٰخِرِیۡنَ
﴿۫ۖ﴾ سَلٰمٌ عَلٰی نُوۡحٍ فِی الۡعٰلَمِیۡنَ﴿﴾ اِنَّا
کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan Kami menjadikan keturunannya yang tinggal kekal. Dan Kami meninggalkan
nama baik atasnya pada generasi
seterusnya. Sejahteralah atas Nuh di
seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah
Kami membalas orang-orang yang berbuat ihsan. (Ash-Shāffāt [37]:78-81).
Akibat penyebaran generasi-generasi
penerus setelah Nabi Nuh a.s. ke berbagai pelosok wilayah -- di luar kawasan tempat tinggal kaum Nabi
Nuh a.s. -- itulah yang kemudian menimbulkan anggapan bahwa banjir dahsyat yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh a.s. seakan-akan menenggelamkan seluruh dunia, padahal kenyataannya
tidak demikian, melainkan hanya menenggelamkan kawasan yang dihuni oleh kaum
Nabi Nuh a.s. saja, yang menurut penelitian sejarah adalah lembah-lembah atau dataran rendah di
kawasan pegunungan Al-Judi.
Untuk menjelaskan masalah tersebut
berikut adalah kisah Nabi Nuh a.s. dalam
Surah Hūd, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَا نُوۡحًا اِلٰی قَوۡمِہٖۤ ۫ اِنِّیۡ لَکُمۡ نَذِیۡرٌ
مُّبِیۡنٌ ﴿ۙ﴾ اَنۡ لَّا تَعۡبُدُوۡۤا اِلَّا
اللّٰہَ ؕ اِنِّیۡۤ اَخَافُ
عَلَیۡکُمۡ عَذَابَ یَوۡمٍ
اَلِیۡمٍ ﴿﴾ فَقَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ مَا نَرٰىکَ اِلَّا
بَشَرًا مِّثۡلَنَا وَ مَا نَرٰىکَ اتَّبَعَکَ اِلَّا الَّذِیۡنَ ہُمۡ اَرَاذِلُنَا
بَادِیَ الرَّاۡیِ ۚ وَ مَا نَرٰی لَکُمۡ
عَلَیۡنَا مِنۡ فَضۡلٍۭ بَلۡ نَظُنُّکُمۡ
کٰذِبِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, ia berkata: “Sesungguhnya aku bagi kamu pemberi peringatan yang nyata,
bahwa janganlah kamu menyembah kecuali
Allah, sesungguhnya aku takut atas
kamu ditimpa azab Hari yang sangat pedih.” Maka pemuka-pemuka yang kafir dari
kalangan kaumnya berkata: “Kami sama sekali tidak memandang engkau melainkan seorang manusia seperti kami, dan kami
sama sekali tidak melihat mereka yang mengikuti engkau melainkan orang-orang yang keadaan lahirnya paling
hina di antara kami. Dan tidak kami
lihat pada kamu suatu pun kelebihan atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah pendusta.” (Hūd [11]:26-28).
“Siksaan Hari yang
Sangat Menyedihkan” &
Ketakaburan para Penentang Rasul
Allah
“Siksaan menyedihkan” itu berbeda dari “siksaan
hari yang sangat pedih.” Ungkapan yang kedua mengandung kesangatan yang lebih besar.
Siksaan-siksaan tertentu memang sangat pedih, tetapi ada “hari-hari tertentu” yang bila teringat kepa-danya terus menghantui
dan menyebabkan rasa pedih, sekalipun
ratusan tahun telah lewat. Di mana “siksaan” itu sendiri hanya menimbulkan rasa
sakit pada mereka yang tertimpa olehnya, maka bayangan tentang “hari-hari
siksaan yang sangat menyedihkan” itu bahkan menakutkan mereka yang datang di masa kemudian.
Ungkapan bādiyar-ra’yi dalam ucapan
para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. yang takabur
“Kami sama sekali tidak memandang engkau melainkan seorang manusia seperti kami, dan kami sama sekali tidak melihat mereka yang
mengikuti engkau melainkan orang-orang
yang keadaan lahirnya paling hina di antara kami.“
berarti: pada lintasan pikiran pertama; nampaknya; tanpa pertimbangan masak (Lexicon
Lane).
Jadi, kalimat اَرَاذِلُنَا بَادِیَ الرَّاۡیِ berarti, bahwa
dalam pandangan mereka para pengikut Nabi Nuh a.s. itu: (a) ditilik dari segala
keadaan lahirnya paling hina; (b) keimanan mereka tidak tulus; (c)
keimanannya hanya merupakan akibat pikiran yang dangkal.
Sayang sekali bahwa orang-orang atau para penentang
Rasul Allah di setiap zaman biasanya menguji pendakwaan seorang Rasul
Allah dengan patokan dan ukuran yang mereka rancangkan sendiri; dan bila Rasul Allah tersebut tidak
memenuhi patokan dan ukuran itu, mereka menipu diri mereka sendiri dengan anggapan, bahwa mereka telah menilai pendakwaan-pendakwaan Rasul Allah itu dengan
perasaan dingin serta pikiran terbuka dan memperoleh
kesimpulan, bahwa pendakwaan-pendakwaan
itu palsu, padahal yang menjadi ukuran penilaian mereka itu
semata-mata berdasarkan hawa-nafsu mereka sendiri (QS.2:88-89;
QS.10:16; QS.17:74-78).
Atas dasar itulah Allah Swt. telah berfirman bahwa jika haq (kebenaran) mengikuti
kebanyakan (mayoritas) umat manusia maka maka umat manusia akan
tersesat dari jalan Allah Swt. karena
mereka hanya mengikuti dugaan-dugaan saja (QS.6:117; QS.10:37;
QS.22:53-54; QS.53:29), dan
berarti semua Rasul Allah -- termasuk Nabi Besar Muhammad saw. -- adalah
"orang-orang sesat", sebab mereka datang seorang diri sebagai
utusan Allah Swt. (rasul Allah. Benarkah demikian?
Itulah
sebabnya haq (kebenaran) yang hakiki senantiasa disampaikan dan diajarkan
oleh Allah Swt. melalui para Rasul Allah,
dan penolakan mayoritas umat manusia
terhadap missi suci para Rasul Allah tidak berarti bahwa yang benar dan yang pasti unggul adalah “suara
mayoritas”, justru sebaliknya para Rasul
Allah itulah yang missi sucinya pasti
benar dan pasti unggul (QS.3:55;
QS.8:31; QS.13:43-44; QS.14:47-53; QS.27:51-54; QS.58:21-22).
Hikmah Berbagai
Pernyataan Nabi Nuh a.s.
Terhadap pendapat para pemuka kaum
Nabi Nuh a.s. yang takabur tersebut
selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Nuh a.s.:
قَالَ یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ
رَّبِّیۡ وَ اٰتٰىنِیۡ رَحۡمَۃً مِّنۡ
عِنۡدِہٖ فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ ؕ اَنُلۡزِمُکُمُوۡہَا وَ اَنۡتُمۡ لَہَا
کٰرِہُوۡنَ ﴿﴾ وَ یٰقَوۡمِ لَاۤ
اَسۡئَلُکُمۡ عَلَیۡہِ مَالًا ؕ اِنۡ
اَجۡرِیَ اِلَّا عَلَی اللّٰہِ وَ
مَاۤ اَنَا بِطَارِدِ الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا ؕ اِنَّہُمۡ مُّلٰقُوۡا
رَبِّہِمۡ وَ لٰکِنِّیۡۤ اَرٰىکُمۡ قَوۡمًا تَجۡہَلُوۡنَ﴿﴾ وَ یٰقَوۡمِ
مَنۡ یَّنۡصُرُنِیۡ مِنَ اللّٰہِ اِنۡ
طَرَدۡتُّہُمۡ ؕ اَفَلَا تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَاۤ
اَقُوۡلُ لَکُمۡ عِنۡدِیۡ خَزَآئِنُ اللّٰہِ وَ لَاۤ اَعۡلَمُ
الۡغَیۡبَ وَ لَاۤ اَقُوۡلُ اِنِّیۡ مَلَکٌ وَّ لَاۤ اَقُوۡلُ لِلَّذِیۡنَ تَزۡدَرِیۡۤ
اَعۡیُنُکُمۡ لَنۡ یُّؤۡتِیَہُمُ
اللّٰہُ خَیۡرًا ؕ اَللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا فِیۡۤ اَنۡفُسِہِمۡ ۚۖ اِنِّیۡۤ اِذًا لَّمِنَ
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Ia (Nuh) berkata:
“Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu,
jika aku berdiri atas suatu Tanda
yang nyata dari Tuhan-ku, dan Dia
telah menganugerahkan kepadaku rahmat
dari sisi-Nya tetapi itu tetap saja
tidak jelas (samar) bagi kamu? Apakah kami akan memaksakannya kepadamu,
sedangkan kamu tidak menyukainya? Dan
hai kaumku, aku tidak meminta harta kepada kamu sebagai balasannya,
ganjaranku hanyalah pada Allah. Dan aku
sama sekali tidak akan mengusir orang yang telah ber-iman, sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya,
tetapi tetapi aku memandang kamu sebagai
suatu kaum yang berbuat kejahilan. Dan hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari hukuman Allah jika aku mengusir mereka? Apakah kamu tidak
mau mengambil pelajaran? Dan
tidak pula aku berkata kepada kamu: “Padaku ada khazanah dari Allah,” tidak pula aku mengetahui yang gaib dan tidak pula aku mengatakan: “Sesungguhnya aku malaikat.” Dan tidak
pula aku mengatakan mengenai orang-orang
yang dipan-dang hina oleh mata kamu: “Allah
tidak akan pernah memberikan kebaikan apa pun kepada mereka.” Allah lebih mengetahui yang ada dalam diri
mereka, sesungguhnya jika demikian
niscaya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Hūd [11]:29-32).
Dalam pernyataan-pernyataan yang dikemukakan
Allah Swt. tersebut pada hakikatnya merupakan jawaban terhadap berbagai tuntutan
atau keberatan yang dikemukakan oleh
para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. berkenaan dengan pendakwaan beliau a.s.
sebagai Rasul Allah dan juga
berkenaan keadaan orang-orang yang beriman kepada pendakwaan Nabi Nuh a.s.,
firman-Nya:
قَالَ یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ
رَّبِّیۡ وَ اٰتٰىنِیۡ رَحۡمَۃً مِّنۡ
عِنۡدِہٖ فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ ؕ اَنُلۡزِمُکُمُوۡہَا وَ اَنۡتُمۡ لَہَا
کٰرِہُوۡنَ ﴿﴾
Ia (Nuh) berkata:
“Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu,
jika aku berdiri atas suatu Tanda
yang nyata dari Tuhan-ku, dan Dia
telah menganugerahkan kepadaku rahmat
dari sisi-Nya tetapi itu tetap saja
tidak jelas (samar) bagi kamu? Apakah
kami akan memaksakannya kepada kamu, sedangkan kamu
tidak menyukainya? (Hūd
[11]:29).
Orang-orang yang Buta
Mata Ruhaninya
Menurut Nabi Nuh a.s., begitu banyak Tanda-tanda serta dalil-dalil
dari Allah Swt. yang mendukung kebenaran pendakwaan beliau a.s. sebagai Rasul Allah, hanya saja masalahnya bukan
pada diri beliau a.s. melainkan pada diri para penentang Nabi Nuh a.s. yakni
فَعُمِّیَتۡ
عَلَیۡکُمۡ -- yakni “kalian tetap membuta terhadap Tanda-tanda dan Rahmat-rahmat Ilahi yang
mendukung pendakwaan-Ku”. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt.
berikut ini mengenai orang-orang yang buta
mata ruhaninya di dunia dan di akhirat nanti:
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ اَعۡمٰی
فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ اَعۡمٰی وَ اَضَلُّ
سَبِیۡلًا ﴿﴾
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat pun ia
akan buta juga dan bahkan lebih
tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:73).
Mereka yang tidak mempergunakan mata
ruhani mereka dengan cara yang wajar di
dunia ini akan tetap luput dari penglihatan ruhani di dalam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak merenungkan Tanda-tanda Allah
serta tidak memperoleh manfaat
darinya adalah “buta”. Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun akan tetap dalam keadaan
buta. Firman-Nya lagi:
وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ
نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿﴾ قَالَ
رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿﴾ قَالَ کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا
ۚ وَکَذٰلِکَ الۡیَوۡمَ
تُنۡسٰی ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ
الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا
قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ
ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی
النُّہٰی ﴿﴾
Dan barangsiapa
berpaling dari mengingat Aku maka sesungguhnya
baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami
akan membangkit-kannya pada Hari Kiamat dalam ke-adaan buta. Ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau membangkitkan aku dalam keadaan buta,
padahal sesungguhnya dahulu aku dapat
melihat?” Dia berfirman: "Demikianlah telah datang kepada kamu Tanda-tandaKami, tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari
ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang melanggar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda
Tuhan-nya, dan niscaya azab- akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. Maka apakah tidak memberi petunjuk
kepada mereka berapa
banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat
tinggal mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu benar-benar ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thā
Hā [20]:125-129).
Seseorang
yang sama sekali tidak ingat kepada Allah
Swt. di dunia serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat
perkembangan ruhaninya – khususnya mendustakan
dan menjadi penentang para Rasul Allah -- dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. akan
dilahirkan dalam keadaan buta di
waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat. Hal itu menjadi
demikian karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai tubuh bagi ruh
yang lebih maju ruhaninya di alam
akhirat - telah menjadi buta, sebab
ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini.
Pengulangan Kisah
Monumental “Dua Putra Adam”
Sebagai jawaban
terhadap keluhan orang kafir mengapa ia
dibangkit‑kan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan, Allah Swt.akan mengatakan
bahwa ia telah menjadi buta ruhani
dalam kehidupannya di dunia sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya
jauh lebih berkembang di akhirat,
maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang kafir tidak mengembangkan dalam
dirinya sifat-sifat Ilahi dan tetap asing dari sifat-sifat itu, maka pada hari
kebangkitan — ketika sifat-sifat
itu akan dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan —
ia sebagai seseorang yang terasing dari sifat-sifat
itu tidak
akan mampu mengenalnya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada sifat-sifat
itu.
Itulah
sebabnya ketika para malaikat mengetahui
bahwa Adam (Khalifah Allah) mampu mengemukakan Al-Asmā (nama-nama) yang diajarkan Allah Swt. kepadanya secara khusus maka ia serta-merta “sujud” (patuh taat) kepada
“Adam” ketika diperintahkan Allah
Swt. untuk “sujud” kepadanya, kecuali
iblis, karena ia bersikap takabur menganggap dirinya lebih mulia daripada Adam (Khalifah Allah), sehingga ia diusir Allah Swt. dari “surga keridhaan-Nya” (QS.2:21-35; QS.7:12-14; QS.15:29-36;
QS.38:72-79), dan menjadi golongan
(pengikut) salah satu “putra Adam” yang
-- pengorbanannya tidak
dikabulkan (ditolak) oleh Allah Swt.
(QS.5:28-35) lalu karena kedengkiannya -- ia “membunuh
saudaranya” yang pengorbanannya
dikabulkan (diterima) Allah Swt., kisah “dua putra Adam” tersebut juga merupakan kisah monumental yang akan senantiasa berulang, termasuk di Akhir Zaman ini.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 13 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar