Minggu, 26 Mei 2013

Kaum-kaum Purbakala yang Diazab Allah Swt.: Kaum Nabi Nuh a.s.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 127


   Kaum-kaum Purbakala yang Diazab Allah Swt.:   
(1) Kaum Nabi Nuh a.s.  

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma 


Dalam  akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai  kejadian yang sangat mengerikan pada saat terjadinya as-Sā’ah (QS.22:1-3 & QS.70:7-19),  selanjutnya Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Ma’ārij  mengenai keadaan hamba-hamba Allah yang beriman kepada Rasul Allah yang diutus kepada mereka serta kemajuan-kemajuan ruhani yang mereka tempuh – yakni melakukan ma’arij (mi’raj)  di dalam kehidupan mereka di dunia ini juga -- firman-Nya:
  مِّنَ اللّٰہِ  ذِی الۡمَعَارِجِ ؕ﴿﴾  تَعۡرُجُ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ  وَ الرُّوۡحُ  اِلَیۡہِ  فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ مِقۡدَارُہٗ  خَمۡسِیۡنَ اَلۡفَ سَنَۃٍ ۚ﴿﴾  فَاصۡبِرۡ  صَبۡرًا  جَمِیۡلًا﴿﴾     
 Azab itu dari Allah Yang memiliki  ma’ārij (tempat-tempat naik),  malaikat-malaikat dan ruh itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun.  Maka bersabarlah dengan sabar yang baik. (Al-Ma’ārij [70]:4-6).
  Jadi, sementara azab yang akan menimpa orang-orang kafir akan membuat mereka binasa, Allah Swt. menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang taat kenaikan ruhani (mi’raj) yang setinggi-tingginya. Berikut adalah firman Allah  Swt. mengenai tingkatan-tingkatan ma’ārij (kenaikan-kenaikan ruhani) yang dijalani oleh hamba-hamba Allah yang hakiki pengikut sejati Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71; QS.33:33), yang dimulai dengan pelaksanaan shalat --  yang menurut Nabi Besar Muhammad saw. merupakan mi’rajnya orang-orang beriman -- firman-Nya:
اِنَّ  الۡاِنۡسَانَ خُلِقَ ہَلُوۡعًا ﴿ۙ﴾  اِذَا مَسَّہُ  الشَّرُّ  جَزُوۡعًا ﴿ۙ﴾  وَّ  اِذَا مَسَّہُ  الۡخَیۡرُ  مَنُوۡعًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا  الۡمُصَلِّیۡنَ ﴿ۙ﴾   الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَاتِہِمۡ   دَآئِمُوۡنَ  ﴿۪ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ فِیۡۤ  اَمۡوَالِہِمۡ حَقٌّ مَّعۡلُوۡمٌ ﴿۪ۙ﴾  لِّلسَّآئِلِ وَ الۡمَحۡرُوۡمِ ﴿۪ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ یُصَدِّقُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿۪ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ مِّنۡ عَذَابِ رَبِّہِمۡ مُّشۡفِقُوۡنَ ﴿ۚ﴾  اِنَّ  عَذَابَ رَبِّہِمۡ غَیۡرُ  مَاۡمُوۡنٍ ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ﴿ۙ﴾  اِلَّا عَلٰۤی  اَزۡوَاجِہِمۡ  اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ  فَاِنَّہُمۡ  غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ﴿ۚ﴾  فَمَنِ  ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ﴿ۚ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ بِشَہٰدٰتِہِمۡ  قَآئِمُوۡنَ﴿۪ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَاتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ ﴿ؕ﴾  اُولٰٓئِکَ فِیۡ جَنّٰتٍ  مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya manusia diciptakan cepat mengeluh.  Apabila ditimpa keburukan  ia gelisah,   tetapi apabila mendapat kebaikan ia  kikir, kecuali orang-orang yang shalat,  Orang-orang yang mereka itu tetap (dawam)  mengerjakan shalat,   dan orang-orang yang dalam harta mereka ada bagian yang ditentukan untuk orang miskin. Untuk yang meminta dan yang tidak meminta. Dan orang-orang yang membenarkan Hari Pembalasan, Dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan mereka. Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman  dari azab Tuhan mereka. Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka,   kecuali terhadap istri-istri mereka atau yang dimiliki tangan kanan mereka, maka sesungguhnya mereka dalam hal itu tidak tercela.   Lalu  barangsiapa mencari selain itu maka mereka itulah yang melampaui batas. Dan orang-orang yang menjaga amanat-amanatnya dan janji-janjinya,   dan orang-orang yang berdiri teguh pada kesaksian-kesaksiannya, dan orang-orang  yang benar-benar menjaga shalatnya. Mereka itulah di dalam surga-surga, dimuliakan.  (Al-Ma’ārij [70]:20-36).
      Selaras dengan firman Allah Swt. dalam Surah Al-Mu’minūn berikut ini Allah Swt. merinci 7 tingkatan mi’raj  yang harus dilalui oleh para pewaris surga firdaus, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ  مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِلزَّکٰوۃِ  فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ   مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾  فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾   وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ  ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Sungguh  telah berhasil orang-orang yang beriman,  yaitu orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya, dan orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia,  dan orang-orang yang membayar zakat, dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela,  tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka,  dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.  Mereka itulah pewaris,   yaitu  orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,  mereka akan kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12)

Menantang  Azab Ilahi   Segera Datang

    Makna ayat  اِنَّ  الۡاِنۡسَانَ خُلِقَ ہَلُوۡعًا – “manusia diciptakan cepat mengeluh” dalam firman Allah Swt sebelumnya (QS.70:20), manusia  menurut pembawaannya tidak sabar. Dalam  QS.21:38 dikatakan “manusia diciptakan dari  ketergesa-gesaan  -- termasuk tergesa-gesa menantang kepada Rasul Allah untuk menyegerakan azab Ilahi yang diancamkan (diperingatkan) kepada mereka., firman-Nya:
خُلِقَ الۡاِنۡسَانُ مِنۡ عَجَلٍ ؕ سَاُورِیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ  فَلَا  تَسۡتَعۡجِلُوۡنِ ﴿﴾  وَ یَقُوۡلُوۡنَ مَتٰی ہٰذَا الۡوَعۡدُ اِنۡ  کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ لَوۡ  یَعۡلَمُ  الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا حِیۡنَ لَا یَکُفُّوۡنَ عَنۡ وُّجُوۡہِہِمُ  النَّارَ  وَ لَا عَنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ  وَ لَا  ہُمۡ  یُنۡصَرُوۡنَ ﴿﴾ بَلۡ تَاۡتِیۡہِمۡ بَغۡتَۃً  فَتَبۡہَتُہُمۡ فَلَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ رَدَّہَا وَ لَا ہُمۡ یُنۡظَرُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَقَدِ اسۡتُہۡزِئَ بِرُسُلٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ فَحَاقَ بِالَّذِیۡنَ سَخِرُوۡا مِنۡہُمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ  یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿﴾
Manusia diciptakan dari sifat tergesa-gesa, segera Aku akan  perlihatkan kepada kamu tanda-tanda-Ku, maka janganlah kamu minta kepada-Ku mempercepat kedatangannya.  Dan mereka mengatakan: “Kapankah janji itu akan terjadi jika kamu adalah orang-orang yang benar?” Seandainya orang-orang  yang kafir mengetahui saat ketika mereka tidak akan dapat mengelakkan api dari wajahnya dan tidak pula dari punggungnya dan mereka tidak akan ditolong.   Bahkan  azab itu akan datang kepada mereka  dengan tiba-tiba  lalu membuat mereka panik, maka mereka tidak akan mampu menolaknya dan tidak pula mereka diberi tangguh. Dan sungguh rasul-rasul sebelum engkau benar-benar telah diper-olok-olokkan, maka orang-orang dari antara mereka yang  memperolok-olokkan rasul telah dikepung dengan  apa yang mereka perolok-olokkan. (Al-Anbiya [21]:38-42).
     Ungkapan, khuliqal insānu min ‘ajal, mengandung arti  bahwa sifat tergesa-gesa merupakan bagian wujud (karakter/sifat) manusia, dan bahwa sifat itu merupakan corak yang begitu penting dalam wataknya, sehingga dapat dikatakan bahwa seolah-olah manusia dijadikan dari “ketergesa-gesaan”, yaitu manusia menurut fitratnya suka tergesa-gesa.
    Apabila  orang-orang Arab ingin menyatakan suatu sifat pembawaan utama seseorang, mereka berkata: Khuliqa minhu artinya “ia telah dijadikan dari itu”. Ungkapan-ungkapan serupa itu dipergunakan pula di tempat-tempat lain dalam Al-Quran (QS.7:13; QS.30:55). Demikian juga makna ungkapan bahwa Allah Swt. telah menjadikan iblis dan jin dari api dan Adam dari “tanah liat” (QS.7:12-13)  yakni iblis atau jin memiliki sifat seperti  kobaran api  yang sulit dikendalikan,  sedangkan  Adam memiliki sifat patuh-taat seperti “tanah liat” sehingga mudah dibentuk sesuai dengan keinginan  pengrajin “tanah liat” (keramik).
      Itulah sebabnya jika Allah Swt.  hendak menciptakan “bumi baru dan langit baru  guna menggantikan tatanan “bumi lama dan langit nama” yang sudah rusak selalu melalui pengutusan seorang “Khalifah Allah” atau “Rasul Allah”, salah satu di antaranya adalah Nabi Adam a.s. yang diciptakan dari “tanah liat” (QS.2:31-35), dengan demikian kisah “Adam – Malaikat – Iblis  merupakan suatu kisah monumental  yang selalu terulang lagi dengan para pemeran yang berbeda, termasuk di Akhir Zaman ini.
       Dari kisah monumental “Adam – Malaikat – Iblis” tersebut dapat diketahui siapa atau pihak mana yang kemudian “diusir dari surga keridhaan” Allah Swt. karena menolak perintah Allah Swt. yang telah memerintahkan para malaikat untuk “sujud” – yakni patuh-taat sepenuhnya” -- kepada Adam, yaitu Khalifah Allah di zamannya (QS.7:12-14; QS.15:35); QS.38:78).
     Selanjutnya akan dikemukakan  kaum-kaum purbakala yang “diusir secara hina dari surga keridhaan Allah Swt.”  dan  mendapat azab Ilahi karena bersikap takabur dan zalim terhadap Rasul-rasul Allah yang diutus kepada mereka. Khalifah Allah atau  Rasul Allah selanjutnya setelah Nabi Adam a.s. dan kaumnya adalah Nabi Nuh a.s..

Kaum-kaum Purbakala yang Diazab Allah Swt.:
Kaum Nabi Nuh a.s. 

       Kembali kepada Surah Ash-Shāffāt  -- yang merupakan pokok pembahasan Blog ini  -- selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Nuh a.s.:
وَ لَقَدۡ نَادٰىنَا نُوۡحٌ فَلَنِعۡمَ الۡمُجِیۡبُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾   وَ نَجَّیۡنٰہُ  وَ اَہۡلَہٗ  مِنَ الۡکَرۡبِ الۡعَظِیۡمِ ﴿۫ۖ﴾  وَ جَعَلۡنَا ذُرِّیَّتَہٗ  ہُمُ  الۡبٰقِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾  وَ تَرَکۡنَا عَلَیۡہِ  فِی الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾  سَلٰمٌ  عَلٰی نُوۡحٍ فِی الۡعٰلَمِیۡنَ﴿﴾  اِنَّا کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾  اِنَّہٗ  مِنۡ عِبَادِنَا الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾  ثُمَّ   اَغۡرَقۡنَا الۡاٰخَرِیۡنَ﴿﴾
Dan  sungguh  Nuh benar-benar telah berseru kepada Kami maka betapa baiknya Kami selaku Pengabul doa.  Dan Kami menyelamatkan dia dan keluarganya dari kesusahan  yang besar.   Dan Kami menjadikan keturunannya   yang tinggal kekal. Dan Kami meninggalkan nama baik atasnya pada generasi seterusnya. Sejahteralah atas Nuh di seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat ihsan.   Sesungguhnya ia termasuk  hamba-hamba Kami yang beriman. kemudian Kami menenggelamkan yang lain. (Ash-Shāffāt  [37]:76-83).
    Nabi Nuh a.s.  meletakkan dasar-dasar peradaban manusia,  dan telah menjadi kenyataan sejarah yang kuat bahwa dengan kemajuan sesuatu kaum dalam peradaban  maka jumlah mereka cenderung bertambah, dan sebagai ekornya (akibatnya) terjadilah suatu kemunduran dalam jumlah warga masyarakat yang lebih rendah peradabannya yang tinggal bersama mereka di daerah-daerah sama atau di sekitarnya.
   Karena keturunan Nabi Nuh a.s. lebih tinggi peradabannya dan karena lebih banyak memiliki sumber-sumber daya kebendaan, agaknya mereka telah menyebar ke daerah-daerah lain dan menundukkan kaum-kaum yang berperadaban lebih rendah dan mereka ini dalam perjalanan masa kaum-kaum tersebut melebur diri ke dalam mereka lalu karena itu mereka ini menjadi punah. Inilah makna ayat:
   وَ جَعَلۡنَا ذُرِّیَّتَہٗ  ہُمُ  الۡبٰقِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾  وَ تَرَکۡنَا عَلَیۡہِ  فِی الۡاٰخِرِیۡنَ ﴿۫ۖ﴾  سَلٰمٌ  عَلٰی نُوۡحٍ فِی الۡعٰلَمِیۡنَ﴿﴾  اِنَّا کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿﴾  
Dan Kami menjadikan keturunannya   yang tinggal kekal.  Dan Kami meninggalkan nama baik atasnya pada generasi seterusnya. Sejahteralah atas Nuh di seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat ihsan.  (Ash-Shāffāt  [37]:78-81).
       Akibat penyebaran generasi-generasi penerus setelah Nabi Nuh a.s. ke berbagai pelosok wilayah  -- di luar kawasan tempat tinggal kaum Nabi Nuh a.s. -- itulah yang kemudian menimbulkan anggapan bahwa banjir dahsyat  yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh a.s. seakan-akan menenggelamkan seluruh dunia, padahal kenyataannya tidak demikian, melainkan hanya menenggelamkan kawasan yang dihuni oleh kaum Nabi Nuh a.s. saja, yang menurut penelitian sejarah  adalah lembah-lembah atau dataran rendah di kawasan  pegunungan Al-Judi.
     Untuk menjelaskan masalah tersebut berikut adalah  kisah Nabi Nuh a.s. dalam Surah Hūd,  firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَا نُوۡحًا اِلٰی قَوۡمِہٖۤ ۫ اِنِّیۡ لَکُمۡ  نَذِیۡرٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿ۙ﴾  اَنۡ  لَّا تَعۡبُدُوۡۤا اِلَّا اللّٰہَ ؕ اِنِّیۡۤ  اَخَافُ عَلَیۡکُمۡ  عَذَابَ  یَوۡمٍ  اَلِیۡمٍ ﴿﴾  فَقَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ مَا نَرٰىکَ اِلَّا بَشَرًا مِّثۡلَنَا وَ مَا نَرٰىکَ اتَّبَعَکَ اِلَّا الَّذِیۡنَ ہُمۡ اَرَاذِلُنَا بَادِیَ الرَّاۡیِ ۚ وَ مَا نَرٰی لَکُمۡ  عَلَیۡنَا مِنۡ فَضۡلٍۭ  بَلۡ  نَظُنُّکُمۡ  کٰذِبِیۡنَ ﴿﴾ 
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, ia berkata: “Sesungguhnya aku bagi kamu pemberi peringatan yang nyata, bahwa janganlah kamu menyembah kecuali Allah, sesungguhnya aku takut atas kamu ditimpa azab Hari yang sangat pedih.  Maka   pemuka-pemuka yang kafir dari kalangan kaumnya berkata: “Kami sama sekali tidak memandang engkau melainkan seorang manusia seperti kami, dan  kami sama sekali tidak melihat mereka yang mengikuti engkau melainkan orang-orang yang keadaan lahirnya  paling hina di antara kami. Dan tidak kami lihat pada kamu suatu pun kelebihan atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah pendusta.” (Hūd [11]:26-28).

Siksaan Hari yang Sangat Menyedihkan” &
Ketakaburan para Penentang Rasul Allah

  “Siksaan menyedihkan” itu berbeda dari “siksaan hari yang sangat pedih.” Ungkapan yang kedua mengandung kesangatan yang lebih besar. Siksaan-siksaan tertentu memang sangat pedih, tetapi ada “hari-hari tertentu” yang bila teringat kepa-danya terus menghantui dan menyebabkan rasa pedih, sekalipun ratusan tahun telah lewat. Di mana “siksaan” itu sendiri hanya menimbulkan rasa sakit pada mereka yang tertimpa olehnya, maka bayangan tentang “hari-hari siksaan yang sangat menyedihkan” itu bahkan menakutkan mereka yang datang di masa kemudian.
   Ungkapan bādiyar-ra’yi dalam ucapan para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. yang takabur  Kami sama sekali tidak memandang engkau melainkan seorang manusia seperti kami, dan  kami sama sekali tidak melihat mereka yang mengikuti engkau melainkan orang-orang yang keadaan lahirnya  paling hina di antara kami.“ berarti: pada lintasan pikiran pertama; nampaknya; tanpa pertimbangan masak (Lexicon Lane).
    Jadi, kalimat  اَرَاذِلُنَا بَادِیَ الرَّاۡیِ berarti, bahwa dalam pandangan mereka para pengikut Nabi Nuh a.s.  itu: (a) ditilik dari segala keadaan lahirnya paling hina; (b) keimanan mereka tidak tulus; (c) keimanannya hanya merupakan akibat pikiran yang dangkal.
     Sayang sekali bahwa orang-orang atau para penentang Rasul Allah di setiap zaman biasanya menguji pendakwaan seorang Rasul Allah dengan patokan dan ukuran yang mereka rancangkan sendiri; dan bila Rasul Allah tersebut  tidak memenuhi patokan dan ukuran itu, mereka menipu diri mereka sendiri dengan anggapan, bahwa mereka telah menilai pendakwaan-pendakwaan Rasul Allah  itu dengan perasaan dingin serta pikiran terbuka dan memperoleh kesimpulan, bahwa pendakwaan-pendakwaan itu palsu, padahal yang menjadi ukuran penilaian mereka itu semata-mata  berdasarkan hawa-nafsu mereka sendiri (QS.2:88-89; QS.10:16;  QS.17:74-78).
     Atas dasar itulah Allah Swt. telah berfirman bahwa jika haq (kebenaran) mengikuti kebanyakan (mayoritas) umat manusia maka maka umat manusia akan tersesat dari jalan Allah Swt.   karena mereka hanya mengikuti  dugaan-dugaan saja (QS.6:117; QS.10:37; QS.22:53-54;  QS.53:29), dan  berarti semua Rasul Allah -- termasuk Nabi Besar Muhammad saw. --  adalah "orang-orang sesat", sebab mereka datang seorang diri sebagai utusan Allah Swt. (rasul Allah. Benarkah demikian?
   Itulah sebabnya  haq (kebenaran) yang hakiki senantiasa disampaikan dan diajarkan oleh Allah Swt. melalui para Rasul Allah, dan penolakan mayoritas umat manusia terhadap missi suci para Rasul Allah tidak berarti bahwa yang benar  dan yang pasti unggul adalah “suara mayoritas”, justru sebaliknya para Rasul Allah itulah yang missi sucinya pasti benar dan pasti unggul (QS.3:55; QS.8:31; QS.13:43-44; QS.14:47-53; QS.27:51-54; QS.58:21-22).

Hikmah Berbagai  Pernyataan Nabi Nuh a.s.

     Terhadap pendapat para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. yang takabur tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Nuh a.s.:
قَالَ یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ رَّبِّیۡ  وَ اٰتٰىنِیۡ رَحۡمَۃً مِّنۡ عِنۡدِہٖ فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ ؕ اَنُلۡزِمُکُمُوۡہَا وَ اَنۡتُمۡ لَہَا کٰرِہُوۡنَ ﴿﴾ وَ یٰقَوۡمِ لَاۤ  اَسۡئَلُکُمۡ عَلَیۡہِ مَالًا ؕ اِنۡ  اَجۡرِیَ   اِلَّا عَلَی اللّٰہِ وَ مَاۤ  اَنَا بِطَارِدِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا ؕ اِنَّہُمۡ مُّلٰقُوۡا  رَبِّہِمۡ  وَ لٰکِنِّیۡۤ  اَرٰىکُمۡ قَوۡمًا تَجۡہَلُوۡنَ﴿﴾  وَ یٰقَوۡمِ مَنۡ یَّنۡصُرُنِیۡ مِنَ اللّٰہِ  اِنۡ طَرَدۡتُّہُمۡ ؕ اَفَلَا   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾  وَ لَاۤ   اَقُوۡلُ  لَکُمۡ  عِنۡدِیۡ خَزَآئِنُ اللّٰہِ وَ لَاۤ  اَعۡلَمُ  الۡغَیۡبَ وَ لَاۤ  اَقُوۡلُ  اِنِّیۡ مَلَکٌ وَّ لَاۤ  اَقُوۡلُ لِلَّذِیۡنَ تَزۡدَرِیۡۤ اَعۡیُنُکُمۡ  لَنۡ  یُّؤۡتِیَہُمُ  اللّٰہُ خَیۡرًا ؕ اَللّٰہُ  اَعۡلَمُ  بِمَا فِیۡۤ  اَنۡفُسِہِمۡ ۚۖ اِنِّیۡۤ  اِذًا لَّمِنَ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Ia (Nuh) berkata: “Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu, jika aku berdiri atas suatu Tanda yang nyata dari Tuhan-ku, dan Dia telah menganugerahkan  kepadaku rahmat dari sisi-Nya tetapi itu tetap saja tidak jelas (samar) bagi kamu? Apakah kami akan memaksakannya  kepadamu, sedangkan  kamu tidak menyukainya?   Dan hai kaumku, aku tidak meminta   harta kepada kamu sebagai balasannya, ganjaranku hanyalah  pada Allah. Dan  aku sama sekali tidak akan mengusir orang yang telah ber-iman, sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, tetapi tetapi aku memandang kamu sebagai suatu kaum yang berbuat kejahilan. Dan hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari hukuman Allah jika aku mengusir mereka? Apakah kamu tidak  mau mengambil pelajaran?   Dan  tidak pula aku berkata kepada kamu: “Padaku ada khazanah dari Allah,” tidak pula aku mengetahui yang gaib dan tidak pula aku mengatakan: “Sesungguhnya aku malaikat.” Dan tidak pula aku mengatakan mengenai orang-orang yang dipan-dang hina oleh mata kamu: “Allah tidak akan pernah memberikan kebaikan apa pun kepada mereka.” Allah lebih mengetahui yang ada dalam diri mereka, sesungguhnya jika demikian niscaya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Hūd [11]:29-32).
      Dalam   pernyataan-pernyataan yang dikemukakan Allah Swt. tersebut pada hakikatnya merupakan jawaban terhadap berbagai tuntutan atau keberatan yang dikemukakan oleh para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. berkenaan dengan pendakwaan beliau  a.s. sebagai Rasul Allah dan juga berkenaan keadaan orang-orang yang beriman kepada pendakwaan Nabi Nuh a.s., firman-Nya:
قَالَ یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ رَّبِّیۡ  وَ اٰتٰىنِیۡ رَحۡمَۃً مِّنۡ عِنۡدِہٖ فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ ؕ اَنُلۡزِمُکُمُوۡہَا وَ اَنۡتُمۡ لَہَا کٰرِہُوۡنَ ﴿﴾ 
Ia (Nuh) berkata: “Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu, jika aku berdiri atas suatu Tanda yang nyata dari Tuhan-ku, dan Dia telah menganugerahkan kepadaku rahmat dari sisi-Nya tetapi itu tetap saja tidak jelas (samar) bagi kamu? Apakah  kami akan memaksakannya  kepada kamu, sedangkan  kamu tidak menyukainya?  (Hūd [11]:29).

Orang-orang  yang Buta Mata Ruhaninya

     Menurut Nabi Nuh a.s.,  begitu banyak Tanda-tanda serta dalil-dalil dari Allah Swt. yang mendukung kebenaran pendakwaan beliau a.s. sebagai Rasul Allah, hanya saja masalahnya bukan pada diri beliau a.s. melainkan pada diri para penentang  Nabi Nuh a.s.   yakni   فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ    -- yakni “kalian tetap membuta terhadap Tanda-tanda dan Rahmat-rahmat Ilahi yang  mendukung pendakwaan-Ku”. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai orang-orang yang buta mata ruhaninya di dunia dan di akhirat nanti:
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ  اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ   اَعۡمٰی  وَ اَضَلُّ  سَبِیۡلًا ﴿﴾
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat  pun ia akan buta juga  dan bahkan  lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:73).
    Mereka yang tidak mempergunakan mata ruhani mereka dengan cara yang wajar di dunia ini akan tetap  luput dari penglihatan ruhani di dalam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak merenungkan Tanda-tanda Allah serta tidak memperoleh manfaat darinya adalah  buta”. Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun akan tetap dalam keadaan buta. Firman-Nya lagi: 
وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ  اَعۡمٰی ﴿﴾  قَالَ رَبِّ  لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ  اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ  بَصِیۡرًا ﴿﴾ قَالَ  کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ  وَکَذٰلِکَ  الۡیَوۡمَ  تُنۡسٰی ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ  یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ  لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی  النُّہٰی ﴿﴾
Dan  barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkit-kannya pada Hari Kiamat dalam ke-adaan buta.  Ia berkata: "Ya Tuhan­ku, mengapa Engkau mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya dahulu aku dapat melihat?”  Dia  berfirman: "Demi­kianlah telah datang kepada kamu Tanda-tandaKami, tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini."   Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya, dan  niscaya azab- akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. Maka apakah tidak  mem­beri petunjuk kepada mereka   berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat tinggal mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu benar-benar ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thā Hā [20]:125-129).
    Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah Swt. di dunia serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya – khususnya mendustakan dan menjadi penentang para Rasul Allah --  dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat. Hal itu menjadi demikian  karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai tubuh  bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini.

 Pengulangan Kisah Monumental “Dua Putra Adam

   Sebagai jawaban terhadap keluhan orang kafir mengapa ia dibangkit‑kan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan, Allah Swt.akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di dunia sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
   Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang kafir tidak mengembangkan dalam dirinya sifat-sifat Ilahi dan tetap asing dari sifat-sifat itu, maka pada hari kebangkitan — ketika sifat-sifat itu  akan dinampakkan  dengan segala keagungan dan kemuliaan — ia sebagai seseorang yang terasing dari sifat­-sifat itu  tidak akan mampu mengenalnya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada sifat-sifat itu.
    Itulah sebabnya ketika  para malaikat mengetahui bahwa Adam (Khalifah Allah) mampu mengemukakan Al-Asmā  (nama-nama) yang diajarkan Allah Swt. kepadanya secara khusus  maka ia serta-merta “sujud” (patuh taat)  kepada “Adam” ketika diperintahkan Allah Swt. untuk “sujud” kepadanya, kecuali iblis, karena ia bersikap takabur  menganggap dirinya lebih mulia daripada Adam  (Khalifah Allah), sehingga ia  diusir  Allah Swt. dari “surga keridhaan-Nya” (QS.2:21-35; QS.7:12-14; QS.15:29-36; QS.38:72-79), dan menjadi golongan (pengikut) salah satu “putra Adam”   yang -- pengorbanannya  tidak dikabulkan (ditolak) oleh Allah Swt.  (QS.5:28-35) lalu  karena kedengkiannya -- ia “membunuh saudaranya” yang pengorbanannya dikabulkan (diterima) Allah Swt., kisah “dua putra Adam” tersebut juga merupakan kisah monumental  yang akan senantiasa berulang, termasuk di Akhir Zaman ini.


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 13 Mei  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar