Sabtu, 11 Mei 2013

Menghapus "Adat Istiadat Jahiliyah" tentang Kedudukan "Anak Angkat" Sama dengan "Anak Kandung"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 117


Menghapus Adat Istiadat Jahiliyah
Tentang Kedudukan   Anak Angkat
Sama dengan Anak kandung

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai sakralnya lembaga pernikahan dalam Islam yang dihubungkan dengan  istri-istri durhaka” Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal orang-orang kafir yang menentang para Rasul Allah, yang diutus kepada mereka sebagai “suami-suami ruhani” yang  terbaik yang ditetapkan Allah Swt.,  terutama  sekali Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:: 
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾    
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.”     (At-Tahrīm [66]:11).
 Jadi,  salah satu dari sekian banyak hikmah mengapa orang-orang kafir yang menentang para rasul Allah dari zaman ke zaman diumpamakan seperti istri Nabi Nuh a.s.  dan istri Nabi Luth a.s., untuk menunjukkan bahwa persahabatan dengan orang bertakwa --malahan dengan seorang nabi Allah sekalipun --  tidak berfaedah bagi orang yang mempunyai kecenderungan buruk menolak kebenaran, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا سَوَآءٌ  عَلَیۡہِمۡ ءَاَنۡذَرۡتَہُمۡ  اَمۡ  لَمۡ  تُنۡذِرۡہُمۡ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ وَ عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ  وَ عَلٰۤی اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang  kafir  sama saja bagi mereka, apakah   engkau memperingatkan mereka atau pun engkau tidak pernah memperingatkan mereka, mereka tidak akan beriman.  Allah  telah mencap (menyegel/memeterai) hati mereka dan pendengaran mereka, sedangkan pada penglihatan  mereka   ada tutupan, dan bagi mereka ada siksaan yang amat besar. (Al-Baqarah [2]:7-8).
      Ayat ini membicarakan orang-orang kafir, yang sama sekali tidak mengindahkan kebenaran dan keadaan mereka tetap sama, baik mereka itu mendapat peringatan atau pun tidak. Mengenai orang-orang semacam itu dinyatakan bahwa selama keadaan mereka tetap demikian mereka tidak akan beriman.
    Ayat selanjutnya menjelaskan suatu hukumsebab-akibat” yang ditetapkan Allah Swt., bahwa bagian tubuh manusia yang tidak digunakan untuk waktu yang lama, berangsur-angsur menjadi merana dan tak berguna. Orang-orang kafir yang disebut di sini menolak penggunaan hati dan telinga mereka untuk memahami kebenaran. Akibatnya daya pendengaran dan daya tangkap mereka hilang.
    Apa yang dinyatakan dalam anak kalimat, Allah telah mencap, hanya merupakan akibat wajar dari sikap mereka sendiri yang sengaja tidak mau mengacuhkan (tidak peduli).  Karena semua hukum datang dari  Allah Swt.   dan tiap-tiap sebab diikuti oleh akibatnya yang wajar menurut kehendak Allah Swt. maka pencapan (menyegelan/pemeteraian)  hati dan telinga orang-orang kafir itu, dikaitkan (dinisbahkan) kepada  Allah Swt..

Kemandulan “Rahim Ruhani” Orang-orang Kafir

   Secara jasmani, kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. rahim jasmani membuahkan keturunan jasmani kedua suami mereka yang suci, namun dari segi ruhani kedua istri durhaka Nabi Allah tersebut menolak rahim ruhaninya – yakni hatinya --  untuk dibuahi secara ruhani oleh kedua suaminya, karena keduanya memilih bergabung dengan kaum mereka yang  mendustakan dan menentang pendakwaan kedua suaminya sebagai Rasul Allah, maka akibatnya ketika azab Ilahi yang diperingatkan kedua suami mereka  itu terjadi maka kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. tersebut termasuk   orang-orang yang dibinasakan oleh azab Ilahi tersebut, inilah mana kalimat:
فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
“…maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).

Darah Kotor (Haid) yang Terbuang Sia-sia dari Rahim

 Hikmah lain yang dapat diambil dari  nasib buruk yang menimpa kedua istri  durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. tersebut, dan kenapa keduanya oleh Allah Swt. dijadikan   sebagai misal (perumpamaan) orang-orang kafir, adalah:
 Hikmah pertama,   Allah Swt. telah menetapkan bagi rahim perempuan yang sudah mencapai aqil baligh  akan mengalami haid (menstruasi/datang bulan). Dan Allah Swt. menyatakan dalam Al-Quran bahwa darah haid   karena merupakan sebagai “darah kotor” sebagai  najis, itulah sebabnya Allah Swt. telah melarang perempuan yang sedang haid (mesntruasi)  mengerjakan shalat, memegang Al-Quran, masuk ke dalam mesjid, dan  Allah Swt. telah melarang para suami untuk berhubungan badan dengan istri-istri mereka yang sedang haid, sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الۡمَحِیۡضِ ؕ قُلۡ ہُوَ اَذًی  ۙ فَاعۡتَزِلُوا النِّسَآءَ فِی الۡمَحِیۡضِ  ۙ وَ لَا تَقۡرَبُوۡہُنَّ حَتّٰی یَطۡہُرۡنَ ۚ فَاِذَا تَطَہَّرۡنَ  فَاۡتُوۡہُنَّ مِنۡ حَیۡثُ اَمَرَکُمُ اللّٰہُ  ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ التَّوَّابِیۡنَ  وَ یُحِبُّ الۡمُتَطَہِّرِیۡنَ ﴿﴾
Dan mereka bertanya kepada engkau  mengenai haid. Katakanlah: “Itu menimbulkan bahaya, maka jauhilah perempuan-perempuan yang sedang haid, dan janganlah kamu menghampiri mereka hingga mereka suci. Dan apabila mereka telah bersuci diri  maka datangilah mereka sebagaimana Allāh telah memerintahkan kepada Kamu, sesungguhnya Allah mencintai mereka yang senantiasa bertaubat, dan Dia mencintai mereka yang mensucikan diri. (Al-Baqarah [2]:223).

Sunnatullah yang Senantiasa Berulang

     Hikmah kedua, pada hakikatnya darah haid   mau pun bayi yang dilahirkan seorang ibu (istri)  keduanya keluar dari rahim, ada pun perbedaannya adalah darah haid merupakan sesuatu yang najis dan haram dan dapat menimbulkan mudharat, sedangkan bayi yang keluar dari rahim merupakan suatu yang halal dan dapat tumbuh berkembang menjadi seorang manusia sempurna.
        Begitu juga halnya  kaum-kaum  yang mendustakan dan menentang para rasul Allah  maka  rahim hati mereka tidak akan pernah mengalami  perbuahan ruhani, lalu kehamilan ruhani serta kelahiran  ruhani  berupa akhlak dan ruhani terpuji sebagai akibat pergaulan suci dengan para rasul Allah – yang merupakan “suami ruhani” mereka --  bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, yakni akhlak dan ruhani mereka akan semakin buruk bagaikan darah haid.
     Hikmah ketiga, merupakan Sunnatullah  bahwa semakin lanjut usia seorang perempuan maka keadaan rahimnya akan semakin tidak produktif  atau tidak subur, sehingga rahim  perempuan tersebut akan sulit untuk dapat dibuahi  dengan baik oleh suaminya.
      Keadaan rahim perempuan yang telah lanjut usia seperti itu sama dengan keadaan tanah di permukaan bumi, yakni apabila permukaan tanah tersebut semakin jarang diguyur   air hujan – terutama di musim kemarau – maka akibatnya tanah tersebut menjadi keras dan tidak mampu menumbuhkan benih-benih yang ada di dalamnya mau pun benih-benih yang ditaburkan di atas permukaannya.
       Demikian pula halnya dengan keadaan hati umat manusia atau umat beragama  apabila mereka telah semakin jauh dari masa kenabian yang penuh berkat maka keadaan hati mereka pun akan semakin keras sehingga sulit untuk dapat menumbuhkan “benih-benih kebaikan” yang terkandung  dalam jiwa manusia mau pun “benih-benih kebaikan” yang datang dari luar.
      Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai pentingnya  kesinambungan turunnya “hujan ruhani” berupa wahyu Ilahi yang turun bersama dengan diutusnya seorang rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada umat manusia (Bani Adam ‘- QS.7:35-37), sebab tanpa wahyu Ilahi tersebut   mustahil “bumi” (hati) yang telah mati akan dapat  dihidupkan (disuburkan) kembali, sehingga dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia, “firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ  لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اَنۡ  تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ  لِذِکۡرِ اللّٰہِ  وَ مَا  نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ  ۙ  وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾  اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk mengingat Allah dan mengingat  kebenaran yang telah turun kepada mereka, dan mereka tidak  menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, maka  zaman kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka? Ketahuilah, bahwasanya  Allah  menghidupkan bumi sesudah matinya. Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepadamu supaya kamu mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).

Suri Teladan Terbaik “Rumah-Tangga” Nabi Besar Muhammad Saw. 

        Sehubungan dengan maraknya  kasus-kasus NS (nikah siri) atau  nikah dibawah tangan” dan kasus-kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dalam beberapa Bab  sebelumnya  telah kemukakan riwayat yang benar mengenai  sakralnya lembaga pernikahan dalam Islam  -- termasuk masalah perceraian – sehingga Allah  Swt. telah menetapkan banyak rintangan dan  tahapan yang harus dilakukan oleh  suami yang memutuskan akan menceraikan istrinya, di antaranya melakukan ila (perpisahan sementara), sebagai  alangkah pertama dari 3 tindakan  pemberian “hukuman” terhadap istri-istri yang melanggar ketentuan  rumahtangga  yang telah ditetapkan Allah Swt., yakni (1) diberi nasihat; (2) berpisah (pisah ranjang/kamar),   dan (3) dinasihati lebih keras  antara lain “dipukul”,  firman-Nya:
وَ لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مَوَالِیَ  مِمَّا تَرَکَ الۡوَالِدٰنِ وَ الۡاَقۡرَبُوۡنَ ؕ وَ الَّذِیۡنَ عَقَدَتۡ اَیۡمَانُکُمۡ فَاٰتُوۡہُمۡ نَصِیۡبَہُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  شَہِیۡدًا ﴿٪﴾  اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰہُ بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِہِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰہُ ؕ وَ الّٰتِیۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَہُنَّ فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ فِی الۡمَضَاجِعِ وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَکُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَیۡہِنَّ سَبِیۡلًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلِیًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Dan  bagi masing-masing mereka Kami telah menjadikan  pewaris-pewaris dari apa yang ditinggalkan kedua orang tua, kaum kerabat, dan orang-orang yang diikat oleh janji kamu (suami-istri) maka berikanlah kepada mereka bagian mereka, sesungguhnya Allah benar-benar menyaksikan  segala sesuatu. Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan-perempuan  karena    Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka membelanjakan sebagian dari harta mereka, maka  perempuan-perempuan saleh adalah yang taat,  yang menjaga rahasia-rahasia suami mereka dari apa-apa yang telah dilindungi Allah. Dan ada pun perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan kedurhakaan mereka maka nasihatilah mereka,  jauhilah mereka di tempat tidur,  dan pukullah mereka, tetapi jika kemudian  mereka taat kepada kamu  maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Tinggi, Maha Besar.   (An-Nisā [4]:33).
     Qawwamūn diambil dari kata qāma, dan qāma ‘alal-mar’ati berarti: ia mengemban kewajiban memelihara perampuan  itu; ia melindungi dia (perempuan itu). Oleh karena itu kata qawwamūn berarti: pemelihara-pemelihara; pengurus-pengurus perkara; pelindung-pelindung (Lisan-al-‘Arab). Ayat ini memberi dua alasan mengapa laki-laki telah dijadikan kepala keluarga:
    (a) kemampuan-kemampuan-nya — ditilik dari segi mental dan fisik — lebih unggul;   
       b) karena ia menjadi pencari nafkah dan pemelihara kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu wajar dan adil, bila orang yang menghasilkan dan memberikan uang untuk pemeliharaan keluarganya, menikmati kedudukan sebagai pengamat dalam melaksanakan urusan-urusannya.
  Jadi, betapa sakralnya lembaga pernikahan dalam Islam, sehingga Allah Swt. telah menetapkan berbagai aturan mengenai pernikahan mau pun mengenai perceraian dan senantiasa menghubungkannya dengan masalah ketakwaan kepada Allah Swt. kedua belah pihak yang menikah mau pun yang bercerai, firman-Nya:
وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾  
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya.  Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb [33]:37).

Ketaatan   Zainab   r.a. kepada Nabi Bi Besar Muhammad  Saw.

    Kejadian yang langsung berkaitan dengan turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan  Zainah r.a.  menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.  agar  Zainab  r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., budak beliau saw. yang telah dimerdekakan, dalam rangka untuk menghilangkan kesenjangan sosial di kalangan umat Islam dalam rangka mempererat “persaudaraan Muslim” (QS.49:11) antara golongan bangsawan dan  bekas “hamba sahaya”.
    Kita patut memuji  Zainab r.a., karena menghormati  kehendak  Nabi Besar Muhammad saw.,  beliau setuju menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan hati beliau pribadi. Nabi Besar Muhammad saw.  tidak memaksa  Zainab r.a. menerima Zaid bin Haritsah r.a.  – seorang hamba sahaya yang telah  dimerdekakan oleh beluau saw. -- sebagai suami.
       Zainab r.a.  menghormati keinginan   Nabi Besar Muhammad saw. tersebut, sekali pun   dalam lubuk hatinya yang paling dalam,  bangsawati Arab yang mulia tersebut  sebenarnya  berharap   diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.. Sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allāh lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan engkau dengan dia  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.   (Al-Ahzāb [33]:38).

Membatalkan Adat Istiadat Jahiliyah
Mengenai Kedudukan “Anak Angkat

     Zaid ibn Haritsah r.a.  seorang pemuda non Arab yang dimerdekakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. , yang – sebelum turun peratutan mengenai “anak angkat” (QS.33:5-6) -- diambil beliau saw. sebagai anak angkat beliau saw., sebelum pengangkatan “anak angkat” itu dinyatakan tidak sah dalam Islam (QS.33:5-6), dimana menurut adat-istiadat  jahiliyah bangsa Arab kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, sehingga dilarang  janda dari  anak angkat dinikahi oleh ayah angkatnya.
    Pembatalan adat-istiadat jahiliyah mengenai  kedudukan anak angkat tersebut sama dengan pembatalan masalah zhihar yang telah dijelaskan  dalam  salah satu Bab sebelumnya (QS.58:2-7), firman-Nya:
مَا جَعَلَ اللّٰہُ  لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَزۡوَاجَکُمُ الِّٰٓیۡٔ  تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَدۡعِیَآءَکُمۡ  اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ  وَ ہُوَ  یَہۡدِی  السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ  اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ  اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ  ۙ  وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu  yang kamu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu  adalah ibu-ibu kamu yang hakiki, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu  sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.  Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu  mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu diminta pertanggung-jawaban atas apa yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Al-Ahzāb [33]:5-6).
    Ad’iya adalah bentuk jamak dari da’iy dan berarti:  seorang yang diaku anak oleh orang lain yang bukan ayahnya sendiri, anak angkat; orang yang asal-usulnya atau silsilah keturunannya atau orangtuanya diragukan; seseorang yang mengaitkan silsilah keturunannya kepada orang-orang yang bukan bapaknya sendiri yang sejati (Lexicon Lane).
Ayat-ayat ini berikhtiar menghapuskan dua macam adat-kebiasaan yang mendarah daging dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Arab di zaman Nabi Besar Muhammad saw.. Yang paling buruk dari antara kedua macam adat-kebiasaan itu ialah zhihar. Seorang suami dalam keadaan naik darah, biasa menyebut ibu kepada istrinya. Perempuan  yang malang itu diluputkan dari hak-haknya sebagai istri, namun demikian ia tetap terikat kepada suami tanpa mempunyai hak menikah dengan orang lain untuk jadi suaminya.
     Adat-kebiasaan yang lain ialah kebiasaan mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Kebiasaan ini kecuali dikhawatirkan menyebabkan kekalutan dalam hubungan darah, juga merupakan suatu kebiasaan kekanak-kanakan dan dungu. Alasan bagi penghapusan kedua kebiasaan itu dirangkum dalam kata-kata  Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dadanya.

Adat Istiadat Jahiliyah Bertentangan
dengan Fitrat Hati  Manusia

    Hati manusia dipahami sebagai tempat bersemayam keharuan-keharuan dan perasaan-perasaan. Hati hanya dapat melayani satu macam keharuan pada suatu saat tertentu. Keharuan-keharuan yang bertentangan tidak mungkin dilayani oleh hati secara serentak pada waktu yang bersamaan. Lagi pula hubungan-hubungan manusiawi yang berbedaan memancing keharuan yang berlain-lainan.
      Hanya semata-mata menyebut istrinya ibu sendiri atau menyebut seorang asing anaknya tidak dapat memancing keharuan yang serasi di dalam hati. Istri seseorang tidak mungkin menjadi ibunya dan begitu pula seorang orang asing tidak mungkin menjadi anak kandungnya. Kata-kata yang keluar dari mulut semata-mata tidaklah dapat mengubah keadaan hati si pengucap kata-kata itu, begitu pula kata-kata itu tidaklah dapat mengubah kenyataan-kenyataan yang tidak dapat disembunyikan, mengenai hubungan jasmani.
   Jadi, dalam ajaran Islam tidak  diperkenankan melakukan adopsi  yakni menjadikan  anak orang lain menjadi  seperti anak kandung sendiri, sebagaimana firman-Nya:
اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ  اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ
Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu….” (Al-Ahzāb [33]:6).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 4 Mei  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar