بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 117
Menghapus Adat
Istiadat Jahiliyah
Tentang Kedudukan Anak Angkat
Sama dengan Anak kandung
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai sakralnya lembaga pernikahan dalam Islam yang dihubungkan dengan “istri-istri durhaka” Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal orang-orang kafir yang menentang
para Rasul Allah, yang diutus kepada
mereka sebagai “suami-suami ruhani”
yang terbaik
yang ditetapkan Allah Swt.,
terutama sekali Nabi Besar
Muhammad saw., firman-Nya::
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka
mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
Jadi, salah satu dari sekian banyak hikmah mengapa orang-orang kafir yang menentang para rasul Allah dari zaman ke zaman diumpamakan seperti istri Nabi Nuh a.s. dan istri
Nabi Luth a.s., untuk menunjukkan bahwa persahabatan
dengan orang bertakwa --malahan dengan
seorang nabi Allah sekalipun -- tidak
berfaedah bagi orang yang mempunyai kecenderungan
buruk menolak kebenaran, firman-Nya:
اِنَّ
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا سَوَآءٌ عَلَیۡہِمۡ ءَاَنۡذَرۡتَہُمۡ
اَمۡ لَمۡ تُنۡذِرۡہُمۡ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾
خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ وَ عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ وَ عَلٰۤی اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ
لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿﴾
Sesungguhnya
orang-orang kafir sama saja bagi mereka,
apakah engkau memperingatkan mereka
atau pun engkau tidak pernah
memperingatkan mereka, mereka tidak
akan beriman. Allah telah
mencap (menyegel/memeterai) hati
mereka dan pendengaran mereka,
sedangkan pada penglihatan mereka
ada tutupan, dan bagi mereka
ada siksaan yang amat besar. (Al-Baqarah [2]:7-8).
Ayat ini membicarakan orang-orang kafir, yang sama sekali tidak mengindahkan kebenaran dan keadaan
mereka tetap sama, baik mereka itu mendapat peringatan
atau pun tidak. Mengenai orang-orang semacam itu dinyatakan bahwa selama keadaan mereka tetap demikian
mereka tidak akan beriman.
Ayat selanjutnya menjelaskan suatu hukum “sebab-akibat” yang ditetapkan Allah Swt., bahwa bagian tubuh manusia yang tidak digunakan untuk waktu yang lama,
berangsur-angsur menjadi merana dan tak berguna. Orang-orang kafir yang
disebut di sini menolak penggunaan hati
dan telinga mereka untuk memahami kebenaran. Akibatnya daya pendengaran dan daya tangkap mereka hilang.
Apa yang dinyatakan dalam anak kalimat, Allah
telah mencap, hanya merupakan akibat
wajar dari sikap mereka sendiri
yang sengaja tidak mau mengacuhkan
(tidak peduli). Karena semua hukum datang dari Allah Swt. dan tiap-tiap sebab diikuti oleh akibatnya
yang wajar menurut kehendak Allah Swt. maka
pencapan (menyegelan/pemeteraian) hati
dan telinga orang-orang kafir itu,
dikaitkan (dinisbahkan) kepada Allah
Swt..
Kemandulan “Rahim Ruhani” Orang-orang Kafir
Secara jasmani, kedua istri
durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. rahim jasmani membuahkan keturunan jasmani kedua suami mereka
yang suci, namun dari segi ruhani
kedua istri durhaka Nabi Allah
tersebut menolak rahim ruhaninya –
yakni hatinya -- untuk dibuahi
secara ruhani oleh kedua suaminya, karena keduanya memilih bergabung dengan kaum mereka yang mendustakan dan menentang pendakwaan
kedua suaminya sebagai Rasul Allah, maka akibatnya ketika azab Ilahi yang diperingatkan kedua suami
mereka itu terjadi maka kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi
Luth a.s. tersebut termasuk orang-orang yang dibinasakan oleh azab Ilahi tersebut, inilah mana
kalimat:
فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ
اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا
النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
“…maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri
mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: “Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta
orang-orang yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
Darah Kotor (Haid) yang
Terbuang Sia-sia dari Rahim
Hikmah lain yang dapat
diambil dari nasib buruk yang menimpa kedua
istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi
Luth a.s. tersebut, dan kenapa keduanya oleh Allah Swt. dijadikan sebagai misal
(perumpamaan) orang-orang kafir,
adalah:
Hikmah pertama, Allah Swt. telah menetapkan bagi rahim perempuan yang sudah mencapai aqil baligh akan mengalami haid (menstruasi/datang bulan). Dan Allah Swt. menyatakan dalam
Al-Quran bahwa darah haid karena merupakan sebagai “darah kotor”
sebagai najis, itulah sebabnya Allah Swt. telah melarang perempuan yang sedang haid
(mesntruasi) mengerjakan shalat, memegang Al-Quran, masuk ke dalam mesjid,
dan Allah Swt. telah melarang para suami untuk berhubungan badan dengan istri-istri
mereka yang sedang haid, sebagaimana
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ
یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الۡمَحِیۡضِ ؕ قُلۡ ہُوَ اَذًی ۙ فَاعۡتَزِلُوا النِّسَآءَ فِی
الۡمَحِیۡضِ ۙ وَ لَا تَقۡرَبُوۡہُنَّ
حَتّٰی یَطۡہُرۡنَ ۚ فَاِذَا تَطَہَّرۡنَ
فَاۡتُوۡہُنَّ مِنۡ حَیۡثُ اَمَرَکُمُ اللّٰہُ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ التَّوَّابِیۡنَ وَ یُحِبُّ الۡمُتَطَہِّرِیۡنَ ﴿﴾
Dan mereka
bertanya kepada engkau mengenai haid. Katakanlah: “Itu menimbulkan bahaya, maka jauhilah perempuan-perempuan yang sedang haid, dan janganlah kamu menghampiri mereka hingga
mereka suci. Dan apabila mereka
telah bersuci diri maka datangilah mereka sebagaimana Allāh telah
memerintahkan kepada Kamu, sesungguhnya Allah mencintai mereka yang senantiasa bertaubat, dan Dia mencintai mereka yang mensucikan diri.
(Al-Baqarah
[2]:223).
Sunnatullah yang Senantiasa Berulang
Hikmah
kedua, pada hakikatnya darah haid mau pun bayi
yang dilahirkan seorang ibu (istri) keduanya keluar dari rahim, ada pun perbedaannya adalah darah haid merupakan sesuatu yang najis dan haram dan dapat
menimbulkan mudharat, sedangkan bayi yang keluar dari rahim merupakan suatu yang halal dan dapat tumbuh berkembang menjadi seorang manusia sempurna.
Begitu juga halnya kaum-kaum
yang mendustakan dan menentang para rasul Allah maka rahim
hati mereka tidak akan pernah mengalami
perbuahan ruhani, lalu kehamilan ruhani serta kelahiran
ruhani berupa akhlak dan ruhani terpuji sebagai akibat pergaulan
suci dengan para rasul Allah –
yang merupakan “suami ruhani” mereka
-- bahkan yang terjadi adalah
sebaliknya, yakni akhlak dan ruhani mereka akan semakin buruk bagaikan darah haid.
Hikmah ketiga, merupakan Sunnatullah bahwa semakin
lanjut usia seorang perempuan maka keadaan rahimnya
akan semakin tidak produktif atau tidak
subur, sehingga rahim perempuan tersebut akan sulit untuk dapat dibuahi dengan baik oleh suaminya.
Keadaan rahim perempuan yang telah lanjut usia
seperti itu sama dengan keadaan tanah
di permukaan bumi, yakni apabila permukaan
tanah tersebut semakin jarang diguyur
air hujan – terutama di musim kemarau – maka akibatnya tanah tersebut menjadi keras dan tidak mampu menumbuhkan benih-benih yang ada di
dalamnya mau pun benih-benih yang
ditaburkan di atas permukaannya.
Demikian pula halnya
dengan keadaan hati umat manusia atau
umat beragama apabila mereka telah semakin jauh dari masa
kenabian yang penuh berkat maka
keadaan hati mereka pun akan semakin keras sehingga sulit untuk dapat
menumbuhkan “benih-benih kebaikan”
yang terkandung dalam jiwa manusia mau pun “benih-benih kebaikan” yang datang dari
luar.
Dengan demikian
benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai pentingnya kesinambungan
turunnya “hujan ruhani” berupa wahyu Ilahi yang turun bersama dengan
diutusnya seorang rasul Allah yang
kedatangannya dijanjikan kepada umat manusia (Bani Adam ‘- QS.7:35-37),
sebab tanpa wahyu Ilahi tersebut mustahil “bumi” (hati) yang telah mati
akan dapat dihidupkan (disuburkan) kembali, sehingga dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman yang sangat dibutuhkan oleh
manusia, “firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اَنۡ تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ اللّٰہِ وَ مَا
نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا
الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ
الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا
اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ
الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah
belum sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk mengingat Allah dan mengingat
kebenaran yang telah turun kepada
mereka, dan mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab
sebelumnya, maka zaman kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? Ketahuilah,
bahwasanya Allah menghidupkan
bumi sesudah matinya. Sungguh Kami
telah menjelaskan Tanda-tanda kepadamu supaya kamu mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Suri Teladan Terbaik “Rumah-Tangga” Nabi Besar Muhammad
Saw.
Sehubungan dengan maraknya kasus-kasus NS (nikah siri) atau “nikah
dibawah tangan” dan kasus-kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dalam beberapa Bab
sebelumnya telah kemukakan
riwayat yang benar mengenai sakralnya lembaga pernikahan dalam Islam -- termasuk masalah perceraian – sehingga Allah
Swt. telah menetapkan banyak rintangan
dan tahapan
yang harus dilakukan oleh suami yang memutuskan akan menceraikan istrinya, di antaranya
melakukan ila (perpisahan sementara),
sebagai alangkah pertama dari 3
tindakan pemberian “hukuman” terhadap istri-istri yang melanggar
ketentuan rumahtangga yang telah
ditetapkan Allah Swt., yakni (1) diberi nasihat; (2) berpisah (pisah
ranjang/kamar), dan (3) dinasihati lebih keras antara lain “dipukul”, firman-Nya:
وَ لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مَوَالِیَ
مِمَّا تَرَکَ الۡوَالِدٰنِ وَ الۡاَقۡرَبُوۡنَ ؕ وَ الَّذِیۡنَ عَقَدَتۡ
اَیۡمَانُکُمۡ فَاٰتُوۡہُمۡ نَصِیۡبَہُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلٰی کُلِّ
شَیۡءٍ شَہِیۡدًا ﴿٪﴾ اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا
فَضَّلَ اللّٰہُ بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ
اَمۡوَالِہِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ
اللّٰہُ ؕ وَ الّٰتِیۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَہُنَّ فَعِظُوۡہُنَّ وَ اہۡجُرُوۡہُنَّ
فِی الۡمَضَاجِعِ وَ اضۡرِبُوۡہُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَکُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا
عَلَیۡہِنَّ سَبِیۡلًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ عَلِیًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Dan bagi
masing-masing mereka Kami telah menjadikan pewaris-pewaris
dari apa yang ditinggalkan kedua orang tua, kaum
kerabat, dan orang-orang yang diikat
oleh janji kamu (suami-istri) maka berikanlah kepada mereka bagian mereka,
sesungguhnya Allah benar-benar menyaksikan
segala sesuatu. Laki-laki adalah
pelindung bagi perempuan-perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka membelanjakan sebagian dari harta mereka, maka perempuan-perempuan
saleh adalah yang taat, yang menjaga
rahasia-rahasia suami mereka dari apa-apa yang telah dilindungi Allah.
Dan ada pun perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan kedurhakaan mereka maka nasihatilah mereka, jauhilah
mereka di tempat tidur, dan pukullah
mereka, tetapi jika kemudian
mereka taat kepada kamu maka janganlah
kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Tinggi, Maha Besar. (An-Nisā [4]:33).
Qawwamūn diambil dari kata qāma,
dan qāma ‘alal-mar’ati berarti: ia mengemban kewajiban memelihara
perampuan itu; ia melindungi dia
(perempuan itu). Oleh karena itu kata qawwamūn berarti:
pemelihara-pemelihara; pengurus-pengurus perkara; pelindung-pelindung (Lisan-al-‘Arab). Ayat ini
memberi dua alasan mengapa laki-laki telah dijadikan kepala keluarga:
(a)
kemampuan-kemampuan-nya — ditilik dari segi mental dan fisik — lebih unggul;
b) karena
ia menjadi pencari nafkah dan pemelihara kesejahteraan keluarga. Oleh karena
itu wajar dan adil, bila orang yang menghasilkan dan memberikan uang untuk
pemeliharaan keluarganya, menikmati kedudukan sebagai pengamat dalam
melaksanakan urusan-urusannya.
Jadi, betapa sakralnya lembaga
pernikahan dalam Islam, sehingga Allah Swt. telah menetapkan berbagai
aturan mengenai pernikahan mau pun
mengenai perceraian dan senantiasa
menghubungkannya dengan masalah ketakwaan
kepada Allah Swt. kedua belah pihak yang menikah
mau pun yang bercerai, firman-Nya:
وَ مَا کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا
مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan sekali-kali tidak layak
bagi laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka
menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb
[33]:37).
Ketaatan Zainab r.a. kepada Nabi Bi Besar Muhammad Saw.
Kejadian yang langsung berkaitan dengan
turunnya ayat ini mungkin terjadi karena keraguan
Zainah r.a. menuruti keinginan yang sangat diidam-idamkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. agar Zainab
r.a. menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a., budak beliau saw. yang
telah dimerdekakan, dalam rangka
untuk menghilangkan kesenjangan sosial
di kalangan umat Islam dalam rangka
mempererat “persaudaraan Muslim”
(QS.49:11) antara golongan bangsawan dan bekas “hamba
sahaya”.
Kita patut memuji Zainab r.a., karena
menghormati kehendak Nabi Besar Muhammad
saw., beliau setuju menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., walau bertentangan dengan kecenderungan
hati beliau pribadi. Nabi Besar Muhammad saw. tidak
memaksa Zainab r.a. menerima Zaid
bin Haritsah r.a. – seorang hamba sahaya yang telah dimerdekakan
oleh beluau saw. -- sebagai suami.
Zainab r.a. menghormati
keinginan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut, sekali pun
dalam lubuk
hatinya yang paling dalam, bangsawati Arab yang mulia tersebut sebenarnya
berharap diperistri
oleh Nabi Besar Muhammad saw.. Sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah
Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ
اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ
اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ
زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ
فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ
تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ
اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ
مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ
لَا یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
حَرَجٌ فِیۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا
قَضَوۡا مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ
اللّٰہِ مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat
kepadanya dan engkau pun telah
memberi nikmat kepadanya: “Pertahankanlah
terus istri engkau pada diri engkau
dan bertakwalah kepada Allah”,
sedangkan engkau menyembunyikan dalam
hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allāh lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia,
Kami menikahkan engkau dengan dia
supaya tidak akan ada keberatan
bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb [33]:38).
Membatalkan Adat Istiadat Jahiliyah
Mengenai Kedudukan “Anak Angkat”
Zaid
ibn Haritsah r.a. seorang
pemuda non Arab yang dimerdekakan oleh Nabi Besar Muhammad
saw. , yang – sebelum turun peratutan mengenai “anak angkat” (QS.33:5-6) -- diambil beliau saw. sebagai anak angkat beliau saw., sebelum pengangkatan “anak angkat” itu
dinyatakan tidak sah dalam Islam
(QS.33:5-6), dimana menurut adat-istiadat jahiliyah bangsa Arab kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, sehingga dilarang janda
dari anak
angkat dinikahi oleh ayah angkatnya.
Pembatalan adat-istiadat jahiliyah mengenai kedudukan
anak angkat tersebut sama dengan
pembatalan masalah zhihar yang telah
dijelaskan dalam salah satu Bab sebelumnya (QS.58:2-7),
firman-Nya:
مَا جَعَلَ اللّٰہُ لِرَجُلٍ مِّنۡ
قَلۡبَیۡنِ فِیۡ جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ
اَزۡوَاجَکُمُ الِّٰٓیۡٔ
تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ ۚ وَ مَا جَعَلَ اَدۡعِیَآءَکُمۡ اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ
بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ
وَ ہُوَ یَہۡدِی السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ
تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ
لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ
اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ ۙ وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ
وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia
sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu yang kamu menjauhi mereka dengan menyebut
mereka ibu adalah ibu-ibu kamu yang hakiki, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak
angkat kamu sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah
ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Panggillah
mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.
Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak
mereka maka mereka adalah
saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu
diminta pertanggung-jawaban atas apa
yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:5-6).
Ad’iya adalah bentuk jamak dari da’iy
dan berarti: seorang yang diaku anak
oleh orang lain yang bukan ayahnya sendiri, anak angkat; orang yang
asal-usulnya atau silsilah keturunannya atau orangtuanya diragukan; seseorang
yang mengaitkan silsilah keturunannya kepada orang-orang yang bukan bapaknya
sendiri yang sejati (Lexicon Lane).
Ayat-ayat
ini berikhtiar menghapuskan dua macam
adat-kebiasaan yang mendarah daging
dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Arab di zaman Nabi Besar Muhammad
saw.. Yang paling buruk dari antara kedua macam adat-kebiasaan itu ialah zhihar.
Seorang suami dalam keadaan naik darah, biasa menyebut ibu kepada istrinya.
Perempuan yang malang itu diluputkan
dari hak-haknya sebagai istri, namun demikian ia tetap terikat kepada suami
tanpa mempunyai hak menikah dengan orang lain untuk jadi suaminya.
Adat-kebiasaan
yang lain ialah kebiasaan mengangkat anak
orang lain sebagai anak sendiri.
Kebiasaan ini kecuali dikhawatirkan menyebabkan kekalutan dalam hubungan
darah, juga merupakan suatu kebiasaan kekanak-kanakan
dan dungu. Alasan bagi penghapusan kedua kebiasaan itu
dirangkum dalam kata-kata Allah tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dadanya.
Adat
Istiadat Jahiliyah Bertentangan
dengan
Fitrat Hati Manusia
Hati manusia
dipahami sebagai tempat bersemayam keharuan-keharuan
dan perasaan-perasaan. Hati hanya
dapat melayani satu macam keharuan
pada suatu saat tertentu. Keharuan-keharuan
yang bertentangan tidak mungkin dilayani oleh hati secara serentak pada waktu yang bersamaan. Lagi pula hubungan-hubungan manusiawi yang
berbedaan memancing keharuan yang
berlain-lainan.
Hanya
semata-mata menyebut istrinya ibu sendiri atau menyebut seorang asing anaknya tidak dapat memancing keharuan yang serasi di dalam hati. Istri seseorang tidak mungkin menjadi ibunya dan begitu pula seorang orang asing tidak mungkin menjadi anak kandungnya. Kata-kata yang keluar
dari mulut semata-mata tidaklah dapat mengubah keadaan hati si pengucap
kata-kata itu, begitu pula kata-kata itu tidaklah dapat mengubah
kenyataan-kenyataan yang tidak dapat disembunyikan, mengenai hubungan jasmani.
Jadi, dalam ajaran Islam tidak diperkenankan melakukan adopsi yakni menjadikan anak
orang lain menjadi seperti anak kandung sendiri, sebagaimana
firman-Nya:
اُدۡعُوۡہُمۡ
لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ اَقۡسَطُ عِنۡدَ
اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ
وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ
“Panggillah
mereka dengan nama ayah-ayah
mereka, hal itu lebih adil di sisi
Allah. Tetapi jika kamu tidak
mengetahui bapak mereka maka mereka
adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu….” (Al-Ahzāb [33]:6).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor:
Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran
Anyar, 4 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar