Selasa, 28 Mei 2013

Pihak yang "Menertawakan" Nabi Nuh a.s. Menjadi Pihak yang "Ditertawakan"





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 130


   Pihak yang “Menertawakan” Nabi Nuh a.s. Menjadi Pihak yang “Ditertawakan

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   doa  Nabi Nuh a.s.  atas perintah Allah Swt. mengenai azab Ilahi  yang akan menimpa kaum beliau, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا لَا تَذَرُنَّ  اٰلِہَتَکُمۡ وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّ لَا سُوَاعًا ۬ۙ وَّ لَا یَغُوۡثَ وَ یَعُوۡقَ وَ نَسۡرًا ﴿ۚ﴾  وَ قَدۡ  اَضَلُّوۡا کَثِیۡرًا ۬ۚ وَ لَا تَزِدِ الظّٰلِمِیۡنَ  اِلَّا ضَلٰلًا ﴿﴾  مِمَّا خَطِیۡٓــٰٔتِہِمۡ  اُغۡرِقُوۡا فَاُدۡخِلُوۡا نَارًا ۬ۙ  فَلَمۡ یَجِدُوۡا  لَہُمۡ  مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اَنۡصَارًا ﴿﴾
Dan Nuh berkata: “Hai Tuhan-ku, janganlah Engkau membiarkan di atas bumi penghuni dari kalangan orang-orang kafir, sesungguhnya jika Engkau membiarkan mereka, mereka akan menyesatkan hamba-hamba Engkau dan mereka tidak akan melahirkan kecuali orang-orang berdosa lagi kafir.  Hai Tuhan-ku, ampunilah aku serta ibu-bapakku, dan   yang memasuki rumahku sebagai orang beriman, serta orang-orang beriman laki-laki dan perempuan. Dan Engkau tidak menambahkan kepada orang-orang  zalim kecuali kebinasaan.”  (Nuh [71]:27-29).

Doa Nabi Nuh a.s. Sesuai Perintah Allah Swt.

   Apakah benar tuduhan  bahwa Nabi Nuh a.s. menjadi marah oleh kedegilan kaumnya karena tidak mau menerima da’wah  beliau? Jawabannya:  Tuduhan tersebut tidak benar, sebab mustahil seorang Rasul Allah akan berdoa buruk untuk kaumnya  tanpa mendapat izin atau perintah Allah Swt..
  Firman Allah Swt. berikut ini memberikan jawaban yang pasti mengenai hal tersebut, yakni bahwa para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. itulah yang dengan takabur telah menantang Nabi Nuh a.s. untuk mempercepat kedatangan azab Ilahi yang diancamkan kepada mereka:
قَالُوۡا یٰنُوۡحُ قَدۡ جٰدَلۡتَنَا فَاَکۡثَرۡتَ جِدَالَنَا فَاۡتِنَا بِمَا تَعِدُنَاۤ  اِنۡ  کُنۡتَ مِنَ  الصّٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ اِنَّمَا یَاۡتِیۡکُمۡ بِہِ اللّٰہُ اِنۡ شَآءَ وَ مَاۤ  اَنۡتُمۡ  بِمُعۡجِزِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَا یَنۡفَعُکُمۡ نُصۡحِیۡۤ  اِنۡ  اَرَدۡتُّ اَنۡ اَنۡصَحَ لَکُمۡ  اِنۡ کَانَ اللّٰہُ یُرِیۡدُ اَنۡ یُّغۡوِیَکُمۡ ؕ ہُوَ رَبُّکُمۡ ۟ وَ اِلَیۡہِ تُرۡجَعُوۡنَ ﴿ؕ﴾  اَمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ افۡتَرٰىہُ ؕ قُلۡ  اِنِ افۡتَرَیۡتُہٗ فَعَلَیَّ  اِجۡرَامِیۡ وَ اَنَا بَرِیۡٓءٌ  مِّمَّا تُجۡرِمُوۡنَ ﴿٪﴾  
Mereka berkata:  “Hai Nuh,  sungguh engkau telah berbantah dengan kami dan memperpanjang bantahan engkau  terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang telah engkau ancamkan kepada kami, jika  engkau termasuk orang-orang yang benar.  Ia, Nuh,  berkata: “Sesungguhnya  hanya Allah yang akan men-datangkannya kepada kamu, jika Dia menghendaki, dan kamu sama sekali tidak dapat menggagalkan-Nya.  Dan nasihatku tidak akan bermanfaat bagi kamu jika aku berkehendak memberi nasihat kepada kamu, jika Allah berkehendak membinasa-kan kamu. Dia adalah Tuhan kamu  dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”     Ataukah mereka mengatakan: “Ia telah mengada-adakan itu?” Katakanlah: “Jika  aku telah mengada-adakannya maka akulah yang akan menanggung dosaku, dan aku berlepas diri dari dosa yang kamu perbuat.”  (Hūd [11]:33-36).
  Ayat 34  “Ia, Nuh,  berkata: “Sesungguhnya  hanya Allah yang akan men-datangkannya kepada kamu, jika Dia menghendaki, dan kamu sama sekali tidak dapat menggagalkan-Nya” mengandung tiga pokok penting mengenai nubuatan-nubuatan tentang azab Ilahi yang kedatangannya diperingatkan  Rasul Allah
(a) Pada umumnya tidak dinyatakan bilamana hal-hal yang dinubuatkan itu akan betul-betul terjadi.
(b) Azab itu bersyarat dan dapat ditangguhkan atau dibatalkan menurut kehendak Ilahi.
(c) Perubahan apa pun yang terjadi mengenai nubuatan mengenai azab itu, Allah Swt.  tidak pernah berubah, sebab orang-orang kafir “tidak dapat menggagalkan tujuan-Nya”.
     Ayat ini melenyapkan suatu anggapan umum yang salah bahwa Nabi Nuh a.s.  telah mendoa untuk menghancurkan kaumnya (QS.71:27-28) karena sangat marah  kepada mereka oleh sebab mereka tidak percaya. Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Nuh a.s.  telah mendoa untuk kebinasaan mereka, bukan atas kehendak sendiri, melainkan Allah- lah Yang menghendaki supaya beliau berbuat demikian.

Perintah Membuat Bahtera
Kaum Nabi Nuh a.s. Memperolok-olok Beliau

      Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Nuh  a.s. menjelang ditimpakannya azab kepada kaum Nabi Nuh a.s.:
وَ اُوۡحِیَ  اِلٰی نُوۡحٍ اَنَّہٗ  لَنۡ یُّؤۡمِنَ مِنۡ قَوۡمِکَ اِلَّا مَنۡ قَدۡ اٰمَنَ فَلَا تَبۡتَئِسۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿ۚۖ﴾   وَ اصۡنَعِ الۡفُلۡکَ بِاَعۡیُنِنَا وَ وَحۡیِنَا وَ لَا تُخَاطِبۡنِیۡ فِی الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا ۚ اِنَّہُمۡ مُّغۡرَقُوۡنَ ﴿﴾ 
Dan telah diwahyukan kepada Nuh: “Tidak akan pernah beriman seorang pun dari kaum engkau selain orang yang telah beriman sebelumnya maka janganlah engkau bersedih mengenai apa yang senantiasa mereka kerjakan. Dan  buatlah bahtera itu di hadapan pengawasan mata  Kami dan  sesuai dengan wahyu Kami. Dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku mengenai orang yang zalim, sesungguhnya mereka itu  akan ditenggelamkan.” (Hūd [11]:37-38).
      Doa yang disinggung dalam QS.71:27-28 agaknya telah diucapkan sesudah ayat ini diwahyukan. Menurut ayat yang sedang dibahas, Nabi Nuh a.s.   telah diberi kabar dengan perantaraan wahyu Ilahi tentang putusan Allah Swt.,  bahwa selanjutnya tidak seorang pun dari antara kaumnya akan beriman kepada beliau. Jadi doa Nabi Nuh a.s. (QS.71:27-28) itu tidak lain selain tunduk kepada kehendak dan putusan Allah Swt.   Apa yang dimaksud dengan doa itu ialah  bahwa semoga Allah Swt. melaksanakan apa yang diputuskan-Nya mengenai kehancuran kaum beliau.
  Kalimat وَ اصۡنَعِ الۡفُلۡکَ بِاَعۡیُنِنَا وَ وَحۡیِنَا -- “Dan buatlah bahtera itu di hadapan pengawasan mata  Kami dan  sesuai dengan wahyu KamiA’yun itu jamak dari ‘ain yang berarti: mata: pandangan atau pemandangan; para penghuni sebuah rumah; perlindungan (Lexicon Lane). Artinya adalah bahwa pembuatan bahtera (perahu) Nabi Nuh a.s. tersebut sepenuhnya di bawah pengawasan dan petunjuk Allah Swt.. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ  سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ  اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ  مِنۡکُمۡ کَمَا  تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ  وَ یَحِلُّ  عَلَیۡہِ  عَذَابٌ  مُّقِیۡمٌ ﴿﴾
Dan ia (Nuh) mulai membuat bahtera itu, dan setiap kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia (Nuh) berkata:  Jika kini kamu mentertawakan kami  maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu, seperti kamu mentertawakan kami, maka segera kamu  akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd [11]:39-40).
   Secara logika sangat wajar jika kaum Nabi Nuh a.s. meperolok-olokan atau menertawai beliau yang sedang membuat bahtera, sebab wilayah kaum Nabi Nuh a.s. di suatu dataran yang dikelilingi oleh rangkaian pegunungan dan selama itu tidak pernah mengalami banjir besar yang memaksa  kaum Nabi Nuh a.s. untuk membuat  perahu secara khusus. Namun kali ini  perolokan kaum Nabi Nuh a.s. benar-benar telah berbalik menimpa diri mereka, sebagaimana jawaban Nabi Nuh a.s.: 
 قَالَ  اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ  مِنۡکُمۡ کَمَا  تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ  وَ یَحِلُّ  عَلَیۡہِ  عَذَابٌ  مُّقِیۡمٌ﴿﴾

“Ia (Nuh) berkata:  Jika kini kamu mentertawakan kami  maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu, seperti kamu mentertawakan kami, maka segera kamu  akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd [11]:39-40).

Perintah Datangnya Azab Ilahi

Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai  kedatangan azab Ilahi yang diperingatkan Nabi Nuh a.s.  kedatangannya kepada kaum beliau yang durhaka serta takabur  tersebut:
حَتّٰۤی اِذَا جَآءَ اَمۡرُنَا وَ فَارَ التَّنُّوۡرُ ۙ قُلۡنَا احۡمِلۡ فِیۡہَا مِنۡ کُلٍّ زَوۡجَیۡنِ اثۡنَیۡنِ وَ اَہۡلَکَ اِلَّا مَنۡ سَبَقَ عَلَیۡہِ الۡقَوۡلُ وَ مَنۡ اٰمَنَ ؕ وَ مَاۤ  اٰمَنَ  مَعَہٗۤ   اِلَّا قَلِیۡلٌ ﴿﴾   وَ قَالَ ارۡکَبُوۡا فِیۡہَا بِسۡمِ اللّٰہِ مَ‍‍جۡؔرٖىہَا وَ مُرۡسٰىہَا ؕ اِنَّ رَبِّیۡ لَغَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ  ﴿﴾
Hingga apabila datang perintah Kami dan sumber mata air telah menyembur, Kami berfirman:  Naikkanlah ke atas bahtera itu sepasang dari setiap jenis  jantan dan betina, dan keluarga engkau, kecuali orang yang telah terdahulu ditetapkan kepu-tusan  terhadapnya, dan mereka yang telah beriman. Dan sama sekali tidak ada yang beriman kepadanya kecuali sedikit jumlahnya  Dan ia (Nuh) berkata: “Naiklah ke atasnya, dengan nama Allah berlayarnya dan berlabuhnya, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Hūd [11]: 41).
       Banjir besar yang melanda kawasan kaum Nabi Nuh a.s., bukan saja disebabkan oleh tersemburnya air dari sumber-sumber mata air dari dalam bumi,  tetapi seperti jelas dari QS.54:12-13 penyebab yang sesungguhnya ialah merekahnya awan, dan hujan turun bagaikan dicurahkan dan sejauh mata memandang hanya air dan air belaka yang nampak,  dan seperti umumnya terjadi waktu hujan lebat, air mulai keluar pula dari dalam tanah, dan mata-mata air serta air-air mancur mulai menyembur, dan dengan demikian air dari langit dan air dari bumi kedua-duanya membanjiri dan menggenangi seluruh negeri. Nabi Nuh a.s.  tinggal di negeri pegunungan yang terdapat banyak sekali mata air.
     Kata-kata “dari setiap jenis” dalam ayat ”Naikkanlah ke atas bahtera itu sepasang dari setiap jenis  jantan dan betina,” di sini tidak berarti semua binatang yang ada di dunia – sebagaimana yang  difahami secara keliru mengenai ayat tersebut -- melainkan semua binatang yang diperlukan oleh Nabi Nuh a.s., sebab bahtera  yang dibuat oleh Nabi Nuh a.s. itu pasti tidak cukup besar untuk memuat segala macam binatang di dunia. Tambahan kata “dua” pun menunjukkan, bahwa binatang yang dibawa hanya sebanyak yang benar-benar diperlukan. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ ہِیَ تَجۡرِیۡ بِہِمۡ فِیۡ مَوۡجٍ کَالۡجِبَالِ ۟  وَ نَادٰی نُوۡحُۨ  ابۡنَہٗ وَ کَانَ فِیۡ  مَعۡزِلٍ یّٰـبُنَیَّ ارۡکَبۡ مَّعَنَا وَ لَا تَکُنۡ مَّعَ الۡکٰفِرِیۡنَ﴿﴾  قَالَ سَاٰوِیۡۤ  اِلٰی جَبَلٍ یَّعۡصِمُنِیۡ  مِنَ الۡمَآءِ ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ  الۡیَوۡمَ  مِنۡ  اَمۡرِ اللّٰہِ  اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ ۚ وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ  فَکَانَ  مِنَ  الۡمُغۡرَقِیۡنَ  ﴿﴾ 


Dan bahtera itu melaju dengan  membawa mereka di tengah gelombang seperti gunung, dan Nuh berseru kepada anaknya  yang senantiasa berada di tempat terpisah: “Hai anakku, naiklah beserta kami dan janganlah engkau termasuk orang-orang kafir.” Ia menjawab: “Aku segera akan mencari sendiri perlindungan ke sebuah gunung  yang akan menjagaku dari air itu.” Ia, Nuh berkata: “Tidak ada tempat berlindung pada hari ini bagi seorang pun dari perintah Allah, kecuali bagi orang yang Dia kasihani.” Lalu gelombang menjadi penghalang di antara keduanya  maka jadilah ia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hūd [11]:43-44).
      Jawaban anak Nabi Nuh a.s.:  Aku segera akan mencari sendiri perlindungan ke sebuah gunung  yang akan menjagaku dari air itu,” menunjukkan bahwa tempat Nabi Nuh a.s. dan kaum beliau  adalah sebuah kawasan yang dikelilingi oleh pegunungan. Kata jabal yang dipakai sebagai nama jenis (dan bukan al-jabal), menunjukkan kepada kenyataan bahwa ada rangkaian gunung atau pegunungan yang pada salah sebuah gunung di antaranya anak Nabi Nuh a.s. mungkin telah mencari perlindungan.
     Pada hakikatnya daerah itu --  mungkin suatu lembah dengan gunung-gunung menjulang di sekitarnya -- bahwa daerah demikian menjadi cepat tergenang air  karena hujan lebat bukan merupakan hal yang luar biasa, lebih lagi peristiwa yang menimpa kaum Nabi Nuh a.s. merupakan azab Ilahi, oleh karena itu banjir besar yang terjadi bukan saja sangat cepat terjadinya bahkan disertai dengan badai hebat, sehingga menimbulkan gelombang-gelombang yang bagaikan gunung tingginya, sehingga gunung tempat anak Nabi Nuh a.s.  berlindung pun tidak lepas dari dahsyatnya sapuan gelombang air tersebut, sebagaimana perkataan Nabi Nuh a.s.:
قَالَ لَا عَاصِمَ  الۡیَوۡمَ  مِنۡ  اَمۡرِ اللّٰہِ  اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ ۚ وَ حَالَ بَیۡنَہُمَا الۡمَوۡجُ  فَکَانَ  مِنَ  الۡمُغۡرَقِیۡنَ  ﴿﴾
Ia, Nuh berkata: “Tidak ada tempat berlindung pada hari ini bagi seorang pun dari perintah Allah, kecuali bagi orang yang Dia kasihani.” Lalu gelombang menjadi penghalang di antara keduanya  maka jadilah ia termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hūd [11]:43-44).

Bukan Banjir yang Melanda Seluruh Dunia

   Setelah peristiwa azab Ilahi berupa banjir dahsyat yang menenggelamkan seluruh kawasan tempat tinggal kaum Nuh a.s. yang durhaka dan takabur tersebut selesai, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ الۡمَآءُ وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی الۡجُوۡدِیِّ  وَ قِیۡلَ بُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ وَ نَادٰی نُوۡحٌ رَّبَّہٗ  فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابۡنِیۡ مِنۡ اَہۡلِیۡ وَ اِنَّ وَعۡدَکَ الۡحَقُّ وَ اَنۡتَ اَحۡکَمُ  الۡحٰکِمِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ یٰنُوۡحُ  اِنَّہٗ  لَیۡسَ مِنۡ اَہۡلِکَ ۚ اِنَّہٗ عَمَلٌ غَیۡرُ صَالِحٍ ٭۫ۖ  فَلَا تَسۡـَٔلۡنِ مَا لَـیۡسَ لَکَ بِہٖ عِلۡمٌ ؕ اِنِّیۡۤ  اَعِظُکَ اَنۡ تَکُوۡنَ  مِنَ  الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اِنِّیۡۤ  اَعُوۡذُ بِکَ اَنۡ اَسۡـَٔلَکَ مَا لَـیۡسَ لِیۡ بِہٖ عِلۡمٌ ؕ وَ اِلَّا تَغۡفِرۡ لِیۡ وَ تَرۡحَمۡنِیۡۤ   اَکُنۡ  مِّنَ  الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan difirmankan:  “Hai bumi, telanlah air engkau, dan hai langit, hentikanlah hujan.” Maka air pun  surut  dan perintah itu selesai,   dan bahtera itu pun berlabuh di atas Al-Judi. dan dikatakan: “Kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim!” Dan Nuh berseru kepada Tuhan-nya dan berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau benar, dan Engkau adalah Ha-kim yang paling adil di antara semua  hakim.”   Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk  keluarga engkau, sesungguhnya ia  seorang yang amalnya tidak baik, karena itu  janganlah meminta kepada-Ku sesuatu yang engkau  tidak mengetahuinya. Aku memberikan nasihat engkau supaya engkau jangan termasuk orang-orang yang jahil (tuna pengetahuan).”  Ia, Nuh, berkata:  “Ya Tuhan, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahuinya, dan jika Engkau tidak meng-ampuniku dan tidak mengasihani-ku, tentu aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hūd [11]:45-48).
       Pegunungan Al-Judi, menurut  Yaqut-al-Hamwi, merupakan rangkaian gunung pada sebelah timur sungai Tigris (Dajlah) di provinsi Mosul (Mu’jam). Menurut  Sale “Al-Judi” adalah salah sebuah dari gunung-gunung yang di selatan memisahkan Armenia dari Mesopotamia dan dari bagian Assiria yang didiami oleh kaum Kurdi, yang darinya gunung itu memperoleh nama Kardu atau Gardu, tetapi orang-orang Yunani mengubahnya menjadi Gordyoei .... Riwayat yang menyatakan bahwa bahtera itu telah terdampar dan berada di gunung itu tentu sangat tua karena hal itu merupakan riwayat turun temurun  kaum Chaldea sendiri (Borosus, apud Yosef, Antiq.....).
     Reruntuhan bahtera itu dapat disaksikan di sana di zaman Epiphanius —- dan kepada kita diceritakan bahwa Kaisar Heraclius berangkat dari kota Tamanin ke gunung Al-Judi dan mengunjungi tempat bahtera itu. Di sana dahulu ada pula sebuah biara terke-nal yang disebut “Biara Bahtera”. Di atas salah sebuah dari  pegunungan itu kaum Nstoria lazim merayakan hari raya di tempat  yang menurut anggapan mereka bahtera itu bersandar, tetapi pada tahun 776 M biara  itu hancur karena petir.” (Sale, hlm. 179-180)....
     “Judi adalah gugusan gunung tinggi di distrik Bohtan, kira-kira 5 mil di timurt-laut Jazirah Ibn ‘Umar pada posisi 37o30’ LU (Lintang Utara). Judi mendapat kemasyhuran itu dari sejarah Mesopotamia, yang disebut sebagai tempat di mana bahtera Nuh itu telah bersandar dan bukan gunung Ararat...Keterangan-keterangan dari Kitab-kitab suci yang lebih tua menetapkan gunung yang sekarang disebut Judi itu, atau menurut sumber-sumber Kristen, pegunungan Ordyene — sebagai tampat terdamparnya bahtera Nuh” (Encyclopaedia of Islam jld. I, hlm. 1059). Sejarah Babil pun menetapkan letaknya  gunung Al-Judi itu di Armenia (Jewish  Encyclopaedia, pada “Ararat”) dan Bible mengakui bahwa Babil adalah tempat keturunan Nabi Nuh a.s. pernah tinggal (Kejadian 11:9).

Keluarga Nabi Nuh a.s. yang Hakiki

   Menurut ayat ini yang dianggap sebagai keluarga Nabi Nuh a.s.. hanyalah orang-orang yang mengadakan pertalian (hubungan) sejati dengan Allah Swt. melalui beliau. Kata pengganti hu dalam innahu dapat pula menunjuk kepada doa Nabi Nuh a.s. . untuk anaknya yang durhaka, yang amalnya ghair saleh yakni tidak baik:
 قَالَ یٰنُوۡحُ  اِنَّہٗ  لَیۡسَ مِنۡ اَہۡلِکَ ۚ اِنَّہٗ عَمَلٌ غَیۡرُ صَالِحٍ ٭۫ۖ  فَلَا تَسۡـَٔلۡنِ مَا لَـیۡسَ لَکَ بِہٖ عِلۡمٌ ؕ اِنِّیۡۤ  اَعِظُکَ اَنۡ تَکُوۡنَ  مِنَ  الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اِنِّیۡۤ  اَعُوۡذُ بِکَ اَنۡ اَسۡـَٔلَکَ مَا لَـیۡسَ لِیۡ بِہٖ عِلۡمٌ ؕ وَ اِلَّا تَغۡفِرۡ لِیۡ وَ تَرۡحَمۡنِیۡۤ   اَکُنۡ  مِّنَ  الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk  keluarga engkau, sesungguhnya ia  seorang yang amalnya tidak baik, karena itu  janganlah meminta kepada-Ku sesuatu yang engkau  tidak mengetahuinya. Aku memberikan nasihat engkau supaya engkau jangan termasuk orang-orang yang jahil (tuna pengetahuan).”  Ia, Nuh, berkata:  “Ya Tuhan, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahuinya, dan jika Engkau tidak meng-ampuniku dan tidak mengasihani-ku, tentu aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hūd [11]:47-48).
      Amalun  (secara harfiah berarti suatu perbuatan) di sini berarti dzu ‘amalin yaitu si pelaku.. Pemakaian masdar sebagai fa’il dengan maksud dengan maksud mem-perkuat arti merupakan hal-hal yang sesuai dengan gahaya bahasa Arab. Lihat pula QS.2:178 di mana birr  (harfiah kesalehan) berarti orang-orang yang saleh. Seorang ahli syair Arab mengatakan mengenai unta betinanya: innama hiya iqbalun wa iddbaru, yakni ia (unta betina itu) demikian gelisah sehingga ia menjadi gerak mundur-maju  sendiri, artinya seolah-olah menjadi penjelmaan gerak mundur-maju) itu.
      Nabi Nuh a.s.   tidak berbuat dosa dengan mengatakan bahwa anak laki-laki beliau yang ditenggelamkan oleh banjir dahsyat -- itu termasuk keluarganya, hal itu hanya merupakan kekeliruan pertimbangan yang biasa ada pada manusia, namun  demikian beliau membaca istighfar juga, hal itu menunjukkan bahwa ucapan istighfar tidak seharusnya merupakan bukti adanya perbuatan dosa. Istighfar itu dapat diucapkan pula untuk memohon perlindungan terhadap akibat buruk dari kelemahan-kelemahan manusiawi atau akibat buruk dari kekeliruan dalam pertimbangan dan penilaian.

Keberkatan Keturunan Nabi Nuh a.s. & Keturunan
Orang-orang yang  Beriman Kepada Nabi Nuh a.s.

   Setelah bahtera Nabi Nuh a.s. bersandar di atas  puncak gunung al-Judi, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قِیۡلَ یٰنُوۡحُ اہۡبِطۡ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَ بَرَکٰتٍ عَلَیۡکَ وَ عَلٰۤی اُمَمٍ  مِّمَّنۡ مَّعَکَ ؕ وَ اُمَمٌ سَنُمَتِّعُہُمۡ ثُمَّ یَمَسُّہُمۡ مِّنَّا عَذَابٌ  اَلِیۡمٌ ﴿﴾
Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan keselamatan dan keberkatan dari Kami atas diri engkau dan atas umat yang akan dilahirkan dari mereka yang beserta engkau,  sedangkan umat lain  segera  Kami akan  memberikan perbekalan untuk sementara waktu kemudian  azab yang pedih dari Kami akan menimpa mereka.” (Hūd [11]:49).
       Ayat ini menunjukkan bahwa selain keturunan Nabi Nuh a.s. , juga keturunan orang-orang yang beriman yang ada beserta beliau dalam bahtera itu diselamatkan dari air bah dan mereka itu memperoleh kesejahteraan serta berkembang-biak. Para sarjana sekarang mendukung pendapat bahwa kebanyakan penduduk bumi ini adalah keturunan Nabi Nuh a.s..
     Cerita mengenai air bah itu dengan beberapa corak yang berbeda terdapat dalam riwayat dan kepustakaan berbagai negeri (Encyclopaedia of Religions & Ethics; Encyclopaedia Britannia,  pada kata “Deluge”). Malapetaka itu nampaknya terjadi di sekitar masa terbitnya  peradaban manusia.
     Merupakan kenyataan sejarah yang terkenal bahwa bilamana suatu kaum yang agak lebih maju dalam kebudayaan dan peradaban datang menetap di suatu daerah, mereka memusnahkan atau sangat melemahkan penduduk daerah yang peradabannya terbelakang.
    Jadi agaknya ketika keturunan Nabi Nuh a.s. dan keturunan para sahabat beliau, yang merupakan pembina peradaban manusia, menyebar ke daerah-daerah lain, dan karena mereka lebih besar kekuatannya daripada penghuni yang sudah ada di sana, mereka melenyapkan penghuni yang sudah ada itu atau melebur mereka. Dengan demikian, niscaya mereka tetap memasukkan ke dalam semua daerah yang mereka taklukkan itu adat dan kebiasaan mereka sendiri, dan sebagai akibatnya ceritera mengenai air bah itu dengan sendirinya masuk pula ke daerah-daerah lain.
      Tetapi dengan berlalunya waktu, para pendatang itu terputus perhubungannya dengan tanah air mereka sendiri yang semula, dan sebagai akibatnya bencana itu dipandang sebagai kejadian setempat, dengan membawa akibat nama-nama orang dan tempat di daerah itu menggantikan nama-nama aslinya, maka dengan demikian peristiwa air bah itu bukanlah suatu malapetaka yang melanda seluruh bumi, dan juga ceritera-ceritera yang berasal dari berbagai daerah itu hendaknya jangan dipandang mengisyaratkan kepada peristiwa-peristiwa air bah yang masing-masing secara terpisah.

Pihak yang “Menertawakan” menjadi Pihak yang “Ditertawakan

      Perhatikan  perbedaan nasib akhir  dari pihak Nabi Nuh a.s. dan orang-orang yang beriman --  yang didustakan serta dihina oleh  para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. yang bersikap takabur dan  membanggakan status sosial serta kekayaan duniawi  serta anak keturunan mereka (QS.11:26-28) serta yang mentertawakan danm memperolok-olok Nabi Nuh a.s. ketika beliau sedang membuat perahu (QS.11:39-40) --  dan  nasib akhir  yang menimpa kaum yang takabur tersebut, pihak yang dihinakan “bahteranya berlabuh di atas sebuah puncak gunung”, sedangkan  pihak yang menghina dan takabur  binasa  dengan penuh kehinaan tanpa penghormatan dan kehormatan dan tanpa ratap tangis.
      Dengan demikian sempurnaan ucapan Nabi Nuh a.s. sebelumnya kepada para pemuka kaumnya yang menertawakan dan memperolok-olok beliau, firman-Nya:
وَ یَصۡنَعُ الۡفُلۡکَ ۟ وَ کُلَّمَا مَرَّ عَلَیۡہِ مَلَاٌ مِّنۡ قَوۡمِہٖ  سَخِرُوۡا مِنۡہُ ؕ قَالَ  اِنۡ تَسۡخَرُوۡا مِنَّا فَاِنَّا نَسۡخَرُ  مِنۡکُمۡ کَمَا  تَسۡخَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ مَنۡ یَّاۡتِیۡہِ عَذَابٌ یُّخۡزِیۡہِ  وَ یَحِلُّ  عَلَیۡہِ  عَذَابٌ  مُّقِیۡمٌ ﴿﴾
Dan ia (Nuh) mulai membuat bahtera itu, dan setiap kali pemuka-pemuka kaumnya sedang melewatinya, mereka itu menertawakannya. Ia (Nuh) berkata:  Jika kini kamu mentertawakan kami  maka saat itu akan datang ketika kami pun akan mentertawakan kamu, seperti kamu mentertawakan kami, maka segera kamu  akan mengetahui siapa yang kepadanya akan datang azab yang akan menistakannya, dan kepada siapa akan menimpa azab yang tetap.” (Hūd [11]:39-40).

Nubuatan yang Berulang  di Akhir Zaman ini

       Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw. berkenaan dengan kisah Nabi Nuh a.s. dan kaumnya tersebut:
تِلۡکَ مِنۡ اَنۡۢبَآءِ الۡغَیۡبِ نُوۡحِیۡہَاۤ  اِلَیۡکَ ۚ مَا کُنۡتَ تَعۡلَمُہَاۤ  اَنۡتَ وَ لَا قَوۡمُکَ مِنۡ قَبۡلِ ہٰذَا ؕۛ فَاصۡبِرۡ ؕۛ اِنَّ الۡعَاقِبَۃَ  لِلۡمُتَّقِیۡنَ  ﴿﴾
Itulah dari antara kabar-kabar gaib  yang Kami telah mewahyukannya kepada engkau. Engkau sama sekali tidak mengetahuinya sebelum ini dan tidak pula kaum engkau maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. (Hud [11]:49-50). 
      Penuturan Al-Quran mengenai hal ihwal berbagai nabi tidaklah dimaksudkan hanya sekedar ceritera selingan belaka. Riwayat-riwayat itu dicantumkan dalam Al-Quran karena menunjuk kepada peristiwa-peristiwa yang serupa, dan yang akan terjadi dalam kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.   sendiri, dan juga di Akhir Zaman ini.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 15 Mei  2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar