Rabu, 08 Mei 2013

Khasiat-khasiat "Ruh" (Jiwa) Manusia dan Hubungannya dengan "Unta Betina" Nabi Shalih a.s.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 115


 Khasiat-khasiat Ruh (Jiwa) 
Manusia dan Hubungannya 
dengan  Unta Betina 
Nabi Shalih a.s.    

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   bagian akhir  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai   berbagai makna sumpah Allah Swt. dengan benda-benda alam semesta, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ الۡقَمَرِ  اِذَا  تَلٰىہَا ۪ۙ﴿﴾  وَ النَّہَارِ  اِذَا  جَلّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾   وَ الَّیۡلِ  اِذَا یَغۡشٰىہَا ۪ۙ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Demi matahari dan dhuhā (sinarnya di pagi hari),  Dan demi bulan apabila ia mengikutinya,    dan demi siang  apabila ia menzahirkan kemegahannya,  dan demi malam apabila ia menutupinya, (Asy-Syams [91]:1-5).
  Huruf wau berarti:  juga; maka; sedangkan; sementara itu; pada waktu itu juga; bersama-sama; dengan; namun; tetapi. Huruf itu mempunyai arti yang sama dengan kata rubba, yaitu seringkali; kadang-kadang; barangkali. Huruf itu pun merupakan huruf persumpahan, yang berarti “demi” atau “aku bersumpah” atau “aku kemukakan sebagai saksi” (Aqrab-ul-Mawarid dan Lexicon Lane). Wau telah dipakai dalam ayat ini dan dalam dua ayat berikutnya dalam arti “demi,” atau “aku bersumpah,” atau “aku kemukakan sebagai saksi.”
Dalam Al-Quran Allah Swt. telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda tertentu atau telah menyebut wujud-wujud dan benda-benda itu sebagai saksi. Biasanya, bila seseorang mengambil sumpah dan bersumpah dengan nama Allah maka tujuannya ialah mengisi kelemahan persaksian yang kurang cukup atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya.
Dengan berbuat demikian ia memanggil Allah Swt.  sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar, bila tidak ada orang lain dapat memberikan persaksian atas kebenaran pernyataannya. Tetapi tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah Allah Swt. dalam  Al-Quran. Bilamana Al-Quran mempergunakan bentuk demikian maka kebenaran pernyataan yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan belaka melainkan dengan dalil kuat yang terkandung dalam sumpah itu sendiri.
Kadang-kadang sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan sendirinya menarik perhatian kepada apa yang dapat diambil arti, yaitu hukum-hukum ruhani dari apa yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan suatu nubuatan yang dengan menjadi sempurnanya membuktikan kebenaran Al-Quran. Demikianlah halnya di sini.
Jadi,   sumpah-sumpah Allah Swt. dalam Al-Quran mengandung makna yang mendalam. Hukum Allah menampakkan dua segi perbuatan-Nya,  yaitu yang nyata dan yang tersirat. Segi pertama dapat diketahui dengan mudah – contohnya tatanan alam semesta --  tetapi dalam memahami yang terakhir ada kemungkinan bisa keliru.

Makna-makna: Matahari, Bulan, Siang dan Malam

Dalam sumpah-sumpah-Nya, Allah Swt. menarik perhatian kita kepada apa yang dapat disimpulkan dan benda yang nyata. Dalam sumpah-sumpah tersebut pada ayat-ayat 2-7, matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi, termasuk “yang nyata” – karena khasiat-khasiat benda-benda tersebut pada ayat-ayat ini telah dimaklumi serta diakui secara umum.
Namun khasiat-khasiat serupa yang terdapat pada ruh (jiwa) manusia “tidak nyata”. Untuk membawa kepada kesimpulan mengenal adanya khasiat-khasiat dalam ruh (jiwa) manusia, Allah Swt. telah menyebut perbuatan-perbuatan-Nya yang nyata itu sebagai saksi.  
  Dengan demikian  makna “matahari” dalam ayat وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا ۪ۙ﴿﴾  --demi matahari dan dhuhā (sinarnya di pagi hari)” ini dapat menunjuk kepada matahari alam ruhani – yakni Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:47)  – yang merupakan sumber seluruh cahaya ruhani dan yang akan terus-menerus menyinari dunia sampai Akhir Zaman.
  Makna “bulan” dalam ayat وَ الۡقَمَرِ  اِذَا  تَلٰىہَا -- “demi bulan apabila ia mengikutinya”, dapat juga menunjuk kepada Nabi Besar Muhammad saw.,   sebab beliau saw. menerima cahaya dari Allah Swt. dan menyiarkan (memantulkan) cahaya itu ke persada alam ruhani yang gelap itu. Atau kata “bulan” itu dapat pula menunjuk kepada para Wali Allah dan para Imam Zaman (Mujaddid) – khususnya kepada wakil (Khalifah) agung Nabi Besar Muhammad  saw. di Akhir Zaman ini, Al-Masih Mau’ud a.s., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. (QS.62:3-5) --  yang  menerima cahaya kebenaran dari beliau saw. dan menyiarkannya (memantulkannya) ke dunia untuk menghilangkan kegelapan akhlak dan ruhani yang meliputi umat manusia di Akhir Zaman ini.
Makna “siang” dalam ayat وَ النَّہَارِ  اِذَا  جَلّٰىہَا -- “demi siang apabila ia menzahirkan kebenderangannya” dapat menunjuk kepada masa tatkala Amanat Islam serta kebenaran pendirinya (Nabi Besar Muhammad saw. ) ditegakkan serta dasar-dasar telah ditegakkan untuk  penyebarluasannya di dunia. Isyarat yang terkandung di dalam ayat ini mungkin tertuju kepada masa pemerintahan  Khulafaur-Rasyidin, ketika cahaya Islam memancar dengan segala kemegahan dan kejayaannya ke berbagai wilayah dunia.
 Makna  “malam”  dalam الَّیۡلِ  اِذَا یَغۡشٰىہَا وَ -- “demi malam apabila ia menutupinya, dapat menunjuk kepada masa kemunduran dan kemerosotan orang-orang Islam ketika cahaya Islam telah tersembunyi dari mata dunia karena ruh Al-Quran secara berangsur-angsur ditarik kembali oleh Allah Swt. kepadanya  dalam waktu 1000 tahun setelah masa kecemerlangannya yanhg pertama (QS.32:6).
 Dengan demikian keempat ayat ini (QS.91:2-5) menunjuk kepada empat kurun masa perjalanan Islam yang penuh peristiwa itu, yaitu:  (1) masa  Nabi Brsar Muhammad saw. sendiri, ketika Matahari Ruhani (Rasulullah saw..) sedang memancar dengan sangat megahnya di cakrawala ruhani; (2) masa wakil agung beliau, yaitu  Masih Mau’ud a.s.. di Akhir Zaman , ketika nur (cahaya) yang diperoleh dari Nabi Besar Muhammad saw.  dipantulkan ke suatu dunia yang gelap; (3) masa para khalifah Nabi Besar Muhammad saw. ketika cahaya Islam masih tetap berkilau-kilauan dan (4) masa ketika kegelapan ruhani telah meluas ke seluruh dunia yang terjadi sesudah lewat 3  abad pertama kejayaan Islam.

Khasiat-khasiat  Ruh (jiwa) Manusia

 Setelah  bersumpah dengan menyebut matahari, bulan, siang, dan malam, selanjutya Allah Swt. melanjutkan persumpahan-Nya:
وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا طَحٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ فَاَلۡہَمَہَا فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ قَدۡ  اَفۡلَحَ  مَنۡ  زَکّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ  قَدۡ خَابَ مَنۡ  دَسّٰىہَا ﴿ؕ﴾
Dan demi langit dan pembinaannya,  dan demi bumi dan penghamparannya, demi jiwa dan penyempurnaannya,  maka Dia mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya dan ketakwaannya.  Sungguh  beruntunglah orang yang mensucikannya, dan sungguh binasalah orang yang mengotorinya.  (Asy-Syams [91]:6-11).
    Huruf   dalam ayat  وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا   ۡ --  demi langit dan binaannya” dan dalam dua ayat berikutnya  mengenai bumi dan jiwa adalah masdariyah atau berarti alladzi, yakni  ia yang Dengan demikian dalam ayat-ayat ini perhatian telah dipusatkan pada Sang Perencana dan Sang Arsitek Agung alam semesta ini (Allah Swt.), atau pada penyempurnaan alam semesta serta kebebasannya yang penuh dari setiap macam cacat dan kekurangan.
 Ayat  وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا -- “demi jiwa dan penyempurnaannya” ini berarti  bahwa semua khasiat yang dipersembahkan benda-benda langit yang disebut dalam ayat-ayat sebelumnya -- seperti matahari, bulan, dan lain-lain dalam rangka melayani makhluk-makhluk Allah dan yang mengenai kenyataan itu telah disebutkan dalam ayat 10 قَدۡ  اَفۡلَحَ  مَنۡ  زَکّٰىہَا -- “sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya” --  memberi kesaksian bahwa manusia telah dianugerahi sifat-sifat serupa itu dalam derajat lebih tinggi. Selanjutnya berfirman وَ  قَدۡ خَابَ مَنۡ  دَسّٰىہَا    --   Dan sungguh binasalah orang yang mengotorinya.” (ayat 11).
Kenapa demikian? Sebab pada hakikatnya, manusia adalah alam semesta ukuran kecil (micro cosmos)  dan dalam dirinya ditampilkan dalam skala kecil khasiat segala sesuatu yang terwujud di alam semesta, yakni:
(1) Bagaikan matahari ia memancarkan cahayanya ke alam dunia serta meneranginya dengan kilauan cahaya hikmah dan ilmu.
(2) Bagai penaka bulan ia  memancarkan   kembali  cahaya kasyaf, ilham, dan wahyu yang dipinjamnya dari Sumber Asli lagi agung, untuk ditujukan kepada mereka yang bermukim di dalam kegelapan.
(3) Ia terang benderang laksana siang hari dan menunjukkan jalan kebenaran dan kebajikan.
(4) Bagaikan malam ia menutupi keaiban dan kesalahan amal orang-orang lain, meringankan beban mereka, dan memberikan istirahat kepada si lelah dan si letih.
(5) Seperti langit ia menaungi setiap jiwa yang bersusah hati dan menghidupkan bumi yang telah mati dengan hujan yang memberi kesegaran.
(6) Laksana  bumi ia menyerahkan diri dengan segala kerendahan untuk diinjak-injak di bawah telapak kaki orang-orang, sebagai percobaan (ujian) bagi mereka, dan dari ruhnya (jiwanya) yang telah disucikan itu  tumbuhlah dengan berlimpah-ruah bermacam-macam pohon  ilmu pengetahuan dan kebenaran, dan dengan keteduhan rindangnya  dahan-dahan,  dengan bunga-bunganya, dan dengan buah-buahnya ia menjamu sesama umat manusia. Demikianlah keadaan  orang-orang kudus (suci) dan para Mushlih Rabbani (Rasul Allah), di antaranya yang terbesar dan paling sempurna ialah Nabi Besar  Muhammad  saw..

Hubungan Ruh (Jiwa) Manusia dengan
Unta Betina” Nabi Shalih a.s.

Setelah menjelaskan berbagai khasiat luar biasa ruh (jiwa) manusia, selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Shalih a.s. dan kaum  Tsamud: 
کَذَّبَتۡ ثَمُوۡدُ  بِطَغۡوٰىہَاۤ  ﴿۪ۙ﴾  اِذِ  انۡۢبَعَثَ  اَشۡقٰہَا ﴿۪ۙ﴾  فَقَالَ لَہُمۡ  رَسُوۡلُ اللّٰہِ نَاقَۃَ اللّٰہِ وَ سُقۡیٰہَا ﴿ؕ﴾  فَکَذَّبُوۡہُ  فَعَقَرُوۡہَا ۪۬ۙ فَدَمۡدَمَ عَلَیۡہِمۡ  رَبُّہُمۡ بِذَنۡۢبِہِمۡ  فَسَوّٰىہَا ﴿۪ۙ﴾  وَ لَا یَخَافُ عُقۡبٰہَا﴿٪﴾
Kaum Tsamud mendustakan disebabkan kedurhakaannya,   ketika bangkit orang yang paling buruk nasibnya di antara mereka,    maka rasul Allah berkata kepada mereka: “Biarkanlah unta betina Allah,  dan jangan merintangi minumnya.”    Lalu mereka mendustakannya dan memotong urat keting unta betina itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena dosa mereka, kemudian Dia menjadikannya sama rata,  dan Dia tidak takut akan akibatnya. “ (Asy-Syams [91]:12-19).
Nabi Shalih a.s. mengendarai unta betina pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan Amanat Ilahi. Meletakkan rintangan di atas jalan yang biasa dilalui oleh unta betina beliau dengan leluasa, sama saja dengan meletakkan hambatan-hambatan kepada misi suci Nabi Shalih a.s. sendiri dan menghalang-halangi beliau a.s. dari melaksanakan tugas suci yang telah dipercayakan Allah Swt. kepada beliau. Dalam artian lainnya, Nabi Shalih a.s. sendiri adalah unta betina Tuhan, seperti pula halnya setiap Mushlih Rabbani   (Rasul Allah) lainnya.
Unta betina” yang ditunggangi Nabi Shalih a.s. pun memiliki makna ruhani lainnya, yaitu mengisyaratkan kepada jiwa (ruh) manusia. Yakni, sebagaimana halnya jika “unta betina” Nabi Shalih a.s. dirintangi untuk mendatangi sumber air minumnya minum   akan mengakibatkan  kematian unta betina tersebut, begitu juga jika ruh (jiwa) manusia dirintangi dari meminum air ruhani yang dimiliki oleh para Rasul Allah maka ruh (jiwa) manusia pun akan mati.  Itulah sebabnya dalam Surah tersebut Nabi Shalih a.s. telah berkata kepada kaumnya:
کَذَّبَتۡ ثَمُوۡدُ  بِطَغۡوٰىہَاۤ  ﴿۪ۙ﴾  اِذِ  انۡۢبَعَثَ  اَشۡقٰہَا ﴿۪ۙ﴾  فَقَالَ لَہُمۡ  رَسُوۡلُ اللّٰہِ نَاقَۃَ اللّٰہِ وَ سُقۡیٰہَا ﴿ؕ﴾
Kaum Tsamud mendustakan disebabkan kedurhakaannya,   ketika bangkit orang yang paling buruk nasibnya di antara mereka,    maka rasul Allah berkata kepada mereka: “Biarkanlah unta betina Allah,  dan jangan merintangi minumnya.”   
Namun para pemuka kaum Tsamud yang durhaka tersebut tidak menghiraukan peringatan Nabi Shalih a.s., firman-Nya:
فَکَذَّبُوۡہُ  فَعَقَرُوۡہَا ۪۬ۙ فَدَمۡدَمَ عَلَیۡہِمۡ  رَبُّہُمۡ بِذَنۡۢبِہِمۡ  فَسَوّٰىہَا ﴿۪ۙ﴾  وَ لَا یَخَافُ عُقۡبٰہَا﴿٪﴾
Lalu mereka mendustakannya dan memotong urat keting unta betina itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena dosa mereka, kemudian Dia menjadikannya sama rata,  dan Dia tidak takut akan akibatnya. “ (Asy-Syams [91]:12-19).

Azab Dahsyat di Akhir Zaman

      Akibat mendustakan dan menentang Nabi Shalih a.s. – yang merupakan “sumber air kehidupan” bagi akhlak dan ruhani kaum Tsamud – serta mereka telah memotong urat keting unta betina Nabi Shalih a.s., sehingga unta betina tersebut tidak dapat lagi pergi ke “sumber air minumnya” dan mati, maka demikian juga karena kaum Tsamud telah menghalangi ruhnya (jiwa) dari menerima ajaran suci Nabi Shalih a.s. maka sebagai akibatnya  ruh (jiwa) mereka yang sudah kotor menjadi semakin kotor lagi, dan sesuai dengan firman Allah Swt. sebelumnya   وَ  قَدۡ خَابَ مَنۡ  دَسّٰىہَا    --   Dan sungguh binasalah orang yang mengotorinya.” (ayat 11)  maka demikian pula akibatnya Allah Swt. pun telah membinasakan kaum Tsamud yang durhaka tersebut dengan suatu azab dahsyat, firman-Nya:
فَکَذَّبُوۡہُ  فَعَقَرُوۡہَا ۪۬ۙ فَدَمۡدَمَ عَلَیۡہِمۡ  رَبُّہُمۡ بِذَنۡۢبِہِمۡ  فَسَوّٰىہَا ﴿۪ۙ﴾  وَ لَا یَخَافُ عُقۡبٰہَا﴿٪﴾
Lalu mereka mendustakannya dan memotong urat keting unta betina itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena dosa mereka, kemudian Dia menjadikannya sama rata,  dan Dia tidak takut akan akibatnya. “ (Asy-Syams [91]:12-19).
       Demikian pula di Akhir Zaman ini apabila umat manusia terus menerus melakukan pendustaan dan penentangan zalim terhadap Rasul Akhir Zaman -- yang memancarkan kembali “khazanah-khazanah ruhani” ajaran Islam (Al-Quran) yang sangat diperlukan untuk kehidupan akhlak dan ruhani umat manusia -- maka pada akhirnya setelah rangkaian berbagai azab Ilahi  selama ini -- yang tidak juga membuat mereka  menyadari kekeliruannya --  maka, insya Allah, akan terjadi suatu azab Ilahi yang sangat dahsyat yang terjadi di Akhir Zaman ini, salah satu di antara kemungkinan itu  adalah Perang Dunia III atau Perang Nuklir, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Surah Al-Kahf [18]:99-107; Al-Haqqah [69]:1-16; Al-Ma’ārij [70]:1-19 dan Surah Al-Qāri’ah [102]:1-12, dan beberapa Surah Al-Quran lainnya. WalLāhu ‘’alam.


 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 2  Mei 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar