بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 115
Khasiat-khasiat
Ruh (Jiwa)
Manusia dan Hubungannya
dengan Unta Betina
Nabi Shalih a.s.
Manusia dan Hubungannya
dengan Unta Betina
Nabi Shalih a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
berbagai makna sumpah Allah Swt. dengan benda-benda alam semesta,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا
۪ۙ﴿﴾ وَ الۡقَمَرِ
اِذَا تَلٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ النَّہَارِ
اِذَا جَلّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الَّیۡلِ اِذَا یَغۡشٰىہَا ۪ۙ﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Demi matahari dan dhuhā
(sinarnya di pagi hari), Dan demi bulan apabila ia mengikutinya, dan demi
siang apabila ia menzahirkan kemegahannya, dan demi malam apabila ia menutupinya,
(Asy-Syams
[91]:1-5).
Huruf wau
berarti: juga; maka; sedangkan;
sementara itu; pada waktu itu juga; bersama-sama; dengan; namun; tetapi. Huruf
itu mempunyai arti yang sama dengan kata rubba, yaitu seringkali;
kadang-kadang; barangkali. Huruf itu pun merupakan huruf persumpahan, yang berarti “demi” atau “aku bersumpah” atau “aku
kemukakan sebagai saksi” (Aqrab-ul-Mawarid
dan Lexicon Lane). Wau
telah dipakai dalam ayat ini dan dalam dua ayat berikutnya dalam arti “demi,” atau “aku bersumpah,” atau “aku
kemukakan sebagai saksi.”
Dalam Al-Quran
Allah Swt. telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda tertentu atau telah menyebut wujud-wujud dan benda-benda
itu sebagai saksi. Biasanya, bila
seseorang mengambil sumpah dan bersumpah dengan nama Allah maka tujuannya ialah mengisi
kelemahan persaksian yang kurang
cukup atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya.
Dengan
berbuat demikian ia memanggil Allah
Swt. sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar, bila tidak ada orang
lain dapat memberikan persaksian atas
kebenaran pernyataannya. Tetapi
tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah
Allah Swt. dalam Al-Quran. Bilamana Al-Quran mempergunakan
bentuk demikian maka kebenaran pernyataan
yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan belaka melainkan dengan dalil kuat yang terkandung dalam sumpah itu sendiri.
Kadang-kadang
sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan
sendirinya menarik perhatian kepada apa yang dapat diambil arti, yaitu hukum-hukum ruhani dari apa yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan
suatu nubuatan yang dengan menjadi
sempurnanya membuktikan kebenaran
Al-Quran. Demikianlah halnya di sini.
Jadi, sumpah-sumpah
Allah Swt. dalam Al-Quran mengandung makna yang mendalam. Hukum Allah menampakkan dua segi perbuatan-Nya, yaitu yang nyata dan yang tersirat. Segi pertama dapat diketahui dengan mudah – contohnya
tatanan alam semesta -- tetapi dalam memahami yang terakhir ada kemungkinan bisa keliru.
Makna-makna: Matahari, Bulan, Siang dan Malam
Dalam sumpah-sumpah-Nya, Allah
Swt. menarik perhatian kita kepada apa yang dapat disimpulkan dan benda yang
nyata. Dalam sumpah-sumpah
tersebut pada ayat-ayat 2-7, matahari
dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi, termasuk “yang nyata” – karena khasiat-khasiat benda-benda
tersebut pada ayat-ayat ini telah dimaklumi serta diakui secara umum.
Namun khasiat-khasiat serupa
yang terdapat pada ruh (jiwa) manusia
“tidak nyata”. Untuk membawa kepada kesimpulan mengenal adanya khasiat-khasiat dalam ruh (jiwa) manusia, Allah Swt. telah
menyebut perbuatan-perbuatan-Nya yang
nyata itu sebagai saksi.
Dengan demikian makna “matahari” dalam ayat وَ الشَّمۡسِ وَ ضُحٰہَا ۪ۙ﴿﴾ -- “demi matahari dan
dhuhā (sinarnya di pagi hari)” ini
dapat menunjuk kepada matahari alam
ruhani – yakni Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:47) – yang merupakan sumber seluruh cahaya ruhani
dan yang akan terus-menerus menyinari
dunia sampai Akhir Zaman.
Makna “bulan” dalam ayat وَ الۡقَمَرِ اِذَا تَلٰىہَا -- “demi
bulan apabila ia mengikutinya”, dapat juga menunjuk
kepada Nabi Besar Muhammad saw., sebab
beliau saw. menerima cahaya dari Allah Swt. dan menyiarkan (memantulkan) cahaya itu ke persada alam ruhani yang gelap itu. Atau kata
“bulan” itu dapat pula menunjuk kepada para Wali
Allah dan para Imam Zaman (Mujaddid)
– khususnya kepada wakil (Khalifah) agung Nabi Besar Muhammad saw. di Akhir
Zaman ini, Al-Masih Mau’ud a.s., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.
(QS.62:3-5) -- yang menerima cahaya
kebenaran dari beliau saw. dan menyiarkannya
(memantulkannya) ke dunia untuk
menghilangkan kegelapan akhlak dan ruhani yang meliputi umat manusia di Akhir Zaman ini.
Makna “siang” dalam
ayat وَ النَّہَارِ
اِذَا جَلّٰىہَا -- “demi siang apabila ia
menzahirkan kebenderangannya” dapat menunjuk kepada masa tatkala Amanat Islam serta kebenaran pendirinya (Nabi Besar Muhammad saw. )
ditegakkan serta dasar-dasar telah ditegakkan untuk penyebarluasannya di dunia. Isyarat yang
terkandung di dalam ayat ini mungkin tertuju kepada masa pemerintahan Khulafaur-Rasyidin,
ketika cahaya Islam memancar dengan
segala kemegahan dan kejayaannya ke berbagai wilayah dunia.
Makna “malam” dalam
الَّیۡلِ اِذَا
یَغۡشٰىہَا وَ -- “demi malam apabila
ia menutupinya”, dapat menunjuk kepada masa kemunduran dan kemerosotan
orang-orang Islam ketika cahaya Islam
telah tersembunyi dari mata dunia
karena ruh Al-Quran secara
berangsur-angsur ditarik kembali oleh
Allah Swt. kepadanya dalam waktu 1000
tahun setelah masa kecemerlangannya
yanhg pertama (QS.32:6).
Dengan demikian keempat
ayat ini (QS.91:2-5) menunjuk kepada empat kurun masa perjalanan Islam yang
penuh peristiwa itu, yaitu: (1) masa Nabi Brsar Muhammad saw. sendiri, ketika Matahari Ruhani (Rasulullah saw..)
sedang memancar dengan sangat megahnya di cakrawala ruhani; (2) masa wakil
agung beliau, yaitu Masih Mau’ud a.s.. di Akhir Zaman , ketika nur (cahaya) yang diperoleh dari Nabi
Besar Muhammad saw. dipantulkan ke suatu dunia yang gelap;
(3) masa para khalifah Nabi Besar
Muhammad saw. ketika cahaya Islam
masih tetap berkilau-kilauan dan (4) masa ketika kegelapan ruhani telah meluas ke seluruh dunia yang terjadi sesudah
lewat 3 abad pertama kejayaan Islam.
Khasiat-khasiat Ruh (jiwa) Manusia
Setelah bersumpah dengan menyebut matahari, bulan,
siang, dan malam, selanjutya Allah Swt. melanjutkan persumpahan-Nya:
وَ السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا
طَحٰہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ فَاَلۡہَمَہَا
فُجُوۡرَہَا وَ تَقۡوٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ قَدۡ
اَفۡلَحَ مَنۡ زَکّٰىہَا ۪ۙ﴿﴾ وَ قَدۡ خَابَ مَنۡ دَسّٰىہَا ﴿ؕ﴾
Dan demi langit dan pembinaannya,
dan demi bumi dan penghamparannya, demi
jiwa dan penyempurnaannya, maka Dia
mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya dan ketakwaannya. Sungguh
beruntunglah orang yang
mensucikannya, dan sungguh binasalah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams [91]:6-11).
Huruf mā
dalam ayat وَ
السَّمَآءِ وَ مَا بَنٰہَا ۡ -- “demi langit
dan binaannya” dan dalam dua ayat berikutnya mengenai bumi
dan jiwa adalah masdariyah atau
berarti alladzi, yakni “ia yang” Dengan demikian dalam ayat-ayat ini perhatian telah dipusatkan pada Sang Perencana dan Sang Arsitek Agung alam semesta ini (Allah Swt.), atau pada penyempurnaan alam semesta serta kebebasannya yang penuh dari setiap
macam cacat dan kekurangan.
Ayat وَ نَفۡسٍ وَّ مَا سَوّٰىہَا -- “demi jiwa
dan penyempurnaannya” ini
berarti bahwa semua khasiat yang dipersembahkan benda-benda langit yang disebut dalam ayat-ayat sebelumnya -- seperti
matahari, bulan, dan lain-lain dalam rangka melayani makhluk-makhluk Allah dan yang mengenai kenyataan itu telah
disebutkan dalam ayat 10 قَدۡ اَفۡلَحَ
مَنۡ زَکّٰىہَا -- “sungguh beruntung
orang yang mensucikan jiwanya” -- memberi kesaksian
bahwa manusia telah dianugerahi sifat-sifat serupa itu dalam derajat lebih tinggi. Selanjutnya
berfirman وَ قَدۡ خَابَ مَنۡ دَسّٰىہَا -- “Dan sungguh binasalah orang yang
mengotorinya.” (ayat 11).
Kenapa
demikian? Sebab pada hakikatnya, manusia
adalah alam semesta ukuran kecil (micro cosmos) dan dalam dirinya
ditampilkan dalam skala kecil khasiat segala sesuatu yang terwujud di
alam semesta, yakni:
(1) Bagaikan matahari ia memancarkan
cahayanya ke alam dunia serta meneranginya
dengan kilauan cahaya hikmah dan ilmu.
(2) Bagai penaka bulan ia memancarkan kembali
cahaya
kasyaf, ilham, dan wahyu yang
dipinjamnya dari Sumber Asli lagi agung, untuk ditujukan kepada mereka yang bermukim di dalam kegelapan.
(3) Ia terang benderang laksana siang hari dan menunjukkan jalan kebenaran dan kebajikan.
(4) Bagaikan
malam ia menutupi keaiban dan kesalahan
amal orang-orang lain, meringankan
beban mereka, dan memberikan
istirahat kepada si lelah dan si letih.
(5) Seperti langit ia menaungi setiap jiwa yang bersusah hati dan menghidupkan
bumi yang telah mati dengan hujan yang memberi kesegaran.
(6)
Laksana bumi ia menyerahkan diri
dengan segala kerendahan untuk diinjak-injak di bawah telapak kaki
orang-orang, sebagai percobaan
(ujian) bagi mereka, dan dari ruhnya (jiwanya)
yang telah disucikan itu tumbuhlah dengan berlimpah-ruah
bermacam-macam pohon ilmu pengetahuan dan kebenaran, dan dengan keteduhan rindangnya dahan-dahan, dengan bunga-bunganya,
dan dengan buah-buahnya ia menjamu sesama umat manusia. Demikianlah keadaan orang-orang
kudus (suci) dan para Mushlih Rabbani
(Rasul Allah), di antaranya yang terbesar dan paling sempurna ialah Nabi
Besar Muhammad saw..
Hubungan Ruh (Jiwa) Manusia dengan
“Unta Betina” Nabi Shalih a.s.
Setelah
menjelaskan berbagai khasiat luar
biasa ruh (jiwa) manusia, selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Shalih a.s. dan kaum Tsamud:
کَذَّبَتۡ
ثَمُوۡدُ بِطَغۡوٰىہَاۤ ﴿۪ۙ﴾ اِذِ
انۡۢبَعَثَ اَشۡقٰہَا ﴿۪ۙ﴾ فَقَالَ لَہُمۡ
رَسُوۡلُ اللّٰہِ نَاقَۃَ اللّٰہِ وَ سُقۡیٰہَا ﴿ؕ﴾ فَکَذَّبُوۡہُ
فَعَقَرُوۡہَا ۪۬ۙ فَدَمۡدَمَ عَلَیۡہِمۡ
رَبُّہُمۡ بِذَنۡۢبِہِمۡ
فَسَوّٰىہَا ﴿۪ۙ﴾ وَ لَا یَخَافُ
عُقۡبٰہَا﴿٪﴾
Kaum Tsamud
mendustakan disebabkan kedurhakaannya, ketika bangkit orang yang paling buruk nasibnya
di antara mereka, maka rasul
Allah berkata kepada mereka: “Biarkanlah
unta betina Allah, dan jangan
merintangi minumnya.” Lalu mereka
mendustakannya dan memotong urat
keting unta betina itu, maka Tuhan
mereka membinasakan mereka karena dosa mereka, kemudian Dia menjadikannya sama rata, dan Dia
tidak takut akan akibatnya. “ (Asy-Syams [91]:12-19).
Nabi Shalih
a.s. mengendarai unta betina pergi
dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan Amanat Ilahi. Meletakkan rintangan
di atas jalan yang biasa dilalui oleh unta
betina beliau dengan leluasa, sama saja dengan meletakkan hambatan-hambatan kepada misi suci Nabi
Shalih a.s. sendiri dan menghalang-halangi
beliau a.s. dari melaksanakan tugas suci yang telah dipercayakan Allah
Swt. kepada beliau. Dalam artian lainnya, Nabi
Shalih a.s. sendiri adalah unta
betina Tuhan, seperti pula halnya setiap Mushlih Rabbani (Rasul
Allah) lainnya.
“Unta betina” yang ditunggangi Nabi
Shalih a.s. pun memiliki makna ruhani
lainnya, yaitu mengisyaratkan kepada jiwa
(ruh) manusia. Yakni, sebagaimana halnya jika “unta betina” Nabi Shalih a.s. dirintangi untuk mendatangi sumber air minumnya minum akan mengakibatkan kematian
unta betina tersebut, begitu juga jika ruh
(jiwa) manusia dirintangi dari meminum air
ruhani yang dimiliki oleh para Rasul
Allah maka ruh (jiwa) manusia pun
akan mati. Itulah sebabnya dalam Surah tersebut Nabi
Shalih a.s. telah berkata kepada kaumnya:
کَذَّبَتۡ ثَمُوۡدُ بِطَغۡوٰىہَاۤ ﴿۪ۙ﴾ اِذِ
انۡۢبَعَثَ اَشۡقٰہَا ﴿۪ۙ﴾ فَقَالَ لَہُمۡ
رَسُوۡلُ اللّٰہِ نَاقَۃَ اللّٰہِ وَ سُقۡیٰہَا ﴿ؕ﴾
Kaum Tsamud mendustakan disebabkan kedurhakaannya, ketika bangkit
orang yang paling buruk nasibnya di antara mereka, maka rasul
Allah berkata kepada mereka: “Biarkanlah
unta betina Allah, dan jangan
merintangi minumnya.”
Namun para pemuka
kaum Tsamud yang durhaka tersebut
tidak menghiraukan peringatan Nabi
Shalih a.s., firman-Nya:
فَکَذَّبُوۡہُ فَعَقَرُوۡہَا ۪۬ۙ
فَدَمۡدَمَ عَلَیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ
بِذَنۡۢبِہِمۡ فَسَوّٰىہَا ﴿۪ۙ﴾ وَ لَا یَخَافُ عُقۡبٰہَا﴿٪﴾
Lalu mereka mendustakannya dan memotong urat keting unta betina itu,
maka Tuhan mereka membinasakan mereka
karena dosa mereka, kemudian Dia
menjadikannya sama rata, dan Dia tidak takut akan akibatnya. “ (Asy-Syams
[91]:12-19).
Azab Dahsyat di Akhir Zaman
Akibat mendustakan dan menentang
Nabi Shalih a.s. – yang merupakan “sumber
air kehidupan” bagi akhlak dan ruhani kaum Tsamud – serta mereka telah
memotong urat keting unta betina Nabi
Shalih a.s., sehingga unta betina
tersebut tidak dapat lagi pergi ke “sumber
air minumnya” dan mati, maka demikian juga karena kaum Tsamud telah
menghalangi ruhnya (jiwa) dari
menerima ajaran suci Nabi Shalih a.s.
maka sebagai akibatnya ruh (jiwa) mereka yang sudah kotor menjadi semakin kotor lagi, dan sesuai dengan firman Allah Swt. sebelumnya وَ قَدۡ خَابَ مَنۡ دَسّٰىہَا -- “Dan sungguh binasalah orang yang
mengotorinya.” (ayat 11) maka
demikian pula akibatnya Allah Swt. pun telah membinasakan kaum Tsamud yang
durhaka tersebut dengan suatu azab dahsyat, firman-Nya:
فَکَذَّبُوۡہُ فَعَقَرُوۡہَا ۪۬ۙ
فَدَمۡدَمَ عَلَیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ
بِذَنۡۢبِہِمۡ فَسَوّٰىہَا ﴿۪ۙ﴾ وَ لَا یَخَافُ عُقۡبٰہَا﴿٪﴾
Lalu mereka mendustakannya dan memotong urat keting unta betina itu,
maka Tuhan mereka membinasakan mereka
karena dosa mereka, kemudian Dia
menjadikannya sama rata, dan Dia tidak takut akan akibatnya. “ (Asy-Syams
[91]:12-19).
Demikian pula di Akhir Zaman ini apabila umat
manusia terus menerus melakukan pendustaan
dan penentangan zalim terhadap Rasul Akhir Zaman -- yang memancarkan
kembali “khazanah-khazanah ruhani”
ajaran Islam (Al-Quran) yang sangat
diperlukan untuk kehidupan akhlak dan
ruhani umat manusia -- maka pada
akhirnya setelah rangkaian berbagai azab
Ilahi selama ini -- yang tidak juga
membuat mereka menyadari kekeliruannya
-- maka, insya Allah, akan terjadi suatu azab
Ilahi yang sangat dahsyat yang
terjadi di Akhir Zaman ini, salah
satu di antara kemungkinan itu adalah Perang Dunia III atau Perang Nuklir, sebagaimana yang
diisyaratkan dalam Surah Al-Kahf [18]:99-107; Al-Haqqah [69]:1-16; Al-Ma’ārij [70]:1-19 dan Surah Al-Qāri’ah [102]:1-12, dan beberapa
Surah Al-Quran lainnya. WalLāhu ‘’alam.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 2 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar