Sabtu, 18 Mei 2013

Hubungan Gelar "Khaataman Nabiyyiin" dengan Makna "Al-Kautsar" (Kebaikan yang Berlimpah-ruah) dan "Abtar" (yang Terputus Keturunannya)




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 121


   Hubungan Gelar  Khātaman Nabiyyīn” dengan Makna Al-Kautsar (Kebaikan yang Berlimpah-ruah) & Abtar (yang Terputus Keturunannya)  

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   hubungan berbagai makna Khātaman Nabiyyīn dengan  Al-Kautsar dan  abtar, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾   فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsar [108]:1-4).
     Kautsar antara lain berarti berlimpah-limpah kebaikan. Kautsar berarti pula  orang yang mempunyai banyak kebaikan dan orang yang banyak dan sering memberi (Al-Mufradat dan Tafsir Ibnu  Jarir). Surah ini mengemukakan  Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pribadi yang telah dianugerahi Allah Swt.  kebaikan berlimpah-limpah.
     Surah ini diturunkan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.   pada saat ketika beliau saw.   tidak memiliki apapun dan tidak punya sesuatu untuk diberikan. Ketika itu beliau saw. sangat miskin dan pengakuan beliau saw. sebagai nabi (rasul) Allah dipandang dengan hina dan sebagai sesuatu yang tidak perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.

Peristiwa Isra Nabi Besar Muhammad Saw.

  Bertahun-tahun lamanya sesudah Surah Al-Kautsar ini turun,  Nabi Besar Muhammad saw.  masih terus juga diperolok-olokkan dan ditertawakan, dilawan serta ditindas, dan pada akhirnya beliau saw. terpaksa  hijrah meninggalkan kota kelahiran beliau saw. sebagai seorang pelarian dan telah dijanjikan hadiah bagi siapa yang berhasil menangkap beliau saw. dalam keadaan hidup atau mati, firman-Nya:
وَ اِذۡ یَمۡکُرُ بِکَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا لِیُثۡبِتُوۡکَ اَوۡ یَقۡتُلُوۡکَ اَوۡ یُخۡرِجُوۡکَ ؕ وَ یَمۡکُرُوۡنَ وَ یَمۡکُرُ  اللّٰہُ  ؕ وَ اللّٰہُ خَیۡرُ الۡمٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika orang-orang kafir merancang makar  terhadap engkau, supaya mereka dapat menangkap engkau atau membunuh engkau atau mengusir engkau. Mereka merancang makar buruk, dan Allah pun merancang  makar tandingan, dan Allah sebaik-baik  Perancang makar.  (Al-Anfāl [8]:21).
    Peristiwa tersebut pada hakikatnya pengulangan peristiwa makar  buruk – berupa upaya pembunuhan --  terhadap Nabi Shalih a.s. oleh para pemuka kaum Tsamud (QS.27:46-54). Namun Allah Swt. menyebut hijrahnya Nabi Besar Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah tersebut bukan “melarikan diri” atau pun pengusiran (QS.9:40),  melainkan menamakannya peristiwa isra yakni Allah Swt.  memperjalankan beliau saw. pada waktu malam hari, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ سُبۡحٰنَ الَّذِیۡۤ  اَسۡرٰی بِعَبۡدِہٖ لَیۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ  اِلَی الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِیۡ بٰرَکۡنَا حَوۡلَہٗ  لِنُرِیَہٗ مِنۡ اٰیٰتِنَا ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ  السَّمِیۡعُ  الۡبَصِیۡرُ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Maha Suci Dia  Yang  memperjalankan  hamba-Nya pada waktu malam  dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sekelilingnya telah Kami berkati, supaya Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari Tanda-tanda Kami,  sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (Bani Israil [17]:1-2).
  Setelah hijrah dari Makkah,  selama beberapa tahun di Medinah pun jiwa  Nabi Besar Muhammad saw.   dalam keadaan bahaya dan musuh dengan tidak sabar menanti-nanti peluang untuk menyaksikan kesudahan Islam yang tragis (menyedihkan) dan cepat datangnya, yang menurut ukuran otak manusia memang bakal demikian terjadinya.
 Namun sesuai  firman-Nya dalam Surah Al-Kautsar, kemudian menjelang akhir hayat  Nabi Besar Muhammad saw.,   kebaikan yang berlimpah-limpah (al-Kautsar) dalam segala corak dan bentuk turun kepada beliau  saw. bagaikan air hujan, dan janji yang terkandung dalam Surah ini, telah menjadi sempurna secara harfiah, yakni yang abtar (terputus keturunannya) – baik secara jasmani mau pun secara ruhani – adalah musuh-musuh beliau saw..

Menjadi “Guru Abadi dan “Ayah Ruhani
Seluruh Umat Manusia

“Pelarian” dari Mekkah itu telah menjadi orang yang menentukan nasib seluruh negeri Arab, dan sang putra padang pasir yang tidak dapat membaca dan menulis itu terbukti menjadi Guru Abadi seluruh umat manusia. Allah Swt. telah memberi beliau saw. sebuah Kitab (Al-Quran) yang merupakan petunjuk yang tidak mungkin gagal, untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang masa; dan dengan meresapkan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri beliau saw.,  Nabi Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat tertinggi, yakni kedekatan kepada Khaliq-nya (Allah Swt.), yang mungkin dapat dicapai oleh seorang manusia.
Nabi Besar Muhammad saw. dikaruniai sahabat-sahabat yang kesetiakawanan serta pengabdiannya tidak pernah ada tara bandingannya; dan ketika panggilan Al-Khāliq datang kepada beliau saw. agar meninggalkan dunia yang fana ini, beliau saw. merasa puas telah melaksanakan tugas suci yang diserahkan kepada beliau saw. dengan sepenuhnya dan sesempurna-sempurnanya (QS.33:73-74).
   Pendek kata, segala macam kebaikan  -- baik bersifat kebendaan maupun moral --  telah dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  dalam ukuran (kadar) yang penuh. Oleh sebab itu beliaulah yang paling pantas disebut Nabi paling berhasil dari antara sekalian nabi(Encyclopaedia Britannica).
 Adalah sangat bermakna bahwa dalam ayat ini musuh-musuh  Nabi Besar Muhammad saw.   telah disebut dengan kata-kata tegas bahwa mereka itu abtar (tidak mempunyai anak laki-laki), sedangkan menurut kenyataan sejarah sendiri, semua putra  Nabi Besar Muhammad saw. --  baik yang dilahirkan sebelum maupun sesudah ayat ini turun --  telah wafat dan beliau saw. tidak meninggalkan seorang pun putra. Hal itu menunjukkan bahwa kata abtar di sini hanya berarti: orang yang tidak mempunyai keturunan ruhani (putra-putra ruhani) dan bukan putra-putra jasmani seperti biasa dikatakan orang.
  Pada hakikatnya, hal ini merupakan rencana Allah Swt. Sendiri bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.   tidak akan meninggalkan anak laki-laki seorang pun, oleh karena beliau saw. telah ditakdirkan menjadi ayah ruhani berjuta-juta – bahkan milyar -- putra ruhani (QS.33:7) sepanjang masa sampai Akhir Zaman – yakni putra-putra ruhani yang akan jauh lebih setia, patuh-taat dan penuh cinta daripada putra-putra jasmani ayah mana pun.

Yang Abtar (Terputus Keturunan) adalah
Para Penentang Nabi Besar Muhammad Saw.

 Jadi, bukan Nabi Besar Muhammad saw.    melainkan musuh-musuh beliau saw. lah yang akan abtar yakni mati tanpa berketurunan, sebab dengan masuknya putra-putra jasmani mereka ke dalam pangkuan Islam mereka itu telah menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad saw.  – termasuk di NKRI ini --    , dan mereka itu merasa malu dan merasa hina, bila asal-usul mereka itu dikaitkan kepada ayah jasmani yang melahirkan mereka sendiri, yang merupakan para penentang zalim  Rasul Allah, contohnya   Abu Jahal dkk.
 Nah, karena para penentang Nabi Besar Muhammad saw. sendiri – yakni Abu Jahal  dll. – yang menuduh beliau saw. seorang abtar  yang terputus keturunannya, oleh sebab itu bangsa Arab  hendaknya jangan  marah ketika  Surah Jumu’ah ayat 3-4 diwahyukan, dan Abu Hurairah r.a. menanyakan makna ayat:
وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ 
“Dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Jumu’ah [63]:3-5).
     Nabi Besar Muhammad saw. sambil  memegang sahabat Salman Farisi r.a. yang berkebangsaan Farsi (Iran) Nabi Besar Muhammad saw. menyatakan bahwa Rasul Akhir Zaman yang akan datang  -- walau pun berasal dari kalangan Ahli Bait Nabi Besar Muhammad saw. --  yakni keturunan Sayyidah Fatimah al-Zahra  r.a. dan Sayyidina  Ali bin Abi Thalib r.a.  dari jalur  Imam Hasan r.a. --  tetapi dari pihak laki-laki Rasul Akhir Zaman tersebut memiliki darah Farsi (Iran) seperti halnya sahabat Salman Farsi r.a., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang atas perintah Allah Swt. mendakwakan diri sebagai  Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) atau Rasul Akhir Zaman (QS.61:10).
      Salah satu hakikat sebutan Al-Masih Mau'ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. terhadap Rasul Akhir Zaman tersebut adalah karena antara Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan Mirza Ghulam Ahmad a.s. (Al-Masih Mau'ud a.s.) memiliki persamaan  dalam hal  hubungan darah dengan kaumnya, yaitu kedua Rasul Allah tersebut memiliki  hubungan darah dengan kaumnya hanya dari   pihak  perempuan, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾  
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang  rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [63]:3-5).
      Tugas suci  Nabi Besar Muhammad saw.   meliputi penunaian keempat macam kewajiban mulia yang disebut dalam ayat ini. Tugas agung dan mulia itulah yang dipercayakan kepada beliau saw., sebab untuk kedatangan (pengutusan) beliau saw. di tengah-tengah orang-orang Arab yang buta huruf itu leluhur beliau, Nabi Ibrahim a.s.  telah memanjatkan doa beberapa ribu tahun yang lampau ketika dengan disertai putranya, Nabi Isma’il a.s., beliau mendirikan dasar (pondasi) Ka’bah (QS.2:130).
 Mengenai keempat macam tugas Nabi Besar Muhammad saw. tersebut, pada hakikatnya tidak ada Pembaharu dapat benar-benar berhasil dalam misinya kecuali jika ia:
(1) Menyiapkan dengan contoh mulia dan quat-qudsiahnya (daya pensuciannya), suatu jemaat (jama’ah) yang pengikut-pengikutnya terdiri dari orang-orang mukhlis, patuh, dan bertakwa, yang kepada mereka itu mula-mula:
(2)  mengajarkan cita-cita dan asas-asas ajarannya serta mengajarkan falsafat, arti, dan kepentingan cita-cita dan asas-asas ajarannya itu, 
(3) kemudian mengirimkan pengikut-pengikutnya ke luar negeri untuk mendakwahkan ajaran itu kepada bangsa lain.
(4) Didikan yang Nabi Besar Muhammad saw.   berikan kepada para pengikut beliau saw. memperluas dan mempertajam kecerdasan mereka, dan filsafat ajaran beliau   saw. menimbulkan dalam diri mereka keyakinan iman, dan contoh mulia beliau saw. (QS.33:22) menciptakan di dalam diri mereka kesucian hati. Kenyataan-dasar agama itulah yang diisyaratkan oleh ayat ini.

Kaum “Ākharīna Minhum” &
Salman Al-Farisi r.a. termasuk “Ahli Bait

Mengenai ayat  وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ  --  “dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka” mengisyaratkan bahwa ajaran  Nabi Besar Muhammad saw. (agama Islam/Al-Quran) ditujukan bukan kepada bangsa Arab belaka -- yang di tengah-tengah bangsa itu beliau dibangkitkan -- melainkan kepada seluruh bangsa bukan-Arab juga, dan bukan hanya kepada orang-orang sezaman beliau saw., melainkan juga kepada keturunan (generasi) demi keturunan manusia yang akan datang hingga kiamat.
Atau ayat  وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ    ini dapat juga berarti bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  akan dibangkitkan lagi  di antara kaum yang belum pernah tergabung dalam para pengikut (sahabah) semasa hidup beliau saw.. Isyarat di dalam ayat ini dan di dalam hadits Nabi saw. yang termasyhur, tertuju kepada pengutusan  Nabi Besar Muhammad saw.  untuk kedua kali dalam wujud  Al-Masih Mau’ud a.s. (Al-Masih yang dijanjikan)  di Akhir Zaman ini. Sehubungan dengan hal tersebut Abu Hurairah r.a.  berkata:
 “Pada suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. ,  ketika Surah Jumu’ah diturunkan. Saya minta keterangan kepada Rasulullah saw.: “Siapakah yang diisyaratkan oleh kata-kata  Dan Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan mereka?” – Salman al-Farsi (Salman asal Parsi) sedang duduk di antara kami. Setelah saya berulang-ulang mengajukan pertanyaan itu, Rasulullah saw. meletakkan tangan beliau saw. pada Salman dan bersabda: “Bila iman telah terbang ke Bintang Tsuraya, seorang lelaki dari mereka ini pasti akan menemukannya.” (Bukhari, Tafsir Surah Al-Jumu’ah).
      Hadits Nabi Besar Muhammad saw. ini menunjukkan bahwa ayat ini dikenakan kepada seorang lelaki dari keturunan Parsi.  Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang atas perintah Allah Swt. mendakwakan sebagai Al-Masih Mau’ud a.s.,  dari pihak laki-laki  adalah dari keturunan Parsi, sedang dari pihak perempuan beliau a.s. masih termasuk Ahli Bait Nabi Besar Muhammad saw. dari jalur  Sayyidah Fatimah az Zahra r.a. dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. dari Imam Hassan r.a.. Itulah sebabnya dalam satu kesempatan Nabi Besar Muhammad saw. telah menyatakan bahwa “Salman termasuk ahli bait  beliau saw.
   Hadits Nabi Besar Muhammad saw. lainnya menyebutkan  bahwa pada saat kedatangan Al-Masih Mau’ud a.s.   ketika “tidak ada yang tertinggal di dalam Al-Quran kecuali kata-katanya, dan tidak ada yang tertinggal di dalam Islam selain namanya, yaitu, jiwa ajaran Islam yang sejati akan lenyap” (Baihaqi). Jadi, Al-Quran dan hadits kedua-duanya sepakat bahwa ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. dalam wujud  Al-Masih Mau’ud a.s., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s..  
    Jadi, kembali kepada  pembahasan firman Allah Swt. sebelum ini mengenai  hubungan gelar Khātaman Nabiyyīn  dengan makna al-kautsar (kebaikan yang berlimpah-ruah) dan abtar (yang terputus keturunannya), firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan khātaman Nabiyyīn   dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41). 
Firman-Nya lagi:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾   فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsar [108]:1-4).
        Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa. Ayat Khātaman Nabiyyīn yang sedang dibahas ini menghilangkan salah paham itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa beliau saw., baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa yang akan datang bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa  bangsa Arab (rijal berarti pemuda).
     Dalam pada itu ayat ini nampaknya bertentangan dengan Surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan Nabi Besar Muhammad saw.,  melainkan musuh-musuh beliau saw.  yang diancam dengan tidak akan berketurunan (abtar),  tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu.
    Ayat Khātaman Nabiyyīn ini mengatakan – sebagaimana telah dikemukakan -- bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad saw.  adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh umat manusia dan beliau juga Khātaman Nabiyyīn, yang maksudnya bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh nabi. Maka bila beliau saw. merupakan bapak ruhani semua orang beriman dan semua nabi, betapa beliau saw. dapat disebut abtar atau tak berketurunan.
     Apabila ungkapan Khātaman Nabiyyīn ini diambil dalam arti bahwa  Nabi Besar Muhammad saw. beliau itu nabi yang terakhir, dan bahwa tidak ada nabi akan datang sesudah beliau, maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks ayat, dan daripada menyanggah ejekan orang-orang kafir bahwa beliau saw.  adalah seorang abtar ( tidak berketurunan), malahan mendukung dan menguatkannya.
     Kenapa demikian? Sebab akan berarti  Nabi Besar Muhammad saw. bukan  bapak salah seorang laki-laki jasmani bangsa Arab mana pun, juga beliau saw. pun bukan seorang bapak ruhani, karena  dengan pengutusan beliau saw.  dengan membawa  syariat yang terakhir dan  tersempurna (agama Islam – QS.4) maka silsilah nikmat-nikmat keruhanian (QS.4:70-71; QS.5:21) yang sebelumnya terbuka bagi kaum-kaum sebelumnya yang ruhaninya belum dewasa, tiba-tiba menjadi tertutup rapat alias abtar  setelah keadaan ruhani umat manusia telah mencapai kedewasaannya  untuk mengamalkan ajaran Islam (Al-Quran).  
      Benarkah demikian makna Khātaman Nabiyyīn?

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 8 Mei  2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar