Rabu, 15 Mei 2013

Makna "Khaataman-Nabiyyiin" & Tiga Pembelaan Berjenjang Allah Swt. Te rhadap Kesucian Nabi Besar Muhammad Saw.



 


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 120


  Makna “Khātaman Nabiyyīn” &
Tiga  Pembelaan Berjenjang Allah Swt.  Terhadap Kesucian Nabi Besar Muhammad Saw.

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pembatalan  adat istiadat jahiliyah bangsa Arab  mengenaI larangan menikahi janda anak-angkat, dengan alasan bahwa  kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, firman-Nya:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan engkau dengan dia  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.   (Al-Ahzāb [33]:38).

Ketaatan Zainab r.a. kepada Keinginan
Nabi Besar Muhammad Saw.

     Karena semata-mata menghormati keinginan Nabi Besar Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka  Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah dijadikan “anak angkat”  oleh Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾  
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya.  Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb [33]:37).
    Tersurat di dalam riwayat bahwa   Zainab r.a. dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., agar beliau diperistri Nabi Besar Muhammad saw. sendiri. Apakah kiranya yang menghambat  Nabi Besar Muhammad saw. memperistri beliau ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
    Jadi, seluruh peristiwa itu nampaknya  jelas merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tid ak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw., dan mempercayai hal itu merupakan suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.
      Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. selanjutnya mengenai kesiapan Nabi Besar Muhammad saw. untuk melaksanakan kehendak Allah Swt., bagaimana pun beratnya resiko fitnah yang mungkin timbul dari pernikahan beliau saw. dengan Zainab r.a., bekas istri (janda) Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah  menjadi anak angkat beliau saw. tersebut, firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿﴾  
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah, dan cukuplah Allah sebagai Penghisab. (Ahzāb [33]:39-40). 
      Yang diisyaratkan dalam kata-kata itu ialah pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Zainab r.a.. Kata-kata itu menunjukkan bahwa pernikahan beliau  saw.  tersebut  terjadi dalam menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya. 

Makna “Khātaman Nabiyyīn” &
Tiga Macam Pembelaan Berjenjang Allah Swt.
      Sebagaimana telah diduga sebelumnya oleh Nabi Besar Muhammad saw., maka berbagai fitnah dan hujatan pun dilemparkan oleh para pemimpin kaum kafir Mekkah, dan dengan pernikahan yang “menghebohkan” kalangan bangsa Arab jahiliyah tersebut mereka mereka merasa mendapat tambahan “amunisi” dalam mendustakan, menentang serta menzalimi pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw., bahwa beliau saw. telah melanggar adat-istiadat bangsa Arab berkenaan dengan  bekas istri  (janda) anak-angkat.
   Terhadap hujatan tersebut  Allah Swt.  mengemukakan pembelaan-Nya kepada  Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan khātaman Nabiyyīn   dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41). 
  Dalam firman-Nya tersebut Allah Swt. mengemukakan tiga alasan yang menggugurkan secara telak  tuduhan dusta  para pemimpin kaum kafir Quraisy atau para pemimpin bangsa Arab jahiliyah, yakni:
       (1) مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ   --  Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu”,   yakni: “Hai para penentang, kalian sendiri menjadi saksi bahwa semua anak laki-laki Rasulullah saw. wafat pada waktu masih  kecil, sehingga kalian sendiri telah menuduh beliau saw. sebagai seorang “abtar” (yang terputus keturunannya  - QS.108:104), dengan demikian Rasulullah saw. tidak memiliki hubungan darah dengan seorang laki-laki bangsa Arab mana pun, termasuk dengan Zaid bin Haritsah, karena ia hanyalah seorang bekas “anak angkat”. Karena itu dalam pernikahan Rasulullah saw.  dengan Zainab – janda anak-angkatnya -- tersebut  tidak ada kesalahan serta tidak ada mudarat apa pun yang dilakukan oleh Rasulullah saw.”
       (2)     وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ  -- “akan tetapi ia adalah Rasul Allah”,  yakni Nabi Muhammad saw. bukan seorang “bapak jasmani” seorang laki-laki bangsa Arab manapun melainkan  kedudukannya sebagai Rasul Allah  merupakan “bapak ruhani” semua orang beriman, yang mencakup bangsa-bangsa yang bukan-Arab  karena beliau saw. merupakan rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108-109; QS.25:2; QS.34:29), dan istri-istrinya merupakan ummul-mukminin (ibu  orang-orang beriman - QS.33:7).
     (3)  وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ    - dan khātaman Nabiyyīn”, yakni ia bukan hanya sekedar seorang Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna untuk seluruh umat manusia (QS.5:4), bahkan Muhammad saw. adalah satu-satunya Rasul Allah  yang bergelar khātaman Nabiyyīn yakni  Cap atau Segel atau Meterai Nabi-nabi atau nabi  Allah yang paling mulia dan paling absah  kenabiannya, sehingga sangat mustahil baginya melakukan kekeliruan dalam hal menikahi Zainab r.a. tersebut.
      Itulah tiga  macam pembelaan Allah Swt. yang tak terbantahkan  terhadap berbagai tuduhan dusta dan fitnah yang dilontarkan para pemimpin bangsa Arab Jahiliyah berkenaan dengan pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Zainab r.a., janda dari Zaid  bin Haritsah r.a., yang menurut adat istiadat bangsa Arab jahiliyah dilarang melakukannya, karena menurut mereka kedudukan “anak angkat” sama dengan “anak kandung”.
     Kalau kata  khātaman-nabiyyīn hanya diartikan   penutup nabi-nabi   maka sama sekali tidak ada unsur  pembelaan  Allah Swt. terhadap Nabi Besar Muhammad saw., sebab tidak selamanya sesuatu yang kedudukannya  terakhir (penutup) berkonotasi  (bermakna) baik (positif).

Berbagai Makna Khātaman Nabiyyīn

    Khātam berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khātam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda.
      Kata khātam itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat, Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Maka kata khātaman nabiyyin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir yang membawa syariat.
       Sebagaimana telah diseinggung sebelumnya, di Mekkah pada waktu semua putra (anak laki-laki) Nabi Besar Muhammad saw. telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek beliau sebagai seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti karena ketiadaan ahliwaris lelaki itu untuk menggantikan beliau saw. maka jemaat beliau saw. (umat Islam) cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Muhith).
      Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir tersebut,  secara tegas Allah Swt. menyatakan dalam Surah Al-Kautsar bahwa bukan  Nabi Besar Muhammad saw.  melainkan musuh-musuh beliau saw. itulah yang  akan abtar (tidak akan berketurunan) --  baik dari segi jasmani maupun secara ruhani  -- karena banyak di antara keturunan jasmani  mereka yang mati dalam peperangan melawan Nabi Besar Muhammad saw., atau mereka itu beriman kepada beliau saw. serta menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad saw., contohnya Khalid bin Walid r.a., Ikrimah  r.a. anaknya Abu Jahal dll., firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾   فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsar [108]:1-4).
  
Berbagai  Makna “Al-Kautsar

     Kautsar antara lain berarti berlimpah-limpah kebaikan. Kautsar berarti pula  orang yang mempunyai banyak kebaikan dan orang yang banyak dan sering memberi (Al-Mufradat dan Tafsir Ibnu  Jarir). Surah ini mengemukakan  Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pribadi yang telah dianugerahi Allah Swt. kebaikan berlimpah-limpah.
     Surah ini diturunkan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.   pada saat ketika beliau saw. tidak memiliki apapun dan tidak punya sesuatu untuk diberikan. Ketika itu beliau saw. sangat miskin dan pengakuan beliau saw. sebagai nabi (rasul) Allah dipandang dengan hina dan sebagai sesuatu yang tidak perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.
 Bertahun-tahun lamanya sesudah Surah Al-Kautsar ini turun,  Nabi Besar Muhammad saw.  masih terus juga diperolok-olokkan dan ditertawakan, dilawan serta ditindas, dan pada akhirnya beliau saw. terpaksa  hijrah meninggalkan kota kelahiran beliau saw. sebagai seorang pelarian, dan telah dijanjikan hadiah bagi siapa yang berhasil menangkap beliau saw. dalam keadaan hidup atau mati. (QS.8:21).
 Selama beberapa tahun di Medinah pun jiwa  Nabi Besar Muhammad saw.   dalam keadaan bahaya dan musuh dengan tidak sabar menanti-nanti peluang untuk menyaksikan kesudahan Islam yang tragis (menyedihkan) dan cepat datangnya, yang menurut ukuran otak manusia memang bakal demikian terjadinya.
 Kemudian menjelang akhir hayat  Nabi Besar Muhammad saw.,   kebaikan yang berlimpah-limpah (al-Kautsar) dalam segala corak dan bentuk turun kepada beliau  saw. bagaikan air hujan, dan janji yang terkandung dalam Surah ini, telah menjadi sempurna secara harfiah, yakni yang abtar (terputus keturunannya) – baik secara jasmani mau pun secara ruhani – adalah musuh-musuh beliau saw..
“Pelarian” dari Mekkah itu telah menjadi orang yang menentukan nasib seluruh negeri Arab, dan sang putra padang pasir yang tidak dapat membaca dan menulis itu terbukti menjadi Guru Abadi seluruh umat manusia. Allah Swt. telah memberi beliau saw. sebuah Kitab (Al-Quran) yang merupakan petunjuk yang tidak mungkin gagal, untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang masa; dan dengan meresapkan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri beliau saw.,  Nabi Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat tertinggi, yakni kedekatan kepada Khaliq-nya (Allah Swt.), yang mungkin dapat dicapai oleh seorang manusia.
Nabi Besar Muhammad saw. dikaruniai sahabat-sahabat yang kesetiakawanan serta pengabdiannya tidak pernah ada tara bandingannya; dan ketika panggilan Al-Khāliq datang kepada beliau saw. agar meninggalkan dunia yang fana ini, beliau saw. merasa puas telah melaksanakan tugas suci yang diserahkan kepada beliau saw. dengan sepenuhnya dan sesempurna-sempurnanya (QS.33:73-74).
Pendek kata, segala macam kebaikan  -- baik bersifat kebendaan maupun moral -- telah dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  dalam ukuran (kadar) yang penuh. Oleh sebab itu beliaulah yang paling pantas disebut Nabi paling berhasil dari antara sekalian nabi(Encyclopaedia Britannica).

Yang Abtar (Terputus Keturunan) adalah
Para Penentang Nabi Besar Muhammad Saw.

  Adalah sangat bermakna bahwa dalam ayat ini musuh-musuh  Nabi Besar Muhammad saw.   telah disebut dengan kata-kata tegas bahwa mereka itu abtar (tidak mempunyai anak laki-laki), sedangkan menurut kenyataan sejarah sendiri, semua putra  Nabi Besar Muhammad saw. --  baik yang dilahirkan sebelum maupun sesudah ayat ini turun --  telah wafat dan beliau saw. tidak meninggalkan seorang pun putra. Hal itu menunjukkan bahwa kata abtar di sini hanya berarti: orang yang tidak mempunyai keturunan ruhani (putra-putra ruhani) dan bukan putra-putra jasmani seperti biasa dikatakan orang.
Pada hakikatnya, hal ini merupakan rencana Allah Swt. Sendiri bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  tidak akan meninggalkan anak laki-laki seorang pun, oleh karena beliau saw. telah ditakdirkan menjadi ayah ruhani berjuta-juta – bahkan milyar -- putra ruhani (QS.33:7) sepanjang masa sampai Akhir Zaman – yakni putra-putra ruhani yang akan jauh lebih setia, patuh-taat dan penuh cinta daripada putra-putra jasmani ayah mana pun.
 Jadi, bukan Nabi Besar Muhammad saw.    melainkan musuh-musuh beliau saw. lah yang akan abtar yakni mati tanpa berketurunan, sebab dengan masuknya putra-putra jasmani mereka ke dalam pangkuan Islam mereka itu telah menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad saw.  – termasuk di NKRI ini --    , dan mereka itu merasa malu dan merasa hina, bila asal-usul mereka itu dikaitkan kepada ayah jasmani yang melahirkan mereka sendiri, yang merupakan para penentang zalim  Rasul Allah, contohnya   Abu Jahal dkk.
 Nah, karena para penentang Nabi Besar Muhammad saw. sendiri – yakni Abu Jahal  dll. – yang menuduh beliau saw. seorang abtar  yang terputus keturunannya, oleh sebab itu bangsa Arab  hendaknya jangan  marah ketika  Surah Jumu’ah ayat 3-4 diwahyukan, dan Abu Hurairah r.a. menanyakan makna ayat:
وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ 
“Dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Jumu’ah [63]:3-5).
maka sambil  memegang sahabat Salman Farisi r.a. yang berkebangsaan Farsi (Iran) Nabi Besar Muhammad saw. menyatakan bahwa Rasul Akhir Zaman yang akan datang  -- walau pun berasal dari kalangan Ahli Bait Nabi Besar Muhammad saw. --  yakni keturunan Fatimah al-Zahra  r.a. dan Sahabah Ali bin Abi Thalib r.a.  dari jalur  Imam Hasan r.a. --  tetapi dari pihak laki-laki Rasul Akhir Zaman tersebut memiliki darah Farsi (Iran) seperti halnya sahabat Salman Farsi r.a., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang atas perintah Allah Swt. mendakwakan diri sebagai   Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) atau Rasul Akhir Zaman (QS.61:10), firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾  
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang  rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mere-ka Tanda-tanda-Nya,  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [63]:3-5).

 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 7 Mei  2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar