بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 120
Makna
“Khātaman Nabiyyīn” &
Tiga Pembelaan Berjenjang Allah Swt. Terhadap Kesucian
Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
pembatalan adat istiadat jahiliyah bangsa Arab
mengenaI larangan menikahi janda
anak-angkat, dengan alasan bahwa kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, firman-Nya:
وَ اِذۡ
تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ
عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ
اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ
مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی
النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا
وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا
یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
حَرَجٌ فِیۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا
قَضَوۡا مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ
اللّٰہِ مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang
yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: “Pertahankanlah terus istri engkau pada diri
engkau dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allah lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan
engkau dengan dia supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang
beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb [33]:38).
Ketaatan Zainab r.a. kepada Keinginan
Nabi Besar Muhammad Saw.
Karena semata-mata
menghormati keinginan Nabi Besar
Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah dijadikan “anak
angkat” oleh Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan
sekali-kali tidak layak bagi
laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka
menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb
[33]:37).
Tersurat di dalam riwayat bahwa Zainab r.a.
dan kakaknya telah berhasrat sebelum
beliau menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a., agar beliau diperistri
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri. Apakah kiranya yang menghambat Nabi Besar Muhammad saw. memperistri
beliau ketika beliau masih gadis dan
beliau sendiri mengharapkan diperistri
oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
Jadi, seluruh peristiwa itu
nampaknya jelas merupakan rekaan “yang
kaya” dayacipta para kritikus yang tid ak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw., dan mempercayai
hal itu merupakan suatu penghinaan
terhadap akal sehat manusia.
Dengan demikian benarlah firman
Allah Swt. selanjutnya mengenai kesiapan
Nabi Besar Muhammad saw. untuk melaksanakan kehendak
Allah Swt., bagaimana pun beratnya
resiko fitnah yang mungkin timbul
dari pernikahan beliau saw. dengan
Zainab r.a., bekas istri (janda) Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah menjadi anak
angkat beliau saw. tersebut, firman-Nya:
مَا کَانَ
عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا
اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی
بِاللّٰہِ حَسِیۡبًا ﴿﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang
telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah,
dan cukuplah Allah sebagai Penghisab.
(Ahzāb
[33]:39-40).
Yang
diisyaratkan dalam kata-kata itu ialah pernikahan
Nabi Besar Muhammad saw. dengan Zainab r.a.. Kata-kata itu menunjukkan bahwa pernikahan beliau saw.
tersebut terjadi dalam menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya.
Makna “Khātaman Nabiyyīn” &
Tiga
Macam Pembelaan Berjenjang Allah Swt.
Sebagaimana telah diduga
sebelumnya oleh Nabi Besar Muhammad saw., maka berbagai fitnah dan hujatan pun
dilemparkan oleh para pemimpin kaum kafir Mekkah, dan dengan pernikahan yang
“menghebohkan” kalangan bangsa Arab
jahiliyah tersebut mereka mereka merasa mendapat tambahan “amunisi” dalam mendustakan, menentang serta menzalimi
pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw., bahwa beliau saw. telah melanggar adat-istiadat
bangsa Arab berkenaan dengan bekas istri (janda) anak-angkat.
Terhadap hujatan tersebut Allah Swt. mengemukakan pembelaan-Nya kepada Nabi
Besar Muhammad saw., firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad bukanlah bapak salah
seorang laki-laki di antara laki-laki
kamu, akan
tetapi ia adalah Rasul Allah
dan khātaman Nabiyyīn dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41).
Dalam firman-Nya tersebut Allah Swt.
mengemukakan tiga alasan yang
menggugurkan secara telak tuduhan dusta para pemimpin kaum kafir Quraisy atau para
pemimpin bangsa Arab jahiliyah, yakni:
(1) مَا کَانَ
مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ مِّنۡ
رِّجَالِکُمۡ -- “Muhammad bukanlah bapak salah seorang
laki-laki di antara laki-laki kamu”, yakni: “Hai para penentang, kalian sendiri
menjadi saksi bahwa semua anak laki-laki Rasulullah saw. wafat pada waktu masih kecil, sehingga kalian sendiri telah menuduh beliau saw. sebagai seorang “abtar” (yang terputus keturunannya - QS.108:104), dengan demikian Rasulullah
saw. tidak memiliki hubungan darah
dengan seorang laki-laki bangsa Arab
mana pun, termasuk dengan Zaid bin
Haritsah, karena ia hanyalah seorang bekas “anak angkat”. Karena itu dalam pernikahan
Rasulullah saw. dengan Zainab – janda anak-angkatnya -- tersebut tidak ada kesalahan
serta tidak ada mudarat apa pun yang
dilakukan oleh Rasulullah saw.”
(2)
وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ -- “akan
tetapi ia adalah Rasul Allah”, yakni
Nabi Muhammad saw. bukan seorang “bapak jasmani” seorang laki-laki bangsa Arab
manapun melainkan kedudukannya sebagai Rasul Allah merupakan “bapak
ruhani” semua orang beriman, yang
mencakup bangsa-bangsa yang
bukan-Arab karena beliau saw. merupakan
rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108-109; QS.25:2;
QS.34:29), dan istri-istrinya
merupakan ummul-mukminin (ibu orang-orang beriman - QS.33:7).
(3)
وَ
خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ - “dan khātaman Nabiyyīn”, yakni ia bukan hanya sekedar seorang Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna
untuk seluruh umat manusia (QS.5:4), bahkan Muhammad saw. adalah satu-satunya Rasul Allah yang bergelar khātaman Nabiyyīn yakni Cap
atau Segel atau Meterai Nabi-nabi atau nabi Allah yang paling mulia dan paling absah kenabiannya,
sehingga sangat mustahil baginya
melakukan kekeliruan dalam hal menikahi Zainab r.a. tersebut.
Itulah tiga macam pembelaan
Allah Swt. yang tak terbantahkan terhadap berbagai tuduhan dusta dan fitnah
yang dilontarkan para pemimpin bangsa Arab Jahiliyah berkenaan dengan pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.
dengan Zainab r.a., janda dari
Zaid bin Haritsah r.a., yang menurut
adat istiadat bangsa Arab jahiliyah dilarang melakukannya, karena menurut
mereka kedudukan “anak angkat” sama
dengan “anak kandung”.
Kalau kata khātaman-nabiyyīn
hanya diartikan penutup nabi-nabi maka sama sekali tidak ada unsur pembelaan
Allah Swt. terhadap Nabi Besar
Muhammad saw., sebab tidak selamanya sesuatu yang kedudukannya terakhir
(penutup) berkonotasi (bermakna) baik (positif).
Berbagai Makna Khātaman Nabiyyīn
Khātam
berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan
atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua
ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi
apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah
tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khātam
berarti juga sebentuk cincin stempel;
sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian
terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda.
Kata khātam itu pun
berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna.
Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat, Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Maka kata khātaman
nabiyyin akan berarti: meterai para
nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan
nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi
terakhir yang membawa syariat.
Sebagaimana telah diseinggung
sebelumnya, di Mekkah pada waktu semua putra (anak laki-laki) Nabi Besar Muhammad
saw. telah meninggal dunia semasa
masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek
beliau sebagai seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang
berarti karena ketiadaan ahliwaris lelaki
itu untuk menggantikan beliau saw. maka jemaat
beliau saw. (umat Islam) cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Muhith).
Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir tersebut, secara tegas Allah Swt. menyatakan dalam Surah
Al-Kautsar bahwa bukan Nabi
Besar Muhammad saw. melainkan
musuh-musuh beliau saw. itulah yang akan abtar
(tidak akan berketurunan) -- baik dari segi jasmani maupun secara ruhani -- karena
banyak di antara keturunan jasmani mereka yang mati dalam peperangan
melawan Nabi Besar Muhammad saw., atau mereka itu beriman kepada beliau saw. serta menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad saw., contohnya Khalid bin Walid r.a., Ikrimah
r.a. anaknya Abu Jahal dll.,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ
الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau
berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa
keturunan. (Al-Kautsar [108]:1-4).
Berbagai Makna “Al-Kautsar”
Kautsar antara
lain berarti berlimpah-limpah kebaikan. Kautsar berarti pula orang yang mempunyai banyak kebaikan dan orang yang banyak dan
sering memberi (Al-Mufradat dan Tafsir Ibnu
Jarir). Surah
ini mengemukakan Nabi Besar Muhammad
saw. sebagai pribadi yang telah dianugerahi
Allah Swt. kebaikan berlimpah-limpah.
Surah ini diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. pada
saat ketika beliau saw. tidak
memiliki apapun dan tidak punya sesuatu untuk diberikan. Ketika itu beliau saw.
sangat miskin dan pengakuan beliau saw.
sebagai nabi (rasul) Allah dipandang
dengan hina dan sebagai sesuatu yang
tidak perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.
Bertahun-tahun lamanya sesudah Surah Al-Kautsar ini turun, Nabi
Besar Muhammad saw. masih terus juga
diperolok-olokkan dan ditertawakan, dilawan serta ditindas, dan pada akhirnya
beliau saw. terpaksa hijrah meninggalkan kota kelahiran
beliau saw. sebagai seorang pelarian,
dan telah dijanjikan hadiah bagi siapa
yang berhasil menangkap beliau saw. dalam keadaan hidup atau mati. (QS.8:21).
Selama beberapa tahun di Medinah pun jiwa Nabi Besar Muhammad saw. dalam
keadaan bahaya dan musuh dengan tidak
sabar menanti-nanti peluang untuk menyaksikan kesudahan Islam yang tragis (menyedihkan) dan cepat datangnya, yang
menurut ukuran otak manusia memang bakal demikian terjadinya.
Kemudian menjelang akhir hayat Nabi Besar Muhammad saw., kebaikan
yang berlimpah-limpah (al-Kautsar) dalam
segala corak dan bentuk turun kepada beliau saw. bagaikan air hujan, dan janji yang terkandung dalam Surah ini,
telah menjadi sempurna secara harfiah, yakni yang abtar (terputus keturunannya)
– baik secara jasmani mau pun secara ruhani – adalah musuh-musuh beliau saw..
“Pelarian” dari Mekkah itu telah menjadi orang yang menentukan nasib seluruh negeri Arab,
dan sang putra padang pasir yang
tidak dapat membaca dan menulis itu terbukti menjadi Guru Abadi seluruh umat manusia. Allah Swt.
telah memberi beliau saw. sebuah Kitab
(Al-Quran) yang merupakan petunjuk
yang tidak mungkin gagal, untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang masa; dan dengan meresapkan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri beliau
saw., Nabi Besar Muhammad saw. telah
mencapai martabat tertinggi, yakni kedekatan kepada Khaliq-nya (Allah Swt.), yang mungkin dapat dicapai oleh seorang
manusia.
Nabi Besar Muhammad saw. dikaruniai sahabat-sahabat yang kesetiakawanan
serta pengabdiannya tidak pernah ada
tara bandingannya; dan ketika panggilan Al-Khāliq
datang kepada beliau saw. agar meninggalkan dunia
yang fana ini, beliau saw. merasa puas
telah melaksanakan tugas suci yang
diserahkan kepada beliau saw. dengan
sepenuhnya dan sesempurna-sempurnanya (QS.33:73-74).
Pendek kata, segala macam kebaikan -- baik bersifat kebendaan maupun moral -- telah dilimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. dalam ukuran (kadar) yang penuh. Oleh sebab itu beliaulah yang paling pantas disebut “Nabi paling berhasil dari antara sekalian
nabi” (Encyclopaedia Britannica).
Yang Abtar (Terputus Keturunan)
adalah
Para Penentang Nabi Besar Muhammad Saw.
Adalah
sangat bermakna bahwa dalam ayat ini musuh-musuh Nabi Besar Muhammad saw. telah
disebut dengan kata-kata tegas bahwa mereka itu abtar (tidak mempunyai
anak laki-laki), sedangkan menurut kenyataan sejarah sendiri, semua putra Nabi Besar Muhammad saw. -- baik yang dilahirkan sebelum maupun sesudah
ayat ini turun -- telah wafat dan beliau saw. tidak meninggalkan seorang pun putra.
Hal itu menunjukkan bahwa kata abtar di sini hanya berarti: orang yang tidak mempunyai keturunan ruhani
(putra-putra ruhani) dan bukan putra-putra
jasmani seperti biasa dikatakan orang.
Pada hakikatnya, hal ini merupakan rencana Allah Swt. Sendiri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak akan meninggalkan anak laki-laki seorang pun, oleh karena beliau saw. telah
ditakdirkan menjadi ayah ruhani
berjuta-juta – bahkan milyar -- putra
ruhani (QS.33:7) sepanjang masa sampai Akhir
Zaman – yakni putra-putra ruhani
yang akan jauh lebih setia, patuh-taat dan penuh cinta daripada putra-putra jasmani ayah mana pun.
Jadi, bukan Nabi Besar
Muhammad saw. melainkan
musuh-musuh beliau saw. lah yang akan abtar yakni mati tanpa berketurunan, sebab dengan masuknya putra-putra jasmani mereka ke dalam pangkuan Islam mereka itu telah menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad saw. – termasuk di NKRI ini -- , dan mereka itu merasa malu dan merasa
hina, bila asal-usul mereka itu dikaitkan kepada ayah jasmani yang
melahirkan mereka sendiri, yang merupakan para
penentang zalim Rasul Allah, contohnya
Abu Jahal dkk.
Nah, karena para penentang
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri – yakni Abu Jahal dll. – yang menuduh beliau saw. seorang abtar
yang terputus keturunannya, oleh
sebab itu bangsa Arab hendaknya jangan marah ketika
Surah Jumu’ah ayat 3-4 diwahyukan, dan Abu Hurairah r.a. menanyakan
makna ayat:
وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا
یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
“Dan juga
akan membangkitkannya pada kaum lain
dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Jumu’ah [63]:3-5).
maka sambil memegang sahabat Salman Farisi r.a. yang berkebangsaan Farsi (Iran) Nabi Besar Muhammad saw. menyatakan bahwa Rasul
Akhir Zaman yang akan datang --
walau pun berasal dari kalangan Ahli Bait Nabi Besar Muhammad saw.
-- yakni keturunan Fatimah
al-Zahra r.a. dan Sahabah Ali bin Abi Thalib r.a. dari jalur
Imam Hasan r.a. --
tetapi dari pihak laki-laki Rasul
Akhir Zaman tersebut memiliki darah
Farsi (Iran) seperti halnya sahabat Salman
Farsi r.a., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang atas
perintah Allah Swt. mendakwakan diri sebagai
Al-Masih Mau’ud a.s.
atau misal Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58) atau Rasul Akhir Zaman (QS.61:10), firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah
membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang
membacakan kepada mere-ka Tanda-tanda-Nya,
mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan juga akan
membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu
dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Itulah
karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [63]:3-5).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar