Sabtu, 11 Mei 2013

Kesempurnaan "Daya Pikul" Nabi Besar Muhammad Saw, Mengemban Beratnya "Amanat" (Syariat) Terakhir dan Tersempurna





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 118



  Kesempurnaan Daya Pikul 
Nabi Besar Muhammad Saw. Mengemban  Beratnya Amanat (Syariat) Terakhir dan Tersempurna

 Oleh

  Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pembatalan  adat istiadat jahiliyah bangsa Arab  mengenai keseteraan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, firman-Nya:
مَا جَعَلَ اللّٰہُ  لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَزۡوَاجَکُمُ الِّٰٓیۡٔ  تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَدۡعِیَآءَکُمۡ  اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ  وَ ہُوَ  یَہۡدِی  السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ  اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ  اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ  ۙ  وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu  yang kamu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu  adalah ibu-ibu kamu yang hakiki, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu  sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.   Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu  mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu diminta pertanggung-jawaban atas apa yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Al-Ahzāb [33]:5-6).
    Ad’iya adalah bentuk jamak dari da’iy dan berarti:  seorang yang diaku anak oleh orang lain yang bukan ayahnya sendiri, anak angkat; orang yang asal-usulnya atau silsilah keturunannya atau orangtuanya diragukan; seseorang yang mengaitkan silsilah keturunannya kepada orang-orang yang bukan bapaknya sendiri yang sejati (Lexicon Lane).
Ayat-ayat ini berikhtiar menghapuskan dua macam adat-kebiasaan yang mendarah daging dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Arab di zaman Nabi Besar Muhammad saw.. Yang paling buruk dari antara kedua macam adat-kebiasaan itu ialah zhihar. Seorang suami dalam keadaan naik darah, biasa menyebut ibu kepada istrinya. Perempuan  yang malang itu diluputkan dari hak-haknya sebagai istri, namun demikian ia tetap terikat kepada suami tanpa mempunyai hak menikah dengan orang lain untuk jadi suaminya.
    Adat-kebiasaan yang lain ialah kebiasaan mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Kebiasaan ini kecuali dikhawatirkan menyebabkan kekalutan dalam hubungan darah, juga merupakan suatu kebiasaan kekanak-kanakan dan dungu. Alasan bagi penghapusan kedua kebiasaan itu dirangkum dalam kata-kata  Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dadanya.

Adat Istiadat Jahiliyah Bertentangan
dengan Fitrat Hati  Manusia

     Hati manusia dipahami sebagai tempat bersemayam keharuan-keharuan dan perasaan-perasaan. Hati hanya dapat melayani satu macam keharuan pada suatu saat tertentu. Keharuan-keharuan yang bertentangan tidak mungkin dilayani oleh hati secara serentak pada waktu yang bersamaan. Lagi pula hubungan-hubungan manusiawi yang berbedaan memancing keharuan yang berlain-lainan.
   Hanya semata-mata menyebut istrinya ibu sendiri atau menyebut seorang asing anaknya tidak dapat memancing keharuan yang serasi di dalam hati. Istri seseorang tidak mungkin menjadi ibunya dan begitu pula seorang orang asing tidak mungkin menjadi anak kandungnya. Kata-kata yang keluar dari mulut semata-mata tidaklah dapat mengubah keadaan hati si pengucap kata-kata itu, begitu pula kata-kata itu tidaklah dapat mengubah kenyataan-kenyataan yang tidak dapat disembunyikan, mengenai hubungan jasmani.
     Jadi, dalam ajaran Islam tidak  diperkenankan melakukan adopsi  yakni menjadikan  anak orang lain menjadi  seperti anak kandung sendiri, sebagaimana firman-Nya:
اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ  اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ
Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu….” (Al-Ahzāb [33]:6).
   Setelah Allah Swt. membatalkan adat-istiadat jahiliyah mengenai kesetaraan kedudukan anak-angkat dengan anak kandung,  selanjutnya Allah Swt. berkehendak menghapuskan adat-istiadat jahiliyah  lainnya, yaitu mengenai larangan “ayah-angkat” menikahi “janda anak angkat” yang harus dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad saw. melalui amal   beliau saw..
      Oleh karena itu  benar-benar sangat  berat   amanat syariat Islam (Al-Quran) yang dipikulkan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw., karena masalah-masalah yang sangat rawan menimbulkan fitnah pun  harus beliau saw. laksanakan, dalam hal ini adalah  menghapuskan adat-istiadat jahiliyah    mengenai larangan  ayah-angkat  menikahi  janda anak angkat, firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾  لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki   dan   perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzāb [33]:73-74).

Kesempurnaan “Daya Pikul” Nabi Besar Muhammad Saw. &
Hakikat  Permintaan  Nabi Musa a.s. Ingin “Melihat Allah Swt.”

      Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lane).
     (1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31; QS.51:57). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya.
    Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu. Manusia (insan) menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa (jahul),  dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
    (2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw.,  maka ayat ini akan berarti bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah beliau saw.   sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran (QS.5:4),  sebab tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
      (3) Kalau kata hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
   Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya (zhalum) dan mengabaikan serta tidak mempedulikan (jahul) terhadap tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.
     Mengisyaratkan kepada kenyataan itu pulalah makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam suatu peristiwa  ruhani,  ketika Allah Swt. melakukan tajjaliyat-Nya (menampakkan keagungan-Nya) kepada gunung   dalam rangka menjawab keinginan Nabi  Musa a.s. ingin “melihat” Allah Swt.,  yakni ingin mengetahui keagungan Nabi Besar Muhammad saw. yang kedatangannya dijanjikan dari kalangan Bani Isma’il, yang kepadanya Allah Swt. mengamanatkan “seluruh kebenaran  (Ulangan 18:15-19), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).

Hakikat “Pingsannya” Nabi Musa a.s.

   Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan  Allah Swt.  dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat bahwa  Allah Swt.  dapat disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104). Jangankan melihat Allah Swt.  dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka.
     Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan)  Allah Swt.   sajalah yang dapat kita saksikan, tetapi  Allah Swt. sendiri tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s.  dengan segala makrifat mengenai sifat-sifat  Allah Swt.   akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
    Nabi Musa a.s.  mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan kekuasaan)   Allah Swt.,  dan bukan Wujud-Nya Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli  Allah Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (28:30). Jadi  apa gerangan maksud Musa a.s. dengan perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampakkanlah  kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
     Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna   Allah Swt.  yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad saw.  beberapa masa kemudian. Nabi Musa a.s.  diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil akan muncul seorang nabi yang di mulutnya Tuhan akan meletakkan Kalam-Nya (Kitab Ulangan 18:18-22).
     Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s.,  karena itu beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt.  yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan itu. Nabi Musa a.s.,   berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.
      Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya,  tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, tetapi  Nabi Musa a.s.,  memilih gunung untuk bertajalli. Dalam peristiwa ruhani tersebut gunung itu berguncang dengan hebat  serta nampak  seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. --  karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu -- rebah tidak sadarkan diri (pingsan).
       Dengan cara demikian  Nabi Musa a.s.  dibuat sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat  Allah Swt.   bertajalli sebagaimana dimohonkan beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, Baginda Nabi Muhammad saw..
     Dengan kata lain, seandainya syariat Islam (Al-Quran)  -- yang merupakan syariat yang terakhir dan tersempurna – diberikan kepada Nabi Musa a.s. untuk melaksanakannya maka Nabi Musa a.s. tidak akan mampu mengamalkannya secara sempurna sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad saw..   Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah pernyataan Allah Swt. melalui sabda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus)   mengenai  kedatangan  Roh Kebenaran  yang akan membawa “segala kebenaran”:
Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila  Ia datang,  yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes 16:12-13)
      Berdasarkan pernyataan Allah Swt. melalui lidah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) tersebut dapat diketahui bahwa kedatangan (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran) paling belakang bukan seperti kelahiran "anak bungsu" -- sebagaimana umumnya orang salah memahami -- melainkan karena agama Islam merupakan puncak dari proses penyempurnaan hukum-hukum syariat yang dimulai dari para rasul Allah  pembawa syariat-syariat sebelumnya. 
      Itulah sebabnya kalau sebelum masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. syariat Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat (Kitab suci) terakhir dan tersempurna --  diturunkan kepada para Rasul Allah serta kepada kaum-kaum para Rasul Allah tersebut, termasuk Nabi Musa a.a. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  maka mereka tidak akan mampu "memikulnya" atau mengamalkannya, karena sama seperti misalnya kurikulum untuk para mahasiswa di tingkat Universitas (Perguruan Tinggi) diberikan kepada   para siswa tingkatan SD atau SLTP  atau SLTA.

Nabi Musa  a.s. Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

     Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir (QS.2:56). Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak. Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti Nabi Musa a.s.  telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan itu. 
    Itulah sebabnya  berdasarkan pengalaman ruhani tersebut  Nabi Musa a.s. langsung menyatakan sebagai  orang pertama yang beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan Allah SWt. akan dicapai oleh Nabi Besar  Muhammad saw.,  yang merupakan misal beliau tersebut. Keimanan Nabi Musa a.s.   kepada Nabi Besar Muhammad saw.   itu telah disinggung juga dalam QS.46:11 berkenaan dengan kedatangan “Nabi yang seperti Musa”, sesuai dengan nubuatan dalam Bible (Ulangan 18:15-19).  Gunung  tersebut sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu. Lihat Keluaran 24:18.
      Dari sekian banyak ajaran (hukum) Islam (Al-Quran) yang  apabila dilaksanakan oleh Nabi Musa a.s. beliau tidak akan mampu memperagakannya sebagai “suri teladan terbaik”, salah satu contohnya adalah masalah-masalah  yang berkaitan dengan pernikahan  atau masalah rumahtangga, yang terbukti telah dapat dilaksanakan secara sempurna oleh Nabi Besar Muhammad saw..
   Salah satu dari sekian  banyak yang berkaitan dengan masalah pernikahan menurut ajaran Islam (Al-Quran)  yang sangat rawan  menimbulkan fitnah adalah  masalah pembatalan adat istiadat jahiliyah mengenai larangan seorang ayah angkat menikahi janda (mantan istri)  anak angkatnya.     
   Jadi, kembali kepada masalah penikahan   Zainab r.a. dengan Zaid bin Haristah r.a., dan kepada keinginan  Zaid bin Haritsah r.a. untuk menceraikan istrinya tersebut, Allah Swt. berfirman:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan engkau dengan dia  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.   (Al-Ahzāb [33]:38).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 5 Mei  2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar