بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 118
Kesempurnaan Daya Pikul
Nabi Besar Muhammad Saw. Mengemban Beratnya Amanat
(Syariat) Terakhir dan Tersempurna
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pembatalan adat istiadat jahiliyah bangsa Arab mengenai keseteraan
kedudukan anak angkat dengan anak kandung, firman-Nya:
مَا جَعَلَ
اللّٰہُ لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ
جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ اَزۡوَاجَکُمُ
الِّٰٓیۡٔ تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ
ۚ وَ مَا جَعَلَ اَدۡعِیَآءَکُمۡ اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ
بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ
وَ ہُوَ یَہۡدِی السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ
تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ
لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ
اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ ۙ وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ
وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu yang
kamu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu adalah ibu-ibu
kamu yang hakiki, dan Dia
tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Panggillah
mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.
Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak
mereka maka mereka adalah
saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu
diminta pertanggung-jawaban atas apa
yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:5-6).
Ad’iya adalah bentuk jamak dari da’iy
dan berarti: seorang yang diaku anak
oleh orang lain yang bukan ayahnya sendiri, anak angkat; orang yang
asal-usulnya atau silsilah keturunannya atau orangtuanya diragukan; seseorang
yang mengaitkan silsilah keturunannya kepada orang-orang yang bukan bapaknya
sendiri yang sejati (Lexicon Lane).
Ayat-ayat
ini berikhtiar menghapuskan dua macam
adat-kebiasaan yang mendarah daging
dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Arab di zaman Nabi Besar Muhammad
saw.. Yang paling buruk dari antara kedua macam adat-kebiasaan itu ialah zhihar.
Seorang suami dalam keadaan naik darah, biasa menyebut ibu kepada istrinya.
Perempuan yang malang itu diluputkan
dari hak-haknya sebagai istri, namun demikian ia tetap terikat kepada suami
tanpa mempunyai hak menikah dengan orang lain untuk jadi suaminya.
Adat-kebiasaan yang lain ialah
kebiasaan mengangkat anak orang lain
sebagai anak sendiri. Kebiasaan ini
kecuali dikhawatirkan menyebabkan kekalutan
dalam hubungan darah, juga merupakan
suatu kebiasaan kekanak-kanakan dan dungu. Alasan bagi penghapusan kedua kebiasaan itu dirangkum dalam kata-kata Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua
buah hati dalam dadanya.
Adat Istiadat Jahiliyah Bertentangan
dengan Fitrat Hati Manusia
Hati manusia
dipahami sebagai tempat bersemayam keharuan-keharuan
dan perasaan-perasaan. Hati hanya
dapat melayani satu macam keharuan
pada suatu saat tertentu. Keharuan-keharuan
yang bertentangan tidak mungkin dilayani oleh hati secara serentak pada waktu yang bersamaan. Lagi pula hubungan-hubungan manusiawi yang
berbedaan memancing keharuan yang
berlain-lainan.
Hanya semata-mata menyebut
istrinya ibu sendiri atau menyebut seorang asing anaknya tidak dapat memancing keharuan
yang serasi di dalam hati. Istri
seseorang tidak mungkin menjadi ibunya
dan begitu pula seorang orang asing
tidak mungkin menjadi anak kandungnya.
Kata-kata yang keluar dari mulut semata-mata tidaklah dapat mengubah keadaan
hati si pengucap kata-kata itu, begitu pula kata-kata itu tidaklah dapat
mengubah kenyataan-kenyataan yang tidak dapat disembunyikan, mengenai hubungan
jasmani.
Jadi, dalam ajaran Islam tidak
diperkenankan melakukan adopsi yakni menjadikan anak
orang lain menjadi seperti anak kandung sendiri, sebagaimana
firman-Nya:
اُدۡعُوۡہُمۡ
لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ اَقۡسَطُ عِنۡدَ
اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ
وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ
“Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka
maka mereka adalah saudara-saudara kamu
dalam agama dan sahabat-sahabat kamu….” (Al-Ahzāb
[33]:6).
Setelah Allah Swt. membatalkan adat-istiadat jahiliyah mengenai kesetaraan kedudukan anak-angkat dengan anak kandung, selanjutnya
Allah Swt. berkehendak menghapuskan adat-istiadat
jahiliyah lainnya, yaitu mengenai larangan “ayah-angkat” menikahi “janda anak angkat” yang harus
dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad saw. melalui amal beliau saw..
Oleh karena itu benar-benar sangat berat
amanat syariat Islam (Al-Quran) yang dipikulkan
Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw., karena masalah-masalah yang sangat rawan menimbulkan fitnah pun harus beliau saw.
laksanakan, dalam hal ini adalah
menghapuskan adat-istiadat
jahiliyah mengenai larangan ayah-angkat menikahi
janda anak angkat, firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ
اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ
وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya
enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya,
akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik
lelaki dan orang-orang munafik
perempuan, dan orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang
musyrik perempuan, dan
Allah senantiasa kembali dengan kasih
sayang kepada orang-orang lelaki
dan perempuan-perempuan yang beriman, dan Allah adalah Maha Pengampun,
Maha Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:73-74).
Kesempurnaan “Daya Pikul” Nabi Besar Muhammad Saw.
&
Hakikat Permintaan
Nabi Musa a.s. Ingin “Melihat
Allah Swt.”
Hamala al-amānata
berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati
amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang
adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda
itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri
dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul
adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti lalai, dungu, dan alpa (Lane).
(1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk
meresapkan dan menjelmakan di dalam
dirinya sifat-sifat Ilahi untuk
menayang citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31; QS.51:57). Sungguh
inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat
raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda
lainnya — para malaikat, seluruh langit
(planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat
menandinginya.
Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu. Manusia (insan)
menerima tanggungjawab ini sebab
hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya
terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam
pengertian bahwa ia dapat aniaya
terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun
dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya,
dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa (jahul), dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia
dapat mengabaikan kepentingan pribadinya
dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran
dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad
saw., maka ayat ini akan berarti bahwa
dari semua penghuni seluruh langit
dan bumi, hanyalah beliau saw. sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat
Al-Quran (QS.5:4), sebab tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan
sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan
atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit.
Mereka itu semua — kecuali manusia —
menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu
sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum
itu mereka harus tunduk.
Seluruh alam setia kepada
hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia
dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia
saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan
bertindak dan berkemauan mau juga
mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya (zhalum) dan mengabaikan
serta tidak mempedulikan (jahul)
terhadap tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh
QS.41:12.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalah makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. dalam suatu peristiwa ruhani, ketika
Allah Swt. melakukan tajjaliyat-Nya (menampakkan
keagungan-Nya) kepada gunung dalam rangka menjawab keinginan Nabi Musa a.s.
ingin “melihat” Allah Swt., yakni ingin mengetahui keagungan Nabi Besar Muhammad saw. yang kedatangannya dijanjikan dari kalangan Bani Isma’il,
yang kepadanya Allah Swt. mengamanatkan “seluruh
kebenaran” (Ulangan 18:15-19),
firman-Nya:
وَ لَمَّا
جَآءَ مُوۡسٰی
لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ
وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ اِلَی
الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا
تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ
جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی
صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ
سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala
Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap
dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku,
perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman:
“Engkau tidak akan pernah dapat
melihat-Ku tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya maka engkau
pasti akan dapat melihat-Ku.”
Maka tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada gunung itu
Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia
sadar kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya
di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
Hakikat “Pingsannya” Nabi Musa a.s.
Ayat
ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi
seseorang menyaksikan Allah Swt. dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat
bahwa Allah Swt. dapat
disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104). Jangankan melihat Allah Swt. dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka.
Begitu pula hanya tajalli
(penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah
yang dapat kita saksikan, tetapi Allah
Swt. sendiri tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi
yang besar seperti Nabi Musa a.s. dengan
segala makrifat mengenai sifat-sifat Allah Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang
mustahil.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat
menyaksikan Tajalli (penampakkan
kekuasaan) Allah Swt.,
dan bukan Wujud-Nya Sendiri.
Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah Swt. dalam bentuk “api”
dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (28:30). Jadi apa gerangan maksud Musa a.s. dengan
perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampakkanlah
kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
Permohonan itu nampaknya
mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna Allah
Swt. yang kelak akan menjelma pada diri Nabi
Besar Muhammad saw. beberapa
masa kemudian. Nabi Musa a.s. diberi
janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil akan muncul
seorang nabi yang di mulutnya Tuhan akan meletakkan Kalam-Nya (Kitab Ulangan
18:18-22).
Nubuatan ini berkenaan dengan
suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi
Musa a.s., karena itu beliau dengan
sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan
Allah Swt. yang akan tampak
dalam tajalli yang dijanjikan itu. Nabi Musa a.s., berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan
itu, ada yang dapat diperlihatkan
kepada beliau.
Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa
Tajalli ini berada di luar batas kemampuan
beliau untuk menanggungnya, tajalli itu
tidak akan dapat terjelma pada hati
beliau, tetapi Nabi Musa a.s., memilih gunung
untuk bertajalli. Dalam peristiwa ruhani tersebut gunung itu berguncang
dengan hebat serta nampak seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. -- karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu -- rebah
tidak sadarkan diri (pingsan).
Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. dibuat sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat
beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat
Allah Swt. bertajalli
sebagaimana dimohonkan beliau.
Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, Baginda Nabi Muhammad saw..
Dengan kata lain, seandainya
syariat Islam (Al-Quran) -- yang
merupakan syariat yang terakhir dan tersempurna – diberikan kepada Nabi Musa
a.s. untuk melaksanakannya maka Nabi Musa a.s. tidak akan mampu mengamalkannya secara sempurna sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar
Muhammad saw.. Mengisyaratkan kepada kenyataan
itulah pernyataan Allah Swt. melalui sabda
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) mengenai
kedatangan “Roh Kebenaran” yang akan
membawa “segala kebenaran”:
Masih banyak hal yang harus
Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.
Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran,
Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya
sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes
16:12-13)
Berdasarkan pernyataan Allah Swt. melalui lidah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) tersebut dapat diketahui bahwa kedatangan (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran) paling belakang bukan seperti kelahiran "anak bungsu" -- sebagaimana umumnya orang salah memahami -- melainkan karena agama Islam merupakan puncak dari proses penyempurnaan hukum-hukum syariat yang dimulai dari para rasul Allah pembawa syariat-syariat sebelumnya.
Itulah sebabnya kalau sebelum masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. syariat Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat (Kitab suci) terakhir dan tersempurna -- diturunkan kepada para Rasul Allah serta kepada kaum-kaum para Rasul Allah tersebut, termasuk Nabi Musa a.a. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. maka mereka tidak akan mampu "memikulnya" atau mengamalkannya, karena sama seperti misalnya kurikulum untuk para mahasiswa di tingkat Universitas (Perguruan Tinggi) diberikan kepada para siswa tingkatan SD atau SLTP atau SLTA.
Nabi Musa a.s. Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Mungkin pula permohonan Nabi Musa
a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah
Swt. dengan mata lahir (QS.2:56). Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar
biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak
layak. Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan
aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti Nabi Musa a.s. telah
sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna
Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan
itu.
Itulah sebabnya berdasarkan pengalaman ruhani tersebut Nabi Musa a.s. langsung menyatakan sebagai orang pertama yang beriman
kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan Allah SWt. akan dicapai oleh Nabi
Besar Muhammad saw., yang merupakan misal beliau tersebut. Keimanan Nabi Musa a.s. kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu
telah disinggung juga dalam QS.46:11 berkenaan dengan kedatangan “Nabi yang seperti Musa”, sesuai dengan
nubuatan dalam Bible (Ulangan 18:15-19). Gunung
tersebut sebenarnya tidak hancur-lebur.
Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi
(kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa
bumi itu. Lihat Keluaran
24:18.
Dari sekian banyak ajaran (hukum)
Islam (Al-Quran) yang apabila
dilaksanakan oleh Nabi Musa a.s. beliau tidak akan mampu memperagakannya sebagai
“suri teladan terbaik”, salah satu
contohnya adalah masalah-masalah yang
berkaitan dengan pernikahan atau masalah rumahtangga, yang terbukti telah dapat dilaksanakan secara sempurna oleh Nabi Besar Muhammad saw..
Salah satu dari sekian banyak yang berkaitan dengan masalah pernikahan menurut ajaran Islam
(Al-Quran) yang sangat rawan menimbulkan fitnah adalah masalah pembatalan adat istiadat jahiliyah
mengenai larangan seorang ayah angkat menikahi janda (mantan istri) anak
angkatnya.
Jadi, kembali kepada masalah penikahan Zainab r.a. dengan Zaid bin Haristah r.a., dan kepada
keinginan Zaid bin Haritsah r.a. untuk menceraikan istrinya tersebut, Allah
Swt. berfirman:
وَ اِذۡ
تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ
عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ
اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ
مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی
النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا
وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا
یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ فِیۡۤ
اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ
اِذَا قَضَوۡا مِنۡہُنَّ
وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang
yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: “Pertahankanlah terus istri engkau pada diri
engkau dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allah lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan
engkau dengan dia supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang
beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb [33]:38).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy
Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 5 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar