Minggu, 12 Mei 2013

Menghapus "Adat Istiadat Jahiliyah" Arabia tentang Larangan Menikahi "Janda Anak Angkat"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 119


  Menghapus Adat Istiadat Jahiliyah Arabia tentang Larangan Menikahi Janda Anak Angkat

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pembatalan  adat istiadat jahiliyah bangsa Arab  mengenai kesetaraan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, firman-Nya:
مَا جَعَلَ اللّٰہُ  لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَزۡوَاجَکُمُ الِّٰٓیۡٔ  تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ ۚ وَ مَا جَعَلَ  اَدۡعِیَآءَکُمۡ  اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ  وَ ہُوَ  یَہۡدِی  السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ  اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ  اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ  ۙ  وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu  yang kamu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu  adalah ibu-ibu kamu yang hakiki, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu  sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.   Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah. Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu  mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu diminta pertanggung-jawaban atas apa yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Al-Ahzāb [33]:5-6).
    Selanjutnya pada bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan   bahwa dari sekian banyak ajaran (hukum) Islam (Al-Quran) -- yang  apabila dilaksanakan oleh Nabi Musa a.s. maka  beliau tidak akan mampu memperagakannya sebagai “suri teladan terbaik” -- salah satu contohnya adalah masalah-masalah  yang berkaitan dengan pernikahan  atau masalah rumahtangga  -- yang terbukti telah dapat dilaksanakan secara sempurna oleh Nabi Besar Muhammad saw., itulah satu makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. akibat hancurnya gunung yang ke atasnya Allah Swt. bertajjali (menampakkan keagungan-Nya),  firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).

Beratnya “Memikul Amanat” (Syariat) Islam
Sebagai Puncak Proses Penyempurnaan Syariat

   Mengisyaratkan atau menggambarkan kepada ketidak-mampuan Nabi Musa a.s.  itu pulalah ketika Nabi Musa a.s. tidak dapat  bersabar  dan selalu melakukan protes terhadap  tiga macam tindakan aneh  yang dilakukan oleh “seorang hamba Allah” – yang umumnya dipercayai sebagai Nabi Khidir a.s., padahal sebenarnya Nabi Besar Muhammad saw. yang menjelma dalam peristiwa ruhani  lainnya yang dialami Nabi Musa a.s. – yakni (1) melubangi perahu, (2) membunuh seorang pemuda, (3) menegakkan dinding yang hampir roboh tanpa minta upah (QS.18:61-83), yang pada hakikatnya merupakan 3 ajaran pokok agama Islam (Al-Quran).
      Dengan kata lain, seandainya syariat Islam (Al-Quran)  -- yang merupakan syariat yang terakhir dan tersempurna – diberikan kepada Nabi Musa a.s. untuk melaksanakannya maka Nabi Musa a.s. tidak akan mampu mengamalkannya secara sempurna sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad saw..   Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah pernyataan Allah Swt. melalui sabda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus)   mengenai  kedatangan  Roh Kebenaran  yang akan membawa “segala kebenaran”:
Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila  Ia datang,  yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes 16:12-13)
      Berdasarkan pernyataan Allah Swt. melalui lidah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) tersebut dapat diketahui bahwa kedatangan (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran) paling belakang bukan seperti kelahiran "anak bungsu" -- sebagaimana umumnya orang salah memahami -- melainkan karena agama Islam merupakan puncak dari proses penyempurnaan hukum-hukum syariat yang dimulai dari para rasul Allah  pembawa syariat-syariat sebelumnya. 
    Itulah sebabnya kalau sebelum masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. syariat Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat (Kitab suci) terakhir dan tersempurna --  diturunkan kepada para Rasul Allah serta kepada kaum-kaum para Rasul Allah tersebut, termasuk Nabi Musa a.a. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  maka mereka tidak akan mampu "memikulnya" atau mengamalkannya, karena sama seperti misalnya kurikulum untuk para mahasiswa di tingkat Universitas (Perguruan Tinggi) diberikan kepada   para siswa tingkatan SD atau SLTP  atau SLTA.
     Salah satu dari sekian  banyak yang berkaitan dengan masalah pernikahan menurut ajaran Islam (Al-Quran)  yang sangat rawan  menimbulkan fitnah adalah  masalah   pembatalan adat istiadat jahiliyah mengenai larangan seorang ayah angkat menikahi janda (mantan istri)  anak angkatnya.  

Membatalkan Adat Istiadat Jahiliyah Lainnya
Mengenai Larangan Menikahi Janda Anak Angkat

      Jadi, kembali kepada masalah penikahan Zainab r.a. dengan Zaid bin Haristah r.a., dan kepada keinginan  Zaid bin Haritsah r.a. untuk menceraikan istrinya tersebut, Allah Swt. berfirman:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allāh lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan engkau dengan dia  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.   (Al-Ahzāb [33]:38).
      Zainab r.a. adalah anak bibi Nabi Besar Muhammad saw.   karena itu beliau seorang bangsawati Arab tulen, sangat bangga akan leluhur beliau dan akan kedudukan mulia dalam masyarakat. Islam menganggap dan telah memberi kepada dunia — peradaban dan kebudayaan yang di dalamnya tidak ada pembagian kelas, tidak ada kebangsawanan warisan, tidak ada hak-hak istimewa. Semua manusia bebas dan setara dalam pandangan Ilahi, dan kemuliaan seseorang semata-mata berdasarkan ketakwaannya kepada Allah Swt.  (QS.49:11).
     Nabi Besar Muhammad saw.  menghendaki agar pelaksanaan cita-cita luhur agama Islam ini dimulai oleh keluarga beliau saw. sendiri. Beliau saw. ingin agar  Zainab r.a. menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang kendatipun telah dimerdekakan oleh beliau saw.. tetapi sayang sekali ia masih tetap dianggap budak oleh sebagian orang.
      Justru cap perbudakan itulah, pemisah antara “orang merdeka” dan “budak-belian” (hamba sahaya)  yang diikhtiarkan oleh   Nabi Besar Muhammad saw.  menghilangkannya melalui pernikahan Sitti Zainab dengan Zaid bin Haritsah r.a..  Dan karena menjunjung tinggi keinginan Nabi Besar Muhammad saw.    tersebut   maka  Zainab r.a. menyetujui usul itu.
      Maksud  Nabi Besar Muhammad saw.    telah tercapai. Pernikahan Zainab r.a. dengan Zaid bin Harisysah r.a. itu menghilangkan perbedaan dan pembagian kelas dalam masyarakat Muslim. Hal itu merupakan peragaan amaliah akan cita-cita luhur agama Islam.
     Akan tetapi malang sekali,  pernikahan itu berakhir dengan kegagalan, bukan disebabkan oleh perbedaan kedudukan sosial antara  Zainab r.a. dan Zaid bin Haritsah r.a., melainkan karena tidak ada persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid sendiri.  Itulah sebabnya selain mengutamakan persamaan (kufū) dalam keimanan (keyakinan – QS.2:222), adanya persamaan dan kesetaraan (kufā)  calon  pasangan suami-istri dalam hal-hal lainnya pun perlu juga mendapat perhatian.
      Tentu saja kegagalan pernikahan itu membuat hati Nabi Besar Muhammad saw. sedih. Tetapi kejadian  yang dikhawatirkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. itu pun memenuhi suatu maksud yang sangat berguna. Yakni Allah Swt. berkehendak dengan peristiwa tersebut ingin mengapuskan adat-istiadat jahiliyah  berkenaan dengan larangan menikahi janda anak-angkat.
      Sesuai dengan perintah Ilahi, sebagaimana disebutkan pada bagian akhir ayat ini,  Nabi Besar Muhammad saw.   sendiri menikahi   Zainab r.a., yang dengan demikian membongkar sampai ke akar-akarnya kebiasaan yang telah mendarah-daging pada orang-orang Arab zaman jahiliah, bahwa merupakan pantangan (larangan) bagi seseorang menikahi bekas istri anak angkatnya.

Makna “Kekhawatiran” Nabi Besar Muhammad Saw.
Mengenai Perceraian antara Zaid bin Haritsah r.s. dengan Zainab r.a.

   Jadi, kebiasaan mengangkat anak dihapuskan dan dengan itu anggapan keliru itu dihilangkan. Oleh karena itu pernikahan   Zainab r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a.  memenuhi suatu tujuan luhur lainnya, yakni membatalkan adat istiadat bangsa Arab jahiliyah mengenai larangan menikahi janda anak angkat.
  Kata-kata  “bertakwalah kepada Allah,” mengandung arti bahwa Zaid bin Haritsah r.a. ingin menceraikan   Zainab r.a. dan karena perceraian itu, menurut Islam sangat tidak diridahi dalam pandangan Tuhan, maka Nabi Besar Muhammad saw. menganjurkan kepadanya agar tidak berbuat demikian.  Anak kalimat “...tahanlah isteri engkau pada diri engkau sendiri,” dapat dikenakan baik kepada Zaid bin Haritsah r.a.  maupun kepada Nabi Besar Muhammad saw.. 
    Kalau dikenakan kepada Zaid bin Haritsah r.a.,  maka kalimat itu akan berarti, bahwa  Zaid bin Haritsah r.a. tidak suka kalau akibat perceraian dengan Sitti Zainab r.a. akan nampak, barangkali karena sebagaimana ternyata dari kata-kata, “bertakwalah kepada Allah,”  titik berat  kesalahan terletak lebih banyak pada diri beliau, daripada pada diri   Zainab r.a..
     Tetapi kalau dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw.   maka kata-kata itu akan berarti bahwa sebab pernikahan antara Zaid  bin Haritsah r.a. dan  Zainab r.a. itu telah diatur atas permintaan dan kehendak beliau saw., maka dengan sendirinya beliau saw. tidak suka kalau pernikahan itu pecah. Anak kalimat itu pun menunjukkan  bahwa Nabi Besar Muhammad saw. khawatir kalau-kalau putusnya pernikahan yang telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya merupakan kegagalan dalam rangka percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam – QS.49:11) akan menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman.
     Jadi itulah kekhawatiran yang menekan sekali perasaan Nabi Besar Muhammad saw..  Kata-kata, “engkau takut kepada manusia” agaknya menunjuk kepada kekhawatiran beliau  saw. ini. Namun beberapa kiritikus lawan Islam dari kalangan Kristen berlagak telah menemukan suatu dasar dalam pernikahan  Nabi Besar Muhammad saw.  dengan  Zainab r.a.  untuk melakukan serangan keji terhadap beliau saw..

Membantah “Pikiran Kotor”  Golongan Orientalis

     Telah dinyatakan oleh mereka – sesuai dengan pikiran kotor yang ada dalam benak mereka -- bahwa karena secara kebetulan  Nabi Besar Muhammad saw. melihat Sitti Zainab r.a., beliau saw. – na’uudzubillaahi min dzaalik --  jatuh cinta karena terpesona oleh kecantikannya, dan karena Zaid bin Haritsah r.a.  telah mengetahui hasrat Nabi Besar Muhammad saw.     untuk memperistrikan Sitti Zainab r.a.,  lalu berusaha menceraikan istrinya.
    Kenyataan bahwa musuh-musuh pun yang menyaksikan seluruh kejadian itu dengan mata mereka sendiri, tidak berani mengaitkan dasar pikiran (motif) rendah seperti kini dikaitkan kepada   Nabi Besar Muhammad saw.   oleh kritikus-kritikus yang hidup sesudah lewat beberapa abad itu, sama sekali melenyapkan tuduhan keji dan sungguh tak berdasar itu, sampai ke akar-akarnya.
   Zainab r.a. adalah saudara sepupu Nabi Besar Muhammad saw.. dan karena demikian dekatnya hubungan kekeluargaan beliau saw. maka beliau saw. pasti telah atau sering  melihat   Zainab r.a.   sebelum “pardah” (pembatasan pergaulan laki-laki dan perempuan – QS.24:32; QS.33:60) diperintahkan.
    Kecuali itu, karena semata-mata menghormati keinginan Nabi Besar Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka  Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., firman-Nya:
وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾  
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman  dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya.  Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb [33]:37).
     Tersurat di dalam riwayat bahwa   Zainab r.a. dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., agar beliau diperistri Nabi Besar Muhammad saw. sendiri. Apakah kiranya yang menghambat  Nabi Besar Muhammad saw.  memperistri beliau ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
     Jadi, seluruh peristiwa itu nampaknya  jelas merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw., dan mempercayai hal itu merupakan suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.
      Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. selanjutnya mengenai kesiapan Nabi Besar Muhammad saw. untuk melaksanakan kehendak Allah Swt., bagaimana pun beratnya resiko fitnah yang mungkin timbul dari pernikahan beliau saw. dengan Zainab r.a., bekas istri (janda) Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah  menjadi anak angkat beliau saw., firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا()   الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿﴾  
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah, dan cukuplah Allah sebagai Penghisab. (Ahzāb [33]:39-40). 

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 6 Mei  2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar