بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 119
Menghapus Adat
Istiadat Jahiliyah Arabia tentang Larangan Menikahi Janda Anak Angkat
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai pembatalan adat istiadat jahiliyah bangsa Arab mengenai kesetaraan
kedudukan anak angkat dengan anak kandung, firman-Nya:
مَا جَعَلَ
اللّٰہُ لِرَجُلٍ مِّنۡ قَلۡبَیۡنِ فِیۡ
جَوۡفِہٖ ۚ وَ مَا جَعَلَ اَزۡوَاجَکُمُ
الِّٰٓیۡٔ تُظٰہِرُوۡنَ مِنۡہُنَّ اُمَّہٰتِکُمۡ
ۚ وَ مَا جَعَلَ اَدۡعِیَآءَکُمۡ اَبۡنَآءَکُمۡ ؕ ذٰلِکُمۡ قَوۡلُکُمۡ
بِاَفۡوَاہِکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ یَقُوۡلُ الۡحَقَّ
وَ ہُوَ یَہۡدِی السَّبِیۡلَ ﴿﴾ اُدۡعُوۡہُمۡ لِاٰبَآئِہِمۡ ہُوَ اَقۡسَطُ عِنۡدَ اللّٰہِ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ
تَعۡلَمُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ فَاِخۡوَانُکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ مَوَالِیۡکُمۡ ؕ وَ
لَیۡسَ عَلَیۡکُمۡ جُنَاحٌ فِیۡمَاۤ
اَخۡطَاۡتُمۡ بِہٖ ۙ وَ لٰکِنۡ مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوۡبُکُمۡ ؕ
وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا
رَّحِیۡمًا ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dadanya, dan Dia sekali-kali tidak pula menjadikan istri-istri kamu yang
kamu menjauhi mereka dengan menyebut mereka ibu adalah ibu-ibu
kamu yang hakiki, dan Dia
tidak pula menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak-anak kamu. Yang demikian itu hanyalah ucapan kamu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang haq, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Panggillah
mereka dengan nama ayah-ayah mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.
Tetapi jika kamu tidak mengetahui bapak
mereka maka mereka adalah
saudara-saudara kamu dalam agama dan sahabat-sahabat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu mengenai kesalahan yang telah kamu kerjakan dalam urusan ini, tetapi kamu
diminta pertanggung-jawaban atas apa
yang sengaja disengaja hati kamu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Al-Ahzāb
[33]:5-6).
Selanjutnya pada bagian akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa dari sekian banyak ajaran (hukum) Islam (Al-Quran) --
yang apabila dilaksanakan oleh Nabi Musa
a.s. maka beliau tidak akan mampu memperagakannya sebagai “suri teladan terbaik” -- salah satu
contohnya adalah masalah-masalah yang
berkaitan dengan pernikahan atau masalah rumahtangga -- yang terbukti
telah dapat dilaksanakan secara sempurna
oleh Nabi Besar Muhammad saw., itulah satu makna “pingsannya” Nabi Musa a.s. akibat
hancurnya gunung yang ke atasnya
Allah Swt. bertajjali (menampakkan
keagungan-Nya), firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ
قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ وَ لٰکِنِ
انۡظُرۡ اِلَی الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ
فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ
لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ
خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ
اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ
اِلَیۡکَ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa
datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya,
ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah
kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku tetapi pandanglah
gunung itu, lalu jika ia tetap ada
pada tempatnya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.” Maka tatkala
Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada
gunung itu Dia menjadikannya
hancur lebur, dan Musa pun jatuh
pingsan. Lalu tatkala ia sadar
kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya
di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
Beratnya “Memikul
Amanat” (Syariat) Islam
Sebagai Puncak Proses Penyempurnaan
Syariat
Mengisyaratkan atau menggambarkan kepada ketidak-mampuan Nabi Musa a.s. itu pulalah ketika Nabi Musa a.s. tidak dapat bersabar dan selalu melakukan protes terhadap tiga macam tindakan aneh yang dilakukan oleh “seorang hamba Allah” – yang umumnya dipercayai sebagai Nabi Khidir a.s., padahal sebenarnya Nabi Besar Muhammad saw. yang menjelma
dalam peristiwa ruhani lainnya yang dialami Nabi Musa a.s. – yakni
(1) melubangi perahu, (2) membunuh seorang pemuda, (3) menegakkan dinding yang hampir roboh tanpa
minta upah (QS.18:61-83), yang pada hakikatnya merupakan 3 ajaran pokok agama Islam (Al-Quran).
Dengan kata lain,
seandainya syariat Islam
(Al-Quran) -- yang merupakan syariat
yang terakhir dan tersempurna – diberikan kepada Nabi Musa a.s. untuk
melaksanakannya maka Nabi Musa a.s. tidak akan mampu mengamalkannya secara
sempurna sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad
saw.. Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah pernyataan Allah Swt. melalui sabda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(Yesus Kristus) mengenai kedatangan
“Roh Kebenaran” yang akan membawa “segala kebenaran”:
Masih banyak hal yang
harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.
Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran,
Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya
sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. (Yohanes
16:12-13)
Berdasarkan pernyataan Allah Swt. melalui lidah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(Yesus Kristus) tersebut dapat diketahui bahwa kedatangan (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. dan agama Islam (Al-Quran) paling belakang
bukan seperti kelahiran "anak bungsu" -- sebagaimana umumnya orang
salah memahami -- melainkan karena agama Islam merupakan puncak dari
proses penyempurnaan hukum-hukum syariat yang dimulai dari para rasul
Allah pembawa syariat-syariat sebelumnya.
Itulah sebabnya kalau sebelum masa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. syariat
Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat (Kitab suci) terakhir dan
tersempurna -- diturunkan kepada para Rasul Allah serta kepada
kaum-kaum para Rasul Allah tersebut, termasuk Nabi Musa a.a. dan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. maka mereka tidak akan mampu "memikulnya" atau
mengamalkannya, karena sama seperti misalnya kurikulum untuk para
mahasiswa di tingkat Universitas (Perguruan Tinggi) diberikan
kepada para siswa tingkatan SD atau SLTP atau SLTA.
Salah satu dari sekian banyak yang berkaitan dengan masalah pernikahan menurut ajaran Islam
(Al-Quran) yang sangat rawan menimbulkan fitnah adalah masalah pembatalan adat istiadat jahiliyah
mengenai larangan seorang ayah angkat menikahi janda (mantan istri) anak
angkatnya.
Membatalkan Adat Istiadat Jahiliyah
Lainnya
Mengenai Larangan Menikahi
Janda Anak Angkat
Jadi, kembali kepada masalah penikahan Zainab r.a. dengan Zaid bin Haristah r.a., dan kepada keinginan Zaid bin Haritsah r.a. untuk menceraikan istrinya tersebut, Allah
Swt. berfirman:
وَ اِذۡ
تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ
عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ
اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ
مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی
النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا
وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا
یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
حَرَجٌ فِیۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ اِذَا
قَضَوۡا مِنۡہُنَّ وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ
اللّٰہِ مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang
yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: “Pertahankanlah terus istri engkau pada diri
engkau dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allāh lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan
engkau dengan dia supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang
beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb [33]:38).
Zainab
r.a. adalah anak bibi Nabi Besar Muhammad saw. karena itu beliau seorang bangsawati Arab tulen, sangat bangga
akan leluhur beliau dan akan kedudukan mulia dalam masyarakat. Islam menganggap dan telah memberi
kepada dunia — peradaban dan kebudayaan yang di dalamnya tidak ada pembagian kelas, tidak ada kebangsawanan warisan, tidak ada hak-hak istimewa. Semua manusia bebas dan setara dalam pandangan Ilahi, dan kemuliaan seseorang semata-mata berdasarkan ketakwaannya kepada Allah Swt.
(QS.49:11).
Nabi Besar Muhammad saw. menghendaki
agar pelaksanaan cita-cita luhur
agama Islam ini dimulai oleh keluarga
beliau saw. sendiri. Beliau saw. ingin agar Zainab r.a.
menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a.,
yang kendatipun telah dimerdekakan
oleh beliau saw.. tetapi sayang sekali ia masih tetap dianggap budak oleh sebagian orang.
Justru cap perbudakan itulah, pemisah antara “orang merdeka” dan “budak-belian”
(hamba sahaya) yang diikhtiarkan oleh Nabi
Besar Muhammad saw. menghilangkannya
melalui pernikahan Sitti Zainab
dengan Zaid bin Haritsah r.a.. Dan karena
menjunjung tinggi keinginan Nabi
Besar Muhammad saw. tersebut maka Zainab r.a.
menyetujui usul itu.
Maksud Nabi Besar Muhammad saw. telah
tercapai. Pernikahan Zainab r.a.
dengan Zaid bin Harisysah r.a. itu menghilangkan
perbedaan dan pembagian kelas
dalam masyarakat Muslim. Hal itu merupakan peragaan
amaliah akan cita-cita luhur
agama Islam.
Akan tetapi malang sekali, pernikahan
itu berakhir dengan kegagalan, bukan
disebabkan oleh perbedaan kedudukan
sosial antara Zainab r.a. dan Zaid
bin Haritsah r.a., melainkan karena tidak
ada persesuaian dalam pembawaan
dan perangai mereka, dan juga oleh
sebab perasaan rendah diri yang
diderita Zaid sendiri. Itulah sebabnya
selain mengutamakan persamaan (kufū)
dalam keimanan (keyakinan –
QS.2:222), adanya persamaan dan kesetaraan (kufā) calon
pasangan suami-istri dalam
hal-hal lainnya pun perlu juga mendapat perhatian.
Tentu saja kegagalan pernikahan itu membuat hati Nabi Besar Muhammad saw. sedih.
Tetapi kejadian yang dikhawatirkan oleh Nabi Besar Muhammad
saw. itu pun memenuhi suatu maksud
yang sangat berguna. Yakni Allah Swt. berkehendak dengan peristiwa tersebut
ingin mengapuskan adat-istiadat jahiliyah
berkenaan dengan larangan menikahi janda anak-angkat.
Sesuai dengan perintah Ilahi, sebagaimana disebutkan
pada bagian akhir ayat ini, Nabi Besar
Muhammad saw. sendiri menikahi Zainab
r.a., yang dengan demikian membongkar
sampai ke akar-akarnya kebiasaan yang
telah mendarah-daging pada
orang-orang Arab zaman jahiliah, bahwa merupakan pantangan (larangan) bagi seseorang menikahi bekas istri anak angkatnya.
Makna “Kekhawatiran”
Nabi Besar Muhammad Saw.
Mengenai Perceraian
antara Zaid bin Haritsah r.s. dengan Zainab r.a.
Jadi, kebiasaan mengangkat anak dihapuskan dan dengan itu anggapan keliru itu dihilangkan. Oleh karena itu pernikahan Zainab
r.a. dengan Zaid bin Haritsah r.a. memenuhi suatu tujuan luhur lainnya, yakni membatalkan
adat istiadat bangsa Arab jahiliyah mengenai larangan menikahi janda anak angkat.
Kata-kata “bertakwalah kepada Allah,” mengandung
arti bahwa Zaid bin Haritsah r.a. ingin menceraikan
Zainab r.a. dan karena perceraian itu, menurut Islam sangat tidak diridahi dalam pandangan Tuhan, maka Nabi Besar Muhammad saw. menganjurkan kepadanya agar tidak berbuat demikian. Anak kalimat “...tahanlah
isteri engkau pada diri engkau sendiri,” dapat dikenakan baik kepada Zaid
bin Haritsah r.a. maupun kepada Nabi
Besar Muhammad saw..
Kalau
dikenakan kepada Zaid bin Haritsah r.a., maka kalimat itu akan berarti, bahwa Zaid bin Haritsah r.a. tidak suka kalau akibat perceraian dengan Sitti Zainab r.a. akan nampak, barangkali karena
sebagaimana ternyata dari kata-kata, “bertakwalah
kepada Allah,” titik berat kesalahan terletak lebih banyak pada diri
beliau, daripada pada diri Zainab r.a..
Tetapi kalau dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka kata-kata itu akan berarti bahwa sebab pernikahan antara Zaid bin Haritsah r.a. dan Zainab r.a. itu telah diatur atas permintaan dan kehendak beliau saw., maka dengan sendirinya beliau saw. tidak suka kalau pernikahan itu pecah. Anak kalimat itu pun menunjukkan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. khawatir kalau-kalau putusnya pernikahan yang telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya merupakan kegagalan dalam rangka percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam – QS.49:11) akan menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman.
Tetapi kalau dikenakan kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka kata-kata itu akan berarti bahwa sebab pernikahan antara Zaid bin Haritsah r.a. dan Zainab r.a. itu telah diatur atas permintaan dan kehendak beliau saw., maka dengan sendirinya beliau saw. tidak suka kalau pernikahan itu pecah. Anak kalimat itu pun menunjukkan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. khawatir kalau-kalau putusnya pernikahan yang telah mengakibatkan suatu hal yang nampaknya merupakan kegagalan dalam rangka percobaan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan menurut Islam – QS.49:11) akan menyebabkan tumbuhnya beberapa kecaman dan kegelisahan dalam pikiran orang-orang yang lemah iman.
Jadi itulah kekhawatiran yang menekan sekali perasaan Nabi Besar Muhammad saw..
Kata-kata, “engkau takut kepada
manusia” agaknya menunjuk kepada kekhawatiran
beliau saw. ini. Namun beberapa
kiritikus lawan Islam dari kalangan Kristen berlagak telah menemukan suatu
dasar dalam pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan
Zainab r.a. untuk melakukan serangan keji terhadap beliau saw..
Membantah “Pikiran Kotor” Golongan Orientalis
Telah dinyatakan oleh mereka –
sesuai dengan pikiran kotor yang ada
dalam benak mereka -- bahwa karena secara kebetulan Nabi Besar Muhammad saw. melihat
Sitti Zainab r.a., beliau saw. – na’uudzubillaahi
min dzaalik -- jatuh cinta karena
terpesona oleh kecantikannya, dan karena Zaid bin Haritsah r.a. telah mengetahui hasrat Nabi Besar
Muhammad saw. untuk
memperistrikan Sitti Zainab r.a., lalu
berusaha menceraikan istrinya.
Kenyataan bahwa musuh-musuh pun
yang menyaksikan seluruh kejadian itu dengan mata mereka sendiri, tidak berani
mengaitkan dasar pikiran (motif) rendah seperti kini dikaitkan kepada Nabi
Besar Muhammad saw. oleh
kritikus-kritikus yang hidup sesudah lewat beberapa abad itu, sama sekali
melenyapkan tuduhan keji dan sungguh
tak berdasar itu, sampai ke akar-akarnya.
Zainab r.a.
adalah saudara sepupu Nabi Besar
Muhammad saw.. dan karena demikian dekatnya hubungan kekeluargaan beliau saw. maka
beliau saw. pasti telah atau sering melihat Zainab
r.a. sebelum “pardah” (pembatasan pergaulan
laki-laki dan perempuan – QS.24:32; QS.33:60) diperintahkan.
Kecuali itu, karena semata-mata menghormati keinginan Nabi Besar
Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid
bin Haritsah r.a., firman-Nya:
وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan
sekali-kali tidak layak bagi
laki-laki yang beriman dan tidak
pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka
menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb
[33]:37).
Tersurat di dalam riwayat bahwa Zainab r.a.
dan kakaknya telah berhasrat sebelum
beliau menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a., agar beliau diperistri
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri. Apakah kiranya yang menghambat Nabi Besar Muhammad saw. memperistri beliau ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
Jadi, seluruh peristiwa itu
nampaknya jelas merupakan rekaan “yang
kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw., dan mempercayai
hal itu merupakan suatu penghinaan
terhadap akal sehat manusia.
Dengan demikian benarlah firman
Allah Swt. selanjutnya mengenai kesiapan Nabi Besar Muhammad saw. untuk
melaksanakan kehendak Allah Swt.,
bagaimana pun beratnya resiko fitnah
yang mungkin timbul dari pernikahan beliau saw. dengan Zainab r.a., bekas istri
(janda) Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah
menjadi anak angkat beliau
saw., firman-Nya:
مَا کَانَ
عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا() الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا
اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی
بِاللّٰہِ حَسِیۡبًا ﴿﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah adalah suatu keputusan yang
telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah,
dan cukuplah Allah sebagai Penghisab.
(Ahzāb
[33]:39-40).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar