Minggu, 19 Mei 2013

Empat Makna Gelar "Khaataman Nabiyyiin" Nabi Besar Muhammad Saw.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 122


   Empat Makna   Gelar  Khātaman Nabiyyīn Nabi Besar Muhammad saw. 

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai   hubungan berbagai makna Khātaman Nabiyyīn dengan  Al-Kautsar dan  abtar, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾   فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsar [108]:1-4).
        Jadi, kembali kepada  pembahasan firman Allah Swt. sebelum ini mengenai     gelar Khātaman Nabiyyīn  dan hubungannya dengan makna al-kautsar (kebaikan yang berlimpah-ruah) dan abtar (yang terputus keturunannya), serta kenapa Rasul Akhir Zaman yang dibangkitkan dari kalangan umat Islam – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. – disebut Allah Swt. dalam Al-Quran sebagai misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) dan disebut Al-Masih Mau’ud a.s. oleh Nabi Besar  Muhammad saw., sebab hubungan darah kedua Rasul Allah tersebut hanya dari pihak perempuan, itulah sebabnya mengenai Nabi Besar Muhammad saw. Allah Swt. bersabda:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan khātaman Nabiyyīn   dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41). 
Firman-Nya lagi:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾   فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsar [108]:1-4).

Sebutan Khātaman Nabiyyīn  Merupakan Puncak
Pembelaan Allah Swt. Terhadap Kesucian Nabi Besar Muhammad saw.

     Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa. Ayat Khātaman Nabiyyīn yang sedang dibahas ini menghilangkan salah paham itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa beliau saw., baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa yang akan datang bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa  bangsa Arab (rijal berarti pemuda).
     Dalam pada itu ayat ini nampaknya bertentangan dengan Surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan Nabi Besar Muhammad saw.,  melainkan musuh-musuh beliau saw.  yang diancam dengan tidak akan berketurunan (abtar),  tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu.
     Ayat Khātaman Nabiyyīn ini mengatakan – sebagaimana telah dikemukakan -- bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad saw.  adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh umat manusia dan beliau juga Khātaman Nabiyyīn, yang maksudnya bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh nabi. Maka bila beliau saw. merupakan bapak ruhani semua orang beriman dan semua nabi, betapa beliau saw. dapat disebut abtar atau tak berketurunan.
     Apabila ungkapan Khātaman Nabiyyīn ini diambil dalam arti bahwa  Nabi Besar Muhammad saw. beliau itu nabi yang terakhir, dan bahwa tidak ada nabi akan datang sesudah beliau, maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks ayat, dan daripada menyanggah ejekan orang-orang kafir bahwa beliau saw.  adalah seorang abtar ( tidak berketurunan), malahan mendukung dan menguatkannya.
     Kenapa demikian? Sebab akan berarti  Nabi Besar Muhammad saw. bukan  bapak salah seorang laki-laki jasmani bangsa Arab mana pun, juga beliau saw. pun bukan seorang bapak ruhani, karena  dengan pengutusan beliau saw.  dengan membawa  syariat yang terakhir dan  tersempurna (agama Islamn – QS.4) maka silsilah nikmat-nikmat keruhanian (QS.4:70-71; QS.5:21) yang sebelumnya terbuka bagi kaum-kaum sebelumnya yang ruhaninya belum dewasa, tiba-tiba menjadi tertutup rapat alias abtar  setelah keadaan ruhani umat manusia telah mencapai kedewasaannya  untuk mengamalkan ajaran Islam (Al-Quran). Benarkah demikian makna Khātaman Nabiyyīn?

Empat Macam Arti Khātaman Nabiyyīn

       Pendek kata, menurut arti yang tersimpul dalam kata khātam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khātaman Nabiyyīn dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
    (1) Nabi Besar Muhammad saw.   adalah meterai (cepat/segel) para nabi, yakni, tidak ada nabi dapat dianggap benar kalau kenabiannya tidak bermeteraikan beliau saw..  Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.,    dan juga tidak ada seorang pun yang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau saw., kecuali dengan menjadi pengikut sempurna beliau saw. (QS.3L32; QS.4:70-71).
    (2)  Nabi Besar Muhammad saw.    adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka (Zurqani, Syarah Muwahib al-Laduniyyah).
     (3)  Nabi Besar Muhammad saw.      adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa syari'at. Penafsiran ini telah diterima oleh para ‘ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliullah seperti Ibn ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam ‘Ali Qari, Mujaddid Alf Tsani, dan lain-lain.
    Menurut ulama-ulama besar dan para waliullah itu, tidak ada nabi dapat datang sesudah  Nabi Besar Muhammad saw.  yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah beliau saw. atau yang akan datang dari luar umat beliau saw. (Futuhat, Tafhimat, Maktubat, dan Yawaqit wa’l Jawahir).  
Sayyidah Aisyah r.a., istri  Nabi Besar Muhammad saw., yang amat berbakat menurut riwayat pernah mengatakan:
“Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah saw.) adalah Khātaman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (Mantsur).
    (4)  Nabi Besar Muhammad saw.   adalah nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya) hanya dalam arti kata bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau saw.: khatam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah sudah lazim dipakai.
    Lebih-lebih Al-Quran dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya nabi-nabi sesudah Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan Bani Adam  (QS.7:36) dan tetap terbukanya  kenabian bagi para pengikjut beliau saw. (QS.3:32;QS.4:70-71) Beliau saw. sendiri jelas mempunyai tanggapan mengenai berlanjutnya kenabian sesudah beliau. Menurut riwayat, beliau saw.  pernah bersabda:
 “Seandainya Ibrahim (putra beliau) masih hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Majah, Kitab al-Jana’iz)
 dan:
“Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi muncul” (Kanzul-Umal).
Jadi, jangan memaknai   sebaliknya  mengenai sabda-sabda Nabi Besar Muhammad saw. tersebut, misalnya dengan mengatakan:
“Karena tidak  akan ada lagi nabi sesudah Nabi Besar Muhammad saw. maka Allah Swt., telah mematikan Ibahim pada waktu kecil!”
Na’ādzubillāh min dzālik, atau mengatakan:
“Karena Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudah Nabi Besar Muhammad saw. oleh karena itu tidak perlu ada lagi nabi, sebab jika ada lagi nabi maka  hal itu bukan saja akan merendahkan martabat Abu Bakar Shiddiq juga akan membatalkan sebutan  khātaman nabiyyīn Nabi Besar Muhammad saw.!”
Benarkah demikian?

Ketaatan Zainab r.a. kepada Keinginan
Nabi Besar Muhammad Saw.

     Jadi, betapa tertatanya pembelaan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.  yang karena melaksanakan perintah Allah Swt. harus menikahi Zainab r.a.  -- janda Zaid bin Haritsah r.a.  --  sehingga pendustaan dan penentangan para pemuka kaum kafir Quraisy Mekkah kepada  Nabi Besar Muhammad saw.  dan umat Islam semakin bertambah-tambah kezalimannya, tetapi semua itu tidak membuat Nabi Besar Muhammad saw. gentar sebab melaksanakan perintah Allah Swt. lebih beliau saw.   utamakan  daripada kehormatan diri beliau saw., firman-Nya:
وَ اِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ  اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِ  اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ اتَّقِ اللّٰہَ  وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ  وَ تَخۡشَی النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ   اَحَقُّ اَنۡ  تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا  لِکَیۡ لَا یَکُوۡنَ عَلَی  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ  فِیۡۤ  اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ  اِذَا  قَضَوۡا  مِنۡہُنَّ  وَطَرًا ؕ وَ کَانَ   اَمۡرُ  اللّٰہِ  مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah ketika engkau berkata kepada orang yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: Pertahankanlah terus istri engkau pada diri engkau  dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak menampakkannya, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan engkau dengan dia  supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya  apabila mereka telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana.   (Al-Ahzāb [33]:38).
     Karena semata-mata menghormati keinginan Nabi Besar Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka  Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah dijadikan “anak angkat”  oleh Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَا کَانَ  لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ  اِذَا قَضَی اللّٰہُ  وَ رَسُوۡلُہٗۤ  اَمۡرًا اَنۡ  یَّکُوۡنَ  لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ  مِنۡ اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  ضَلَّ  ضَلٰلًا  مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾  
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki  yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman,  apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya.  Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh  ia telah sesat  suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb [33]:37).
     Tersurat di dalam riwayat bahwa   Zainab r.a. dan kakaknya telah berhasrat sebelum beliau menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., agar beliau diperistri Nabi Besar Muhammad saw. sendiri. Apakah kiranya yang menghambat  Nabi Besar Muhammad saw.     memperistri beliau ketika beliau masih gadis dan beliau sendiri mengharapkan diperistri oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
    Jadi, seluruh peristiwa itu nampaknya  jelas merupakan rekaan “yang kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw., dan mempercayai hal itu merupakan suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia.

Makna “Khātaman Nabiyyīn” &
Tiga Macam Pembelaan Berjenjang Allah Swt.

    Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. selanjutnya mengenai kesiapan Nabi Besar Muhammad saw. untuk melaksanakan kehendak Allah Swt., bagaimana pun beratnya resiko fitnah yang mungkin timbul dari pernikahan beliau saw. dengan Zainab r.a., bekas istri (janda) Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah  menjadi anak angkat beliau saw. tersebut, firman-Nya:
مَا کَانَ عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ  لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ  فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ کَانَ  اَمۡرُ  اللّٰہِ   قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿﴾  
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi mengenai  apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah ada-lah suatu keputusan yang telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan amanat Allah dan  takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah, dan cukuplah Allah sebagai Penghisab. (Ahzāb [33]:39-40). 
      Yang diisyaratkan dalam kata-kata itu ialah pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Zainab r.a.. Kata-kata itu menunjukkan bahwa pernikahan beliau  saw.  tersebut  terjadi dalam menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya.
     Sebagaimana telah diduga sebelumnya oleh Nabi Besar Muhammad saw., maka berbagai fitnah dan hujatan pun dilemparkan oleh para pemimpin kaum kafir Mekkah, dan dengan pernikahan yang “menghebohkan” kalangan bangsa Arab jahiliyah tersebut mereka mereka merasa mendapat tambahan “amunisi” dalam mendustakan, menentang serta menzalimi pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw.,  bahwa beliau saw. telah melanggar adat-istiadat bangsa Arab berkenaan dengan  bekas istri  (janda) anak-angkat.
     Terhadap hujatan tersebut  Allah Swt.  mengemukakan pembelaan-Nya kepada  Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ ؕ وَ  کَانَ اللّٰہُ  بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan khātaman Nabiyyīn   dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41). 
   Dalam firman-Nya tersebut Allah Swt. mengemukakan tiga alasan yang menggugurkan secara telak  tuduhan dusta  para pemimpin kaum kafir Quraisy atau para pemimpin bangsa Arab jahiliyah, yakni:
       (1) مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ  اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ   --  Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki-laki  kamu”,   yakni: “Hai para penentang, kalian sendiri menjadi saksi bahwa semua anak laki-laki Rasulullah saw. wafat pada waktu masih  kecil, sehingga kalian sendiri telah menuduh beliau saw. sebagai seorang “abtar” (yang terputus keturunannya  - QS.108:104), dengan demikian Rasulullah saw. tidak memiliki hubungan darah dengan seorang laki-laki bangsa Arab mana pun, termasuk dengan Zaid bin Haritsah, karena ia hanyalah seorang bekas “anak angkat”. Karena itu dalam pernikahan Rasulullah saw.  dengan Zainab – janda anak-angkatnya -- tersebut  tidak ada kesalahan serta tidak ada mudarat apa pun yang dilakukan oleh Rasulullah saw.”
       (2) وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ  -- “akan tetapi ia adalah Rasul Allah”,  yakni Nabi Muhammad saw. bukan seorang “bapak jasmani” seorang laki-laki bangsa Arab manapun melainkan  kedudukannya sebagai Rasul Allah  merupakan “bapak ruhani” semua orang beriman, yang mencakup bangsa-bangsa yang bukan-Arab  karena beliau saw. merupakan rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108-109; QS.25:2; QS.34:29), dan istri-istrinya merupakan ummul-mukminin (ibu  orang-orang beriman - QS.33:7).
       (3)  وَ خَاتَمَ  النَّبِیّٖنَ    - dan khātaman Nabiyyīn”, yakni ia bukan hanya sekedar seorang Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna untuk seluruh umat manusia (QS.5:4), bahkan Muhammad saw. adalah satu-satunya Rasul Allah  yang bergelar khātaman Nabiyyīn yakni  Cap atau Segel atau Meterai Nabi-nabi atau nabi  Allah yang paling mulia dan paling absah  kenabiannya, sehingga sangat mustahil baginya melakukan kekeliruan dalam hal menikahi Zainab r.a. tersebut.
       Itulah tiga  macam pembelaan Allah Swt. yang tak terbantahkan  terhadap berbagai tuduhan dusta dan fitnah yang dilontarkan para pemimpin bangsa Arab Jahiliyah berkenaan dengan pernikahan Nabi Besar Muhammad saw. dengan Zainab r.a., janda dari Zaid  bin Haritsah r.a., yang menurut adat istiadat bangsa Arab jahiliyah dilarang melakukannya, karena menurut mereka kedudukan “anak angkat” sama dengan “anak kandung”.
       Kalau kata  khātaman-nabiyyīn hanya diartikan   penutup nabi-nabi   maka sama sekali tidak ada unsur  pembelaan  Allah Swt. terhadap Nabi Besar Muhammad saw., sebab tidak selamanya sesuatu yang kedudukannya  terakhir (penutup) berkonotasi  (bermakna) baik (positif).

Berbagai Makna Khātaman Nabiyyīn

    Khātam berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khātam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda.
     Kata khātam itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat, Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Maka kata khātaman nabiyyin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir yang membawa syariat.
    Sebagaimana telah diseinggung sebelumnya, di Mekkah pada waktu semua putra (anak laki-laki) Nabi Besar Muhammad saw. telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek beliau sebagai seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti karena ketiadaan ahliwaris lelaki itu untuk menggantikan beliau saw. maka jemaat beliau saw. (umat Islam) cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Muhith).
     Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir tersebut,  secara tegas Allah Swt. menyatakan dalam Surah Al-Kautsar bahwa bukan  Nabi Besar Muhammad saw.  melainkan musuh-musuh beliau saw. itulah yang  akan abtar (tidak akan berketurunan) --  baik dari segi jasmani maupun secara ruhani  -- karena banyak di antara keturunan jasmani  mereka yang mati dalam peperangan melawan Nabi Besar Muhammad saw., atau mereka itu beriman kepada beliau saw. serta menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad saw., contohnya Khalid bin Walid r.a., Ikrimah  r.a. anaknya Abu Jahal dll., firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  اِنَّاۤ  اَعۡطَیۡنٰکَ  الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾   فَصَلِّ  لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾  اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah  menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah  bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah.   Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang  tanpa keturunan.  (Al-Kautsar [108]:1-4).
  
(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 9 Mei  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar