بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 122
Empat Makna Gelar “Khātaman Nabiyyīn” Nabi Besar Muhammad saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai hubungan berbagai makna Khātaman Nabiyyīn dengan Al-Kautsar
dan abtar,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ
الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau
berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa
keturunan. (Al-Kautsar [108]:1-4).
Jadi,
kembali kepada pembahasan firman Allah
Swt. sebelum ini mengenai gelar Khātaman Nabiyyīn dan hubungannya dengan makna al-kautsar (kebaikan yang
berlimpah-ruah) dan abtar (yang
terputus keturunannya), serta kenapa Rasul
Akhir Zaman yang dibangkitkan dari kalangan umat Islam – yakni Mirza
Ghulam Ahmad a.s. – disebut Allah Swt. dalam Al-Quran sebagai misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58)
dan disebut Al-Masih Mau’ud a.s. oleh
Nabi Besar Muhammad saw., sebab hubungan darah kedua Rasul Allah
tersebut hanya dari pihak perempuan,
itulah sebabnya mengenai Nabi Besar Muhammad saw. Allah Swt. bersabda:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah
seorang laki-laki di antara laki-laki
kamu, akan
tetapi ia adalah Rasul Allah
dan khātaman Nabiyyīn dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41).
Firman-Nya
lagi:
بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ
الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan
kepada engkau berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah bagi Tuhan engkau
dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa
keturunan. (Al-Kautsar [108]:1-4).
Sebutan Khātaman Nabiyyīn Merupakan Puncak
Pembelaan Allah Swt. Terhadap Kesucian Nabi Besar Muhammad saw.
Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan
kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup
sampai dewasa. Ayat Khātaman Nabiyyīn yang sedang dibahas
ini menghilangkan salah paham itu,
sebab ayat ini menyatakan bahwa beliau saw., baik sekarang maupun dahulu
ataupun di masa yang akan datang bukan
atau tidak pernah akan menjadi bapak
seorang orang lelaki dewasa bangsa
Arab (rijal berarti pemuda).
Dalam pada itu ayat ini nampaknya
bertentangan dengan Surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan Nabi
Besar Muhammad saw., melainkan musuh-musuh beliau saw. yang diancam
dengan tidak akan berketurunan
(abtar), tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya
arti yang kelihatannya bertentangan
itu.
Ayat Khātaman Nabiyyīn ini mengatakan – sebagaimana telah dikemukakan --
bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah, yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak
ruhani seluruh umat manusia dan
beliau juga Khātaman Nabiyyīn, yang maksudnya bahwa beliau adalah bapak
ruhani seluruh nabi. Maka bila
beliau saw. merupakan bapak ruhani
semua orang beriman dan semua nabi, betapa beliau saw. dapat
disebut abtar atau tak
berketurunan.
Apabila ungkapan Khātaman Nabiyyīn ini diambil dalam arti
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. beliau
itu nabi yang terakhir, dan bahwa tidak ada nabi akan datang sesudah beliau,
maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan
konteks ayat, dan daripada menyanggah
ejekan orang-orang kafir bahwa beliau saw.
adalah seorang abtar ( tidak
berketurunan), malahan mendukung dan menguatkannya.
Kenapa demikian? Sebab akan
berarti Nabi Besar Muhammad saw.
bukan bapak salah seorang laki-laki jasmani bangsa Arab mana pun, juga beliau saw. pun bukan seorang bapak ruhani, karena dengan pengutusan
beliau saw. dengan membawa syariat
yang terakhir dan tersempurna
(agama Islamn – QS.4) maka silsilah nikmat-nikmat
keruhanian (QS.4:70-71; QS.5:21) yang sebelumnya terbuka bagi kaum-kaum sebelumnya yang ruhaninya belum dewasa,
tiba-tiba menjadi tertutup rapat
alias abtar setelah keadaan ruhani umat manusia telah mencapai kedewasaannya untuk
mengamalkan ajaran Islam (Al-Quran). Benarkah demikian makna Khātaman Nabiyyīn?
Empat Macam Arti Khātaman
Nabiyyīn
Pendek kata, menurut arti yang
tersimpul dalam kata khātam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khātaman
Nabiyyīn dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
(1) Nabi Besar Muhammad saw. adalah meterai
(cepat/segel) para nabi, yakni, tidak
ada nabi dapat dianggap benar kalau kenabiannya tidak bermeteraikan beliau saw.. Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan
dan disahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw., dan juga tidak ada seorang pun yang
dapat mencapai tingkat kenabian
sesudah beliau saw., kecuali dengan menjadi pengikut
sempurna beliau saw. (QS.3L32; QS.4:70-71).
(2) Nabi Besar Muhammad saw. adalah yang terbaik, termulia, dan
paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka (Zurqani, Syarah Muwahib al-Laduniyyah).
(3) Nabi Besar Muhammad saw. adalah
yang terakhir di antara para nabi pembawa syari'at. Penafsiran ini
telah diterima oleh para ‘ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliullah
seperti Ibn ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam ‘Ali Qari, Mujaddid Alf Tsani, dan
lain-lain.
Menurut ulama-ulama besar dan
para waliullah itu, tidak ada nabi
dapat datang sesudah Nabi Besar Muhammad
saw. yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah
beliau saw. atau yang akan datang dari luar
umat beliau saw. (Futuhat,
Tafhimat, Maktubat, dan Yawaqit wa’l Jawahir).
Sayyidah Aisyah r.a., istri Nabi Besar Muhammad saw., yang amat berbakat
menurut riwayat pernah mengatakan:
“Katakanlah
bahwa beliau (Rasulullah saw.) adalah Khātaman
Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau”
(Mantsur).
(4) Nabi Besar Muhammad saw. adalah
nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya)
hanya dalam arti kata bahwa semua nilai
dan sifat kenabian terjelma dengan
sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau saw.: khatam
dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan,
adalah sudah lazim dipakai.
Lebih-lebih Al-Quran dengan jelas
mengatakan tentang bakal diutusnya
nabi-nabi sesudah Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan Bani Adam (QS.7:36) dan tetap terbukanya kenabian bagi para pengikjut beliau saw.
(QS.3:32;QS.4:70-71) Beliau saw. sendiri jelas mempunyai tanggapan mengenai
berlanjutnya kenabian sesudah beliau.
Menurut riwayat, beliau saw. pernah
bersabda:
“Seandainya Ibrahim (putra beliau) masih
hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Majah,
Kitab al-Jana’iz)
dan:
“Abu Bakar
adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi
muncul” (Kanzul-Umal).
Jadi, jangan memaknai sebaliknya
mengenai sabda-sabda Nabi Besar Muhammad saw. tersebut, misalnya dengan
mengatakan:
“Karena tidak
akan ada lagi nabi sesudah Nabi Besar Muhammad saw. maka Allah Swt.,
telah mematikan Ibahim pada waktu
kecil!”
Na’ādzubillāh min dzālik, atau mengatakan:
“Karena Abu
Bakar adalah sebaik-baik orang
sesudah Nabi Besar Muhammad saw. oleh karena itu tidak perlu ada lagi nabi, sebab jika ada lagi nabi maka hal itu bukan saja
akan merendahkan martabat Abu Bakar
Shiddiq juga akan membatalkan
sebutan khātaman nabiyyīn Nabi Besar Muhammad saw.!”
Benarkah
demikian?
Ketaatan Zainab r.a. kepada Keinginan
Nabi Besar Muhammad Saw.
Jadi, betapa tertatanya pembelaan Allah Swt. kepada Nabi Besar
Muhammad saw. yang karena melaksanakan perintah Allah Swt. harus menikahi Zainab r.a. -- janda
Zaid bin Haritsah r.a. -- sehingga pendustaan
dan penentangan para pemuka kaum
kafir Quraisy Mekkah kepada Nabi Besar
Muhammad saw. dan umat Islam semakin
bertambah-tambah kezalimannya, tetapi
semua itu tidak membuat Nabi Besar Muhammad saw. gentar sebab melaksanakan
perintah Allah Swt. lebih beliau saw.
utamakan daripada kehormatan
diri beliau saw., firman-Nya:
وَ اِذۡ
تَقُوۡلُ لِلَّذِیۡۤ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِ وَ اَنۡعَمۡتَ
عَلَیۡہِ اَمۡسِکۡ عَلَیۡکَ زَوۡجَکَ وَ
اتَّقِ اللّٰہَ وَ تُخۡفِیۡ فِیۡ نَفۡسِکَ
مَا اللّٰہُ مُبۡدِیۡہِ وَ تَخۡشَی
النَّاسَ ۚ وَ اللّٰہُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰہُ ؕ فَلَمَّا قَضٰی زَیۡدٌ مِّنۡہَا
وَطَرًا زَوَّجۡنٰکَہَا لِکَیۡ لَا
یَکُوۡنَ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ حَرَجٌ فِیۡۤ
اَزۡوَاجِ اَدۡعِیَآئِہِمۡ
اِذَا قَضَوۡا مِنۡہُنَّ
وَطَرًا ؕ وَ کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
مَفۡعُوۡلًا ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika engkau berkata kepada orang
yang Allah telah memberi nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya: “Pertahankanlah terus istri engkau pada diri
engkau dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan engkau menyembunyikan dalam hati engkau apa yang Allah hendak
menampakkannya, dan engkau takut
kepada manusia padahal Allah lebih
berhak agar engkau takut kepada-Nya. Maka tatkala Zaid menetapkan keinginannya terhadap dia, Kami menikahkan
engkau dengan dia supaya tidak akan ada keberatan bagi orang-orang
beriman menikahi bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka
telah menetapkan keinginannya mengenai mereka, dan keputusan Allah pasti akan terlaksana. (Al-Ahzāb [33]:38).
Karena semata-mata
menghormati keinginan Nabi Besar
Muhammad saw. yang terus menerus dikemukakan itulah, maka Zainab r.a. telah menyetujui dengan rasa enggan untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah dijadikan “anak
angkat” oleh Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
وَ مَا
کَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَّ لَا مُؤۡمِنَۃٍ اِذَا قَضَی اللّٰہُ وَ رَسُوۡلُہٗۤ اَمۡرًا اَنۡ یَّکُوۡنَ
لَہُمُ الۡخِیَرَۃُ مِنۡ
اَمۡرِہِمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّعۡصِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ
ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِیۡنًا ﴿ؕ﴾
Dan
sekali-kali tidak layak bagi
laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka
menjadikan pilihan sendiri dalam urusan dirinya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Ahzāb
[33]:37).
Tersurat di dalam riwayat bahwa Zainab r.a.
dan kakaknya telah berhasrat sebelum
beliau menikah dengan Zaid bin
Haritsah r.a., agar beliau diperistri
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri. Apakah kiranya yang menghambat Nabi Besar Muhammad saw. memperistri
beliau ketika beliau masih gadis dan
beliau sendiri mengharapkan diperistri
oleh Nabi Besar Muhammad saw.?
Jadi, seluruh peristiwa itu
nampaknya jelas merupakan rekaan “yang
kaya” dayacipta para kritikus yang tidak bersahabat terhadap Nabi Besar Muhammad saw., dan mempercayai
hal itu merupakan suatu penghinaan
terhadap akal sehat manusia.
Makna “Khātaman Nabiyyīn” &
Tiga Macam Pembelaan Berjenjang Allah Swt.
Dengan demikian benarlah firman
Allah Swt. selanjutnya mengenai kesiapan
Nabi Besar Muhammad saw. untuk melaksanakan kehendak
Allah Swt., bagaimana pun beratnya
resiko fitnah yang mungkin timbul
dari pernikahan beliau saw. dengan
Zainab r.a., bekas istri (janda) Zaid bin Haritsah r.a., yang pernah menjadi anak
angkat beliau saw. tersebut, firman-Nya:
مَا کَانَ
عَلَی النَّبِیِّ مِنۡ حَرَجٍ فِیۡمَا فَرَضَ اللّٰہُ لَہٗ ؕ سُنَّۃَ اللّٰہِ فِی الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَ
کَانَ اَمۡرُ اللّٰہِ
قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَۨا ﴿۫ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا
اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی
بِاللّٰہِ حَسِیۡبًا ﴿﴾
Sekali-kali tidak ada keberatan atas Nabi
mengenai apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Inilah sunnah Allah yang Dia tetapkan terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya, dan perintah Allah ada-lah suatu keputusan yang
telah ditetapkan. Orang-orang yang menyampaikan
amanat Allah dan takut kepada-Nya, dan tidak ada mereka takut siapa pun selain Allah,
dan cukuplah Allah sebagai Penghisab.
(Ahzāb
[33]:39-40).
Yang
diisyaratkan dalam kata-kata itu ialah pernikahan
Nabi Besar Muhammad saw. dengan Zainab r.a.. Kata-kata itu menunjukkan bahwa pernikahan beliau saw.
tersebut terjadi dalam menaati suatu peraturan Ilahi yang khusus sifatnya.
Sebagaimana telah diduga
sebelumnya oleh Nabi Besar Muhammad saw., maka berbagai fitnah dan hujatan pun
dilemparkan oleh para pemimpin kaum kafir Mekkah, dan dengan pernikahan yang
“menghebohkan” kalangan bangsa Arab
jahiliyah tersebut mereka mereka merasa mendapat tambahan “amunisi” dalam mendustakan, menentang serta menzalimi
pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw.,
bahwa beliau saw. telah melanggar
adat-istiadat bangsa Arab berkenaan
dengan bekas istri (janda) anak-angkat.
Terhadap hujatan tersebut Allah
Swt. mengemukakan pembelaan-Nya kepada Nabi
Besar Muhammad saw., firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ
مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah
seorang laki-laki di antara laki-laki
kamu, akan
tetapi ia adalah Rasul Allah
dan khātaman Nabiyyīn dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. Ahzāb [33]:41).
Dalam firman-Nya tersebut Allah Swt.
mengemukakan tiga alasan yang
menggugurkan secara telak tuduhan dusta para pemimpin kaum kafir Quraisy atau para
pemimpin bangsa Arab jahiliyah, yakni:
(1) مَا کَانَ
مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ مِّنۡ
رِّجَالِکُمۡ -- “Muhammad bukanlah bapak salah seorang
laki-laki di antara laki-laki kamu”, yakni: “Hai para penentang, kalian sendiri
menjadi saksi bahwa semua anak laki-laki Rasulullah saw. wafat pada waktu masih kecil, sehingga kalian sendiri telah menuduh beliau saw. sebagai seorang “abtar” (yang terputus keturunannya - QS.108:104), dengan demikian Rasulullah
saw. tidak memiliki hubungan darah dengan
seorang laki-laki bangsa Arab mana
pun, termasuk dengan Zaid bin Haritsah,
karena ia hanyalah seorang bekas “anak
angkat”. Karena itu dalam pernikahan
Rasulullah saw. dengan Zainab – janda anak-angkatnya -- tersebut tidak ada kesalahan
serta tidak ada mudarat apa pun yang
dilakukan oleh Rasulullah saw.”
(2) وَ لٰکِنۡ
رَّسُوۡلَ اللّٰہِ -- “akan tetapi ia adalah Rasul Allah”, yakni Nabi Muhammad saw. bukan seorang “bapak
jasmani” seorang laki-laki bangsa Arab manapun melainkan kedudukannya sebagai Rasul Allah merupakan “bapak ruhani” semua orang beriman, yang mencakup bangsa-bangsa
yang bukan-Arab karena beliau saw.
merupakan rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108-109;
QS.25:2; QS.34:29), dan istri-istrinya
merupakan ummul-mukminin (ibu orang-orang beriman - QS.33:7).
(3) وَ
خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ - “dan khātaman Nabiyyīn”, yakni ia bukan hanya sekedar seorang Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna
untuk seluruh umat manusia (QS.5:4), bahkan Muhammad saw. adalah satu-satunya Rasul Allah yang bergelar khātaman Nabiyyīn yakni Cap
atau Segel atau Meterai Nabi-nabi atau nabi Allah yang paling mulia dan paling absah kenabiannya,
sehingga sangat mustahil baginya
melakukan kekeliruan dalam hal menikahi Zainab r.a. tersebut.
Itulah tiga macam pembelaan
Allah Swt. yang tak terbantahkan terhadap berbagai tuduhan dusta dan fitnah
yang dilontarkan para pemimpin bangsa Arab Jahiliyah berkenaan dengan pernikahan Nabi Besar Muhammad saw.
dengan Zainab r.a., janda dari
Zaid bin Haritsah r.a., yang menurut
adat istiadat bangsa Arab jahiliyah dilarang melakukannya, karena menurut
mereka kedudukan “anak angkat” sama
dengan “anak kandung”.
Kalau kata khātaman-nabiyyīn
hanya diartikan penutup nabi-nabi maka sama sekali tidak ada unsur pembelaan
Allah Swt. terhadap Nabi Besar
Muhammad saw., sebab tidak selamanya sesuatu yang kedudukannya terakhir
(penutup) berkonotasi (bermakna) baik (positif).
Berbagai Makna Khātaman Nabiyyīn
Khātam
berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan
atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua
ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi
apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah
tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khātam
berarti juga sebentuk cincin stempel;
sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian
terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda.
Kata khātam itu pun
berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna.
Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat, Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Maka kata khātaman
nabiyyin akan berarti: meterai para
nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan
nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi
terakhir yang membawa syariat.
Sebagaimana telah diseinggung
sebelumnya, di Mekkah pada waktu semua putra (anak laki-laki) Nabi Besar Muhammad
saw. telah meninggal dunia semasa
masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek
beliau sebagai seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang
berarti karena ketiadaan ahliwaris lelaki
itu untuk menggantikan beliau saw. maka jemaat
beliau saw. (umat Islam) cepat atau lambat akan menemui kesudahan (Muhith).
Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir tersebut, secara tegas Allah Swt. menyatakan dalam
Surah Al-Kautsar bahwa bukan Nabi
Besar Muhammad saw. melainkan
musuh-musuh beliau saw. itulah yang akan abtar
(tidak akan berketurunan) -- baik dari segi jasmani maupun secara ruhani -- karena
banyak di antara keturunan jasmani
mereka yang mati dalam peperangan melawan Nabi Besar Muhammad
saw., atau mereka itu beriman kepada
beliau saw. serta menjadi putra-putra
ruhani Nabi Besar Muhammad saw., contohnya Khalid bin Walid r.a., Ikrimah r.a. anaknya Abu Jahal dll., firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ
الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ
الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha
Penyayang. Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau
berlimpah-limpah kebaikan. Maka shalatlah bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa
keturunan. (Al-Kautsar [108]:1-4).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 9 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar