Senin, 29 April 2013

Perbedaan "Bashirah" (Penglihatan Ruhani) 'Ulama Fiqih (Ahli Hadits) dan 'Ulama Sufi Hindustan tentang Mirza Ghulam Ahmad a.s.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 108


 Perbedaan Bashirah (Penglihatan Ruhani) ‘Ulama Fiqih dan  ‘Ulama Sufi Hindustan tentang 
Mirza Ghulam Ahmad a.s.

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   bagian akhir  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  dialog antara Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan para pemuka agama Yahudi, firman-Nya:
فَاَتَتۡ بِہٖ  قَوۡمَہَا تَحۡمِلُہٗ ؕ قَالُوۡا  یٰمَرۡیَمُ لَقَدۡ جِئۡتِ  شَیۡئًا فَرِیًّا ﴿﴾  یٰۤاُخۡتَ ہٰرُوۡنَ مَا کَانَ  اَبُوۡکِ امۡرَ اَ سَوۡءٍ وَّ مَا  کَانَتۡ  اُمُّکِ  بَغِیًّا﴿ۖۚ﴾  فَاَشَارَتۡ اِلَیۡہِ ؕ قَالُوۡا کَیۡفَ نُکَلِّمُ مَنۡ  کَانَ فِی  الۡمَہۡدِ  صَبِیًّا ﴿﴾
Maka Maryam membawa dia (Isa Ibnu Maryam), kepada kaumnya dengan menunggangkannya. Mereka ber­kata: "Hai Maryam, sungguh  engkau benar-benar telah berbuat sesuatu hal yang keji. Hai saudara perempuan Harun, ayah engkau sama sekali bukan  seorang buruk dan ibu engkau sekali-kali  bukan seorang pezina!" Maka ia, Maryam, memberi isyarah kepadanya (Isa Ibnu Maryam).  Mereka berkata: "Bagaimana kami akan bercakap dengan seorang anak masih dalam buaian?"   (Maryam [19]:28-30).
Firman-Nya lagi:
قَالَ اِنِّیۡ عَبۡدُ اللّٰہِ ۟ؕ اٰتٰنِیَ الۡکِتٰبَ وَ جَعَلَنِیۡ  نَبِیًّا ﴿ۙ﴾  وَّ جَعَلَنِیۡ مُبٰرَکًا اَیۡنَ مَا کُنۡتُ ۪ وَ اَوۡصٰنِیۡ بِالصَّلٰوۃِ  وَ الزَّکٰوۃِ مَا دُمۡتُ  حَیًّا ﴿۪ۖ﴾  وَّ بَرًّۢا بِوَالِدَتِیۡ ۫ وَ لَمۡ  یَجۡعَلۡنِیۡ جَبَّارًا شَقِیًّا﴿﴾  وَ السَّلٰمُ عَلَیَّ یَوۡمَ وُلِدۡتُّ وَ یَوۡمَ اَمُوۡتُ  وَ  یَوۡمَ  اُبۡعَثُ  حَیًّا ﴿﴾
Ia, Ibnu Maryam, berkata: "Sesungguhnya aku seorang hamba Allah, Dia telah menganugerahkan kepadaku Kitab itu dan Dia telah menjadikanku seorang nabi,  Dan Dia telah menjadikan­ku diberkati di mana pun aku ber­ada, dan telah memerintahkanku mendirikan  shalat dan membayar zakat selama aku hidup. Dan berbakti  kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sewenang-wenang lagi sial. Dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku mati, dan pada hari aku akan dibangkitkan hidup kembali."  (Maryam [19]:31-34).

Hakikat Penggunaan Kata  Qānitīn  
(Orang-orang  Laki-laki Beriman yang Patuh)

    Apabila kedua firman Allah Swt. berkenaan dengan sikap Maryam binti Imran  dan jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. terhadap tuduhan keji dan cemooh para pemuka agama Yahudi tersebut dihubungkan dengan firman Allah Swt. mengenai keadaan ruhani orang-orang beriman yang dimisalkan Maryam binti ‘Imran akan nampak hubungannya yang halus, firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾  وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,  Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm [66]:11-13).
   Kata qānitīn  (orang-orang  laki-laki beriman yang patuh) dalam firman-Nya mengenai Maryam binti ‘Imran:
   وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm [66]:13).
    Penggunaan kata kata qānitīn  (orang-orang  laki-laki beriman yang patuh) pada akhir ayat tersebut tidak ditujukan kepada Maryam binti ‘Imran, sebab kata  qānitīn (orang-orang yang patuh) adalah bagi kaum laki-laki, sedangkan bagi  orang-orang beriman perempuan yang patuh adalah qānitāt (QS.33:36), sebagaimana sebelum Maryam binti ‘Imran disebut sebagai  ahshanat  (perempuan yang memelihara kesuciannya).
   Dengan demikian penggunaan kata qānitīn  (orang-orang  laki-laki beriman yang patuh) sehubungan dengan misal Maryam binti ‘Imran yang ahshanat  (perempuan menjaga kesuciannya) adalah mengisyaratkan kepada kelahiran seorang anak laki-laki yaitu  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s..
    Hal tersebut mengisyaratkan bahwa martabat keruhanian Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. merupakan peningkatan   ruhani  dan lebih tinggi dari  tingkatan  ruhani  Maryam binti ‘Imran. Itulah sebabnya dalam QS.19:28-33 untuk menjawab tuduhan keji dan cemoohan para pemuka kaum Yahudi tersebut Maryam binti ‘Imran telah mengisyaratkan kepada putra beliau, Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:   
قَالَ اِنِّیۡ عَبۡدُ اللّٰہِ ۟ؕ اٰتٰنِیَ الۡکِتٰبَ وَ جَعَلَنِیۡ  نَبِیًّا ﴿ۙ﴾  وَّ جَعَلَنِیۡ مُبٰرَکًا اَیۡنَ مَا کُنۡتُ ۪ وَ اَوۡصٰنِیۡ بِالصَّلٰوۃِ  وَ الزَّکٰوۃِ مَا دُمۡتُ  حَیًّا ﴿۪ۖ﴾  وَّ بَرًّۢا بِوَالِدَتِیۡ ۫ وَ لَمۡ  یَجۡعَلۡنِیۡ جَبَّارًا شَقِیًّا﴿﴾  وَ السَّلٰمُ عَلَیَّ یَوۡمَ وُلِدۡتُّ وَ یَوۡمَ اَمُوۡتُ  وَ  یَوۡمَ  اُبۡعَثُ  حَیًّا ﴿﴾
Ia, Ibnu Maryam, berkata: "Sesungguhnya aku seorang hamba Allah, Dia telah menganugerahkan kepadaku Kitab itu dan Dia telah menjadikanku seorang nabi,  Dan Dia telah menjadikan­ku diberkati di mana pun aku ber­ada, dan telah memerintahkanku mendirikan  shalat dan membayar zakat selama aku hidup. Dan berbakti  kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sewenang-wenang lagi sial. Dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku mati, dan pada hari aku akan dibangkitkan hidup kembali."  (Maryam [19]:31-34).

Kesaksian Misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
di Akhir Zaman Mengenai Mysteri Penyaliban

       Jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut demikian telak dan tak terbantahkan, sehingga benar-benar telah menutup  (membungkam) mulut para pemuka agama Yahudi.  Salah satu  bukti mengenai hal tersebut  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  telah “menelanjangi” berbagai macam  keburukan para pemuka agama Yahudi  dengan berbagai  kecaman pedas (Matius 23:1-39 pasal Yesus mengecam ahli-ahli Torat dan orang-orang Farisi).
    Itulah sebabnya para pemuka kaum Yahudi tersebut berusaha untuk membunuh Nabi isa Ibnu Maryam a.s. melalui “penyaliban” guna membuktikan kebenaran tuduhan dusta mereka berkenaan beliau, sebab menurut hukum Taurat  orang yang matinya tergantung pada tiang salib merupakan kutuk baginya (Ulangan 21:23), firman-Nya:
وَّ بِکُفۡرِہِمۡ وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ  بُہۡتَانًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ۙ   وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ ؕ وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ ؕ مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ  اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ  یَقِیۡنًۢا ﴿﴾ۙ  بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾  وَ اِنۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ اِلَّا لَیُؤۡمِنَنَّ بِہٖ قَبۡلَ مَوۡتِہٖ ۚ وَ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ  یَکُوۡنُ عَلَیۡہِمۡ  شَہِیۡدًا ﴿﴾ۚ
Dan mereka  Kami azab karena kekafiran mereka dan ucapan mereka terhadap Maryam berupa tuduhan palsu yang besar. Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa Ibnu Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya secara biasa dan tidak pula mematikannya melalui penyaliban,  akan tetapi ia disamarkan  kepada mereka seperti telah mati di atas salib. Dan sesungguhnya  orang-orang yang berselisih dalam hal ini niscaya ada dalam keraguan mengenai ini,  mereka tidak memiliki  pengeta-huan yang pasti mengenai ini melainkan menuruti dugaan belaka dan mereka tidak  yakin telah membunuhnya.   Bahkan Allah telah meng-angkatnya kepada-Nya dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Dan tidak ada seorang pun dari Ahlul  Kitab melainkan akan tetap beriman kepada hal ini sebelum ajalnya,  dan pada Hari Kiamat ia, Nabi Isa, akan menjadi saksi terhadap mereka.  (An-Nisā [4]:157-160).
       Salah satu makna kalimat  pada Hari Kiamat ia, Nabi Isa, akan menjadi saksi terhadap mereka” bahwa sampai sekian lama mysteri peristiwa penyaliban Nabi Isa Ibnu Maryam  a.s. menimbulkan bermacam tafsir yang menyesatkan, salah satu di antaranya timbulnya paham Trinitas dan Penebusan Dosa  yang dianut dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh bangsa-bangsa yang disebut Ya’juj (Gog) dan Ma’juj (Magog) atau Dajjal yang matanya buta sebelah (QS.21:96-98).
      Sebagaimana merajalelanya bangsa-bangsa yang disebut Ya’juj (Gog) dan Ma’juj (Magog) di masa awal dihentikan oleh Dzulqarnain -- raja Media dan Persia -- demikian pula  merajalelanya  mereka yang ke dua kali  di Akhir Zaman pun akan dihentikan oleh kedatangan kedua kali  Dzulqarnain  atau misal Isa ibnu Maryam (QS.43:58) atau Al-Masih Mau’ud a.s. yakni Rasul Akhir Zaman (QS.61:10), yang menurut Nabi Besar Muhammad saw. adalah  keturunan Parsi, yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. (QS.18:84-102).
     Imam Mahdi a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam  – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.  – ini yang menurut hadits Nabi Besar Muhammad saw. secara kiasan akan “membunuh babi dan memecahkan salib”, sehingga akan sempurnalah  kesaksian Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atas para Ahli  Kitab  mengenai kedustaan mereka selama itu berkenaan dengan mysteri penyaliban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.:
وَّ بِکُفۡرِہِمۡ وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ  بُہۡتَانًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ۙ   وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ ؕ وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ ؕ مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ  اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ  یَقِیۡنًۢا ﴿﴾ۙ  بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾  وَ اِنۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ اِلَّا لَیُؤۡمِنَنَّ بِہٖ قَبۡلَ مَوۡتِہٖ ۚ وَ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ  یَکُوۡنُ عَلَیۡہِمۡ  شَہِیۡدًا ﴿﴾ۚ
Dan mereka  Kami azab karena kekafiran mereka dan ucapan mereka terhadap Maryam berupa tuduhan palsu yang besar. Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa Ibnu Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya secara biasa dan tidak pula mematikannya melalui penyaliban,  akan tetapi ia disamarkan  kepada mereka seperti telah mati di atas salib. Dan sesungguhnya  orang-orang yang berselisih dalam hal ini niscaya ada dalam keraguan mengenai ini,  mereka tidak memiliki  pengeta-huan yang pasti mengenai ini melainkan menuruti dugaan belaka dan mereka tidak  yakin telah membunuhnya.   Bahkan Allah telah meng-angkatnya kepada-Nya dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Dan tidak ada seorang pun dari Ahlul  Kitab melainkan akan tetap beriman kepada hal ini sebelum ajalnya,  dan pada Hari Kiamat ia, Nabi Isa, akan menjadi saksi terhadap mereka.  (An-Nisā [4]:157-160).

Perbedaan Ketajaman Mata Ruhani (Bashirah) ‘Ulama Fiqih
dengan Mata Ruhani (Bashirah) ‘Ulama Sufi

   Kembali kepada   kutipan sambutan dan dukungan dua  tokoh Islam India (Hindustan) pada masa itu terhadap buku Barahīn-i- Ahmadiyah dan penulisnya yakni:
       (1) Mlv. Muhammad Hussein Batalvi, seorang tokoh terkemuka dari kelompok Ahli Hadits (Wahabi) di India, banyak memberikan sanjungan terhadap buku Barahiin-i Ahmadiyyah maupun terhadap penulisnya. Beliau ini pada awalnya adalah seorang tokoh yang sangat mendukung perjuangan  Mirza Ghulam Ahmad a.s., namun pada akhirnya – setelah pendakwaan sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. -- ulama golongan Ahli Hadits (Wahabi) Hindustan tersebut berubah menjadi penentang keras beliau a.s., persis seperti sikap buruk para pemuka agama Yahudi yang melakukan penghinaan  terhadap Maryam binti ‘Imran dan putranya, Nabi Isa Ibnu Maryam a.s..
      Di dalam salah satu risalahnya, Isyaatus-Sunnah, Mlv.Muhammad Hussein Batalvi menuliskan kesaksiannya tentang keluarbiasaan buku Barahīn-i- Ahmadiyah dan penulisnya:
"Menurut pendapat saya -- pada zaman sekarang dan sesuai kondisi yang berlaku -- buku ini adalah sedemikian rupa, yangmana sampai saat ini di dalam Islam tidak ada bandingannya yang telah ditulis, dan tidak pula ada khabar di masa mendatang.... Penulisnya pun -- dalam hal memberikan bantuan kepada Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan -- sangat teguh dan kukuh pada langkah-langkahnya. Sehingga sangat sedikit ditemukan contoh yang seperti beliau, walau dari kalangan umat Islam terdahulu sekali pun..." (Risalah Isyaatus-Sunnah jld.7, no.6-11; Swanah Fazl Umar, Jld.I, hal.20).
       Namun kemudian dalam risalah yang sama  Ulama Ahli Hadits (Wahabi) tersebut berkomentar  dengan takabur bahwa “sebagaimana dulu dialah yang membuat Mirza Ghulam Ahmad a.s. termasyhur, maka sekarang pun dia pula yang akan menghinakannya”
      (2)  Berikut ini ulasan dari seorang tokoh Sufi terkenal di Hindustan yang berasal dari Ludhiana. Yaitu  Sufi Ahmad Jaan.   Banyak murid maupun pengikut beliau yang menjadi tokoh-tokoh pemuka agama Islam saat itu. Sang Sufi ini menuliskan ulasan tentang buku Barahīn-i- Ahmadiyyah di dalam sebuah selebaran beliau yang berjudul Isytihar Wajibul Izhar:
"Di zaman abad ke empatbelas telah berkecamuk sebuah tofan kebobrokan di dalam setiap agama. Seperti yang dikatakan orang: orang-orang kafir baru banyak bermunculan, dan orang-orang Islam baru pun banyak bermunculan. Tidak diragukan lagi, diperlukan sebuah buku dan seorang mujaddid seperti Barahīn-i Ahmadiyyah serta penulisnya Maulana Mirza Ghulam Ahmad Sahib., yang dengan berbagai cara siap untuk membuktikan da'wah Islam atas para penentang.
Beliau bukanlah berasal dari kalangan ulama maupun cendekiawan umum, melainkan secara khusus [datang] untuk tugas ini sebagai utusan dari Allah; penerima ilham dan yang bercakap-cakap dengan Allah.... Sang penulis adalah mujaddid, mujtahid, muhaddats bagi abad-keempat belas ini, dan merupakan seorang yang kamil dari kalangan umat ini. Hadits Nabawi ini pun mendukung beliau: 'Ulama ummatiy kal-anbiyā Bani Isrāil'  (‘ulama umatku seperti para nabi Bani Israil) .......
Wahai para penelaah! Dengan niat yang benar serta dengan semangat kebenaran yang sempurna saya menyampaikan hal ini, bahwa tidak diragukan lagi bahwasanya Mirza Sahib adalah mujaddid era ini; pedoman  bagi para pencari jalan [kebenaran]; matahari bagi orang-orang yang berhati batu; penunjuk jalan bagi orang-orang yang sesat; pedang nyata bagi para pengingkar Islam; hujjah sempurna bagi para pendengki.
Yakinilah bahwa tidak akan datang lagi masa yang seperti ini. Ketahuilah, bahwa masa ujian telah tiba, dan Hujjah Ilahi telah tegak. Dan bagaikan matahari jagat raya  telah diutus seorang Hādi Kamil (pemberi petunjuk yang sempurna), supaya ia menganugerahkan nur kepada orang-orang yang benar dan mengeluarkan [mereka] dari kegelapan dan kesesatan serta akan menghujjat para pendusta". (Isytihar Wajibul Izhar;  Swanah Fazl Umar, jld.I, hal.21-22)
   Apabila dua cuplikan komentar positif  dari dua orang ulama besar Hindustan berkenaan buku Barahīn-i- Ahmadiyyah dan penulisnya tersebut diperhatikan secara saksama,  maka nampak sekali perbedaan bobot pujian serta ketajaman pandangan ruhani (bashirah) antara seorang ‘alim dari kalangan ulama fiqih – yakni Mlv. Muhammad Hussein Batalwi – dengan  pandangan seorang ‘alim dari kalangan ‘ulama Sufi, yakni Sufi Ahmad Jaan.
     Perbedaan pandangan ruhani (bashirah) tersebut semakin jelas ketika kedua orang  ‘ulama yang berbeda aliran pemahaman tersebut mensikapi pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s.,  semata-mata melaksanakan perintah Allah Swt., padahal sebelumnya Mlv. Muhammad Hussein Batalwi telah memuji-muji pembelaan besar yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s. terhadap kesempurnaan agama Islam (Al-Quran) dan kesucian Nabi Besar Muhammad saw.

Tuntutan Jahil  Abu Jahal Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

    Benarlah firman  Allah Swt. berikut ini mengenai Nabi Besar Muhammad saw., dimana sebelumnya  kaum beliau  sendiri telah memberi gelar al-Amin (si Jujur) kepada Nabi Besar Muhammad saw., tetapi ketika  beliau saw atas perintah Allah mendakwakan diri sebagai rasul Allah, tiba-tiba para pemuka kaum Quraisy Makkah tersebut berbalik menjadi penentang keras dan zalim beliau saw. dan mengemukakan berbagai tuntutan mengenai wahyu Al-Quran,  firman-Nya:
وَ  اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِمۡ  اٰیَاتُنَا بَیِّنٰتٍ ۙ قَالَ الَّذِیۡنَ لَا یَرۡجُوۡنَ لِقَآءَنَا ائۡتِ بِقُرۡاٰنٍ غَیۡرِ  ہٰذَاۤ  اَوۡ بَدِّلۡہُ ؕ قُلۡ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ اَنۡ اُبَدِّلَہٗ  مِنۡ تِلۡقَآیِٔ  نَفۡسِیۡ ۚ اِنۡ  اَتَّبِعُ اِلَّا مَا یُوۡحٰۤی اِلَیَّ ۚ اِنِّیۡۤ  اَخَافُ اِنۡ عَصَیۡتُ رَبِّیۡ  عَذَابَ  یَوۡمٍ  عَظِیۡمٍ ﴿﴾  قُلۡ لَّوۡ شَآءَ اللّٰہُ مَا تَلَوۡتُہٗ عَلَیۡکُمۡ  وَ لَاۤ اَدۡرٰىکُمۡ بِہٖ ۫ۖ فَقَدۡ لَبِثۡتُ فِیۡکُمۡ عُمُرًا مِّنۡ  قَبۡلِہٖ ؕ اَفَلَا  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾  فَمَنۡ  اَظۡلَمُ  مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی اللّٰہِ  کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ ؕ اِنَّہٗ  لَا یُفۡلِحُ الۡمُجۡرِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat Kami yang nyata, maka orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: Datangkanlah yang bukan Al-Quran ini, atau ubahlah dia.” Katakanlah: “Sekali-kali tidak patut bagiku untuk mengubahnya dari pihak diriku, tidaklah aku  kecuali hanya  mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, sesungguhnya aku takut pada azab Hari yang  besar  jika aku mendurhakai Tuhan-ku.”    Katakanlah: “Seandainya Allah menghendaki,  aku sama sekali tidak akan  membacakannya kepada kamu dan tidak pula Dia akan memberitahukan mengenainya kepada kamu. Maka sungguh sebelum ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang, tidakkah kamu mempergunakan akal?” Maka  siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu dusta terhadap Allah atau mendustakan Tanda-tanda-Nya? Sesungguhnya orang-orang berdosa  tidak akan berhasil.”  (Yunus [10]:16-18).
      Tuntutan para pemuka kaum kafir Quraisy kepada Nabi Besar Muhammad saw.  Datangkanlah yang bukan Al-Quran ini, atau ubahlah dia” merupakan bukti  kebutaan mata ruhani mereka dan kejahiliyahan  mereka, yakni mereka mereka sendiri sebelumnya telah memberi  gelar al-Amin (si Jujur)   kepada Nabi Besar Muhammad saw., karena mereka menjadi saksi mata bahwa Nabi Besar Muhammad saw. sebelum mendakwakan diri sebagai rasul Allah tidak pernah berkata dusta atau melakukan pengkhianatan  terhadap amanat apa pun dipercayakan kepada beliau.
       Tetapi ketika Nabi Besar Muhammad saw. atas perintah Allah Swt. mendakwakan diri beliau saw. sebagai rasul Allah, tiba-tiba mereka menuduh beliau saw. sebagai pendusta dan mengada-ada wahyu Al-Quran dan meminta beliau saw. untuk mengubah wahyu-wahyu Al-Quran yang mencela keras kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan.
       Firman Allah Swt. pada ayat  17 -- “Maka sungguh sebelum ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang, tidakkah kamu mempergunakan akal?”  -- pernyataan tersebut mengandung batu ujian yang amat jitu untuk menguji kebenaran seseorang yang mengaku (mendakwakan) dirinya seorang nabi (rasul Allah).
   Apabila  kehidupan seorang nabi sebelum dakwa kenabiannya menampakkan kejujuran dan ketulusan hati yang bertaraf luar biasa tingginya -- dan di antara masa itu dengan dakwa kenabiannya tidak ada masa-antara yang dapat memberikan kesan  bahwa beliau telah jatuh dari keutamaan akhlak yang tinggi tarafnya itu -- maka dakwa kenabiannya harus diterima sebagai dakwa orang yang tinggi akhlaknya, orang jujur, dan benar.
     Kenapa demikian? Sebab  seseorang yang terbiasa kepada suatu sikap atau tingkah-laku tertentu disebabkan adat-kebiasaannya atau tabiatnya, akan memer-lukan waktu yang lama untuk mengadakan perubahan besar dalam dirinya untuk menjadi orang baik atau orang buruk, karena itu bagaimanakah mungkin Nabi Besar Muhammad saw.  tiba-tiba dapat berubah menjadi seorang penipu, padahal sepanjang kehidupan beliau saw. sebelum dakwa kenabian, beliau saw. adalah orang yang tidak ada taranya dalam kejujuran dan kelurusan?

Tuntutan Jahil yang Berulang di Akhir Zaman

     Demikian pula halnya dengan Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang kemudian atas perintah Allah Swt. mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s., yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama di Akhir Zaman ini:
فَقَدۡ لَبِثۡتُ فِیۡکُمۡ عُمُرًا مِّنۡ  قَبۡلِہٖ ؕ اَفَلَا  تَعۡقِلُوۡنَ
Maka sungguh sebelum ini aku telah tinggal bersama kamu dalam masa yang panjang, tidakkah kamu mempergunakan akal?”  (Yunus [10]:17).
      Ayat selanjutnya  menjelaskan dua kebenaran yang kekal: (a) Orang-orang yang mengada-adakan dusta mengenai Allah Swt.  dan orang-orang yang menolak dan menentang utusan-utusan-Nya sama sekali tidak akan luput dari hukuman Tuhan; (b) Pendusta-pendusta dan nabi-nabi palsu tidak dapat berhasil dalam tujuannya:
فَمَنۡ  اَظۡلَمُ  مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی اللّٰہِ  کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ ؕ اِنَّہٗ  لَا یُفۡلِحُ الۡمُجۡرِمُوۡنَ ﴿﴾
Maka  siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu dusta terhadap Allah atau mendustakan Tanda-tanda-Nya? Sesungguhnya orang-orang berdosa  tidak akan berhasil.”  (Yunus [10]:18).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 25 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar