Minggu, 07 April 2013

Makna "Dialog" Maryam binti 'Imran dengan Malaikat tentang Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt  


Bab 91


  Makna Dialog Maryam binti ‘Imran dengan Malaikat
 tentang Kelahiran  
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.


 Oleh


 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  bagian akhir Bab  sebelumnya  telah dikemukakan kesaksian orang yang melihat secara langsung peristiwa penyaliban Nabi Isa Ibnu Maryam dalam buku   The Crucifixion by an Eye Witness," yaitu sebuah buku yang untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1873 di Amerika Serikat, merupakan terjemahan dalam bahasa Inggeris dari sebuah naskah surat dalam bahasa Latin purba yang ditulis 7 tahun sesudah peristiwa salib oleh seorang warga (golongan)  Essene di Yerusalem kepada seorang anggota perkumpulan itu di Iskandaria, memberi dukungan yang kuat kepada pendapat bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  telah diturunkan dari salib dalam keadaan masih hidup.
     Kembali kepada kabar gembira yang disampaikan malaikat kepada Maryam binti ‘Imran tentang kelahiran Isa Ibnu Maryam, padahal ia telah bersumpah untuk tidak akan menikah selama hidupnya, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَتِ الۡمَلٰٓئِکَۃُ یٰمَرۡیَمُ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰکِ وَ طَہَّرَکِ وَ اصۡطَفٰکِ عَلٰی نِسَآءِ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾  یٰمَرۡیَمُ اقۡنُتِیۡ لِرَبِّکِ وَ اسۡجُدِیۡ وَ ارۡکَعِیۡ مَعَ  الرّٰکِعِیۡنَ ﴿﴾  ذٰلِکَ مِنۡ اَنۡۢبَآءِ الۡغَیۡبِ نُوۡحِیۡہِ اِلَیۡکَ ؕ وَ مَا کُنۡتَ لَدَیۡہِمۡ  اِذۡ  یُلۡقُوۡنَ اَقۡلَامَہُمۡ اَیُّہُمۡ یَکۡفُلُ مَرۡیَمَ ۪ وَ مَا کُنۡتَ لَدَیۡہِمۡ  اِذۡ  یَخۡتَصِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah  ketika para malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih  engkau,  mensucikan engkau, dan telah  memilih engkau di atas perempuan-perempuan di seluruh alam di masa engkau. Hai Maryam, patuhilah Tuhan engkau, sujudlah dan rukuklah yakni sembahlah Allah bersama orang-orang yang rukuk (yang menyembah Allah)  (Āli ‘Imran [3]:43-44).

Berbagai Makna Keterkejutan Siti Maryam &
Rekayasa Pernikahannya dengan Yusuf

    Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keterkejutan Maryam  menerima kabar gembira tersebut, firman-Nya:
قَالَتۡ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ وَلَدٌ وَّ لَمۡ یَمۡسَسۡنِیۡ بَشَرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکِ اللّٰہُ یَخۡلُقُ مَا  یَشَآءُ ؕ اِذَا قَضٰۤی اَمۡرًا فَاِنَّمَا یَقُوۡلُ لَہٗ  کُنۡ فَیَکُوۡنُ ﴿﴾
Ia, Maryam,  berkata:  “Ya Tuhan-ku,  bagaimana mungkin  aku akan mempunyai anak laki-laki, padahal aku tidak pernah disentuh seorang laki-laki pun?”  Ia, Jibril, berkata: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia menciptakan apa yang Dia ke-hendaki. Apabila Dia memutuskan sesuatu urusan maka Dia berfirman mengenainya: “Jadilah!” maka itu terjadi. (Āli ‘Imran [3]:48).  
     Kabar akan mendapat anak tersebut --  betapa pun menggembirakannya dalam keadaan lazim --  niscaya telah membingungkan sekali Siti Maryam yang ketika itu bukan saja belum bersuami, bahkan  telah direncanakan untuk tetap tak bersuami  seumur hidup. Ayat ini melukiskan kebingungan beliau yang sewajarnya. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. benar-benar  tidak berayah, seperti diisyaratkan oleh kata-kata Siti Maryam:  aku tidak pernah disentuh seorang laki-laki.
   Setelah diwakafkan untuk berbakti di rumah peribadatan oleh ibunya  (QS.3:36-38), Siti Maryam tidak dapat menikah sesuai dengan sumpahnya untuk hidup tidak bersuami. Jika beliau terpaksa harus menikah dan mendapat anak secara wajar  maka tiada alasan bagi beliau untuk terkejut ketika kelahiran seorang anak dikabarkan kepada beliau oleh malaikat dalam suatu kasyaf.
      Tidak ada gadis yang normal akan terkejut, bila kepadanya diberitahukan dalam kasyaf bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki, sebab tentunya ia akan berkesimpulan bahwa anak yang dijanjikan itu akan dilahirkan sesudah ia menikah.
Dalam Injil Maryam, sumpah tidak akan bersuami itu jelas disebut. Kita dapatkan hal itu dalam fasal 5 Injil tersebut, bahwa ketika Imam Besar membuat perintah umum bahwa semua gadis penghuni rumah peribadatan yang telah mencapai umur empat belas tahun, harus pulang ke rumah masing-masing, semua gadis menepati perintah itu, tetapi “Siti Maryam, sang gadis Tuhan” saja yang menjawab tidak dapat mematuhi perintah itu; dan sebagai alasan penolakan beliau mengemukakan bahwa beliau dan orangtua beliau telah menyerahkan beliau untuk berbakti kepada Tuhan, dan bahwa beliau bersumpah untuk tetap menggadis bagi Tuhan, dan beliau telah memutuskan tidak akan melanggar sumpah itu (Injil Maryam 5:4,5,6).
      Jadi, pernikahan beliau di kemudian hari dengan Yusuf  -- yang dirancang oleh para pendeta yang heboh karena  mengetahui gadis Maryam sedang hamil  (QS.3:45) bertentangan dengan sumpahnya dan berlawanan dengan hasrat beliau sendiri. Tetapi beliau terpaksa oleh keadaan untuk menikah, ketika beliau menyadari bahwa beliau telah mengandung.
    Para Imam terpaksa harus mengatur pernikahan beliau untuk menghindarkan kehebohan. Tetapi tidak nampak dari Injil bagaimana Yusuf telah dibuat menyetujui, sebab jelas bahwa ia tidak mengetahui keadaan hamilnya Siti Maryam pada saat pernikahan terjadi (Matius 1:18,19). Agaknya beberapa dalih yang dapat diterima telah ditemukan untuk membenarkan pelanggaran sumpah itu. 

Informasi  Al-Quran Mengenai Siti Maryam
Lebih Terinci daripada Injil & Makna “Ruh Kami

      Firman Allah Swt. berikut ini mengemukakan hal-hal lainnya tentang  Maryam yang tidak dikemukakan   dalam QS.3:46-47 sebelumnya :
وَ اذۡکُرۡ فِی الۡکِتٰبِ مَرۡیَمَ ۘ اِذِ انۡتَبَذَتۡ مِنۡ اَہۡلِہَا مَکَانًا شَرۡقِیًّا ﴿ۙ﴾   فَاتَّخَذَتۡ مِنۡ دُوۡنِہِمۡ  حِجَابًا ۪۟ فَاَرۡسَلۡنَاۤ  اِلَیۡہَا رُوۡحَنَا فَتَمَثَّلَ لَہَا بَشَرًا سَوِیًّا ﴿﴾  قَالَتۡ اِنِّیۡۤ  اَعُوۡذُ بِالرَّحۡمٰنِ مِنۡکَ اِنۡ کُنۡتَ تَقِیًّا ﴿﴾  قَالَ  اِنَّمَاۤ  اَنَا رَسُوۡلُ رَبِّکِ ٭ۖ لِاَہَبَ لَکِ غُلٰمًا  زَکِیًّا ﴿﴾  قَالَتۡ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ وَّ لَمۡ یَمۡسَسۡنِیۡ  بَشَرٌ  وَّ  لَمۡ   اَکُ  بَغِیًّا ﴿﴾  قَالَ  کَذٰلِکِ ۚ قَالَ رَبُّکِ ہُوَ  عَلَیَّ ہَیِّنٌ ۚ وَ  لِنَجۡعَلَہٗۤ  اٰیَۃً  لِّلنَّاسِ وَ رَحۡمَۃً  مِّنَّا ۚ وَ کَانَ  اَمۡرًا مَّقۡضِیًّا ﴿﴾
Dan ceriterakanlah di dalam Kitab itu mengenai Maryam, ketika ia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur,  maka ia membuat di antara mereka tabir lalu Kami  mengutus kepadanya  malaikat Kami (rūhanā) lalu ia menampak kepadanya berupa manusia sempurna.  Ia, Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung kepada Yang Maha Pemurah dari engkau, jika engkau bertakwa.  Ia, malaikat, menjawab: "Sesungguhnya aku  se­orang utusan Tuhan engkau supaya  aku memberikan kabar gembira kepada engkau mengenai seorang anak laki-laki suci." Ia, Maryam,  berkata:  Bagai­manakah akan menjadikan seorang anak laki-laki bagiku, padahal tidak ada seorang manusia menyentuhku, dan aku tidak berzina?”   Ia, malaikat, berkata: "Demi-kianlah.” Tuhan engkau ber­firman: "Itu mudah bagi-Ku, dan supaya Kami menjadikan dia suatu Tanda bagi manusia serta suatu rahmat dari Kami, dan hal itu adalah perkara yang telah di­putuskan. “(Maryam [19]:17-22).
 Kiranya tepat benar dan pada tempatnya mengemukakan beberapa kenyataan mengenai Siti Maryam dalam Al-Quran dan Perjanjian Baru, sebagai pendahuluan bagi uraian yang agak terinci mengenai kelahiran Isa Al-Masih a.s.  tanpa ayah seperti dikemukakan dalam beberapa ayat berikut ini. Perjanjian Baru praktis tidak memberi penjelasan  apa pun mengenai kehidupan Siti Maryam sebelum beliau hamil.
Injil-Injil Matius dan Lukas memberi gambaran-gambaran yang sangat singkat, lagi sebentar-sebentar menyimpang dan pokok mengenai keadaan-keadaan Siti Maryam sebelum terjadi peristiwa penting tersebut, sedangkan Injil Markus dan Injil Yahya  sama sekali bungkam mengenai itu.
Menurut Matius ketika Siti Maryam hendak dinikahkan dengan Yusuf, pada waktu itu beliau telah mengandung. Yusuf berniat secara diam-diam melepaskan beliau  tetapi dicegah oleh seorang malaikat yang berkata kepadanya dalam mimpi agar jangan mengambil tindakan terlampau jauh itu:
"Hai Yusuf anak Daud, janganlah engkau kuatir menerima Maryam itu menjadi istrimu, karena kandungannya itu terbit dari Ruhulqudus” (Matius 1:1920).
Tetapi Al-Quran menguraikan dengan cara yang jauh lebih terinci mengenai  keluarga Siti Maryam dengan mengemukakan keadaan-keadaan yang bertalian dengan kelahirannya, nazar ibunya, diwakafkannya beliau untuk mengkhidmati rumah ibadah, dan pada akhirnya mengenai beliau mengandung Isa a.s. (QS.3:36-37 & 48).
Surah Maryam ini memberi uraian yang lebih terinci lagi mengenai Siti Maryam ketika beliau mengandung Nabi Isa a.s.   dan mengenai apa yang  menimpa diri beliau dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. setelah dilahirkan dan setelah  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. mendapat tugas sebagai utusan (rasul)  Allah,  dengan demikian mengemukakan segala hal terinci mengenai Siti Maryam yang ada sangkut-pautnya dengan masalah penting berkenaan dengan masalah kenabian, yang tidak lama lagi akan dipindahkan dari keturunan (Bani) Ishaq kepada keturunan (Bani) Isma’il, hal ini merupakan masalah terpokok dalam Surah ini.
Dalam ayat ini telah disinggung secara khusus mengenai "suatu tempat di sebelah Timur" nampaknya untuk mengisyaratkan kepada adat kebiasaan kaum Yahudi semenjak dahulu kala untuk mengeramatkan arti Timur. Baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen, kedua-duanya memandang Timur itu dengan penghormatan yang khas. Mereka mendirikan tempat-tempat ibadah mereka menghadap jurusan Timur.
     Kata rūh dalam kalimat “lalu Kami  mengutus kepadanya  rūhanā (malaikat Kami)  lalu ia menampak kepadanya berupa manusia sempurna“ berarti:  ruh atau jiwa, nafas yang memenuhi seluruh jisim, dan apabila nafas berhenti  maka orang akan mati; wahyu Ilahi atau ilham; Al-Quran; malaikat; kegembiraan dan kebahagiaan; rahmat (Lexicon Lane).
   Dari berbagai arti rūh dan kalimah tersebut di atas jelaslah bahwa tidak ada kedudukan ruhani yang istimewa pada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. Kata-kata itu dan ucapan-ucapan lainnya yang seperti itu dipakai dalam Al-Quran mengenai nabi-nabi lainnya, dan juga mengenai orang-orang shalih lainnya seperti Siti Maryam (QS.15:30; QS.32:10; QS.58:23).
    Kata-kata itu telah dipergunakan semata-mata untuk membersihkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  dan Siti Maryam dari noda-noda yang dilemparkan oleh orang-orang Yahudi kepada kedua mereka itu  -- sebagai pezina dan anak haram -- dan bukan memberikan kepada mereka suatu kedudukan ruhani istimewa, sehingga harus dipertuhankan (QS.5:117-119).

Makna Dialog Siti Maryam dengan Malaikat dalam Kasyaf
 
  Ungkapan ini menunjukkan. bahwa kabar gembira dari Allah Swt.   mengenai kelahiran seorang putra agung itu  tidak disampaikan kepada Siti Maryam berupa kata-kata yang diucapkan dan beliau dapat mendengarnya, melainkan berupa mimpi atau kasyaf. Jadi, dalam kasyaf tersebut  satu  malaikat datang kepada beliau berupa seorang laki-laki segar bugar  menyampaikan kepada beliau amanat Ilahi mengenai kelahiran seorang putra. Jadi bukanlah suatu ruh yang masuk ke dalam tubuh Siti Maryam melainkan hanya satu malaikat dalam wujud seorang laki-laki  dan nampak kepada beliau dalam kasyaf.
  Seperti jelas dari ayat yang mendahuluinya apa yang dilihat Siti Maryam hanyalah sebuah kasyaf,  dan pada umumnya bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukainya dalam keadaan bangun  maka tidak disukainya pula hal itu bila dilihatnya dalam kasyaf.
Ketika Siti Maryam melihat malaikat itu sedang berdiri di hadapannya berupa seorang laki-laki, maka sebagai seorang perempuan  shalih sangat wajar  beliau terperanjat dan menjadi bingung seperti pula beliau akan terperanjat dan menjadi bingung seandainya dalam keadaan bangun melihat seorang laki-laki di dekat beliau, karena itu sudah sewajarnya kalau beliau mohon perlindungan Ilahi terhadap orang itu: “Ia, Maryam berkata:
"Sesungguhnya aku berlindung kepada Yang Maha Pemurah dari engkau, jika engkau bertakwa.”  Ia, malaikat, menjawab: "Sesungguhnya aku  se­orang utusan Tuhan engkau supaya  aku memberikan kabar gembira kepada engkau  mengenai seorang anak laki-laki suci." (ayat 19-20).
 Kata "utusan"  menunjukkan bahwa malaikat itu hanya pengemban amanat Tuhan, dan bahwa malaikat itu  tidak datang untuk memberi Siti Maryam seorang anak melainkan hanya membawa kabar gembira mengenai kelahiran seorang anak. Siapa yang tidak mengetahui bahwa Allah-lah yang mengaruniakan anak dan bukan malaikat? Tugas malaikat hanya terbatas pada penyampaian kehendak dan keputusan Tuhan saja. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
Ia, Maryam,  berkata:  Bagai­manakah akan menjadikan seorang anak laki-laki bagiku, padahal tidak ada seorang manusia menyentuhku, dan aku tidak berzina?” (ayat 21).  
 Peristiwa yang disinggung dalam ayat 21   dan ayat-ayat sebelumnya terjadi dalam suatu kasyaf,  dan dalam kasyaf atau mimpi orang dapat mengalami aneka-ragam perasaan pada saat-saat yang berlainan. Kadangkala perasaan dan bicaranya dalam mimpi itu dikuasai dan berada di bawah pengaruh mimpi, sedang pada waktu lain tidak demikian keadaannya, dan ia mempunyai perasaan dan berbicara seperti ia akan merasa dan berbicara dalam keadaan bangun.
Sebagai misal, jika dalam mimpi seorang bergirang hati atas wafat anaknya maka perasaannya akan dianggap sebagai berada di bawah pengaruh suasana mimpi, sebab dalam keadaan bangun  tidak seorang pun manusia yang waras akan bergirang hati atas kematian anaknya.

Sebagai “Tanda” dan “Rahmat” dari Allah Swt.

Jadi, jika kata-kata yang diucapkan oleh Siti Maryam ketika beliau melihat malaikat dalam kasyaf itu ada di bawah pengaruh kasyaf, maka kata-kata itu akan mengandung arti  bahwa ketika kabar gembira itu disampaikan kepada beliau, saat itu beliau menjadi heran bercampur gembira, apakah benar Allah Swt.  akan memperlihatkan  mukjizat semacam itu dengan menganugerahi beliau seorang anak padahal beliau seorang gadis.
Tetapi jika kata-kata yang diucapkan   Siti Maryam  ketika disampaikan kabar gembira mengenal lahirnya seorang anak itu dianggap pernyataan wajar dari beliau, maka kata-kata itu akan menunjukkan bahwa beliau sama sekali kehilangan akal dan dicekam rasa takut demi terpikir bahwa beliau akan melahirkan seorang anak, padahal beliau seorang gadis.
Dalam keadaan pertama, keheranan beliau itu timbul dari rasa sangat senang atas karunia besar yang  Allah Swt.   akan anugerahkan kepada Siti Maryam; dan  dalam keadaan kedua, keheranan itu menunjukkan cetusan rasa kebingungan beliau, dan menggambarkan ketakutan yang menguasai jiwa beliau pada saat itu.
Sedang kata­-kata “padahal tidak ada seorang manusia menyentuhku” menunjukkan, bahwa Siti Maryam akan memperoleh seorang anak tanpa menaiki jenjang pernikahan yang resmi, jika tidak demikian, sangkalan bahwa beliau tidak pernah mengenal seorang laki-laki dalam keadaan sebagai suami beliau tidak ada artinya,  dan kata-kata “dan aku tidak berzina” mengisyaratkan kepada sangkalan adanya beliau mengenal seorang laki­-laki di luar pernikahan.
Dalam jawabannya kepada malaikat rupanya beliau memikirkan sumpah beliau akan tetap mendara, yang meniadakan segala kemungkinan memperoleh keturunan. Seandainya beliau mengira bahwa janji yang  diberikan dalam ayat terdahulu menunjuk kepada kelahiran seorang anak sebagai hasil hubungan suami-istri pada suatu waktu yang akan datang — seperti dianggap oleh beberapa ahli tafsir Al-Quran — kemudian tidak ada alasan bagi beliau untuk menyatakan keheranan apa pun, firman-Nya:  
Ia, malaikat, berkata: "Demikianlah.” Tuhan engkau ber­firman: "Itu mudah bagi-Ku, dan supaya Kami menjadikan dia suatu Tanda bagi manusia serta suatu rahmat dari Kami, dan hal itu adalah perkara yang telah di­putuskan.“ (Maryam [19]:22).
 Ungkapan  supaya Kami menjadikan dia suatu Tanda bagi manusia” berarti  kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  tanpa ayah  yang sungguh merupakan suatu Tanda besar bagi Bani Israil, hal itu mengisyaratkan bakal terjadi perpindahan kenabian dari keturunan (Bani) Israil kepada keturunan (Bani)  Isma’il, dan merupakan peringatan kepada Bani Israil  bahwa ruhani mereka telah begitu rusak serta  akhlak mereka telah begitu mundur, sehingga tidak ada seorang laki-laki di antara mereka yang layak menjadi ayah seorang nabi Allah

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 7  April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar