Jumat, 19 April 2013

Makna "Sabbaha" atau "Yusabbihu" (Bertasbihnya) Alam Semesta & Pentingnya Keberadaan Suatu "Jama'ah" yang Hakiki di Kalangan Umat Islam




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 101


Makna   Sabbaha atau  Yusabbihu (Bertasbihnya) Alam Semesta
&
Pentingnya Keberadaan Suatu “Jama’ah” yang Hakiki  di Kalangan Umat Islam

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   bagian akhir  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  persamaan  adanya tujuh tingkatan ruhani  dan tujuh tingkatan perkembangan  janin manusia di dalam rahim ibu, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ﴿ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِلزَّکٰوۃِ  فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ  ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Sungguh  telah berhasil   orang-orang yang beriman,  yaitu orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya,   dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia,  dan  orang-orang yang membayar zakat,  dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela,   tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas,  dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka, dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.  Mereka itulah pewaris, yaitu  orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,  mereka akan   kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).

Falah (Kesuksesan) Lebih Tinggi daripada
Najat (Keselamatan)

   Ayat 1   menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat tinggi – “Sungguh  telah berhasil   orang-orang yang beriman” --  sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan), sebab mencapai falah menandakan tingkat ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat.
  Dengan ayat 2 mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi atau prasyarat-prasyarat yang seorang beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)  dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama, yang untuk itu Allah Swt.   telah menciptakan dia (QS.51:57).
    Syarat-syarat tersebut dapat dianggap sekian banyak tingkat perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah bahwa seorang  beriman harus menghadap kepada Tuhan dengan penuh kerendahan diri, merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal dan merendahkan diri: “orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya.
  Tingkat kedua terletak dalam berpaling dari segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta tidak membawa manfaat. Kehidupan merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius,  dan seorang beriman harus menanggapinya demikian. Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan sia-sia yang tidak berguna: “dan  orang-orang yang berpa-ling dari hal yang sia-sia.”
  Tujuan zakat bukan hanya menyediakan sarana-sarana untuk meringankan beban orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah juga penimbunan uang dan bahan-bahan keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar mengakibatkan terciptanya keseimbangan ekonomi yang sehat: “orang-orang yang membayar zakat.”

Pernikahan dan Upaya Penjagaan Kesucian Diri &
Memelihara Amanat  dan Perjanjian

     Tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya  adalah penjagaan  kesucian farji yang dikemukakan oleh ayat selanjutnya, hal tersebut  telah dijelaskan secara terinci pada Bab sebelumnya mengenai dua jenis  perempuan  atau istri berdasarkan latar belakang perbedaan  sosial, yakni: (1) perempuan beriman yang merdeka; (2) mā malakat aimanuhum (perempuan yang dimiliki tangan kanannya), firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾    
dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercelatetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas.    (Al-Mu’minūn [23]:5-8).
   Dari penjelasan mengenai menjaga kesucian farj (kemaluan) tersebut membuktikan bahwa kesuksesan orang-orang beriman dalam masalah pernikahan  atau rumahtangga,  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari  orang-orang beriman untuk menjadi pewaris surga Firdaus, serta membuktikan kesakralan lembaga pernikahan.
   Oleh karena itu  bagaimana mungkin orang-orang  yang berlaku khianat dalam masalah pernikahan (rumahtangga) akan menjadi pewaris surga Firdaus, sebab Allah Swt. sangat membenci semua bentuk pengkhianatan,   firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾
dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka,   (Al-Mu’minūn [23]:9).
   Yakni mereka memenuhi  amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian  terhadap Allah Swt. (haququlLāh) mau pun terhadap sesama manusia (haququl- ‘ibād), sebab semua itu akan diminta pertanggungjawaban  oleh Allah Swt.. Salah satu amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian  adalah amanat dan perjanjian yang diikrarkan pada waktu melakukan pernikahan.
    Ayat 11— “dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka” -- menandai tingkat perkembangan ruhani yang terakhir dan tertinggi, di mana zikir Ilahi menjadi fitrat kedua bagi seorang beriman dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wujudnya serta penghibur bagi ruhnya. Pada tingkat ini ia menaruh perhatian khusus kepada amal ibadah yang dilakukan bersama-sama (berjamaah), yang menunjukkan  bahwa perasaan dan kesadaran berkaum menjadi sangat kuat dalam dirinya dan ia membelakangkan kepentingan-kepentingan diri pribadi serta mendahulukan kebaikan bersama dan kepentingan kaum.

Makna Kata Sabbaha dan Yusabbihu (Bertasbih)

   Mengisyaratkan kepada pentingnya berada dalam satu “jama’ah” itulah peringatan Allah Swt. kepada umat Islam dalam firman-Nya berikut ini:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  سَبَّحَ  لِلّٰہِ مَا  فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ۚ وَ  ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا  لِمَ  تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا  تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾   کَبُرَ  مَقۡتًا عِنۡدَ  اللّٰہِ  اَنۡ  تَقُوۡلُوۡا مَا  لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ  صَفًّا کَاَنَّہُمۡ  بُنۡیَانٌ  مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Menyanjung kesucian Allah apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun  yang ada di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan? Adalah sesuatu yang paling di-benci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang  dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun rapat.  (Ash-Shaf [61]:1-5).
Sabbaha fī hawā’ijihi artinya:  ia menyibukkan diri dalam mencari nafkah, atau sibuk dalam urusannya. Sabh berarti: mengerjakan pekerjaan, atau mengerjakannya dengan usaha sekeras-kerasnya serta secepat-cepatnya, dan ungkapan subhānallāh me-nyatakan kecepatan pergi berlindung kepada Allāh dan kesigapan melayani dan menaati perintah-Nya.
Mengingat akan arti dasar kata ini, masdar isim (kata benda infinitif) tasbih dari sabbaha artinya  menyatakan bahwa Allah Swt. itu  jauh dari segala kekurangan atau aib, atau cepat-cepat memohon bantuan ke hadirat Allah Swt. dan sigap dalam menaati Dia sambil mengatakan Subhānallāh (Lexicon Lane).
Oleh karena itu ayat ini berarti bahwa segala sesuatu di alam semesta sedang melakukan tugasnya masing-masing dengan cermat dan teratur, dan dengan memanfaatkan kemampuan-kemampuan serta kekuatan-kekuatan yang dilimpahkan Allah Swt. kepadanya, memenuhi tujuan ia diciptakan dengan cara yang sangat ajaib,  sehingga kita  mau tidak mau  harus mengambil kesimpulan bahwa Allah Swt. -- Sang Perencana dan Arsitek  atau Rabb alam semesta ini -- sungguh Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, dan bahwa seluruh alam semesta secara keseluruhan dan tiap-tiap makhluk secara individu serta dalam batas kemampuannya masing-masing, memberi kesaksian mengenai kebenaran yang tidak dapat dipungkiri, bahwa karya Allah Swt.  itu mutlak bebas dari setiap kekurangan, aib atau ketidaksempurnaan dalam segala seginya yang beraneka ragam dan banyak itu. Inilah maksud kata tasbih yakni sabbaha atau yusabbihu.
      Jadi, kalimat sabbaha atau yusabbihu  yakni  menyanjung kesucian Allah apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun  yang ada di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana” mengisyaratkan kepada tatanan alam semesta yang keadaannya merupakan suatu “jama’ah” dimana semua bagiannya – baik yang paling kecil maupun yang paling besar – baik secara sendiri-sendiri mau pun secacara bersama-sama bertasbih  (menyanjung kesucian) Allah Swt.. Itulah salah satu makna kata sabbaha atau yusabbihu   berkenaan tatanan alam semesta.

Jama’ah yang Hakiki Hanyalah Jama’ah Ilahi

  Sehubungan pentingnya meniru kesempurnaan “jama’ah” tatanan alam semesta tersebut selanjutnya Allah Swt. memperingatkan umat Islam – terutama di Akhir Zaman  ini --  Dia berfirman:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا  لِمَ  تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا  تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾   کَبُرَ  مَقۡتًا عِنۡدَ  اللّٰہِ  اَنۡ  تَقُوۡلُوۡا مَا  لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan?  Adalah sesuatu yang paling dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan    (Ash-Shaf [61]:3-4). 
    Perbuatan seorang Muslim hendaknya sesuai dengan pernyataan-pernyataannya. Bicara sombong dan kosong membawa seseorang tidak keruan kemana yang dituju, dan ikrar-ikrar lidah tanpa disertai perbuatan-perbuatan nyata adalah berbau kemunafikan dan ketidaktulusan.
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya umat Islam merupakan suatu “jama’ah” yang hakiki, seperti halnya di masa Nabi Besar Muhammad saw.:
اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ  صَفًّا کَاَنَّہُمۡ  بُنۡیَانٌ  مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang  dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun rapat.  (Ash-Shaf [61]:1-5).
  Orang-orang Muslim diharapkan tampil dalam barisan yang rapat, teguh dan kuat terhadap kekuatan-kekuatan kejahatan, di bawah komando pemimpin (imam) mereka, yang terhadapnya mereka harus taat dengan sepenuhnya dan seikhlas-ikhlasnya. Tetapi suatu kaum, yang berusaha menjadi satu jemaat yang kokoh-kuat, harus mempunyai satu tata-cara hidup, satu cita-cita, satu maksud, satu tujuan dan satu rencana untuk mencapai tujuan itu.
  Jama’ah (jemaat)  hanyalah  suatu Jemaat Ilahi yang didirikan oleh Rasul Allah, dan di Akhir Zaman ini Jema’ah (jemaat) yang seperti Jemaat di zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan para Khulaftur Rasyidin hanyalah Jemaat Ahmadiyah, yaitu suatu Jama’ah Muslim yang didirikan oleh Rasul Akhir Zaman atau Al-Masih Mau’ud atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.43:58) yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. (QS.61:10; QS.62:3-5).
    Sehubungan dengan Surah Al-Mukminun yang tengah dibahas, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Mereka itulah pewaris, yaitu  orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,  mereka akan   kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
  Yakni, karena orang-orang beriman yang disebut dalam ayat-ayat yang mendahuluinya menghimpun dalam diri mereka segala macam sifat mulia maka mereka akan disuruh bermukim di surga Firdaus yang berisikan segala sesuatu yang terdapat dalam kebun mana pun (Lexicon Lane). Sebab mereka mendatangkan kematian terhadap keinginan-keinginan mereka sendiri, maka sebagai imbalannya Allah Swt.akan memberi mereka kehidupan kekal dan mereka akan memperoleh segala yang mereka inginkan (QS.50:36).
     Demikianlah hikmah-hikmah dari firman Allah Swt.  yang sedang dibahas mengenai orang-orang beriman yang akan menjadi pewatis surga Fir’daus:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡو مُعۡرِضُوۡنَ﴿ۙ﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِلزَّکٰوۃِ  فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ  ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾

Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Sungguh  telah berhasil orang-orang yang beriman,  yaitu orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya,   dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia,  dan  orang-orang yang membayar zakat,  dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,    kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela,   tetapi barangsiapa mencari selain dari itu maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas,  dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka, dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.  Mereka itulah pewaris, yaitu  orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,  mereka akan   kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 18 April 2013

2 komentar:

  1. bertasbih itu apa ? bukan nya akar kata tasbih itu sabbaha arti nya menyelami atau berenang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Subhana berasal dari kata sabbaha yang artinya menjauh. Itu sebabnya ketika kita mengucap subhanallah, artinya kita menjauhkan segala bentuk keburukan dan kekurangan dari Allah SWT, sehingga kalimat zikir ini selalu kita ucapkan saat melaksanakan salat.

      Hapus