Sabtu, 20 April 2013

Makna Perintah Kepada Para Malaikat Untuk "Sujud" Kepada Adam




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 103


Makna   Perintah Kepada Para Malaikat   Untuk “Sujud” 
Kepada  Adam

 Oleh


 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   bagian akhir  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  makna “peniupan ruh” dari segi ruhani berkenaan dengan Adam,  yakni  menurunkan wahyu kepada Adam – seorang Khalifah Allah  atau Rasul Allah -- firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ ﴿﴾ وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ  اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾  فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ  وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ  کُلُّہُمۡ  اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ﴾   اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh  Kami benar-benar telah menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk.  Dan sebelumnya Kami telah menjadikan  jin dari api angin panas. Dan ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat:  ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Maka  apabila Aku telah membentuknya  dengan sempurna dan   Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka  sujudlah yakni patuh-taatlah  kamu kepadanya.”   Maka  malaikat-malaikat itu sujud semuanya bersama-sama,   kecuali iblis, ia menolak menjadi termasuk di antara  mereka yang sujud. (Al-Hijr [15]:27-31).
     Diciptakan-Nya  manusia  dari  shalshal (tanah liat  kering-denting)  mengandung arti, bahwa ia telah diciptakan dari zat yang di dalamnya terkandung kemampuan dan sifat-sifat yang latent (tersembunyi) untuk berbicara. Ini menunjukkan, bahwa manusia telah dianugerahi kekuatan untuk menyambut suara dari langit.
     Akan tetapi karena shalshal itu mengeluarkan suara hanya apabila terkena oleh sesuatu benda dari luar, maka kata itu mengisyaratkan, bahwa kekuatan manusia untuk menyambut itu bergantung pada penerimaan dia terhadap seruan Ilahi. Kemampuan ini membuktikan keunggulannya dari seluruh makhluk. Kata hamā’ mengandung arti, bahwa manusia telah diciptakan dari lumpur hitam, yakni tanah dan air. Yakni tanah merupakan sumber badan jasmani, dan air itu sumber ruh.
      Di lain tempat Al-Quran menyebutkan “tanah” dan “air” secara terpisah sebagai benda-benda yang darinya manusia telah diciptakan (QS.3:60; QS.21:31). Dengan menggabungkan kata shalshal (tanah liat kering-denting) kepada kata hamā’ (lumpur hitam), Al-Quran bermaksud menunjukkan, bahwa di mana makhluk-makhluk lainnya yang bernyawa diciptakan dari hamā’ (lumpur hitam) saja, yaitu dari tanah dan air — sebab mereka pun memiliki semacam ruh tertentu, tetapi tidak berkembang dengan sempurna — maka sebaliknya manusia diciptakan dari hamā’ (lumpur hitam) dipadukan dengan shalshal (tanah liat kering denting), yang menunjukkan sifat berbicara. Ia pun masnun, yakni diberi bentuk yang sempurna (QS. 95:5).

 Alam Semesta Diciptakan di Bawah Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. &
Makna Diciptakan dari “Tanah Liat  dan  Api”

     Ayat  27  tidak berarti bahwa lumpur itu sekaligus memperoleh bentuk suatu wujud yang hidup tatkala Allah Swt.menghembuskan ruh ke dalamnya. Berulang-ulang kali Al-Quran menyatakan, bahwa kejadian alam semesta itu berlangsung setahap demi setahap di bawah sifat Rabbubiyyat Allah Swt. (QS.1:2). Ayat yang sekarang ini hanya menyebutkan tahapan pertama saja dari kejadian manusia itu. Tahapan-tahapan lain dalam kejadiannya itu telah disebutkan dalam QS.30:21; QS.35:12; QS.22:6; QS.23:15 dan Qs.40:68.
      Pernyataan Al-Quran bahwa manusia telah diciptakan dari “tanah” (yang secara sepintas lalu berarti, bahwa proses kejadiannya yang panjang itu dimulai dengan tanah), dikuatkan oleh kenyataan, bahwa bahkan sekarang juga makanan manusia berasal dari tanah, beberapa bagian tertentu dari makanan itu diambil langsung darinya dan beberapa bagian lainnya lagi secara tidak langsung.
     Hal ini menunjukkan bahwa zat yang terkandung dalam tanah, merupakan asal manusia; sebab sekiranya bukan demikian, niscaya ia tidak dapat mengambil gizinya (zat sari makanannya) dari tanah, sebab yang dapat memberikan makanan kepada suatu wujud, hanyalah barang yang darinya telah dibuat wujud itu, karena unsur dari luar tidak akan mampu mengisi apa yang telah menjadi susut.  
    Sebuah ungkapan Al-Quran yang serupa ini ialah manusia dijadikan dari ketergesa-gesaan (QS.21:38), menunjukkan bahwa ayat yang sedang dalam pembahasan ini – bahwa  jin diciptakan dari api angin panas -- berarti  bahwa jin memiliki pembawaan seperti api dan bukan bahwa makhluk jin itu sesungguhnya dibuat dari api sebagaimana yang umumnya dipercayai.
      Dengan demikian “dijadikannya dari tanah liat” mengandung arti, berpembawaan lemah lembut dan suka tunduk, sedangkan “dijadikannya dari api” mengandung arti, bertabiat seperti api dan mudah menyala, itulah sebabnya  karakter para penentang rasul Allah dari zaman ke zaman sama dengan  karakter Iblis yakni menyukai kekerasan dan penumpahan darah, sebagaimana yang diprediksi oleh para malaikat  ketika Allah Swt. berkehendak menjadikan seorang Khalifah Allah, yakni Adam (QS.2:31).
    Dengan kata “malaikat” dimaksudkan seluruh makhluk, sebab malaikat-malaikat merupakan mata rantai pertama dari semua kejadian, oleh karena satu perintah yang diberikan kepada mereka, sebenarnya berlaku untuk seluruh makhluk. Ini merupakan suatu kenyataan, bahwa di mana pada tempat lain Al-Quran menyebutkan perintah Allah Swt.   kepada malaikat-malaikat supaya “sujud” kepada “Adam”, maka dalam ayat sekarang ini dan dalam ayat-ayat berikutnya  kata “Adam” diganti dengan kata “basyar” yaitu “manusia”. Dengan demikian, kedua perkataan ini telah dipergunakan dalam Al-Quran dalam arti yang sama.
    Perintah yang diberikan kepada para malaikat berkenaan dengan Adam a.s.  berlaku bagi setiap  atau seluruh manusia. Allah Swt. menghembuskan (meniupkan) ruh-Nya ke dalam wujud tiap-tiap manusia yang keadaan ruhaninya telah “terbentuk” sempurna – seperti halnya munculnya “ruh” pada janin bayi dalam rahim ibu (QS.23:13-15) -- dan para malaikat diperintahkan mengkhidmatinya. Manusia merupakan khalifah Allah di atas muka bumi, dan di dalam dirinya ia dapat mencerminkan sifat-sifat Allah Swt.

Makna Perintah “Sujud” kepada Para  Malaikat

   Allah Swt.  menghukum syaitan (QS.15:35-36) atas pembangkangannya terhadap perintah yang ditujukan kepada para malaikat (QS.15:29-30), sebab perintah yang diberikan kepada malaikat-malaikat itu, dengan sendirinya berlaku pula bagi semua makhluk yang berada di bawah wewenang malaikat-malaikat. Al-Quran sendiri di tempat lain membuat jelas, bahwa perintah kepada malaikat berlaku untuk iblis juga (QS.7:12- 13). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ یٰۤـاِبۡلِیۡسُ مَا لَکَ اَلَّا تَکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ لَمۡ  اَکُنۡ  لِّاَسۡجُدَ  لِبَشَرٍ  خَلَقۡتَہٗ مِنۡ  صَلۡصَالٍ  مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ قَالَ  فَاخۡرُجۡ  مِنۡہَا فَاِنَّکَ  رَجِیۡمٌ ﴿ۙ﴾   وَّ اِنَّ عَلَیۡکَ اللَّعۡنَۃَ اِلٰی یَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿﴾
Allah berfirman: “Hai iblis, apa yang telah terjadi dengan engkau bahwa engkau tidak menjadi termasuk di antara mereka yang sujud?”    Ia menjawab: “Aku tidak mau sujud yakni patuh-taat  kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya  dari tanah liat kering yang mendenting, dari lumpur yang telah diberi bentuk.”  Allah berfirman: “Maka keluarlah darinya karena sesungguhnya engkau terkutuk. Dan  sesungguhnya atas engkau ada kutukan-Ku hingga Hari Pembalasan.”  (Al-Hijr [15]:33-36).
    Ungkapan   Hai iblis, apa yang telah terjadi dengan engkau bahwa engkau tidak menjadi termasuk di antara mereka yang sujud?  berarti pula: “apa gerangan yang membuat engkau menderita; apakah alasan engkau; kenapa gerangan engkau ini?”
  Kata ganti  dalam ungkapan minhā  pada kalimat “Maka keluarlah darinya karena sesungguh-nya engkau terkutuk tidak menunjuk kepada surga di akhirat, sebab surga itu suatu tempat, yang syaitan tidak mungkin memasukinya dan menggoda Adam  a.s., dan dari tempat (surga) itu tiada seorang pun akan dikeluarkan (QS.15:49).
     Kata ganti itu menunjuk kepada keadaan senang dan bahagia yang dialami oleh manusia di dunia ini sebelum seorang nabi Allah datang kepada mereka. Dalam keadaan demikian, kendatipun mungkin mereka terperosok ke dalam kepercayaan-kepercayaan yang keliru, namun karena belum sampai menolak seorang nabi, mereka sama sekali tidak luput dari anugerah nikmat-nikmat Ilahi yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai jannah (kebun). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ رَبِّ فَاَنۡظِرۡنِیۡۤ  اِلٰی یَوۡمِ یُبۡعَثُوۡنَ ﴿﴾  قَالَ فَاِنَّکَ مِنَ الۡمُنۡظَرِیۡنَ ﴿ۙ﴾  اِلٰی یَوۡمِ  الۡوَقۡتِ  الۡمَعۡلُوۡمِ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ بِمَاۤ  اَغۡوَیۡتَنِیۡ لَاُزَیِّنَنَّ  لَہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ  وَ لَاُغۡوِیَنَّہُمۡ  اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ﴾  اِلَّا عِبَادَکَ  مِنۡہُمُ  الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿﴾
Ia, Iblis, berkata:  “Tuhan-ku tetapi berilah aku tangguh hingga pada hari mereka akan dibangkitkan.  Allah berfirman: “Maka sesungguhnya engkau termasuk  orang-orang yang diberi tangguh,  sampai hari yang waktunya  telah ditetapkan.”  Ia (Iblis) menjawab: “Ya Tuhan-ku, karena Engkau telah menetapkanku sesat, niscaya aku akan menjadikan kesesatan itu  nampak  indah bagi mereka di bumi, dan niscaya akan kusesatkan mereka itu semua,  kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis dari antara mereka.” (Al-Hijr [15]:37-41).
  Kata-kata, “hingga pada hari mereka akan dibangkitkan” mengandung arti kelahiran kembali manusia secara ruhani, ketika sesudah mencapai martabat nafs muthma’innah (jiwa yang tentram dengan Tuhan – QS.89:28-31) ia menjadi kebal dari godaan syaitan dan dari mengalami kejatuhan secara ruhani. Percakapan antara Allah Swt.  dengan syaitan, sebagaimana diisyaratkan di sini, hanyalah merupakan perumpamaan atau tamsil belaka.
     Sebagaimana diterangkan dalam ayat 37, kata-kata “waktunya telah dite-tapkan”, berarti  hari ketika para nabi Allah dan pengikut-pengikut mereka memperoleh kemenangan terakhir atas lawan-lawan mereka (QS.5:57; QS.37:172-174; QS.58:21-22) sedang kepalsuan akhirnya hancur binasa bersama-sama dengan pendukung-pendukungnya (QS.17:82; QS.21L19; QS.34:50). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ  ہٰذَا  صِرَاطٌ  عَلَیَّ  مُسۡتَقِیۡمٌ ﴿﴾   اِنَّ عِبَادِیۡ لَیۡسَ لَکَ عَلَیۡہِمۡ سُلۡطٰنٌ  اِلَّا مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾  وَ  اِنَّ جَہَنَّمَ  لَمَوۡعِدُہُمۡ  اَجۡمَعِیۡنَ ﴿۟ۙ﴾   لَہَا سَبۡعَۃُ  اَبۡوَابٍ ؕ لِکُلِّ بَابٍ مِّنۡہُمۡ جُزۡءٌ  مَّقۡسُوۡمٌ  ﴿٪﴾  اِنَّ  الۡمُتَّقِیۡنَ  فِیۡ  جَنّٰتٍ  وَّ عُیُوۡنٍ ﴿ؕ﴾
Allah berfirman: “Inilah jalan yang lurus menuju kepada-Ku.  Sesungguhnya   engkau tidak mempunyai sesuatu kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang tersesat memilih mengikuti engkau.”  Dan sesungguhnya   jahannam  benar-benar tempat yang  telah dijanjikan bagi mereka semua.   Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, dan  untuk setiap pintu ada bagian yang ditetapkan dari mereka. Al-Hijr [15]:41-45).
    Ayat ini agaknya mengisyaratkan, bahwa fitrat manusia itu pada dasarnya suci. Hanya mereka,  yaitu orang-orang yang mengotori fitrat sendiri dan memilih untuk mengikuti syaitan, kehilangan jalan yang benar. Tanggapan ini telah diterangkan lebih lanjut dalam  QS.91:11.
 Dalam bahasa Arab bilangan “tujuh”, seperti juga “tujuh puluh”, acapkali dipergunakan bukan untuk menyatakan satu bilangan tertentu, melainkan untuk menyatakan kesempurnaan dan kelengkapan ataupun tentang kelimpah-ruahan. Ayat ini menyatakan bahwa mereka akan mempunyai jumlah pintu-pintu yang sesuai dengan jumlah dan aneka-ragam keburukan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berdosa.
    Bilangan “tujuh” dapat juga menunjuk kepada tujuh indera lahir, yakni indera-indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, perabaan, perasaan sakit, dan perasaan mengenai suhu, yang dengan itu orang dapat menerima impresi (bekas-bekas) dari luar. Melalui “tujuh pintu” indera-indera itulah manusia  dapat menjadi “penghuni surga Firdaus” atau sebaliknya menjadi  penghuni “neraka jahannam”, sesuai dengan amal baik dan amal buruk yang dilakukannya.

Allah Swt. Mengajarkan Al-Asmā (Nama-nama)
kepada Adam Melalui Wahyu 

  Jadi, kembali kepada kalimat “dan  Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya” atau “dan Aku telah mewahyukan kepadanya” dalam firman-Nya sebelum ini:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ ﴿﴾ وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ  اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ  حَمَاٍ  مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾  فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ  وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا  لَہٗ   سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ  کُلُّہُمۡ  اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ﴾   اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh  Kami benar-benar telah menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk.  Dan sebelumnya Kami telah menjadikan  jin dari api angin panas. Dan ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat:  ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Maka  apabila Aku telah membentuknya  dengan sempurna dan   Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka  sujudlah yakni patuh-taatlah  kamu kepadanya.”   Maka  malaikat-malaikat itu sujud semuanya bersama-sama,   kecuali iblis, ia menolak menjadi termasuk di antara  mereka yang sujud. (Al-Hijr [15]:27-31).
Dengan perantaraan wahyu itulah Allah Swt. mengajarkan rahasia-rahasia Asma-Nya (Sifat-sifat-Nya) kepada Adam yang tidak diketahui oleh para malaikat (QS. [2]:322-33; QS.3:189; QS.72:27-29).  Itulah sebabnya ketika Allah Swt. menyuruh para malaikat untuk “sujud” – yakni patuh-taat sepenuhnya” – kepada Adam, maka mereka “sujud”, kecuali Iblis karena takabur marasa lebih mulia daripada Adam, firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ فِی الۡاَرۡضِ خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾  وَ عَلَّمَ اٰدَمَ الۡاَسۡمَآءَ کُلَّہَا ثُمَّ عَرَضَہُمۡ عَلَی الۡمَلٰٓئِکَۃِ ۙ فَقَالَ اَنۡۢبِـُٔوۡنِیۡ بِاَسۡمَآءِ ہٰۤؤُلَآءِ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ لَا عِلۡمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ الۡحَکِیۡمُ﴿﴾ قَالَ یٰۤاٰدَمُ اَنۡۢبِئۡہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۚ فَلَمَّاۤ اَنۡۢبَاَہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۙ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکُمۡ اِنِّیۡۤ  اَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ وَ اَعۡلَمُ مَا تُبۡدُوۡنَ وَ مَا کُنۡتُمۡ تَکۡتُمُوۡنَ ﴿﴾  وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا  اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫ وَ  کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ وَ قُلۡنَا یٰۤاٰدَمُ اسۡکُنۡ اَنۡتَ وَ زَوۡجُکَ الۡجَنَّۃَ وَ کُلَا مِنۡہَا رَغَدًا حَیۡثُ شِئۡتُمَا ۪ وَ لَا تَقۡرَبَا ہٰذِہِ الشَّجَرَۃَ فَتَکُوۡنَا مِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman  kepada para  malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang  khalifah di bumi”, mereka berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya yakni di bumi orang yang akan membuat kerusakan  di dalamnya dan akan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa  bertasbih dengan pujian Engkau  dan kami senantiasa men-sucikan Engkau?” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan  Dia mengajarkan kepada Adam  nama-nama itu semuanya kemudian Dia mengemukakan mereka itu kepada para malaikat lalu Dia berfirman: “Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka ini jika kamu memang   benar.” Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami tidak  memiliki  pe-ngetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, se-sungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”  Dia berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah  kepada mereka nama-nama mereka itu”, maka tatkala diberitahukannya kepada mereka nama-nama mereka itu, Dia berfirman: “Bukankah telah Aku katakan kepada kamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui  rahasia seluruh langit dan bumi  dan mengetahui apa pun yang kamu nyatakan dan apa pun yang    kamu sembunyikan?” Dan ingatlah  ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah yakni tunduk-patuhlah  kamu kepada  Adam” lalu mereka sujud kecuali  iblis,  ia menolak dan takabur,  dan   ia  termasuk dari antara orang-orang yang  kafir. (Al-Baqarah [2]:31-35).

Nabi Adam a.s.  yang Diutus 6000 Tahun yang Lalu
Bukan Manusia Pertama

      Jadi, betapa terdapat kesejajaran antara  munculnya ruh  pada janin bayi dalam rahim ibu  dan dengan proses pewahyuan  terhadap hati (jiwa) hamba-hamba Allah Swt. yang  jiwanya secara ruhani telah terbentuk secara sempurna  dan  meraih martabat “Khalifah Allah”,  contohnya adalah Adam, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنٰکُمۡ ثُمَّ صَوَّرۡنٰکُمۡ ثُمَّ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا  لِاٰدَمَ ٭ۖ فَسَجَدُوۡۤا  اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ لَمۡ  یَکُنۡ مِّنَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami  benar-benar telah menciptakan kamu, kemudian  Kami memberi kamu bentuk,  lalu Kami berfirman kepada para malaikat:  Sujudlah yakni patuh-lah sepenuhnya  kamu kepada Adam",  maka mereka bersujud kecuali iblis, ia tidak termasuk orang-orang yang bersujud. (Al-A’rāf [7]:12).
Manusia dapat menuangkan wujud akhlaknya ke dalam berbagai bentuk, sebagaimana tanah liat mudah diberi bentuk apa pun. Dan  dari antara hamba-hamba Allah Swt. yang diciptakan dari “tanah liat” tersebut Adam adalah  oarng yang paling sempurna  kepatuh-taatnya kepada Allah Swt., sehingga beliau itulah pada zamannya yang  dipilih Allah Swt. sebagai “Khalifah Allah” atau “Rasul Allah”  yang kepada beliau Allah Swt. telah mengajarkan rahasia Asmā-Nya (nama-nama-Nya) atau “rahasia-rahasia gaib-Nya” (QS.3:180; QS.72:27-29).
Karena perintah supaya sujud  kepada Adam a.s.  itu ditujukan kepada malaikat-malaikat, maka perintah itu berlaku untuk semua makhluk,  sebab para malaikat adalah "tangan-tangan" AllahSwt. atau “instrument-instrumen” Allah Swt.  yang bertugas melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Iblis itu bukan malaikat (QS.18:51). Iblis adalah gembong ruh-ruh jahat sedangkan Jibril adalah pemimpin malaikat-malaikat. Kejadian yang disebutkan di sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nenek-moyang pertama umat manusia yang dapat disebut Adam pertama. Kejadian itu hanya berhubungan dengan Nabi Adam a.s. (yang tinggal di bumi ini kira-kira 6.000 tahun yang lalu dan menurunkan Nabi Nuh a.s.  dan Nabi  Ibrahim a.s.  serta keturunan beliau-beliau) yang dibahas dalam kisah ini.

 Hubungan Rahim Ibu dengan Sifat Rahīmiyat Allah Swt.
  
  Demikianlah beberapa  hakikat yang terkandung dalam ayat-ayat  Surah Al-‘Alaq  sebelum  ini, yakni  kenapa Allah Swt. menyatakan bahwa Allah Swt. menciptaan insan (manusia) dari ‘alaqah (darah lengket), sedangkan dalam Surah-surah lainnya dikatakan dari “sari  tanah liat” (QS.23:13) atau dari “tanah liat” (QS.32:8-9) serta hubungannya dengan rahim ibu,  firman-Nya:
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّکَ الَّذِیۡ خَلَقَ ۚ﴿﴾   خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍ ۚ﴿﴾
Bacalah dengan nama Rabb (Tuhan) engkau yang  menciptakan,   menciptakan manusia dari  ‘alaqah (segumpal darah lengket)  (Al-‘Alaq [96]:2-3).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 20 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar