بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 103
Makna Perintah
Kepada Para Malaikat Untuk “Sujud”
Kepada Adam
Kepada Adam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai makna “peniupan ruh” dari segi ruhani
berkenaan dengan Adam, yakni
menurunkan wahyu kepada Adam – seorang Khalifah Allah atau Rasul Allah -- firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ
مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ
نَّارِ السَّمُوۡمِ ﴿﴾ وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ
اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ فَاِذَا سَوَّیۡتُہٗ
وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا لَہٗ
سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ کُلُّہُمۡ اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ﴾ اِلَّاۤ
اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi
bentuk. Dan sebelumnya Kami telah menjadikan jin dari api angin panas. Dan
ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah
diberi bentuk. Maka apabila
Aku telah membentuknya dengan sempurna dan Aku
telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka sujudlah
yakni patuh-taatlah kamu kepadanya.” Maka
malaikat-malaikat itu sujud
semuanya bersama-sama, kecuali iblis, ia menolak menjadi termasuk di antara mereka
yang sujud. (Al-Hijr [15]:27-31).
Diciptakan-Nya manusia
dari shalshal (tanah
liat kering-denting) mengandung arti, bahwa ia telah diciptakan
dari zat yang di dalamnya terkandung kemampuan dan sifat-sifat yang latent (tersembunyi) untuk berbicara.
Ini menunjukkan, bahwa manusia telah dianugerahi kekuatan untuk menyambut suara
dari langit.
Akan tetapi karena shalshal
itu mengeluarkan suara hanya apabila
terkena oleh sesuatu benda dari luar, maka kata itu mengisyaratkan, bahwa kekuatan manusia untuk menyambut itu bergantung pada penerimaan dia terhadap seruan Ilahi. Kemampuan ini membuktikan keunggulannya dari seluruh makhluk. Kata
hamā’ mengandung arti, bahwa manusia
telah diciptakan dari lumpur hitam,
yakni tanah dan air. Yakni tanah
merupakan sumber badan jasmani, dan air itu sumber ruh.
Di lain tempat Al-Quran
menyebutkan “tanah” dan “air” secara terpisah sebagai benda-benda
yang darinya manusia telah diciptakan (QS.3:60; QS.21:31). Dengan menggabungkan
kata shalshal (tanah liat kering-denting) kepada kata hamā’
(lumpur hitam), Al-Quran bermaksud menunjukkan, bahwa di mana makhluk-makhluk lainnya yang bernyawa diciptakan dari hamā’
(lumpur hitam) saja, yaitu dari tanah
dan air — sebab mereka pun memiliki
semacam ruh tertentu, tetapi tidak
berkembang dengan sempurna — maka sebaliknya manusia diciptakan dari hamā’ (lumpur hitam) dipadukan
dengan shalshal (tanah liat kering denting), yang menunjukkan sifat berbicara. Ia pun masnun,
yakni diberi bentuk yang sempurna
(QS. 95:5).
Alam Semesta Diciptakan di Bawah
Sifat Rabbubiyyat Allah Swt. &
Makna Diciptakan dari “Tanah
Liat” dan “Api”
Ayat 27 tidak berarti bahwa lumpur itu sekaligus memperoleh bentuk
suatu wujud yang hidup tatkala Allah
Swt.menghembuskan ruh ke dalamnya. Berulang-ulang kali Al-Quran
menyatakan, bahwa kejadian alam semesta
itu berlangsung setahap demi setahap di bawah sifat Rabbubiyyat Allah Swt. (QS.1:2). Ayat yang sekarang ini hanya
menyebutkan tahapan pertama saja dari
kejadian manusia itu. Tahapan-tahapan
lain dalam kejadiannya itu telah disebutkan dalam QS.30:21; QS.35:12; QS.22:6;
QS.23:15 dan Qs.40:68.
Pernyataan Al-Quran bahwa manusia
telah diciptakan dari “tanah” (yang
secara sepintas lalu berarti, bahwa proses
kejadiannya yang panjang itu dimulai dengan tanah),
dikuatkan oleh kenyataan, bahwa bahkan sekarang juga makanan manusia berasal dari tanah,
beberapa bagian tertentu dari makanan
itu diambil langsung darinya dan
beberapa bagian lainnya lagi secara tidak
langsung.
Hal ini menunjukkan bahwa zat yang terkandung dalam tanah, merupakan asal manusia; sebab sekiranya bukan demikian, niscaya ia tidak
dapat mengambil gizinya (zat sari
makanannya) dari tanah, sebab yang
dapat memberikan makanan kepada suatu
wujud, hanyalah barang yang darinya telah dibuat wujud itu, karena unsur dari luar tidak
akan mampu mengisi apa yang telah menjadi susut.
Sebuah
ungkapan Al-Quran yang serupa ini ialah manusia dijadikan dari
ketergesa-gesaan (QS.21:38), menunjukkan bahwa ayat yang sedang dalam
pembahasan ini – bahwa jin diciptakan dari api angin panas -- berarti
bahwa jin memiliki pembawaan seperti api dan bukan bahwa makhluk jin itu sesungguhnya dibuat dari
api sebagaimana yang umumnya
dipercayai.
Dengan demikian “dijadikannya dari tanah liat” mengandung arti,
berpembawaan lemah lembut dan suka tunduk, sedangkan “dijadikannya dari api” mengandung arti, bertabiat seperti api dan mudah
menyala, itulah sebabnya karakter para penentang rasul Allah dari zaman ke zaman sama
dengan karakter Iblis yakni
menyukai kekerasan dan penumpahan darah, sebagaimana yang diprediksi oleh para malaikat ketika Allah Swt. berkehendak menjadikan
seorang Khalifah Allah, yakni Adam (QS.2:31).
Dengan
kata “malaikat” dimaksudkan seluruh makhluk,
sebab malaikat-malaikat merupakan mata
rantai pertama dari semua kejadian,
oleh karena satu perintah yang
diberikan kepada mereka, sebenarnya berlaku untuk seluruh makhluk. Ini merupakan suatu kenyataan, bahwa di mana pada
tempat lain Al-Quran menyebutkan perintah
Allah Swt. kepada malaikat-malaikat supaya “sujud” kepada “Adam”,
maka dalam ayat sekarang ini dan dalam ayat-ayat berikutnya kata “Adam” diganti dengan kata “basyar”
yaitu “manusia”. Dengan demikian, kedua perkataan ini telah dipergunakan dalam
Al-Quran dalam arti yang sama.
Perintah yang diberikan kepada
para malaikat berkenaan dengan Adam
a.s. berlaku bagi setiap atau seluruh manusia. Allah Swt. menghembuskan
(meniupkan) ruh-Nya ke dalam wujud
tiap-tiap manusia yang keadaan ruhaninya telah “terbentuk” sempurna –
seperti halnya munculnya “ruh” pada janin bayi dalam rahim ibu (QS.23:13-15) -- dan para malaikat diperintahkan mengkhidmatinya. Manusia merupakan khalifah Allah di atas muka bumi, dan di
dalam dirinya ia dapat mencerminkan sifat-sifat
Allah Swt.
Makna Perintah “Sujud”
kepada Para Malaikat
Allah
Swt. menghukum syaitan (QS.15:35-36) atas pembangkangannya terhadap perintah yang
ditujukan kepada para malaikat (QS.15:29-30), sebab perintah yang diberikan kepada malaikat-malaikat
itu, dengan sendirinya berlaku pula bagi semua
makhluk yang berada di bawah wewenang malaikat-malaikat.
Al-Quran sendiri di tempat lain membuat jelas, bahwa perintah kepada malaikat berlaku untuk iblis juga (QS.7:12- 13). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ
یٰۤـاِبۡلِیۡسُ مَا لَکَ اَلَّا تَکُوۡنَ مَعَ السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ لَمۡ
اَکُنۡ لِّاَسۡجُدَ لِبَشَرٍ
خَلَقۡتَہٗ مِنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ
حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ قَالَ
فَاخۡرُجۡ مِنۡہَا فَاِنَّکَ رَجِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ وَّ اِنَّ عَلَیۡکَ اللَّعۡنَۃَ اِلٰی
یَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿﴾
Allah berfirman: “Hai iblis, apa yang telah terjadi dengan
engkau bahwa engkau tidak
menjadi termasuk di antara mereka yang sujud?” Ia menjawab: “Aku tidak mau sujud yakni patuh-taat kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering yang mendenting,
dari lumpur yang telah diberi bentuk.” Allah berfirman: “Maka keluarlah darinya karena
sesungguhnya engkau terkutuk. Dan sesungguhnya atas engkau ada kutukan-Ku hingga Hari Pembalasan.” (Al-Hijr [15]:33-36).
Ungkapan “Hai iblis, apa yang telah terjadi dengan
engkau bahwa engkau tidak
menjadi termasuk di antara mereka yang sujud?” berarti pula: “apa gerangan yang membuat engkau
menderita; apakah alasan engkau; kenapa gerangan engkau ini?”
Kata
ganti hā dalam ungkapan minhā pada kalimat “Maka keluarlah darinya karena
sesungguh-nya engkau terkutuk ” tidak menunjuk kepada surga di akhirat, sebab surga itu suatu tempat, yang syaitan tidak mungkin memasukinya dan
menggoda Adam a.s., dan dari tempat (surga) itu tiada seorang pun
akan dikeluarkan (QS.15:49).
Kata ganti itu menunjuk kepada keadaan senang dan bahagia yang dialami oleh manusia di dunia ini sebelum seorang nabi Allah datang kepada mereka. Dalam
keadaan demikian, kendatipun mungkin mereka terperosok ke dalam
kepercayaan-kepercayaan yang keliru, namun karena belum sampai menolak seorang nabi, mereka sama sekali
tidak luput dari anugerah nikmat-nikmat Ilahi yang digambarkan
dalam Al-Quran sebagai jannah (kebun). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ رَبِّ
فَاَنۡظِرۡنِیۡۤ اِلٰی یَوۡمِ
یُبۡعَثُوۡنَ ﴿﴾ قَالَ فَاِنَّکَ مِنَ الۡمُنۡظَرِیۡنَ ﴿ۙ﴾ اِلٰی یَوۡمِ
الۡوَقۡتِ الۡمَعۡلُوۡمِ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ بِمَاۤ
اَغۡوَیۡتَنِیۡ لَاُزَیِّنَنَّ
لَہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ وَ
لَاُغۡوِیَنَّہُمۡ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ﴾ اِلَّا عِبَادَکَ
مِنۡہُمُ الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿﴾
Ia, Iblis,
berkata: “Tuhan-ku tetapi berilah aku tangguh hingga pada hari mereka akan dibangkitkan.” Allah berfirman: “Maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari
yang waktunya telah ditetapkan.”
Ia (Iblis) menjawab: “Ya Tuhan-ku, karena Engkau telah menetapkanku sesat,
niscaya aku akan menjadikan kesesatan
itu nampak indah bagi mereka di bumi, dan niscaya akan kusesatkan mereka itu semua, kecuali hamba-hamba
Engkau yang mukhlis dari antara mereka.” (Al-Hijr [15]:37-41).
Kata-kata, “hingga pada hari mereka akan dibangkitkan”
mengandung arti kelahiran kembali
manusia secara ruhani, ketika sesudah
mencapai martabat nafs muthma’innah (jiwa yang tentram dengan Tuhan –
QS.89:28-31) ia menjadi kebal dari godaan syaitan dan dari mengalami kejatuhan secara ruhani. Percakapan
antara Allah Swt. dengan syaitan, sebagaimana diisyaratkan di
sini, hanyalah merupakan perumpamaan
atau tamsil belaka.
Sebagaimana diterangkan dalam ayat 37,
kata-kata “waktunya telah dite-tapkan”, berarti hari
ketika para nabi Allah dan pengikut-pengikut mereka memperoleh kemenangan terakhir atas lawan-lawan mereka (QS.5:57;
QS.37:172-174; QS.58:21-22) sedang kepalsuan
akhirnya hancur binasa bersama-sama dengan pendukung-pendukungnya
(QS.17:82; QS.21L19; QS.34:50). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ ہٰذَا
صِرَاطٌ عَلَیَّ مُسۡتَقِیۡمٌ ﴿﴾ اِنَّ عِبَادِیۡ لَیۡسَ لَکَ عَلَیۡہِمۡ
سُلۡطٰنٌ اِلَّا مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ
الۡغٰوِیۡنَ ﴿﴾ وَ اِنَّ جَہَنَّمَ لَمَوۡعِدُہُمۡ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿۟ۙ﴾ لَہَا سَبۡعَۃُ اَبۡوَابٍ ؕ لِکُلِّ بَابٍ مِّنۡہُمۡ
جُزۡءٌ مَّقۡسُوۡمٌ ﴿٪﴾ اِنَّ
الۡمُتَّقِیۡنَ فِیۡ جَنّٰتٍ
وَّ عُیُوۡنٍ ﴿ؕ﴾
Allah berfirman: “Inilah jalan yang lurus menuju kepada-Ku. Sesungguhnya
engkau tidak mempunyai sesuatu kekuasaan atas
hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang
tersesat memilih mengikuti
engkau.” Dan sesungguhnya
jahannam benar-benar tempat yang telah dijanjikan
bagi mereka semua. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, dan untuk setiap
pintu ada bagian yang ditetapkan dari mereka. Al-Hijr [15]:41-45).
Ayat
ini agaknya mengisyaratkan, bahwa fitrat
manusia itu pada dasarnya suci. Hanya
mereka, yaitu orang-orang yang mengotori fitrat sendiri dan memilih
untuk mengikuti syaitan, kehilangan jalan yang benar. Tanggapan ini telah diterangkan
lebih lanjut dalam QS.91:11.
Dalam bahasa Arab bilangan “tujuh”,
seperti juga “tujuh puluh”, acapkali dipergunakan bukan untuk menyatakan
satu bilangan tertentu, melainkan untuk menyatakan kesempurnaan dan kelengkapan
ataupun tentang kelimpah-ruahan. Ayat ini menyatakan bahwa mereka akan
mempunyai jumlah pintu-pintu yang sesuai dengan jumlah
dan aneka-ragam keburukan yang telah
dilakukan oleh orang-orang yang berdosa.
Bilangan “tujuh” dapat juga menunjuk
kepada tujuh indera lahir, yakni indera-indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, perabaan, perasaan sakit, dan
perasaan mengenai suhu, yang dengan itu orang dapat menerima impresi
(bekas-bekas) dari luar. Melalui “tujuh
pintu” indera-indera itulah manusia
dapat menjadi “penghuni surga
Firdaus” atau sebaliknya menjadi
penghuni “neraka jahannam”,
sesuai dengan amal baik dan amal buruk yang dilakukannya.
Allah Swt. Mengajarkan Al-Asmā (Nama-nama)
kepada Adam Melalui Wahyu
Jadi, kembali kepada kalimat “dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya” atau
“dan Aku telah mewahyukan kepadanya”
dalam firman-Nya sebelum ini:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ
مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ ﴿ۚ﴾ وَ الۡجَآنَّ خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ
نَّارِ السَّمُوۡمِ ﴿﴾ وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ
اِنِّیۡ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ
مَّسۡنُوۡنٍ ﴿﴾ فَاِذَا
سَوَّیۡتُہٗ وَ نَفَخۡتُ فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِیۡ فَقَعُوۡا لَہٗ سٰجِدِیۡنَ ﴿﴾ فَسَجَدَ الۡمَلٰٓئِکَۃُ کُلُّہُمۡ
اَجۡمَعُوۡنَ ﴿ۙ﴾ اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ مَعَ
السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi
bentuk. Dan sebelumnya Kami telah menjadikan jin dari api angin panas. Dan
ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah
diberi bentuk. Maka apabila
Aku telah membentuknya dengan sempurna dan Aku
telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka sujudlah
yakni patuh-taatlah kamu kepadanya.” Maka
malaikat-malaikat itu sujud
semuanya bersama-sama, kecuali iblis, ia menolak menjadi termasuk di antara mereka
yang sujud. (Al-Hijr [15]:27-31).
Dengan perantaraan
wahyu itulah Allah Swt. mengajarkan rahasia-rahasia Asma-Nya
(Sifat-sifat-Nya) kepada Adam yang tidak diketahui oleh para malaikat (QS. [2]:322-33; QS.3:189;
QS.72:27-29). Itulah sebabnya ketika
Allah Swt. menyuruh para malaikat untuk
“sujud” – yakni patuh-taat sepenuhnya” – kepada Adam, maka mereka “sujud”, kecuali Iblis karena takabur
marasa lebih mulia daripada Adam,
firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ
فِی الۡاَرۡضِ
خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ
فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ
الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ
نُسَبِّحُ بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا
لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ وَ عَلَّمَ اٰدَمَ
الۡاَسۡمَآءَ کُلَّہَا ثُمَّ عَرَضَہُمۡ عَلَی الۡمَلٰٓئِکَۃِ ۙ فَقَالَ
اَنۡۢبِـُٔوۡنِیۡ بِاَسۡمَآءِ ہٰۤؤُلَآءِ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ
لَا عِلۡمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ
الۡحَکِیۡمُ﴿﴾ قَالَ یٰۤاٰدَمُ اَنۡۢبِئۡہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۚ فَلَمَّاۤ
اَنۡۢبَاَہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۙ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکُمۡ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ وَ
اَعۡلَمُ مَا تُبۡدُوۡنَ وَ مَا کُنۡتُمۡ تَکۡتُمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا
لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫
وَ کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾ وَ
قُلۡنَا یٰۤاٰدَمُ اسۡکُنۡ
اَنۡتَ وَ زَوۡجُکَ الۡجَنَّۃَ وَ کُلَا مِنۡہَا رَغَدًا حَیۡثُ شِئۡتُمَا ۪ وَ
لَا تَقۡرَبَا ہٰذِہِ الشَّجَرَۃَ فَتَکُوۡنَا مِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Tuhan engkau berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah
di bumi”, mereka berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya yakni
di bumi orang yang akan membuat
kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan pujian Engkau dan kami
senantiasa men-sucikan Engkau?” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama itu semuanya kemudian Dia mengemukakan
mereka itu kepada para malaikat
lalu Dia berfirman: “Beritahukanlah
kepada-Ku nama-nama mereka ini jika kamu
memang benar.” Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami
tidak memiliki pe-ngetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, se-sungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Dia berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka itu”, maka
tatkala diberitahukannya kepada mereka
nama-nama mereka itu, Dia berfirman: “Bukankah
telah Aku katakan kepada kamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia seluruh langit dan bumi
dan mengetahui apa pun yang kamu
nyatakan dan apa pun yang kamu sembunyikan?” Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: “Sujudlah yakni
tunduk-patuhlah kamu kepada Adam”
lalu mereka sujud kecuali iblis,
ia menolak dan takabur, dan
ia termasuk dari antara orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah [2]:31-35).
Nabi Adam a.s. yang Diutus 6000 Tahun yang Lalu
Bukan Manusia Pertama
Jadi, betapa terdapat kesejajaran antara munculnya ruh
pada janin bayi dalam rahim
ibu dan dengan proses pewahyuan terhadap hati
(jiwa) hamba-hamba Allah Swt. yang jiwanya
secara ruhani telah terbentuk secara sempurna dan meraih martabat “Khalifah Allah”, contohnya
adalah Adam, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
خَلَقۡنٰکُمۡ ثُمَّ صَوَّرۡنٰکُمۡ ثُمَّ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ ٭ۖ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ
اِبۡلِیۡسَ ؕ لَمۡ یَکُنۡ مِّنَ
السّٰجِدِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah menciptakan kamu, kemudian Kami memberi kamu bentuk, lalu Kami berfirman kepada para malaikat: ”Sujudlah yakni patuh-lah sepenuhnya kamu
kepada Adam", maka mereka bersujud kecuali iblis, ia tidak termasuk orang-orang yang bersujud. (Al-A’rāf
[7]:12).
Manusia
dapat menuangkan wujud akhlaknya ke
dalam berbagai bentuk, sebagaimana tanah
liat mudah diberi bentuk apa pun.
Dan dari antara hamba-hamba Allah Swt. yang diciptakan dari “tanah liat” tersebut Adam
adalah oarng yang paling sempurna kepatuh-taatnya
kepada Allah Swt., sehingga beliau itulah pada zamannya yang dipilih
Allah Swt. sebagai “Khalifah Allah”
atau “Rasul Allah” yang kepada beliau
Allah Swt. telah mengajarkan rahasia Asmā-Nya
(nama-nama-Nya) atau “rahasia-rahasia
gaib-Nya” (QS.3:180; QS.72:27-29).
Karena perintah supaya sujud kepada Adam a.s. itu ditujukan kepada malaikat-malaikat, maka perintah itu berlaku untuk semua makhluk, sebab para malaikat adalah "tangan-tangan"
AllahSwt. atau “instrument-instrumen”
Allah Swt. yang bertugas melaksanakan
perintah-perintah-Nya.
Iblis
itu bukan malaikat (QS.18:51). Iblis adalah gembong ruh-ruh jahat sedangkan Jibril adalah pemimpin malaikat-malaikat. Kejadian yang
disebutkan di sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nenek-moyang pertama umat manusia yang
dapat disebut Adam pertama. Kejadian itu hanya berhubungan dengan Nabi
Adam a.s. (yang tinggal di bumi ini kira-kira 6.000 tahun yang lalu dan
menurunkan Nabi Nuh a.s. dan
Nabi Ibrahim a.s. serta keturunan beliau-beliau) yang
dibahas dalam kisah ini.
Hubungan Rahim Ibu dengan Sifat
Rahīmiyat Allah Swt.
Demikianlah beberapa hakikat
yang terkandung dalam ayat-ayat Surah Al-‘Alaq sebelum ini, yakni kenapa Allah Swt. menyatakan bahwa Allah Swt.
menciptaan insan (manusia) dari ‘alaqah (darah lengket), sedangkan dalam
Surah-surah lainnya dikatakan dari “sari tanah liat” (QS.23:13) atau dari “tanah liat” (QS.32:8-9) serta
hubungannya dengan rahim ibu, firman-Nya:
اِقۡرَاۡ
بِاسۡمِ رَبِّکَ الَّذِیۡ خَلَقَ ۚ﴿﴾ خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍ ۚ﴿﴾
Bacalah
dengan nama Rabb (Tuhan) engkau yang menciptakan,
menciptakan
manusia dari ‘alaqah
(segumpal darah lengket) (Al-‘Alaq [96]:2-3).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar