بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 107
Peringatan Allah Swt. kepada Umat Islam & Ketakaburan
Para Pemuka Agama Yahudi
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
dialog antara Maryam binti
‘Imran dengan para pemuka agama Yahudi, firman-Nya:
فَاَتَتۡ
بِہٖ قَوۡمَہَا تَحۡمِلُہٗ ؕ
قَالُوۡا یٰمَرۡیَمُ لَقَدۡ جِئۡتِ شَیۡئًا فَرِیًّا ﴿﴾ یٰۤاُخۡتَ ہٰرُوۡنَ مَا کَانَ اَبُوۡکِ امۡرَ اَ سَوۡءٍ وَّ مَا کَانَتۡ
اُمُّکِ بَغِیًّا﴿ۖۚ﴾ فَاَشَارَتۡ اِلَیۡہِ ؕ قَالُوۡا کَیۡفَ نُکَلِّمُ
مَنۡ کَانَ فِی الۡمَہۡدِ
صَبِیًّا ﴿﴾
Maka
Maryam membawa dia (Isa Ibnu
Maryam), kepada kaumnya dengan menunggangkannya. Mereka berkata:
"Hai Maryam, sungguh
engkau benar-benar telah berbuat
sesuatu hal yang keji. Hai saudara
perempuan Harun, ayah engkau sama
sekali bukan seorang buruk dan ibu
engkau sekali-kali bukan seorang pezina!" Maka
ia, Maryam, memberi isyarah kepadanya (Isa Ibnu Maryam). Mereka berkata: "Bagaimana kami akan bercakap dengan seorang anak masih dalam buaian?"
(Maryam [19]:28-30).
Pengulangan “Dialog”
Maryam binti ‘Imran
dengan Para Pemuka Agama Yahudi
Dari Injil
nampak. bahwa sesudah kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. di Bethlehem, Yusuf telah membawa Siti Maryam
ke Mesir untuk memenuhi perintah Ilahi. Di sana mereka berdiam untuk beberapa
tahun lamanya dan barusesudah wafat Herodes keluarga itu pulang kembali ke
Nazaret dan bermukim di sana (Matius
2:13-23).
Terdapat pula satu nubuatan
dalam Bible bahwa Yesus
akan datang kepada kaumnya bersama ibunda
beliau dengan menunggang seekor keledai (Matius
21:4-7). Yesus dan Siti Maryam sungguh-sungguh menunggang keledai tatkala mereka memasuki Yerusalem. Ungkapan tahmiluhū (menunggangkannya)
mungkin pula menunjuk kepada nubuatan
Bible tersebut. Ayat ini menunjuk kepada masa sebelum Yesus mencapai tingkat kenabian
seperti nampak dari ayat-ayat 31-34 selanjutnya.
Kata fariy (sesuatu yang keji) pada kalimat “Hai Maryam, sungguh
engkau benar-benar telah berbuat
sesuatu hal yang keji“ berarti
pula orang yang mengada-adakan dusta (Lexicon
Lane). Dengan mempergunakan kata ini para pemuka Yahudi menuduh secara halus bahwa Maryam
binti ‘Imran seorang perempuan yang tidak baik dan Isa Al-Masih tukang mengada-adakan
dusta dan seorang nabi palsu.
Ada kisah yang menarik mengenai tuduhan para pemuka agama Yahudi kepada Maryam binti ‘Imran dan
putranya, Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang juga terjadi dengan Mirza Ghulam
Ahmad a.s., firman-Nya:
...قَالُوۡا یٰمَرۡیَمُ لَقَدۡ جِئۡتِ شَیۡئًا فَرِیًّا ﴿﴾ یٰۤاُخۡتَ ہٰرُوۡنَ مَا کَانَ اَبُوۡکِ امۡرَ اَ سَوۡءٍ وَّ مَا کَانَتۡ
اُمُّکِ بَغِیًّا﴿ۖۚ﴾
Mereka
berkata: "Hai Maryam, sungguh
engkau benar-benar telah berbuat
sesuatu hal yang keji. Hai saudara
perempuan Harun, ayah engkau sama
sekali bukan seorang buruk dan ibu
engkau sekali-kali bukan seorang pezina!" (Maryam
[19]:28-29).
Yakni
salah seorang ulama Hindustan di
Qadian yang sangat menghormati Mirza
Ghulam Murtadha -- ayahanda Mirza Ghulam Ahmad a.s. – ketika ia mendengar pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad a.s., diceritakan ulama itu berkata sambil menangis: “Mengapa
ia melakukan hal yang tidak benar (kedustaan) itu, padahal ayahnya adalah
seorang yang sangat baik!”
Arti “Saudara Perempuan Harun”
Masalah
Maryam binti ‘Imran telah disebut sebagai saudara perempuan Nabi Harun
a.s. . dalam Al-Quran, hal tersebut pernah diajukan ke hadapan Nabi Besar Muhammad
saw. sendiri, dan beliau saw.
bertanya kepada si penanya itu: “Apakah ia tidak mengetahui bahwa Bani Israil biasa menamakan anak-anak mereka menurut nama nabi-nabi dan wali-wali mereka?” (Rūh-ul- Bayan, jilid 6, halaman 16; Tafsir
Ibnu
Jarir, jilid 16.
halaman 52).
Maryam binti “imran di sini disebut saudara
perempuan Nabi Harun a.s. dan
bukan saudara perempuan Nabi Musa a.s.., meskipun
kedua-duanya bersaudara, sebab
sementara Nabi Musa a.s. adalah pendiri
syariat Yahudi, sedangkan Nabi Harun
a.s. itu adalah kepala (imam) golongan pendeta agama Yahudi (Encyclopaedia
Biblica & Encyclopaedia Britannica, pada kata
"Āron"), dan Maryam binti
‘Imran pun adalah dari kalangan pendeta
juga, karena itu disebut “saudara
perempuan Harun.”
Thabari telah menguraikan satu kejadian dalam
kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. yang memberi penjelasan mengenai hikmah
arti kata-kata dalam bahasa Arab demikian seperti: ab, 'am, ukht,
dan sebagainya. Ketika Shafiyah. istri Nabi Besar Muhammad saw. dan kebetulan seorang keturunan Yahudi, pada suatu ketika mengadu kepada Nabi Besar
Muhammad saw. bahwa beberapa
istri beliau saw. lainnya dengan sikap benci telah menamakannya seorang perempuan Yahudi, lalu Nabi Besar Muhammad saw. mengatakan untuk mengembalikan ejekan
itu dengan mengatakan bahwa Nabi Harun a.s. adalah ayahnya, Nabi Musa a.s. adalah pamannya, dan Muhammad saw. adalah suaminya. Nabi Besar Muhammad saw. tentu
mengetahui bahwa Nabi Harun a.s. bukanlah
ayah Shafiyah, begitu pula Nabi Musa
a.s. bukanlah pamannya.
Peringatan Allah Swt. Kepada Umat Islam
Isyarat kepada tuduhan ini terdapat pula dalam Al-Quran
dalam QS.33:70 berkenaan dengan Nabi Musa a.s.,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اٰذَوۡا
مُوۡسٰی فَبَرَّاَہُ اللّٰہُ مِمَّا
قَالُوۡا ؕ وَ کَانَ عِنۡدَ اللّٰہِ
وَجِیۡہًا ﴿ؕ﴾
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu
seperti orang-orang yang telah
menyusahkan Musa, tetapi Allah membersihkannya dari apa yang mereka katakan. Dan ia di sisi Allah adalah orang
yang terhormat. (Al-Ahzāb [33]:70).
Ādzahu berarti, ia
melakukan atau mengatakan apa yang tidak disenanginya atau yang dibencinya,
mengganggu atau menjengkelkan atau melukai perasaan dia. Nabi Musa a.s. telah dijadikan sasaran fitnahan-fitnahan berat, antara lain:
(1) Qarun (Qorah) menghasut
seorang perempuan mengada-adakan tuduhan terhadap beliau bahwa beliau pernah
mengadakan hubungan gelap dengan dirinya.
(2) Karena timbul iri hati
melihat semakin meningkatnya pengaruh Nabi Harun di tengah kaum beliau, Nabi
Musa a.s. berusaha membunuh Nabi Harun a.s..
(3) Beliau mengidap penyakit
lepra dan rajasinga atau syphilis.
(4) Samiri menuduh beliau berbuat
syirik.
(5) Adik perempuan beliau (Miriam/Maryam) sendiri
melemparkan tuduhan palsu terhadap beliau (Bilangan
12:1).
Pemuka-pemuka kaum Yahudi, dengan menyebut Maryam binti ‘Imran "saudara
perempuan Harun" mungkin bermaksud mengatakan bahwa sebagaimana Maryam, yaitu saudara perempuan Nabi Harun a.s. yang menuduh Nabi Musa a.s. menikahi
seorang perempuan dengan cara tidak sah,
telah melakukan dosa yang keji, demikian
pula Maryam binti ‘Imran seperti perempuan yang senama dengan beliau melakukan perbuatan
keji dengan melahirkan seorang bayi dengan jalan tidak sah.
Atas tuduhan-tuduhan
keji para pemuka agama Yahudi
tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَاَشَارَتۡ اِلَیۡہِ ؕ قَالُوۡا کَیۡفَ نُکَلِّمُ مَنۡ کَانَ فِی
الۡمَہۡدِ صَبِیًّا ﴿﴾
Maka
ia, Maryam, memberi isyarah kepadanya (Isa Ibnu Maryam). Mereka berkata: "Bagaimana kami akan bercakap dengan seorang anak masih dalam buaian?"
(Maryam [19]:28-30).
Kata-kata "ia memberi isyarah kepadanya" menyatakan bahwa Maryam binti
‘Imran mengetahui jawaban apa yang
akan diberikan oleh putranya, Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., jika para pemuka kaum Yahudi mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mereka kepada beliau. Kata-kata ini mungkin pula
menyatakan bahwa Maryam
binti ‘Imran mengetahui bahwa jika beliau menyatakan diri beliau tidak bersalah maka tidak ada seorang
pun akan mempercayai beliau,
satu-satunya bukti mengenai kesucian
adalah anaknya.
Ketakaburan Para Ulama Yahudi dan
Ulama yang
Sejenis dengan Mereka
Jadi maksud Maryam binti ‘Imran adalah, bahwa anak
yang begitu suci dan saleh dan oleh Allah Swt. telah dianugerahi sifat-sifat yang begitu mulia tidak mungkin lahir dari akibat hubungan
serong (perzinahan), dan bahwa
kebaikan-kebaikan dan sifat-sifat Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. yang utama dengan sendirinya merupakan bukti yang cukup kuat bagi kesucian Maryam binti ‘Imran karena itu sebagai jawaban
tuduhan dusta mereka itu beliau menunjuk
kepada anak beliau.
Ayat ini tidak mengemukakan kesulitan apa pun.
Ketika Siti Maryam yang karena diejek para pemuka kaum Yahudi
mengarahkan perhatian mereka kepada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., mereka tidak sudi berbicara dengan beliau a.s.
dan mengatakan dengan sikap benci
bagaimana mungkin mereka akan berbicara dengan "anak masih dalam buaian", maksudnya dengan seorang anak yang telah
dilahirkan dan dibesarkan di hadapan mata mereka sendiri.
Orang-orang tua
suka berkata demikian bila diajak belajar hikmah dari seorang yang umurnya jauh
lebih muda dari mereka sendiri. Kata-kata ini hanya merupakan ungkapan rasa benci dan mengandung hinaan terhadap Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s., padahal Allah Swt. telah berfirman mengenai beliau a.s.:
اِذۡ
قَالَتِ الۡمَلٰٓئِکَۃُ یٰمَرۡیَمُ اِنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکِ بِکَلِمَۃٍ مِّنۡہُ
٭ۖ اسۡمُہُ الۡمَسِیۡحُ عِیۡسَی ابۡنُ مَرۡیَمَ وَجِیۡہًا فِی الدُّنۡیَا وَ
الۡاٰخِرَۃِ وَ مِنَ الۡمُقَرَّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ یُکَلِّمُ النَّاسَ فِی الۡمَہۡدِ وَ کَہۡلًا وَّ مِنَ
الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Ingatlah ketika para malaikat berkata: “Hai Maryam,
sesungguhnya Allah
memberi engkau kabar gembira dengan satu
kalimat dari-Nya tentang
kelahiran seorang anak laki-laki namanya Al-Masih Isa Ibnu Maryam, yang dimuliakan
di dunia dan di akhirat, dan ia
adalah dari antara orang-orang yang
didekatkan kepada Allah. Dan ia
akan bertutur-kata dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah setengah umur, dan ia
dari kalangan orang-orang saleh. (Ali ‘Imran [3]:46-47).
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
قَالَ
اِنِّیۡ عَبۡدُ اللّٰہِ ۟ؕ اٰتٰنِیَ الۡکِتٰبَ وَ جَعَلَنِیۡ نَبِیًّا ﴿ۙ﴾ وَّ جَعَلَنِیۡ مُبٰرَکًا اَیۡنَ مَا کُنۡتُ ۪ وَ
اَوۡصٰنِیۡ بِالصَّلٰوۃِ وَ الزَّکٰوۃِ
مَا دُمۡتُ حَیًّا ﴿۪ۖ﴾ وَّ بَرًّۢا بِوَالِدَتِیۡ ۫ وَ لَمۡ یَجۡعَلۡنِیۡ جَبَّارًا شَقِیًّا﴿﴾ وَ السَّلٰمُ عَلَیَّ
یَوۡمَ وُلِدۡتُّ وَ یَوۡمَ اَمُوۡتُ وَ یَوۡمَ
اُبۡعَثُ حَیًّا ﴿﴾
Ia,
Ibnu Maryam, berkata: "Sesungguhnya aku seorang hamba Allah,
Dia telah menganugerahkan kepadaku Kitab itu dan Dia telah menjadikanku seorang nabi, Dan Dia
telah menjadikanku diberkati di mana pun aku berada, dan telah memerintahkanku mendirikan shalat dan membayar zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang
yang sewenang-wenang lagi sial.
Dan selamat-sejahtera atasku pada
hari aku dilahirkan, pada hari aku
mati, dan pada hari aku akan
dibangkitkan hidup kembali." (Maryam [19]:31-34).
Perkataan-perkataan yang Penuh Hikmah
Percakapan yang Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
lakukan dengan para pemuka kaum Yahudi dan tercantum dalam
ayat-ayat ini (QS.19:31-34) tidak mungkin percakapan seorang kanak-kanak. Semua pernyataan dari mulut
seorang anak kecil dianggap ucapan dusta belaka, dan siapakah yang akan menyebut ucapan-ucapan dusta sebagai suatu mukjizat?
Ketika itu Isa Ibnu Maryam a.s. bukan (belum menjadi) nabi,
begitu pula belum melakukan shalat
atau zakat ataupun diberi Kitab. Lagi pula dalam QS.3:47 mukjizat ini diterangkan dengan
peristiwa bahwa Nabi Isa Ibu Maryam a.s. telah berbicara kepada
orang banyak ketika beliau masih dalam
buaian (mahd) dan juga ketika dalam tengah
umur (kahl).
Tetapi percakapan seseorang dalam pertengahan
umur (kahl) sekali-sekali bukan mukjizat
lagi, dan dengan mencantumkan kata "dalam
buaian" (mahd) bersama kata-kata
"sudah pertengahan umur" (kahl),
Al-Quran seolah-olah mengemukakan bahwa percakapan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dalam buaian (mahd) maupun ketika beliau telah mencapai pertengahan umur (kahl) tidak merupakan mukjizat dalam artian yang biasa
diartikan umum, tetapi memang suatu mukjizat
dalam artian bahwa beliau mengucapkan kata-kata
yang luar biasa bijaknya di masa kanak-kanak maupun di pertengahan
umur.
Digabungkannya dua pasang kata itu (mahd dan kahl) mengandung pula suatu nubuatan
bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tidak
akan mati muda tetapi akan hidup lama hingga mencapai usia tua dengan penuh kedewasaan. Nabi
Besar Muhammad saw. bersabda bahwa usia
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. ketika wafat
adalah 120 tahun (Ad-Daruqutni). Nubuatan
ini sungguh mengandung mukjizat yang
sebenar-benarnya.
Tetapi bila
kata mahd diberi arti "masa
persiapan" yang juga merupakan salah satu dari arti-arti kata ini,
kemudian ayat QS.3:47 akan berarti bahwa
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan
berbicara kepada orang banyak dengan kata-kata yang penuh dengan hikmah dan ilmu ruhani yang luar biasa, jauh di atas umur dan pengalaman
beliau. baik di masa persiapan (mahd),
yaitu di masa muda, maupun dalam masa pertengahan umur (kahl).
Dengan demikian jelaslah, mengapa Maryam binti
‘Imran tidak menjawab langsung menjawab ejekan
(celaan) para pemuka kaum Yahudi,
melainkan sebagai jawabannya
beliau mengisyaratkan kepada putra
beliau, Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. Sebab kalau Maryam binti ‘Imran menjawab
berdasarkan pengalaman beliau yang
sebenarnya:
“Kehamilan aku, bukan hasil
dari melakukan perzinahan dengan
seorang laki-laki mana pun, melainkan semata-mata karena kehendak Allah Swt. melalui tiupan kalimat-Nya.”
pasti
mereka tidak akan mempercayainya dan akan menganggapnya sebagai jawaban yang mengada-ada.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar