بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 100
Tujuh Tingkatan Ruhani &
Makna “Mā
Malakat Aimanukum”
(Apa yang Dimiliki Tangan Kanan Kamu)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
adanya persamaan antara rahim ibu dengan hati manusia dan makna kata ‘alaqah
(darah yang lengket) serta hubungannya dengan rahim, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا
الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَۃٍ مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾ ثُمَّ جَعَلۡنٰہُ نُطۡفَۃً
فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ ﴿۪﴾ ثُمَّ
خَلَقۡنَا النُّطۡفَۃَ عَلَقَۃً
فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَۃَ مُضۡغَۃً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا
فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ
اللّٰہُ اَحۡسَنُ الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan
sungguh Kami benar-benar telah
menciptakan insan (manusia) dari sari
tanah liat, kemudian Kami menjadikannya air mani di dalam tempat
penyimpanan yang kokoh. Kemudian
Kami menciptakan air mani menjadi ‘alaqah (segumpal darah lengket), maka
Kami menciptakan segumpal darah lengket itu
menjadi segumpal daging, maka Kami
menciptakan dari segumpal daging itu
tulang-tulang, kemudian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan
daging, kemudian Kami menumbuhkannya
menjadi makhluk lain, maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta.
(Al-Mu’minūn
[23]:13-15).
Sesudah
mengemukakan berbagai tingkat evolusi
ruhani manusia dalam sepuluh ayat pertama Surah Al-Mu’minūn ini, selanjutnya Al-Quran menjelaskan dalam ayat 13 dan
dalam beberapa ayat berikutnya berbagai tingkat perkembangan fisiknya dalam rahim
ibu, dan dengan demikian membuktikan adanya kesejajaran
ajaib di antara kelahiran dan pertumbuhan jasmani dengan kelahiran
dan pertumbuhan ruhaninya, yaitu ada
tujuh tingkatan perkembangan (QS.23:18).
Tujuh Tingkatan Perkembangan
Ruhani Manusia
Berikut
adalah ketujuh tingkatan perkembangan
ruhani manusia yang akan mewarisi surga
Fir’aus, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ۳﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ
یُحَافِظُوۡنَ ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia, dan orang-orang yang membayar zakat,
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian
mereka, dan orang-orang yang
memelihara shalat-shalat mereka. Mereka itulah pewaris, yaitu orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,
mereka akan kekal
di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
Ayat 1 menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat
tinggi – “Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman” -- sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya
disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan
memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan),
sebab mencapai falah menandakan tingkat
ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat.
Dengan
ayat 2 mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi
atau prasyarat-prasyarat yang seorang
beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)
dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama, yang untuk itu Allah Swt. telah menciptakan dia (QS.51:57).
Syarat-syarat tersebut dapat
dianggap sekian banyak tingkat
perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah bahwa
seorang beriman harus menghadap kepada
Tuhan dengan penuh kerendahan diri,
merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal dan merendahkan diri:
“orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya.”
Tingkat
kedua terletak dalam berpaling dari
segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta
tidak membawa manfaat. Kehidupan
merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius, dan seorang beriman harus menanggapinya demikian.
Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara yang
bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan
sia-sia yang tidak berguna: “dan orang-orang yang berpa-ling dari hal yang
sia-sia.”
Tujuan zakat bukan hanya menyediakan
sarana-sarana untuk meringankan beban
orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan
golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah
juga penimbunan uang dan bahan-bahan
keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar
mengakibatkan terciptanya keseimbangan
ekonomi yang sehat: “orang-orang yang membayar zakat.”
Pernikahan dan Upaya Penjagaan Kesucian Diri
Tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya dikemukakan oleh ayat selanjutnya, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:5-8).
Dalam ayat-ayat ini nampak sekali kesakralan tujuan pernikahan dalam ajaran
Islam berkenaan dengan pentingnya
menjaga kesucian farji (kemaluan),
baik farji secara jasmani maupun farji secara ruhani, yakni panca indera. Dalam ayat-ayat ini
dikemukakan dua macam istri yang sah berdasarkan status sosial mereka, yakni (1) “ajwajikum” (istri-istri mereka) dari
kalangan perempuan-perempuan beriman yang merdeka,
(2) istri-istri yang sah dari kalangan mā malakat aimanukum (apa yang dimiliki tangan kanan mereka).
Secara
umum kalimat “mā malakat aimanukum” berarti perempuan-perempuan berstatus tawanan
perang yang tidak ditebus dan berada dalam tahanan serta jatuh ke dalam
kuasa orang-orang Islam, karena mereka telah ikut secara aktif dalam peperangan
yang dilancarkan dengan maksud menghancurkan Islam, maka dengan demikian secara hukum mencabut hak
diri mereka sendiri untuk memperoleh kemerdekaan.
Istilah itu digunakan dalam Al-Quran sebagai pengganti sebutan ibad dan ima
(budak laki-laki dan budak perempuan) untuk mengisyaratkan kepada pemilikan yang sah dan benar menurut hukum.
Ungkapan, milk yamin
berarti milik penuh dan sah menurut hukum (Lisan-ul-‘Arab). Istilah itu mencakup budak-budak laki-laki dan perempuan, dan hanya letaknya dalam
kalimat saja yang menetapkan apa yang dimaksud oleh ungkapan itu pada satu
tempat tertentu. Banyak sekali terjadi kesalahpahaman,
mengenai ungkapan “yang dimiliki tangan kanan kamu” dan apa hak serta kedudukan orang-orang yang menjadi tujuan pernyataan itu. Islam telah mengutuk perbudakan dengan kata-kata yang tidak samar-samar.
Menurut Islam, memahrumkan (meluputkan) seseorang dari kemerdekaannya merupakan dosa yang amat besar kecuali, tentu saja
ia — baik laki-laki maupun perempuan — membuat dirinya layak dirampas kemerdekaannya,
karena keikutsertaannya dalam peperangan yang dilancarkan dengan
maksud menghancurkan agama Islam atau
negara Islam.
Memperjualbelikan budak-budak itu merupakan dosa besar pula. Ajaran Islam dalam hal ini, lugas, tegas, dan tidak
samar-samar. Menurut Islam, seseorang yang membuat orang lain menjadi budaknya, berbuat dosa besar terhadap Tuhan dan terhadap manusia (Bukhari, Kitab-ul-Bai’,
dan Dawud, seperti ditukil
oleh Fath al-Bari).
Ada baiknya dicatat bahwa, ketika
Islam lahir ke dunia perbudakan
merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan
kemasyarakatan umat manusia dan terdapat banyak sekali budak di tiap-tiap
negeri, terutama semenanjung Arabia. Oleh karena itu tidak mungkin, bahkan
tidak pula bijaksana menghapuskan sekaligus
suatu tatanan yang telah menjadi
demikian eratnya terjalin dalam seluruh tatanan masyarakat, tanpa mendatangkan kerugian besar kepada keadaan akhlaknya. Oleh karena itu Islam
berusaha menghapuskannya secara bertahap
tetapi jitu lagi mantap.
Al-Quran telah meletakkan
peraturan yang sangat sehat untuk
menghapuskan perbudakan dengan cepat
lagi sempurna sebagai berikut: (1) Tawanan-tawanan hanya dapat diambil dalam
peperangan regular (tetap); (2) mereka tidak boleh ditahan sesudah peperangan
berakhir, tetapi (3) harus dibebaskan sebagai isyarat belas-kasih atau
tukar-menukar tawanan (QS.47:5).
Tetapi perempuan-perempuan tawanan yang bernasib
malang yang tidak memperoleh kemerdekaannya,
lewat salah satu dari cara-cara itu, atau
terpaksa memilih tinggal bersama majikan-majikan
mereka yang Muslim, dapat menebus kebebasan mereka dengan membuat perjanjian dengan mereka yang disebut mukatabah,
(QS.24: 34).
Jika seorang perempuan tertawan dalam peperangan
yang sifatnya seperti tersebut di atas dan dengan demikian ia kehilangan kemerdekaannya serta menjadi milk
yamin, lagi pula ia tidak berhasil memperoleh kemerdekaannya dengan jalan pertukaran
tawanan perang, dan kepentingan pemerintah juga tidak membenarkan pembebasannya yang segera sebagai tanda belas-kasih, atau kaumnya ataupun
pemerintahnya sendiri tidak menebusnya,
lagi pula ia tidak berupaya membeli (menebus) kemerdekaannya dengan mengadakan mukatabah, dan majikannya — demi keselamatan akhlaknya — lalu menikahinya tanpa meminta
persetujuannya lebih dahulu, maka bagaimanakah peraturan ini dapat dianggap tercela?
Dilarang Melakukan Hubungan Intim dengan
Budak-budak
Perempuan Tanpa Nikah
Adapun mengenai mengadakan hubungan intim dengan seorang tawanan perang perempuan atau seorang budak perempuan tanpa menikahinya, sekali-kali tidak didukung oleh ayat ini atau ayat-ayat Al-Quran lain manapun.
Al-Quran bukan saja tidak membenarkan
memperlakukan tawanan-tawanan perang perempuan sebagai istri tanpa menikahinya secara sah, bahkan ada perintah-perintah
yang jelas dan tegas bahwa tawanan-tawanan perang ini -- seperti halnya pula perempuan-perempuan merdeka -- harus dinikahi jika mereka akan
diperlakukan sebagai istri.
Antara kedua macam perempuan itu
hanya ada perbedaan sementara dalam kedudukan sosial, yaitu minta
persetujuan sebelumnya tidak dianggap perlu dari diri tawanan perempuan untuk menikahi
mereka, sebagaimana sudah seyogianya diminta dari perempuan-perempuan merdeka (QS.4:20).
Sebenarnya mereka itu kehilangan hak, karena keikutsertaan
dalam perang terhadap Islam. Oleh
karena itu ungkapan, mā malakat aimanukum, yang berarti tawanan-tawanan
perempuan, menurut Al-Quran sedikit
pun tidak memberi dukungan kepada
anggapan bahwa Islam melestarikan
pergundikan. Selain ayat ini, sekurang-kurangnya dalam empat ayat lain perintah itu telah diletakkan dengan
kata-kata yang jelas dan tidak samar-samar, bahwa tawanan-tawanan perang perempuan
hendaknya jangan dibiarkan terus hidup
tanpa bersuami (QS.2:222; QS.4:4; QS.4:26; QS.24: 33).
Nabi Besar Muhammad saw. pun sangat tegas dalam hal ini. Menurut
riwayat beliau pernah bersabda:
“Orang yang
mempunyai budak perempuan dan memberi didikan yang baik kepadanya, serta
memeliharanya dengan cara yang patut dan selanjutnya memerdekakan serta
mengawininya, bagi dia ada ganjaran dua kali lipat” (Bukhari, Kitab al-‘Ilm).
Hadits ini berarti bahwa manakala
seorang orang Islam ingin memperistri
seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya.
Contoh Nyata Amal Nabi Besar Muhammad saw.
Amal Nabi Besar Muhammad saw. amat sejalan dengan perintah beliau saw. itu. Dua dari antara istri-istri beliau, Juwairiah r.a. dan Shafiyyah r.a., jatuh ke
tangan beliau saw. sebagai tawanan perang.
Mereka itu milk yamin beliau saw.. Tetapi beliau saw. menikahi keduanya menurut syariat Islam.
Nabi Besar Muhammad saw. menikahi
juga Mariyah yang dikirim Raja
Muda Mesir untuk beliau saw. dan istri beliau saw. yang ini pun menikmati
kedudukan sebagai perempuan merdeka,
seperti istri-istri Nabi Besar Muhammad saw. yang
lainnya. Beliau mengenakan burkah (kudungan) dan termasuk salah satu di
antara Ummul Mukminin (Ibu orang-orang yang beriman).
Al-Quran menjelaskan bahwa perintah berkenaan dengan pernikahan yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk “putri-putri para paman dan bibi Rasulullah
saw. dari pihak ayah dan ibu.”
Kedua kelas perempuan itu harus dinikahi oleh Nabi Besar Muhammad
saw. sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri.
Ketiga kategori yang disebut di
atas semuanya dihalalkan bagi Nabi Besar Muhammad saw. melalui
pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya,
ayat yang berbunyi: “Dan diharamkan
juga bagi kamu perempuan-perempuan yang
bersuami, kecuali yang dimiliki
tangan kanan kamu” (QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya
(QS.4.23-24), membahas perempuan-perempuan
muhrim dan di antara mereka
ini termasuk perempuan-perempuan yang bersuami.
Tetapi ayat itu membuat suatu pengecualian,
yaitu perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan agama dan kemudian mereka memilih tetap bersama orang-orang Islam
dapat dinikahi oleh majikan-majikan mereka. Kenyataan
bahwa mereka memilih tidak kembali
kepada suami-lama mereka, dianggap
sama dengan pembatalan pernikahan
mereka yang sebelumnya (QS.60:11).
Dapat juga dicatat secara
sepintas lalu, bahwa adalah tidak
diperkenankan menikahi
perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak
diizinkan, mengenai kerabat perempuan-merdeka. Misalnya: ibu, saudara-perempuan,
anak-perem-puan, dan sebagainya dari budak-perempuan yang diperistri, tidak boleh dinikahi.
Selanjutnya dapat dikatakan,
bahwa mengingat keadaan pada saat turun Al-Quran maka terpaksa harus mengadakan
perbedaan kedudukan sosial di antara
kedua golongan perempuan itu.
Pembedaan itu dinyatakan dengan sebutan zauj (perempuan-merdeka yang dinihahi)
dan milk yamin (budak-perempuan yang dinikahi).
Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua mengisyaratkan kepada kedudukannya yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi Besar
Muhammad saw. memerintahkan dengan keras sekali, bahwa budak-budak perempuan yang akan dinikahi
pertama-tama harus diberi kemerdekaan
dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana Nabi Besar Muhammad saw. telah
melakukannya.
Perintah yang Bersifat Sementara
Kecuali itu, Islam tidak
memperkenankan perempuan yang ditawan dalam peperangan-kecil
untuk diperlakukan sebagai budak-budak
perempuan. Izin menikahi budak perempuan tanpa persetujuannya
lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu
bangsa yang bersikap tidak-bersahabat
berinisiatip melancarkan perang agama
terhadap Islam untuk menghapuskan dan memaksa orang-orang Islam meninggalkan
agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian memperlakukan tawanan-tawanan mereka — laki-laki
maupun perempuan — sebagai budak-budak
seperti dilakukan di masa Nabi Besar Muhammad saw..
Pada masa itu musuh-musuh membawa perempuan-perempuan Muslim sebagai tawanan dan memperlakukan mereka sebagai budak-budak. Perintah Islam hanya merupakan tindak balasan dan bersifat sementara.
Perintah itu mempunyai tujuan sampingan
pula, yakni untuk melindungi akhlak
tawanan-tawanan perempuan. Keadaan yang demikian itu sudah tidak berlaku lagi. Sekarang tidak ada lagi peperangan agama dan karenanya tawanan-tawanan perang tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak.
Demikianlah penjelasan mengenai
makna ungkapan “mā malakat aimanukum” (apa yang dimiliki tangan
kanan kamu) pada tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya dikemukakan oleh firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:5-8).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 17 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar