Selasa, 16 April 2013

Tujuh Tingkatan Ruhani & Makna "Maa Malakat Aimanukum (Apa yang Dimiliki Tangan Kanan Kamu)




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 100


Tujuh Tingkatan  Ruhani &
Makna   Mā Malakat Aimanukum
(Apa yang Dimiliki Tangan Kanan Kamu)

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam   bagian akhir  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  mengenai  adanya persamaan antara rahim ibu dengan hati manusia dan makna kata ‘alaqah (darah yang lengket) serta hubungannya dengan rahim,  firman-Nya:   
وَ لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَۃٍ  مِّنۡ طِیۡنٍ ﴿ۚ﴾  ثُمَّ  جَعَلۡنٰہُ  نُطۡفَۃً  فِیۡ قَرَارٍ مَّکِیۡنٍ ﴿۪﴾   ثُمَّ خَلَقۡنَا النُّطۡفَۃَ عَلَقَۃً  فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَۃَ مُضۡغَۃً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَۃَ عِظٰمًا فَکَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ٭ ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰہُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰرَکَ اللّٰہُ  اَحۡسَنُ  الۡخٰلِقِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan sungguh  Kami benar-benar  telah menciptakan  insan (manusia) dari sari tanah liat, kemudian Kami menjadikannya air mani di dalam tempat penyimpanan yang kokoh.  Kemudian Kami menciptakan air mani menjadi ‘alaqah (segumpal darah lengket), maka Kami menciptakan  segumpal darah lengket itu menjadi segumpal daging, maka Kami menciptakan dari segumpal daging itu tulang-tulang, kemudian Kami membungkus tulang-tulang itu dengan daging, kemudian Kami menumbuhkannya menjadi makhluk lain,  maka Maha Berkat Allah, sebaik-baik Pencipta. (Al-Mu’minūn [23]:13-15).
 Sesudah mengemukakan berbagai tingkat evolusi ruhani manusia dalam sepuluh ayat pertama Surah Al-Mu’minūn ini, selanjutnya Al-Quran menjelaskan dalam ayat 13 dan dalam beberapa ayat berikutnya berbagai tingkat perkembangan fisiknya dalam rahim ibu, dan dengan demikian membuktikan adanya kesejajaran ajaib di antara kelahiran dan pertumbuhan jasmani  dengan kelahiran dan pertumbuhan ruhaninya, yaitu ada tujuh tingkatan perkembangan (QS.23:18).

Tujuh Tingkatan Perkembangan Ruhani Manusia

Berikut adalah ketujuh tingkatan perkembangan ruhani manusia yang akan mewarisi surga Fir’aus, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ  اَفۡلَحَ  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ  مُعۡرِضُوۡنَ ﴿ۙ۳﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِلزَّکٰوۃِ  فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ  ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ  فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama  Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Sungguh  telah berhasil   orang-orang yang beriman,  yaitu orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya,   dan  orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia,  dan  orang-orang yang membayar zakat,  dan  orang-orang yang menjaga kemaluannyakecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela,   tetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas.  dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian mereka, dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.  Mereka itulah pewaris, yaitu  orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,  mereka akan   kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
   Ayat 1 menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat tinggi – “Sungguh  telah berhasil   orang-orang yang beriman” --  sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan), sebab mencapai falah menandakan tingkat ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat.
     Dengan ayat 2 mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi atau prasyarat-prasyarat yang seorang beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)  dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama, yang untuk itu Allah Swt.   telah menciptakan dia (QS.51:57).
   Syarat-syarat tersebut dapat dianggap sekian banyak tingkat perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah bahwa seorang  beriman harus menghadap kepada Tuhan dengan penuh kerendahan diri, merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal dan merendahkan diri: “orang-orang yang khusyuk  dalam shalatnya.
  Tingkat kedua terletak dalam berpaling dari segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta tidak membawa manfaat. Kehidupan merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius,  dan seorang beriman harus menanggapinya demikian. Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan sia-sia yang tidak berguna: “dan  orang-orang yang berpa-ling dari hal yang sia-sia.”
    Tujuan zakat bukan hanya menyediakan sarana-sarana untuk meringankan beban orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah juga penimbunan uang dan bahan-bahan keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar mengakibatkan terciptanya keseimbangan ekonomi yang sehat: “orang-orang yang membayar zakat.”

Pernikahan dan Upaya Penjagaan Kesucian Diri

     Tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya  dikemukakan oleh ayat selanjutnya, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾    
dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercelatetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas.    (Al-Mu’minūn [23]:5-8).
       Dalam ayat-ayat ini nampak sekali kesakralan tujuan pernikahan  dalam ajaran Islam berkenaan dengan  pentingnya menjaga kesucian farji (kemaluan), baik farji secara jasmani maupun farji secara ruhani, yakni panca indera. Dalam ayat-ayat ini dikemukakan dua  macam istri yang sah berdasarkan status sosial mereka, yakni (1) “ajwajikum” (istri-istri mereka) dari kalangan perempuan-perempuan beriman yang merdeka, (2) istri-istri yang sah dari kalangan mā malakat aimanukum  (apa yang dimiliki tangan  kanan mereka).
       Secara umum kalimat “mā malakat aimanukum” berarti perempuan-perempuan berstatus tawanan perang yang tidak ditebus dan berada dalam tahanan serta jatuh ke dalam kuasa orang-orang Islam, karena mereka telah ikut secara aktif dalam peperangan yang dilancarkan dengan maksud menghancurkan Islam, maka dengan demikian  secara hukum  mencabut hak diri mereka sendiri untuk memperoleh kemerdekaan. Istilah itu digunakan dalam Al-Quran sebagai pengganti sebutan ibad dan ima (budak laki-laki dan budak perempuan) untuk mengisyaratkan kepada pemilikan yang sah dan benar menurut hukum.
    Ungkapan, milk yamin berarti milik penuh dan sah menurut hukum (Lisan-ul-‘Arab). Istilah itu mencakup budak-budak laki-laki dan perempuan, dan hanya letaknya dalam kalimat saja yang menetapkan apa yang dimaksud oleh ungkapan itu pada satu tempat tertentu. Banyak sekali terjadi kesalahpahaman, mengenai ungkapan “yang dimiliki tangan kanan kamu” dan apa hak serta kedudukan orang-orang yang menjadi tujuan pernyataan itu. Islam telah mengutuk perbudakan dengan kata-kata yang tidak samar-samar.
      Menurut Islam, memahrumkan (meluputkan)  seseorang dari kemerdekaannya  merupakan dosa yang amat besar kecuali, tentu saja ia — baik laki-laki maupun perempuan — membuat dirinya layak dirampas kemerdekaannya, karena keikutsertaannya dalam peperangan yang dilancarkan dengan maksud menghancurkan agama Islam atau negara Islam.
     Memperjualbelikan budak-budak itu merupakan dosa besar pula. Ajaran Islam  dalam hal ini, lugas, tegas, dan tidak samar-samar. Menurut Islam, seseorang yang membuat orang lain menjadi budaknya, berbuat dosa besar terhadap Tuhan dan terhadap manusia (Bukhari, Kitab-ul-Bai’, dan Dawud, seperti ditukil oleh Fath al-Bari).
     Ada baiknya dicatat bahwa, ketika Islam lahir ke dunia perbudakan merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan kemasyarakatan umat manusia dan terdapat banyak sekali budak di tiap-tiap negeri, terutama semenanjung Arabia. Oleh karena itu tidak mungkin, bahkan tidak pula bijaksana menghapuskan sekaligus suatu tatanan yang telah menjadi demikian eratnya terjalin dalam seluruh tatanan masyarakat, tanpa mendatangkan kerugian besar kepada keadaan akhlaknya. Oleh karena itu Islam berusaha menghapuskannya secara bertahap tetapi jitu lagi mantap.
    Al-Quran telah meletakkan peraturan yang sangat sehat  untuk menghapuskan perbudakan dengan cepat lagi sempurna sebagai berikut: (1) Tawanan-tawanan hanya dapat diambil dalam peperangan regular (tetap); (2) mereka tidak boleh ditahan sesudah peperangan berakhir, tetapi (3) harus dibebaskan sebagai isyarat belas-kasih atau tukar-menukar tawanan (QS.47:5).
   Tetapi perempuan-perempuan tawanan yang bernasib malang yang tidak memperoleh kemerdekaannya, lewat salah satu dari cara-cara itu, atau  terpaksa memilih tinggal bersama majikan-majikan mereka yang Muslim, dapat menebus kebebasan mereka dengan membuat perjanjian dengan mereka yang disebut mukatabah, (QS.24: 34).
    Jika seorang perempuan tertawan dalam peperangan yang sifatnya seperti tersebut di atas dan dengan demikian ia kehilangan kemerdekaannya serta menjadi milk yamin, lagi pula ia tidak berhasil memperoleh kemerdekaannya dengan jalan pertukaran tawanan perang, dan kepentingan pemerintah juga tidak membenarkan pembebasannya yang segera sebagai tanda belas-kasih, atau kaumnya ataupun pemerintahnya sendiri tidak menebusnya, lagi pula ia tidak berupaya membeli (menebus) kemerdekaannya dengan mengadakan mukatabah, dan majikannya — demi keselamatan akhlaknya — lalu  menikahinya  tanpa meminta persetujuannya lebih dahulu, maka bagaimanakah peraturan ini dapat dianggap tercela?

Dilarang Melakukan  Hubungan Intim  dengan
Budak-budak Perempuan Tanpa Nikah  

     Adapun mengenai mengadakan hubungan intim dengan seorang tawanan perang perempuan  atau seorang budak perempuan  tanpa menikahinya, sekali-kali tidak didukung oleh ayat ini atau ayat-ayat Al-Quran lain manapun. Al-Quran bukan saja tidak membenarkan memperlakukan tawanan-tawanan perang  perempuan sebagai istri tanpa menikahinya secara sah, bahkan  ada perintah-perintah yang jelas dan tegas bahwa tawanan-tawanan perang ini --  seperti halnya pula perempuan-perempuan merdeka -- harus dinikahi  jika mereka akan diperlakukan sebagai istri.
    Antara kedua macam perempuan itu hanya ada perbedaan sementara dalam kedudukan sosial, yaitu  minta persetujuan sebelumnya tidak dianggap perlu dari diri tawanan perempuan  untuk menikahi  mereka, sebagaimana sudah seyogianya diminta dari perempuan-perempuan merdeka (QS.4:20).
    Sebenarnya mereka itu kehilangan hak, karena keikutsertaan dalam perang terhadap Islam. Oleh karena itu ungkapan, mā malakat aimanukum, yang berarti  tawanan-tawanan perempuan, menurut Al-Quran  sedikit pun tidak memberi dukungan kepada anggapan bahwa Islam melestarikan pergundikan. Selain ayat ini, sekurang-kurangnya dalam empat ayat lain  perintah itu telah diletakkan dengan kata-kata yang jelas dan tidak samar-samar, bahwa tawanan-tawanan perang perempuan  hendaknya jangan dibiarkan terus hidup tanpa bersuami (QS.2:222; QS.4:4; QS.4:26; QS.24: 33).
     Nabi Besar Muhammad saw.  pun sangat tegas dalam hal ini. Menurut riwayat  beliau pernah bersabda:
“Orang yang mempunyai budak perempuan dan memberi didikan yang baik kepadanya, serta memeliharanya dengan cara yang patut dan selanjutnya memerdekakan serta mengawininya, bagi dia ada ganjaran dua kali lipat” (Bukhari, Kitab al-‘Ilm).
Hadits ini berarti bahwa manakala seorang orang Islam ingin memperistri seorang budak perempuan, ia hendaknya pertama-tama memerdekakan budak perempuan itu lebih dahulu sebelum menikahinya.

Contoh Nyata Amal Nabi Besar Muhammad saw.  

       Amal  Nabi Besar Muhammad saw.  amat sejalan dengan perintah beliau saw. itu. Dua dari antara istri-istri beliau, Juwairiah r.a. dan Shafiyyah  r.a., jatuh ke tangan beliau saw. sebagai tawanan perang. Mereka itu milk yamin beliau saw.. Tetapi  beliau  saw. menikahi  keduanya menurut syariat Islam.
    Nabi Besar Muhammad saw.   menikahi  juga Mariyah yang dikirim Raja Muda Mesir untuk beliau saw. dan istri beliau saw. yang ini pun menikmati kedudukan sebagai perempuan merdeka, seperti istri-istri   Nabi Besar Muhammad saw.   yang lainnya. Beliau mengenakan burkah (kudungan) dan termasuk salah satu di antara Ummul Mukminin (Ibu orang-orang yang beriman). 
   Al-Quran menjelaskan bahwa perintah berkenaan dengan pernikahan  yang berlaku untuk “yang dimiliki tangan kanan engkau” adalah sama dengan perintah yang berlaku untuk “putri-putri para paman dan bibi Rasulullah saw.   dari pihak ayah dan ibu.” Kedua kelas perempuan  itu harus dinikahi oleh Nabi Besar Muhammad saw.      sebelum mereka diperlakukan sebagai istri-istri.
Ketiga kategori yang disebut di atas  semuanya dihalalkan bagi  Nabi Besar Muhammad saw.   melalui pernikahan (QS.33:51). Selanjutnya, ayat yang berbunyi:  Dan diharamkan juga bagi kamu perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali yang dimiliki tangan kanan kamu” (QS.4:25) bersama-sama dengan ayat sebelumnya (QS.4.23-24), membahas perempuan-perempuan  muhrim dan di antara mereka ini termasuk perempuan-perempuan  yang bersuami.
    Tetapi  ayat itu membuat suatu pengecualian, yaitu  perempuan-perempuan bersuami yang ditawan dalam peperangan agama dan kemudian mereka memilih tetap bersama orang-orang Islam dapat dinikahi  oleh majikan-majikan mereka. Kenyataan bahwa mereka memilih tidak kembali kepada suami-lama mereka, dianggap sama dengan pembatalan pernikahan mereka yang sebelumnya (QS.60:11).
    Dapat juga dicatat secara sepintas lalu, bahwa adalah tidak diperkenankan menikahi  perempuan-perempuan kerabat budak-perempuan dalam batas yang tidak diizinkan, mengenai kerabat perempuan-merdeka. Misalnya: ibu, saudara-perempuan, anak-perem-puan, dan sebagainya dari budak-perempuan yang diperistri, tidak boleh dinikahi.
     Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa mengingat keadaan pada saat turun Al-Quran maka terpaksa harus mengadakan perbedaan kedudukan sosial di antara kedua golongan perempuan itu. Pembedaan itu dinyatakan dengan sebutan zauj (perempuan-merdeka yang dinihahi) dan milk yamin (budak-perempuan yang dinikahi).
     Sebutan pertama menyandang arti persamaan derajat antara suami dan istri, sedangkan yang kedua mengisyaratkan kepada kedudukannya yang agak rendah sebagai istri. Tetapi hal itu berlaku sementara. Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad saw. memerintahkan dengan keras sekali, bahwa budak-budak perempuan yang akan dinikahi pertama-tama harus diberi kemerdekaan dan kedudukan penuh dan kemudian dinikahi, sebagaimana     Nabi Besar Muhammad saw.   telah melakukannya.

Perintah yang Bersifat Sementara

    Kecuali itu, Islam tidak memperkenankan perempuan yang ditawan dalam peperangan-kecil untuk diperlakukan sebagai budak-budak perempuan. Izin menikahi  budak perempuan tanpa persetujuannya lebih dahulu, berlaku hanya apabila satu bangsa yang bersikap tidak-bersahabat berinisiatip melancarkan perang agama terhadap Islam untuk menghapuskan dan memaksa orang-orang Islam meninggalkan agama mereka di bawah ancaman pedang (senjata), dan kemudian memperlakukan tawanan-tawanan mereka — laki-laki maupun perempuan — sebagai budak-budak seperti dilakukan di masa Nabi Besar Muhammad saw..     
     Pada masa itu  musuh-musuh membawa perempuan-perempuan Muslim sebagai tawanan dan memperlakukan mereka sebagai budak-budak. Perintah Islam hanya merupakan tindak balasan dan bersifat sementara. Perintah itu mempunyai tujuan sampingan pula, yakni untuk melindungi akhlak tawanan-tawanan perempuan. Keadaan yang demikian itu sudah tidak berlaku lagi. Sekarang tidak ada lagi peperangan agama dan karenanya tawanan-tawanan perang  tidak boleh diperlakukan sebagai budak-budak.
    Demikianlah penjelasan mengenai  makna ungkapan “mā malakat aimanukum” (apa yang dimiliki tangan kanan kamu) pada tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya  dikemukakan oleh   firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ  لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ ۙ﴿﴾  اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ  مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾    
dan  orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercelatetapi barangsiapa mencari selain dari itu  maka mereka itu  orang-orang yang melampaui batas.    (Al-Mu’minūn [23]:5-8).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 17 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar