بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 101
Makna Sabbaha atau Yusabbihu
(Bertasbihnya) Alam Semesta
&
Pentingnya Keberadaan Suatu “Jama’ah” yang Hakiki di Kalangan Umat Islam
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai
persamaan adanya tujuh
tingkatan ruhani dan tujuh tingkatan
perkembangan janin manusia di dalam rahim
ibu, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَ﴿ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ یُحَافِظُوۡنَ ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia, dan orang-orang yang membayar zakat,
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas, dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian
mereka, dan orang-orang yang
memelihara shalat-shalat mereka. Mereka itulah pewaris, yaitu orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,
mereka akan kekal
di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
Falah (Kesuksesan) Lebih Tinggi
daripada
Najat (Keselamatan)
Ayat 1 menunjuk kepada orang-orang beriman yang mempunyai tingkat keruhanian yang amat
tinggi – “Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman” -- sifat-sifat istimewa dan ciri-ciri khususnya
disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya. Orang-orang beriman semacam itu akan
memperoleh falah (sukses) dan bukan hanya najat (keselamatan),
sebab mencapai falah menandakan tingkat
ruhani yang jauh lebih tinggi dari hanya mencapai najat.
Dengan
ayat 2 mulai pelukisan mengenai kondisi-kondisi
atau prasyarat-prasyarat yang seorang
beriman harus penuhi sebelum dapat menaruh harapan untuk memperoleh falah (sukses)
dalam kehidupan dan mencapai tujuan utama, yang untuk itu Allah Swt. telah menciptakan dia (QS.51:57).
Syarat-syarat tersebut dapat
dianggap sekian banyak tingkat
perkembangan ruhani manusia. Tingkat atau pal pertama dalam perjalanan ruh manusia ialah bahwa
seorang beriman harus menghadap kepada
Tuhan dengan penuh kerendahan diri,
merasa gentar oleh keagungan Ilahi, dan dengan hati yang menyesal dan merendahkan diri:
“orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya.”
Tingkat
kedua terletak dalam berpaling dari
segala macam percakapan dan khayalan tidak berguna, dan dari amal perbuatan sia-sia, percuma serta
tidak membawa manfaat. Kehidupan
merupakan suatu kenyataan yang suram dan serius, dan seorang beriman harus menanggapinya
demikian. Ia harus mempergunakan setiap saat dalam kehidupannya dengan cara
yang bermanfaat dan menjauhi semua kesibukan
sia-sia yang tidak berguna: “dan orang-orang yang berpa-ling dari hal yang
sia-sia.”
Tujuan zakat bukan hanya menyediakan
sarana-sarana untuk meringankan beban
orang-orang yang keadaannya menyedihkan, atau untuk memajukan kesejahteraan
golongan masyarakat yang secara ekonomis kurang beruntung, melainkan mencegah
juga penimbunan uang dan bahan-bahan
keperluan dan dengan demikian menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, agar
mengakibatkan terciptanya keseimbangan
ekonomi yang sehat: “orang-orang yang membayar zakat.”
Pernikahan dan Upaya Penjagaan Kesucian
Diri &
Memelihara Amanat dan Perjanjian
Tingkatan atau keadaan ruhani berikutnya adalah penjagaan kesucian farji yang dikemukakan oleh ayat
selanjutnya, hal tersebut telah
dijelaskan secara terinci pada Bab sebelumnya mengenai dua jenis perempuan atau istri
berdasarkan latar belakang perbedaan sosial, yakni: (1) perempuan beriman yang
merdeka; (2) mā malakat aimanuhum
(perempuan yang dimiliki tangan kanannya), firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka
sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minūn
[23]:5-8).
Dari penjelasan mengenai menjaga kesucian
farj (kemaluan) tersebut membuktikan
bahwa kesuksesan orang-orang beriman
dalam masalah pernikahan atau rumahtangga,
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari orang-orang beriman untuk menjadi pewaris surga Firdaus, serta membuktikan kesakralan lembaga pernikahan.
Oleh karena itu bagaimana mungkin orang-orang yang berlaku khianat dalam masalah pernikahan
(rumahtangga) akan menjadi pewaris surga
Firdaus, sebab Allah Swt. sangat membenci
semua bentuk pengkhianatan, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ
ہُمۡ لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ
رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾
dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
dan perjanjian-perjanjian mereka, (Al-Mu’minūn
[23]:9).
Yakni mereka memenuhi amanat-amanat
dan perjanjian-perjanjian terhadap Allah Swt. (haququlLāh) mau pun terhadap sesama manusia (haququl- ‘ibād), sebab semua itu akan diminta pertanggungjawaban oleh
Allah Swt.. Salah satu amanat-amanat
dan perjanjian-perjanjian adalah amanat
dan perjanjian yang diikrarkan pada waktu melakukan pernikahan.
Ayat 11— “dan orang-orang yang memelihara
shalat-shalat mereka” -- menandai tingkat perkembangan ruhani yang terakhir
dan tertinggi, di mana zikir Ilahi
menjadi fitrat kedua bagi seorang beriman dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari wujudnya serta penghibur
bagi ruhnya. Pada tingkat ini ia
menaruh perhatian khusus kepada amal ibadah
yang dilakukan bersama-sama
(berjamaah), yang menunjukkan bahwa perasaan dan kesadaran berkaum menjadi sangat kuat dalam dirinya dan ia
membelakangkan kepentingan-kepentingan
diri pribadi serta mendahulukan kebaikan
bersama dan kepentingan kaum.
Makna Kata Sabbaha dan Yusabbihu (Bertasbih)
Mengisyaratkan kepada pentingnya
berada dalam satu “jama’ah” itulah peringatan Allah Swt. kepada umat Islam dalam firman-Nya berikut ini:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ سَبَّحَ لِلّٰہِ مَا
فِی السَّمٰوٰتِ وَ مَا فِی الۡاَرۡضِ ۚ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لِمَ تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾ کَبُرَ
مَقۡتًا عِنۡدَ اللّٰہِ اَنۡ
تَقُوۡلُوۡا مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ
سَبِیۡلِہٖ صَفًّا کَاَنَّہُمۡ بُنۡیَانٌ
مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Aku baca dengan
nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Menyanjung
kesucian Allah apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak
kerjakan? Adalah sesuatu yang paling di-benci di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa yang tidak
kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berperang
dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun rapat. (Ash-Shaf
[61]:1-5).
Sabbaha fī hawā’ijihi artinya: ia menyibukkan diri dalam mencari nafkah,
atau sibuk dalam urusannya. Sabh berarti: mengerjakan pekerjaan, atau
mengerjakannya dengan usaha sekeras-kerasnya serta secepat-cepatnya, dan
ungkapan subhānallāh me-nyatakan kecepatan pergi berlindung kepada Allāh
dan kesigapan melayani dan menaati perintah-Nya.
Mengingat akan arti dasar kata
ini, masdar isim (kata benda infinitif) tasbih dari sabbaha artinya menyatakan bahwa Allah Swt. itu jauh dari segala kekurangan atau aib, atau
cepat-cepat memohon bantuan ke
hadirat Allah Swt. dan sigap dalam menaati
Dia sambil mengatakan Subhānallāh (Lexicon
Lane).
Oleh karena itu ayat ini berarti
bahwa segala sesuatu di alam semesta
sedang melakukan tugasnya masing-masing
dengan cermat dan teratur, dan dengan memanfaatkan kemampuan-kemampuan serta kekuatan-kekuatan
yang dilimpahkan Allah Swt. kepadanya, memenuhi tujuan ia diciptakan dengan cara yang sangat ajaib, sehingga kita
mau tidak mau harus mengambil
kesimpulan bahwa Allah Swt. -- Sang Perencana
dan Arsitek atau Rabb
alam semesta ini -- sungguh Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, dan bahwa seluruh alam semesta secara keseluruhan dan tiap-tiap makhluk
secara individu serta dalam batas kemampuannya masing-masing, memberi kesaksian mengenai kebenaran yang tidak dapat dipungkiri, bahwa karya Allah Swt. itu mutlak bebas
dari setiap kekurangan, aib atau ketidaksempurnaan dalam segala seginya yang beraneka ragam dan
banyak itu. Inilah maksud kata tasbih yakni sabbaha atau yusabbihu.
Jadi, kalimat sabbaha atau yusabbihu yakni “menyanjung kesucian Allah apa pun yang ada
di seluruh langit dan apa pun yang ada
di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana” mengisyaratkan kepada tatanan
alam semesta yang keadaannya merupakan suatu “jama’ah” dimana semua bagiannya – baik yang paling kecil maupun yang paling besar – baik secara sendiri-sendiri mau pun secacara
bersama-sama bertasbih (menyanjung kesucian) Allah Swt.. Itulah
salah satu makna kata sabbaha atau yusabbihu berkenaan tatanan alam semesta.
Jama’ah yang Hakiki Hanyalah Jama’ah Ilahi
Sehubungan pentingnya meniru kesempurnaan
“jama’ah” tatanan alam semesta tersebut
selanjutnya Allah Swt. memperingatkan
umat Islam – terutama di Akhir Zaman ini --
Dia berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لِمَ
تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
﴿﴾ کَبُرَ
مَقۡتًا عِنۡدَ اللّٰہِ اَنۡ
تَقُوۡلُوۡا مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan? Adalah sesuatu
yang paling dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (Ash-Shaf
[61]:3-4).
Perbuatan seorang Muslim hendaknya sesuai dengan pernyataan-pernyataannya. Bicara sombong dan kosong membawa seseorang tidak keruan kemana yang dituju, dan ikrar-ikrar lidah tanpa disertai perbuatan-perbuatan nyata adalah berbau kemunafikan dan ketidaktulusan.
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya umat Islam merupakan suatu “jama’ah”
yang hakiki, seperti halnya di masa Nabi Besar Muhammad saw.:
اِنَّ اللّٰہَ
یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ صَفًّا کَاَنَّہُمۡ بُنۡیَانٌ
مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berperang dalam barisan-barisan,
mereka itu seakan-akan suatu bangunan
yang tersusun rapat. (Ash-Shaf [61]:1-5).
Orang-orang Muslim diharapkan tampil dalam barisan
yang rapat, teguh dan kuat terhadap kekuatan-kekuatan
kejahatan, di bawah komando pemimpin (imam)
mereka, yang terhadapnya mereka harus taat
dengan sepenuhnya dan seikhlas-ikhlasnya. Tetapi suatu kaum,
yang berusaha menjadi satu jemaat
yang kokoh-kuat, harus mempunyai satu tata-cara
hidup, satu cita-cita, satu maksud, satu tujuan dan satu rencana
untuk mencapai tujuan itu.
Jama’ah (jemaat)
hanyalah suatu Jemaat Ilahi yang didirikan oleh Rasul Allah, dan di Akhir Zaman ini Jema’ah (jemaat) yang seperti Jemaat di
zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan para Khulaftur
Rasyidin hanyalah Jemaat Ahmadiyah,
yaitu suatu Jama’ah Muslim yang
didirikan oleh Rasul Akhir Zaman atau Al-Masih Mau’ud atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.43:58) yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. (QS.61:10; QS.62:3-5).
Sehubungan dengan Surah Al-Mukminun yang tengah dibahas, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Mereka
itulah pewaris, yaitu orang-orang
yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka akan
kekal di dalamnya. (Al-Mu’minūn
[23]:1-12).
Yakni, karena orang-orang beriman yang disebut dalam ayat-ayat yang mendahuluinya
menghimpun dalam diri mereka segala
macam sifat mulia maka mereka akan
disuruh bermukim di surga Firdaus
yang berisikan segala sesuatu yang terdapat dalam kebun mana pun (Lexicon Lane). Sebab mereka
mendatangkan kematian terhadap keinginan-keinginan mereka sendiri, maka
sebagai imbalannya Allah Swt.akan
memberi mereka kehidupan kekal dan
mereka akan memperoleh segala yang mereka inginkan (QS.50:36).
Demikianlah hikmah-hikmah dari firman Allah Swt. yang sedang dibahas mengenai orang-orang
beriman yang akan menjadi pewatis surga
Fir’daus:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ فِیۡ صَلَاتِہِمۡ خٰشِعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَنِ اللَّغۡو مُعۡرِضُوۡنَ﴿ۙ﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِلزَّکٰوۃِ فٰعِلُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ لِفُرُوۡجِہِمۡ حٰفِظُوۡنَ
ۙ﴿﴾ اِلَّا عَلٰۤی اَزۡوَاجِہِمۡ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ
اَیۡمَانُہُمۡ فَاِنَّہُمۡ غَیۡرُ مَلُوۡمِیۡنَ ۚ﴿﴾ فَمَنِ ابۡتَغٰی
وَرَآءَ ذٰلِکَ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡعٰدُوۡنَ ۚ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
لِاَمٰنٰتِہِمۡ وَ عَہۡدِہِمۡ رٰعُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ ہُمۡ عَلٰی صَلَوٰتِہِمۡ
یُحَافِظُوۡنَ ۘ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡوٰرِثُوۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَرِثُوۡنَ الۡفِرۡدَوۡسَ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sungguh telah berhasil orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang
yang berpaling dari hal yang sia-sia, dan orang-orang yang membayar zakat,
dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau apa yang dimiliki tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa
mencari selain dari itu maka mereka itu
orang-orang yang melampaui batas, dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjian
mereka, dan orang-orang yang
memelihara shalat-shalat mereka. Mereka itulah pewaris, yaitu orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,
mereka akan kekal
di dalamnya. (Al-Mu’minūn [23]:1-12).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 18 April 2013
bertasbih itu apa ? bukan nya akar kata tasbih itu sabbaha arti nya menyelami atau berenang
BalasHapusSubhana berasal dari kata sabbaha yang artinya menjauh. Itu sebabnya ketika kita mengucap subhanallah, artinya kita menjauhkan segala bentuk keburukan dan kekurangan dari Allah SWT, sehingga kalimat zikir ini selalu kita ucapkan saat melaksanakan salat.
Hapus