بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 167
Tiga Macam “Kemusyrikan” yang Dihadapi Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai "Bayyinah" (Bukti yang Nyata)
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai janji
Allah Swt.mengenai pemindahan nikmat kenabian dari Bani Israil kepada Bani Isma’il melalui
pengutusan Nabi Besar Muhammad saw., setelah terjadi masa terputusnya pengutusan rasul selama
6 abad antara Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ قَدۡ جَآءَکُمۡ رَسُوۡلُنَا یُبَیِّنُ لَکُمۡ عَلٰی فَتۡرَۃٍ
مِّنَ الرُّسُلِ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا مَا جَآءَنَا مِنۡۢ بَشِیۡرٍ وَّ لَا
نَذِیۡرٍ ۫ فَقَدۡ جَآءَکُمۡ بَشِیۡرٌ وَّ نَذِیۡرٌ ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی
کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿٪﴾
Hai Ahlul Kitab, sungguh telah datang kepada kamu Rasul Kami yang
menjelaskan syariat
kepadamu pada masa jeda pengutusan
rasul-rasul, supaya kamu tidak mengatakan: “Tidak pernah datang kepada kami
seorang pemberi kabar gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.”
Padahal sungguh telah datang kepadamu
seorang pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan Allah Maha
kuasa atas segala sesuatu. (Māidah [5]:20).
Masa “Terputusnya Pengutusan”
Para Rasul Allah
Jarak waktu antara Nabi Musa a.s. dengan Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. sekitar 14 abad,
dan dalam masa itu beberapa orang nabi
Allah telah dibangkitkan di kalangan Bani
Israil. Ada pun jarak waktu antara
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. sekitar 6 abad. Sejarah bungkam perihal apakah
ada seorang nabi Allah pernah datang
di salah satu negeri di antara zaman Nabi Besar Muhammad saw. dengan zaman Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang pasti ialah
sekurang-kurangnya di antara para Ahlulkitab
tiada seorang nabi Allah pun
datang dalam jangka waktu itu.
Pada hakikatnya, dunia telah
mengharap-harapkan dan bersiap-siap menerima kedatangan Juru Selamat terbesar bagi umat manusia. Beberapa pernyataan dari
sumber yang diragukan (Kalbi) menyebutkan bahwa Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. disusul oleh
beberapa nabi, di antaranya Khalid bin Salam termasuk seorang dari
antara mereka. Tetapi Nabi Besar Muhammad saw.
menurut riwayat pernah
bersabda bahwa antara beliau dan Nabi Isa tidak ada nabi (Bukhari).
Pengutusan Nabi Besar Muhammad
saw. tersebut terjadi kerena Tauhid Ilahi
yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim
a.s. kepada keturunan beliau a.s. melalui Nabi Ishaq a.s. – yakni Bani Israil
-- telah dicemari dengan berbagai
bentuk syirik (kemusyrikan),
sebagaimana firman-Nya:
وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ
اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ
قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾ اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا
مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ
وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ
مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا
لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ
بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang
Yahudi berkata: “Uzair adalah anak Allah”, dan orang-orang Nasrani ber-kata: “Al-Masih
adalah anak Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya,
mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana
mereka sampai dipalingkan dari
Tauhid? Mereka telah menjadikan
ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu
juga Al-Masih ibnu Maryam,
padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa.
Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci
Dia dari apa yang mereka sekutukan. Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.
Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang
haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau pun orang-orang
musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).
Firman-Nya
lagi:
لَقَدۡ
کَفَرَ الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ مَرۡیَمَ ؕ
قُلۡ فَمَنۡ یَّمۡلِکُ مِنَ اللّٰہِ
شَیۡئًا اِنۡ اَرَادَ اَنۡ یُّہۡلِکَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ وَ
اُمَّہٗ وَ مَنۡ فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا ؕ وَ لِلّٰہِ مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ وَ مَا بَیۡنَہُمَا ؕ یَخۡلُقُ مَا یَشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی
کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Sungguh benar-benar telah kafir orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Allah dialah
Al-Masih ibnu Maryam.” Katakanlah: “Siapakah
yang memiliki kekuasaan melawan Allah,
jika Dia berkehendak membinasakan
Al-Masih ibnu Maryam, ibunya, dan semua orang yang ada di bumi ini?”
Dan kepunyaan
Allah-lah kerajaan seluruh langit dan bumi dan apa pun yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. (Māidah [5]:18).
Upaya
Memadamkan “Cahaya Allah”
dengan
“Tiupan Mulut” Mereka
Dalam firman Allah sebelumnya dikemukakan, bahwa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. adalah dalam rangka menyempurnakan Tauhid Ilahi atau “Cahaya
Allah” yang nyaris padam oleh
“tiupan mulut” – yakni rekayasa-rekayasa dusta -- yang dilakukan para pemuka Ahli-Kitab, sehingga dengan pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.
tersebut Tauhid Ilahi yang nyaris
“padam” kembali bersinar cemerlang
bagaikan terbitnya “matahari pagi” yang menyingkirkan kegelapan malam yang sangat pekat, firman-Nya:
یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ
بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Mereka berkehendak memadamkan
cahaya Allah dengan mulut mereka,
tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau-pun orang-orang kafir tidak menyukai.
Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan aga-ma yang
haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau pun orang-orang
musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:32-33).
Dalam
firman-Nya berikut ini Nabi Besar
Muhammad saw. telah disebut sebagai “sirājan-munīran”
(matahari yang memancarkan cahaya cemerlang):
یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ اِنَّاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾ وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ
اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan. Dan
sebagai penyeru kepada Allah
dengan perintah-Nya, dan juga sebagai
matahari yang memancarkan cahaya. Dan berilah
kabar gembira kepada orang-orang beriman bahwa sesungguhnya
bagi mereka ada karu-nia yang besar dari Allah. (Al-Ahzāb [33]:46-48).
Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat alam semesta lahiriah, begitulah pribadi Nabi Besar Muhammad saw. pun merupakan titik-pusat alam keruhanian. Beliau saw.
merupakan matahari dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar beliau saw. dan meminjam cahaya dari beliau. Beliau saw. diriwayatkan
pernah bersabda:
“Sahabat-sahabatku
adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak; siapa pun di antara mereka
kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Tafsir Shaghir).
Kecintaan Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
Kepada Allah Swt.
Nabi Besar Muhammad saw. demikian
fana
(larut/tenggelam) dalam kecintaan
kepada Allah Swt., sehingga beliau saw. sangat
sedih jika mengetahui orang-orang yang mempersekutukan
sesuatu dengan Allah Swt. (QS.18:1-7; QS.26:4) atau jika jika ada yang menisbahkan bahwa Allah Swt. telah
mengambil seorang “anak lelaki” bagi diri-Nya (QS.2:117; QS.4:172; QS.6:101-102; QS.10:69; QS.17:112; QS.18:5; 19:36 & 89; QS.21:27;
QS.25:3; QS.39:5).
Sehubungan dengan hal tersebut Allah
Swt. telah menyatakan kepada Nabi Besar Muhammad saw. bahwa jika itikad –
bahwa “Tuhan telah mengambil seorang anak
lelaki bagi-Nya” - itu benar maka beliau saw. diperintahkan untuk menjadi orang pertama yang akan “menyembah anak Tuhan” tersebut,
sebagai bukti kecintaan beliau saw. kepada Allah
Swt.,firman-Nya:
قُلۡ اِنۡ کَانَ لِلرَّحۡمٰنِ وَلَدٌ ٭ۖ فَاَنَا
اَوَّلُ الۡعٰبِدِیۡنَ ﴿﴾ سُبۡحٰنَ رَبِّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ رَبِّ
الۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿﴾ فَذَرۡہُمۡ یَخُوۡضُوۡا وَ یَلۡعَبُوۡا حَتّٰی یُلٰقُوۡا
یَوۡمَہُمُ الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ ﴿﴾ وَ ہُوَ الَّذِیۡ فِی السَّمَآءِ اِلٰہٌ
وَّ فِی الۡاَرۡضِ اِلٰہٌ ؕ وَ
ہُوَ الۡحَکِیۡمُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾
Katakanlah:
"Seandainya Tuhan Yang Maha Pemurah
mempunyai seorang anak, niscaya akulah
yang pertama di antara para penyembah." Maha
Suci Tuhan seluruh langit dan bumi, Tuhan ‘Arasy, jauh dari apa
yang mereka sifatkan. Maka biarkanlah mereka
bercakap kosong dan bermain-main sampai
mereka bertemu dengan Hari mereka yang telah dijanjikan. Dan Dia-lah
Tuhan Yang di langit dan Tuhan Yang di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana,
Maha Mengetahui. (Az-Zukhruf [43]:82-85).
'Abid adalah isim fa'il dari 'abada,
yang berarti: ia menyembah; dan dari 'abida, yang berarti: ia marah;
ia menolak; bersedih karena telah berlaku lalai; ia bersikap menghinakan (Lexicon Lane). Maka ayat ini
berarti:
(a) Bila Tuhan Yang Maha Pemurah beranak, maka akulah orangnya yang
pertama-tama menyembahnya (anak itu), sebab sebagai abdi Allah yang paling taat dan patuh aku niscaya tidak akan lalai
dalam kewajibanku terhadapnya (anak itu).
(b) Bila mungkin Tuhan Yang Maha
Pemurah mempunyai seorang anak, maka
akulah yang paling berhak memperoleh kedudukan
itu, sebab akulah yang paling banyak menyembah Tuhan dan yang paling banyak
pula berbakti kepada-Nya.
(c) Tuhan Yang Maha Pemurah pasti tidak
mempunyai seorang anak ("in" berarti, "tidak"), dan
akulah yang pertama-tama menjadi saksi atas kenyataan ini, sebab kata 'abidin
berarti syahidin, yaitu saksi-saksi.
(d) Tuhan Yang Maha Pemurah tidak
mempunyai anak, dan akulah yang pertama-tama menolak dengan benci akan
pernyataan, bahwa Dia memiliki anak.
Tiga Macam Kemusyrikan
yang Dihadapi
Oleh Nabi Besar Muhammad saw.
Sehubungan dengan tugas utama Nabi Besar Muhammad saw.
menegakkan Tauhid Ilahi dan
memberantas kemusyrikan, dari
Al-Quran diketahui bahwa sekurang-korangnya ada 3 jenis kemusyrikan yang harus dihadapi oleh Nabi Besar Muhammad
saw., yakni:
(1) Para penyembah
berhala dari kalangan orang-orang
musyrik, contohnya adalah kaum Nabi
Ibrahim a.s. (QS.6:75-84;
QS.19:4251; QS.21:52-74; QS.26:70-90), kaum
Saba penyembah benda-benda langit (QS.27:23-27) dan bangsa Arab jahiliyah yang
menyembah patung-patung lātta,
‘uzzā, dan manāt (QS.53:20-24).
(2)
Para penganut agama Samawi yang kemudian yang mempertuhankan
para nabi Allah, para wali Allah dan para pemuka agama mereka (QS.9:30-31).
(3) Para pemuka agama yang membuat penganut agama mereka menjadi terpecah-belah
menjadi berbagai firqah yang saling mengkafirkan (QS.30:31-33).
Sehubungan dengan tugas Nabi Besar Muhammad saw. – sebagai bayyinah (bukti yang nyata) -- untuk melenyapkan semua jenis syirik (kemusyrikan) tersebut, Allah Swt. berfirman mengenai perlawanan yang akan dihadapi beliau saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ لَمۡ یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ
اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ مُنۡفَکِّیۡنَ حَتّٰی
تَاۡتِیَہُمُ الۡبَیِّنَۃُ ۙ﴿﴾ رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا
مُّطَہَّرَۃً ۙ﴿﴾ فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ ؕ﴿﴾
Aku
baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Orang-orang
kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang
musyrik- tidak akan berhenti dari kekafiran hingga datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu
seorang rasul dari Allah yang
membacakan lembaran-lembaran suci, yang di
dalamnya ada perintah-perintah abadi. (Al-Bayyinah [98]:1-4).
Al-Quran telah membagi
semua orang kafir dalam dua golongan
– Ahlikitab dan orang-orang musyrik (mereka yang tidak percaya kepada sesuatu Kitab
Suci). Dalam ayat selanjutnya pengutusan
Nabi Besar Muhammad saw. disebut sebagai “kedatangan bayyinah”, bayyinah antara lain berarti “bukti yang
nyata (terang)”, itulah sebabnya dalam QS.33:46-48 Nabi Besar Muhammad saw.
disebut “sirājan- munīran” (matahari
yang memancarkan cahaya) atau “nūrun ‘alā
nūrin” (Cahaya di atas cahaya” (QS.24:36).
Makna فِیۡہَا
کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً -- “lembaran-lembaran
suci yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi” yaitu bahwa Al-Quran berisikan secara ikhtisar segala sesuatu yang baik,
kekal, dan tidak termusnahkan, yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Kitab-kitab Suci terdahulu, dengan
imbuhan (tambahan) banyak ajaran yang
tidak terdapat pada Kitab-kitab itu
tetapi sangat diperlukan manusia guna perkembangan
akhlak dan ruhaninya.
Semua
cita-cita, asas-asas luhur, peraturan-peraturan, dan perintah-perintah yang
mengandung kemanfaatan abadi bagi
manusia telah dimasukkan ke dalam Al-Quran,
seolah-olah Al-Quran berperan sebagai penjaga
atas kitab-kitab lama dan bebas dari
semua cacat dan noda yang terdapat pada kitab-kitab
itu. (QS.2:107; QS.3:20 & 86; QS.5:4).
Selanjutnya
Allah Swt. mengemukakan Sunnatullah
yang senantiasa berlaku kepada para Rasul
Allah yang diutus sebelum Nabi Besar
Muhammad saw., bahwa Sunnatullah
tersebut akan terjadi juga kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَا
تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ
اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَتۡہُمُ الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا
اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا
الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ
ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Dan orang-orang
yang diberi Kitab tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka
tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]:5-6).
Kata dīn berarti:
ketaatan; penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat;
perilaku atau tindak-tanduk (Lexicon
Lane). Artinya bahwa seruan
Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “Penyeru kepada Allah” (QS.33:46-48) adalah semata-mata untuk mengajak
mereka beribadah kepada Allah Swt. yang sama sekali bersih dari segala macam bentuk syirik
(kemusyrikan), baik syirik yang nyata mau pun yang
terselubung, sebab menurut Allah Swt. وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ – “dan itulah agama yang lurus”,
agama (millat) yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada seluruh keturunan beliau a.s. – termasuk
Nabi Musa a.s., Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw. -- (QS.2:131-135;
QS.6:162-164; QS.22:78-79; QS.87:15-20).
Penyimpangan “Millat” (Agama) Warisan Nabi Ibrahim
a.s.
di Kalangan Ahli Kitab & Makna “Hanīf”
Tetapi dengan berjalannya waktu yang lama دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ – “agama yang lurus”, yang diwariskan
oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada seluruh
keturunan beliau a.s tersebut di kalangan Ahli Kitab terjadi penyimpangan, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا کُوۡنُوۡا ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی تَہۡتَدُوۡا ؕ قُلۡ بَلۡ
مِلَّۃَ اِبۡرٰہٖمَ حَنِیۡفًا ؕ وَ مَا
کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan mereka
berkata: “Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani, barulah kamu akan mendapat petunjuk.”
Katakanlah: “Tidak, bahkan turutilah
agama Ibrahim yang
lurus, dan ia
sekali-kali bukan dari golongan
orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah [2]:136).
Hanīf berarti: (1) orang yang berpaling
dari kesesatan lalu memilih petunjuk (Al-Mufradat); (2) orang yang dengan tetap mengikuti agama yang benar dan tidak pernah
menyimpang darinya; (3) orang yang hatinya condong
kepada Islam dengan sempurna dan
tetap teguh di dalamnya (Lexicon Lane);
(4) orang yang mengikuti agama
(millat) Nabi Ibrahim a.s. (Aqrab-ul-Mawarid);
(5) orang yang beriman kepada semua nabi (Tafsir Ibnu Katsir). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا
بِاللّٰہِ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡنَا وَ مَاۤ اُنۡزِلَ اِلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ وَ یَعۡقُوۡبَ وَ الۡاَسۡبَاطِ وَ
مَاۤ اُوۡتِیَ مُوۡسٰی وَ عِیۡسٰی وَ مَاۤ اُوۡتِیَ النَّبِیُّوۡنَ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ۚ لَا نُفَرِّقُ
بَیۡنَ اَحَدٍ
مِّنۡہُمۡ ۫ۖ وَ نَحۡنُ
لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah
oleh kamu: “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, kepada apa
yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan keturunannya, dan beriman kepada yang diberikan kepada Musa, Isa,
dan kepada apa yang diberikan kepada
para nabi dari Tuhan mereka, kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara
mereka, dan hanya kepada-Nya kami
berserah diri.” (Al-Baqarah
[2]:137).
Kata anak-cucu dalam kalimat “Ya’qub dan keturunannya“ di sini menunjuk kepada kedua belas suku Bani Israil yang masing-masing disebut
menurut nama kedua belas putra Nabi Ya’qub a.s. — Rubin, Simeon, Levi, Yehuda, Isakhar,
Zebulon, Yusuf, Benyamin, Dan, Naftali, Gad dan Asyer (Kejadian 35:23-26, 49: 28).
Hal itu sungguh menambah semarak keagungan Islam karena Islamlah satu-satunya agama yang mengakui nabi semua bangsa, sedangkan agama-agama lain membatasi
kenabian hanya pada lingkungannya masing-masing. Sewajarnya Al-Quran hanya
menyebut nama nabi-nabi yang dikenal
oleh orang-orang Arab saja, yang kepadanya pertama-tama ajaran Islam diberikan, tetapi Al-Quran membuat pernyataan umum
yang maksudnya: “Tiada kaum yang kepadanya tidak pernah diutus seorang
Pemberi peringatan” (QS.35:25).
Kata-kata, “Kami tidak
membedakan seorang di antara mereka” berarti bahwa seorang Muslim tidak membeda-bedakan berbagai nabi dalam hal kenabian. Kata-kata itu hendaknya jangan dianggap mengandung arti
bahwa semua nabi itu taraf keruhaniannya
sama. Paham demikian itu bertentangan dengan QS.2:254. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
فَاِنۡ اٰمَنُوۡا بِمِثۡلِ
مَاۤ اٰمَنۡتُمۡ بِہٖ فَقَدِ اہۡتَدَوۡا ۚ وَ اِنۡ تَوَلَّوۡا
فَاِنَّمَا ہُمۡ فِیۡشِقَاقٍ ۚ فَسَیَکۡفِیۡکَہُمُ اللّٰہُ ۚ وَ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ؕ
Lalu jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman kepadanya
maka sungguh mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling maka
sesungguhnya mereka dalam permusuhan
terhadapmu, tetapi Allah segera
mencukupi engkau untuk menghadapi mereka, dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
(Al-Baqarah
[2]:138).
Orang-orang Islam diperingatkan di sini, jika orang-orang Yahudi dan Kristen sepakat dengan orang-orang Islam dalam anggapan bahwa agama itu bukan turunan, melainkan sebagai penerimaan
atas semua petunjuk wahyu, maka tidak
ada perbedaan yang pokok antara
mereka, jika tidak demikian maka cara
berfikir mereka jauh berbeda dan jurang lebar memisahkan mereka, dan tanggung jawab atas perpecahan serta permusuhan
yang terjadi sebagai akibatnya terletak pada kaum Yahudi dan Kristen dan
tidak pada kaum Muslim.
“Celupan Allah”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pentingnya menganut agama Allah yang hakiki, karena agama
yang seperti itu akan memberikan warna Ilahi pada diri para penganutnya
yang sejati:
صِبۡغَۃَ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ
اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ عٰبِدُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ
اَتُحَآجُّوۡنَنَا فِی
اللّٰہِ وَ ہُوَ رَبُّنَا
وَ رَبُّکُمۡ ۚ وَ لَنَاۤ
اَعۡمَالُنَا وَ لَکُمۡ اَعۡمَالُکُمۡ ۚ وَ نَحۡنُ لَہٗ مُخۡلِصُوۡنَ ﴿﴾ۙ
Katakanlah:
“Kami menganut agama Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam
mengajarkan agama, dan kepada-Nya kami beribadah.” Katakanlah:
“Apakah kamu memperdebatkan mengenai Allah dengan kami, padahal Dia
adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu
juga? Dan bagi kami amal kami dan bagimu amal kamu, dan hanya bagi-Nya
kami mengikhlaskan diri.” (Al-Baqarah
[2]:139-140).
Shibghah
berarti: celup atau warna; macam atau ragam atau sifat sesuatu; agama;
peraturan hukum; pembaptisan. Shibghatallāh berarti: agama Allāh; sifat
yang dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (Aqrab-al-Mawarid). Agama
itu disebut shibghah karena
agama itu mewarnai manusia seperti celup
atau warna mewarnai sesuatu.
Shibghah dipakai di sini sebagai
pelengkap kata kerja yang mahzuf (tidak disebut karena telah diketahui).
Menurut tata bahasa Arab, kadang-kadang bila ada satu kehendak keras untuk
membujuk seseorang melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, maka kata kerjanya
ditinggalkan dan hanya tujuannya saja yang disebut. Maka kata-kata seperti na’khudzu
(kami telah mengambil) atau nattabi’u (kami telah mengikuti) dapat
dianggap sudah diketahui dan anak kalimat صِبۡغَۃَ اللّٰہِ akan berarti “kami telah menerima atau kami
telah menganut agama Allah sebagaimana Allah Swt. menghendaki supaya kami menerima atau mengikutinya.”
Mengenai penyimpangan “millat”
(agama) yang diwariskan oleh nabi Ibrahim a.s. kepada keturunan beliau a.s.
dari kalangan Bani Israil a.s. selanjutnya Allah Swet. Berfirman:
اَمۡ تَقُوۡلُوۡنَ اِنَّ اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ وَ یَعۡقُوۡبَ وَ الۡاَسۡبَاطَ کَانُوۡا ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی ؕ قُلۡ ءَاَنۡتُمۡ اَعۡلَمُ اَمِ اللّٰہُ ؕ وَ مَنۡ
اَظۡلَمُ مِمَّنۡ کَتَمَ شَہَادَۃً عِنۡدَہٗ مِنَ
اللّٰہِ ؕ وَ مَا
اللّٰہُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اُمَّۃٌ قَدۡ خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا
کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا
کَسَبۡتُمۡ ۚ وَ لَا
تُسۡـَٔلُوۡنَ
عَمَّا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾٪
Ataukah kamu
berkata: “Sesungguhnya Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan keturunannya
adalah Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah
Allah?” Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian
dari Allah yang ada padanya? Dan Allah sekali-kali tidak lengah
terhadap apa yang kamu kerjakan. Itulah umat yang telah berlalu, bagi mereka apa yang mereka usahakan dan bagi kamu apa yang kamu usahakan, dan kamu tidak akan dimintai tanggungjawab mengenai apa pun yang
senantiasa mereka kerjakan. (Al-Baqarah [2]:141-142).
Kaum Yahudi dan Kristen secara tidak langsung telah diberitahukan, bagaimana
keadaan Nabi Ibrahim a.s. . dan putra-putra
beliau, seperti dinyatakan oleh mereka -- bahwa keselamatan
itu monopoli mereka semata-mata -- sebab beliau-beliau itu hidup pada masa sebelum Nabi Musa a.s., yaitu
ketika agama Yahudi dan Kristen belum berwujud.
Kaum
Yahudi dan Kristen diperingatkan pula
bahwa adanya mereka keturunan nabi-nabi
Allah tidak ada gunanya bagi mereka. Mereka akan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sendiri karena tiada orang
yang harus memikul beban orang lain
(QS.6:165).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 15 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar