Minggu, 07 Juli 2013

Tiga Macam "Kemusyrikan" yang Dihadapi Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai "Bayyinah" (Bukti yang Nyata)




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 167

Tiga Macam “Kemusyrikan” yang Dihadapi  Nabi Besar Muhammad Saw. sebagai "Bayyinah" (Bukti yang Nyata)

           
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab sebelumnya telah  dikemukakan mengenai  janji Allah Swt.mengenai pemindahan nikmat kenabian dari Bani Israil kepada Bani Isma’il melalui pengutusan Nabi Besar Muhammad saw., setelah terjadi masa terputusnya pengutusan rasul selama  6 abad antara Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya: 
   یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ قَدۡ جَآءَکُمۡ  رَسُوۡلُنَا یُبَیِّنُ لَکُمۡ عَلٰی  فَتۡرَۃٍ  مِّنَ الرُّسُلِ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا مَا جَآءَنَا مِنۡۢ بَشِیۡرٍ وَّ لَا نَذِیۡرٍ ۫ فَقَدۡ جَآءَکُمۡ بَشِیۡرٌ وَّ نَذِیۡرٌ ؕ وَ اللّٰہُ  عَلٰی  کُلِّ  شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿٪﴾
Hai Ahlul Kitab, sungguh telah datang kepada kamu Rasul Kami yang  menjelaskan syariat kepadamu  pada masa jeda pengutusan rasul-rasul, supaya kamu tidak mengatakan: “Tidak pernah datang kepada kami  seorang pemberi kabar gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.”  Padahal sungguh  telah datang kepadamu seorang pembawa kabar gembira  dan pemberi peringatan, dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. (Māidah [5]:20).

Masa “Terputusnya Pengutusan” Para Rasul Allah

      Jarak waktu antara Nabi Musa a.s. dengan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. sekitar 14 abad, dan dalam masa itu beberapa orang nabi Allah telah dibangkitkan di kalangan Bani Israil.  Ada pun jarak waktu antara Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. sekitar 6 abad. Sejarah bungkam perihal apakah ada seorang nabi Allah pernah datang di salah satu negeri di antara zaman Nabi Besar Muhammad saw. dengan zaman Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang pasti ialah sekurang-kurangnya di antara para Ahlulkitab tiada seorang nabi Allah pun datang dalam jangka waktu itu.
      Pada hakikatnya, dunia telah mengharap-harapkan dan bersiap-siap menerima kedatangan Juru Selamat terbesar bagi umat manusia. Beberapa pernyataan dari sumber yang diragukan (Kalbi) menyebutkan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. disusul oleh beberapa nabi, di antaranya Khalid bin Salam termasuk seorang dari antara mereka. Tetapi Nabi Besar Muhammad saw.   menurut riwayat pernah bersabda bahwa antara beliau dan Nabi Isa tidak ada nabi (Bukhari).
      Pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut terjadi kerena Tauhid Ilahi yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada keturunan beliau a.s. melalui Nabi Ishaq a.s. –  yakni Bani Israil --   telah dicemari dengan berbagai bentuk syirik (kemusyrikan), sebagaimana firman-Nya:
وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ  ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ  ابۡنُ  اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ  قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی  یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾  اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾  یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾  ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Dan  orang-orang Yahudi berkata: “Uzair  adalah  anak Allah”, dan orang-orang Nasrani ber-kata: “Al-Masih adalah  anak  Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya, mereka  meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipalingkan dari Tauhid? Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam, padahal  mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.  Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau pun orang-orang musyrik tidak menyukainya.   (At-Taubah [9]:30-33).
Firman-Nya lagi:
لَقَدۡ کَفَرَ الَّذِیۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ مَرۡیَمَ ؕ قُلۡ  فَمَنۡ یَّمۡلِکُ مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا اِنۡ اَرَادَ  اَنۡ  یُّہۡلِکَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ وَ اُمَّہٗ وَ مَنۡ فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا ؕ وَ لِلّٰہِ مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا بَیۡنَہُمَا ؕ یَخۡلُقُ مَا یَشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  عَلٰی  کُلِّ  شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Sungguh benar-benar telah kafir orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah dialah Al-Masih ibnu Maryam.” Katakanlah: “Siapakah yang memiliki  kekuasaan melawan Allah, jika Dia berkehendak membinasakan Al-Masih ibnu Maryam, ibunya, dan semua orang yang ada di bumi ini?” Dan  kepunyaan  Allah-lah kerajaan seluruh langit dan bumi dan apa pun yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. (Māidah [5]:18).

Upaya Memadamkan “Cahaya Allah”
dengan “Tiupan Mulut” Mereka

   Dalam firman Allah sebelumnya dikemukakan,  bahwa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. adalah  dalam rangka  menyempurnakan Tauhid Ilahi  atau “Cahaya Allah” yang nyaris padam oleh “tiupan mulut” – yakni rekayasa-rekayasa dusta  --  yang dilakukan para pemuka Ahli-Kitab, sehingga dengan pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.  tersebut   Tauhid Ilahi  yang nyaris “padam” kembali bersinar cemerlang bagaikan terbitnya “matahari pagi” yang menyingkirkan kegelapan malam yang sangat pekat, firman-Nya:
یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾  ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau-pun orang-orang kafir tidak menyukai.  Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan aga-ma yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau pun orang-orang musyrik tidak menyukainya.   (At-Taubah [9]:32-33).
      Dalam firman-Nya  berikut ini Nabi Besar Muhammad saw. telah disebut sebagai “sirājan-munīran” (matahari yang memancarkan cahaya cemerlang):  
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  اِنَّاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ  نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ  بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾  وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan  sebagai penyeru kepada Allah dengan perintah-Nya, dan juga sebagai matahari yang memancarkan cahaya.    Dan berilah kabar gembira  kepada orang-orang beriman  bahwa sesungguhnya bagi mereka ada karu-nia yang besar dari Allah. (Al-Ahzāb [33]:46-48).
      Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat alam semesta lahiriah, begitulah pribadi  Nabi Besar Muhammad saw. pun merupakan titik-pusat alam keruhanian. Beliau saw. merupakan matahari dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar beliau saw. dan meminjam cahaya dari beliau. Beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda:
“Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak; siapa pun di antara mereka kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Tafsir Shaghir). 

Kecintaan Sempurna Nabi Besar Muhammad Saw.
Kepada Allah Swt.

      Nabi Besar Muhammad saw. demikian fana  (larut/tenggelam) dalam kecintaan kepada Allah Swt., sehingga beliau saw. sangat sedih jika mengetahui orang-orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah Swt. (QS.18:1-7; QS.26:4) atau jika jika ada yang menisbahkan bahwa Allah Swt. telah mengambil seorang “anak lelaki” bagi diri-Nya (QS.2:117;  QS.4:172; QS.6:101-102; QS.10:69;  QS.17:112; QS.18:5; 19:36 & 89; QS.21:27; QS.25:3; QS.39:5).
      Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. telah menyatakan kepada Nabi Besar Muhammad saw. bahwa jika itikad   – bahwa “Tuhan telah mengambil seorang anak lelaki bagi-Nya” -  itu  benar maka beliau saw. diperintahkan untuk menjadi orang  pertama yang akan “menyembah anak Tuhan” tersebut,  sebagai  bukti kecintaan beliau saw. kepada Allah Swt.,firman-Nya:
قُلۡ  اِنۡ کَانَ لِلرَّحۡمٰنِ وَلَدٌ ٭ۖ فَاَنَا اَوَّلُ الۡعٰبِدِیۡنَ ﴿﴾ سُبۡحٰنَ رَبِّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ رَبِّ الۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿﴾  فَذَرۡہُمۡ  یَخُوۡضُوۡا وَ یَلۡعَبُوۡا حَتّٰی یُلٰقُوۡا یَوۡمَہُمُ  الَّذِیۡ یُوۡعَدُوۡنَ ﴿﴾  وَ ہُوَ الَّذِیۡ فِی السَّمَآءِ  اِلٰہٌ  وَّ فِی الۡاَرۡضِ  اِلٰہٌ ؕ وَ ہُوَ  الۡحَکِیۡمُ  الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾  
Katakanlah: "Seandainya Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai seorang anak, niscaya akulah yang pertama di antara para penyembah."  Maha Suci Tuhan seluruh langit dan bumi, Tuhan ‘Arasy, jauh dari apa yang mereka sifatkan. Maka biarkanlah mereka bercakap kosong  dan bermain-main sampai mereka bertemu dengan Hari mereka yang telah dijanjikan.   Dan  Dia-lah Tuhan Yang di langit dan Tuhan Yang di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. (Az-Zukhruf [43]:82-85).
   'Abid adalah isim fa'il dari 'abada, yang berarti: ia menyembah; dan dari 'abida, yang berarti: ia marah; ia menolak; bersedih karena telah berlaku lalai; ia bersikap menghinakan (Lexicon Lane). Maka ayat ini berarti:
 (a) Bila Tuhan Yang Maha Pemurah beranak, maka akulah orangnya yang pertama-tama menyembahnya (anak itu), sebab sebagai abdi Allah yang paling taat dan patuh aku niscaya tidak akan lalai dalam kewajibanku terhadapnya (anak itu).
(b) Bila mungkin Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai seorang anak, maka akulah yang paling berhak memperoleh kedudukan itu, sebab akulah yang paling banyak menyembah Tuhan dan yang paling banyak pula berbakti kepada-Nya.
 (c) Tuhan Yang Maha Pemurah pasti tidak mempunyai seorang anak ("in" berarti, "tidak"), dan akulah yang pertama-tama menjadi saksi atas kenyataan ini, sebab kata 'abidin berarti syahidin, yaitu saksi-saksi.
(d) Tuhan Yang Maha Pemurah tidak mempunyai anak, dan akulah yang pertama-tama menolak dengan benci akan pernyataan, bahwa Dia memiliki  anak.

Tiga  Macam  Kemusyrikan   yang Dihadapi
Oleh Nabi Besar Muhammad saw.

        Sehubungan dengan   tugas utama Nabi Besar Muhammad saw. menegakkan Tauhid Ilahi dan memberantas kemusyrikan, dari Al-Quran diketahui bahwa sekurang-korangnya ada 3 jenis  kemusyrikan  yang harus dihadapi oleh Nabi Besar Muhammad saw., yakni:
     (1)  Para penyembah berhala dari kalangan orang-orang musyrik, contohnya adalah kaum Nabi Ibrahim a.s.  (QS.6:75-84; QS.19:4251; QS.21:52-74; QS.26:70-90), kaum Saba penyembah benda-benda langit (QS.27:23-27) dan bangsa Arab  jahiliyah yang menyembah patung-patung  lātta,  ‘uzzā, dan  manāt (QS.53:20-24).
     (2) Para  penganut agama Samawi yang kemudian yang mempertuhankan para nabi Allah, para wali Allah dan para pemuka agama mereka (QS.9:30-31).
   (3) Para pemuka agama yang membuat penganut agama mereka  menjadi terpecah-belah  menjadi berbagai firqah yang  saling mengkafirkan (QS.30:31-33).
       Sehubungan dengan tugas Nabi Besar Muhammad saw. – sebagai bayyinah (bukti yang nyata) -- untuk melenyapkan semua jenis  syirik (kemusyrikan) tersebut,  Allah Swt.   berfirman mengenai perlawanan yang akan dihadapi beliau saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  لَمۡ  یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا  مِنۡ  اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ مُنۡفَکِّیۡنَ حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ۙ﴿﴾  رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً  ۙ﴿﴾  فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ ؕ﴿﴾ 
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Orang-orang kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang musyrik- tidak akan berhenti dari kekafiran hingga datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu  seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran suci,  yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi.  (Al-Bayyinah [98]:1-4).
  Al-Quran telah membagi semua orang kafir dalam dua golongan – Ahlikitab dan orang-orang musyrik (mereka yang tidak percaya kepada sesuatu Kitab Suci). Dalam ayat selanjutnya  pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. disebut sebagai “kedatangan bayyinah”, bayyinah antara lain berarti “bukti yang nyata (terang)”, itulah sebabnya dalam QS.33:46-48 Nabi Besar Muhammad saw. disebut “sirājan- munīran” (matahari yang memancarkan cahaya) atau “nūrun ‘alā nūrin” (Cahaya di atas cahaya” (QS.24:36).
 Makna فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ   صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً  --  lembaran-lembaran suci yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi” yaitu bahwa Al-Quran berisikan secara ikhtisar segala sesuatu yang baik, kekal, dan tidak termusnahkan, yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Kitab-kitab Suci terdahulu, dengan imbuhan (tambahan) banyak ajaran yang tidak terdapat pada Kitab-kitab itu tetapi sangat diperlukan manusia guna perkembangan akhlak dan ruhaninya.
Semua cita-cita, asas-asas luhur, peraturan-peraturan, dan perintah-perintah yang mengandung kemanfaatan abadi bagi manusia telah dimasukkan ke dalam Al-Quran, seolah-olah Al-Quran berperan sebagai penjaga atas kitab-kitab lama dan bebas dari semua cacat dan noda yang terdapat pada kitab-kitab itu. (QS.2:107; QS.3:20 & 86; QS.5:4).
 Selanjutnya Allah Swt. mengemukakan Sunnatullah yang senantiasa berlaku kepada para Rasul Allah yang diutus sebelum  Nabi Besar Muhammad saw., bahwa Sunnatullah tersebut akan terjadi juga kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ  اِلَّا مِنۡۢ  بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Dan  orang-orang yang diberi Kitab tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya  dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]:5-6).
 Kata dīn berarti: ketaatan; penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat; perilaku atau tindak-tanduk (Lexicon Lane). Artinya bahwa seruan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “Penyeru kepada Allah” (QS.33:46-48)  adalah semata-mata untuk mengajak mereka  beribadah kepada Allah Swt. yang sama sekali bersih dari segala macam bentuk syirik (kemusyrikan), baik  syirik yang nyata mau pun yang terselubung, sebab menurut Allah Swt. وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  – “dan itulah agama yang lurus”, agama (millat) yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada seluruh keturunan beliau a.s. – termasuk Nabi Musa a.s., Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw. -- (QS.2:131-135; QS.6:162-164; QS.22:78-79; QS.87:15-20).

Penyimpangan “Millat” (Agama) Warisan Nabi Ibrahim a.s.
di Kalangan Ahli Kitab  & Makna “Hanīf

Tetapi dengan berjalannya waktu yang lama   دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  – “agama yang lurus”,   yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada seluruh keturunan beliau a.s tersebut di kalangan Ahli Kitab terjadi penyimpangan, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا کُوۡنُوۡا ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی تَہۡتَدُوۡا ؕ قُلۡ بَلۡ مِلَّۃَ  اِبۡرٰہٖمَ  حَنِیۡفًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan mereka berkata:  Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani, barulah kamu akan mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak, bahkan turutilah agama Ibrahim  yang lurus,  dan  ia sekali-kali bukan dari golongan  orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah [2]:136).
      Hanīf berarti: (1) orang yang berpaling dari kesesatan lalu memilih petunjuk (Al-Mufradat); (2) orang yang dengan tetap mengikuti agama yang benar dan tidak pernah menyimpang darinya; (3) orang yang hatinya condong kepada Islam dengan sempurna dan tetap teguh di dalamnya (Lexicon Lane); (4) orang yang mengikuti agama (millat) Nabi Ibrahim a.s. (Aqrab-ul-Mawarid); (5) orang yang beriman kepada semua nabi (Tafsir Ibnu Katsir). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا بِاللّٰہِ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡنَا وَ مَاۤ اُنۡزِلَ  اِلٰۤی  اِبۡرٰہٖمَ  وَ  اِسۡمٰعِیۡلَ وَ  اِسۡحٰقَ وَ یَعۡقُوۡبَ وَ الۡاَسۡبَاطِ وَ مَاۤ اُوۡتِیَ مُوۡسٰی وَ عِیۡسٰی وَ مَاۤ اُوۡتِیَ النَّبِیُّوۡنَ مِنۡ  رَّبِّہِمۡ ۚ  لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ ۫ۖ وَ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ 
Katakanlah oleh kamu: “Kami  beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami,   kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim,   Isma’il, Ishaq,  Ya’qub dan keturunannya,  dan beriman kepada yang diberikan kepada Musa,  Isa, dan kepada apa yang diberikan kepada para nabi dari Tuhan mereka, kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.”   (Al-Baqarah [2]:137).
  Kata anak-cucu dalam kalimat “Ya’qub dan keturunannya“ di sini menunjuk kepada kedua belas suku Bani Israil yang masing-masing disebut menurut nama kedua belas putra Nabi Ya’qub a.s.  — Rubin, Simeon, Levi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Yusuf, Benyamin, Dan, Naftali, Gad dan Asyer (Kejadian 35:23-26, 49: 28).
   Hal itu sungguh menambah semarak keagungan Islam karena Islamlah satu-satunya agama yang mengakui nabi semua bangsa, sedangkan agama-agama lain membatasi kenabian hanya pada lingkungannya masing-masing. Sewajarnya Al-Quran hanya menyebut nama nabi-nabi yang dikenal oleh orang-orang Arab saja, yang kepadanya pertama-tama ajaran Islam diberikan, tetapi Al-Quran membuat pernyataan umum yang maksudnya: “Tiada kaum yang kepadanya tidak pernah diutus seorang Pemberi peringatan” (QS.35:25).
      Kata-kata, “Kami tidak membedakan seorang di antara mereka” berarti bahwa seorang Muslim tidak membeda-bedakan berbagai nabi dalam hal kenabian. Kata-kata itu hendaknya jangan dianggap mengandung arti bahwa semua nabi itu taraf keruhaniannya sama. Paham demikian itu bertentangan dengan QS.2:254. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَاِنۡ اٰمَنُوۡا بِمِثۡلِ مَاۤ  اٰمَنۡتُمۡ  بِہٖ فَقَدِ اہۡتَدَوۡا ۚ وَ اِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّمَا ہُمۡ فِیۡشِقَاقٍ ۚ فَسَیَکۡفِیۡکَہُمُ اللّٰہُ ۚ وَ ہُوَ السَّمِیۡعُ  الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ؕ
Lalu jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman kepadanya maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan  jika mereka berpaling  maka sesungguhnya mereka dalam permusuhan terhadapmu, tetapi Allah segera mencukupi engkau untuk menghadapi mereka, dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:138).
    Orang-orang Islam diperingatkan di sini, jika orang-orang Yahudi dan Kristen sepakat dengan orang-orang Islam dalam anggapan bahwa agama itu bukan turunan, melainkan sebagai penerimaan atas semua petunjuk wahyu, maka tidak ada perbedaan yang pokok antara mereka, jika tidak demikian maka cara berfikir mereka jauh berbeda dan jurang lebar memisahkan mereka, dan tanggung jawab atas perpecahan serta permusuhan yang terjadi sebagai akibatnya terletak pada kaum Yahudi dan Kristen dan tidak pada kaum Muslim.

“Celupan Allah”

     Selanjutnya Allah  Swt. berfirman mengenai  pentingnya menganut agama Allah yang hakiki, karena agama yang seperti itu   akan memberikan warna Ilahi pada diri para penganutnya yang sejati:
صِبۡغَۃَ اللّٰہِ ۚ وَ مَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰہِ صِبۡغَۃً  ۫ وَّ نَحۡنُ لَہٗ عٰبِدُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اَتُحَآجُّوۡنَنَا فِی اللّٰہِ وَ ہُوَ رَبُّنَا وَ رَبُّکُمۡ ۚ وَ لَنَاۤ اَعۡمَالُنَا وَ لَکُمۡ اَعۡمَالُکُمۡ ۚ وَ نَحۡنُ لَہٗ  مُخۡلِصُوۡنَ ﴿﴾ۙ
Katakanlah: “Kami menganut agama Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam mengajarkan agama, dan kepada-Nya kami beribadah.” Katakanlah: “Apakah kamu  memperdebatkan mengenai Allah dengan kami,  padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu juga? Dan  bagi kami amal kami dan bagimu amal kamu, dan hanya bagi-Nya kami   mengikhlaskan diri.” (Al-Baqarah [2]:139-140).
     Shibghah berarti: celup atau warna; macam atau ragam atau sifat sesuatu; agama; peraturan hukum; pembaptisan. Shibghatallāh berarti: agama Allāh; sifat yang dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (Aqrab-al-Mawarid). Agama itu disebut shibghah   karena agama itu mewarnai manusia seperti celup atau warna mewarnai sesuatu.
       Shibghah dipakai di sini sebagai pelengkap kata kerja yang mahzuf (tidak disebut karena telah diketahui). Menurut tata bahasa Arab, kadang-kadang bila ada satu kehendak keras untuk membujuk seseorang melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, maka kata kerjanya ditinggalkan dan hanya tujuannya saja yang disebut. Maka kata-kata seperti na’khudzu (kami telah mengambil) atau nattabi’u (kami telah mengikuti) dapat dianggap sudah diketahui dan anak kalimat  صِبۡغَۃَ اللّٰہِ     akan berarti “kami telah menerima atau kami telah menganut agama Allah sebagaimana Allah Swt.  menghendaki supaya kami menerima atau mengikutinya.”
      Mengenai penyimpangan “millat” (agama) yang diwariskan oleh nabi Ibrahim a.s. kepada keturunan beliau a.s. dari kalangan Bani Israil a.s. selanjutnya Allah Swet. Berfirman:
اَمۡ  تَقُوۡلُوۡنَ  اِنَّ  اِبۡرٰہٖمَ  وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ وَ یَعۡقُوۡبَ وَ الۡاَسۡبَاطَ کَانُوۡا ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ قُلۡ ءَاَنۡتُمۡ  اَعۡلَمُ اَمِ اللّٰہُ ؕ وَ مَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنۡ کَتَمَ شَہَادَۃً عِنۡدَہٗ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ مَا اللّٰہُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اُمَّۃٌ  قَدۡ خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا کَسَبۡتُمۡ ۚ وَ لَا تُسۡـَٔلُوۡنَ عَمَّا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾٪
Ataukah kamu berkata: “Sesungguhnya  Ibrahim, Isma’il,  Ishaq, Ya’qub dan keturunannya adalah Yahudi atau Nasrani?”  Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah  Allah?” Dan  siapakah  yang lebih zalim  daripada orang yang menyembunyikan kesaksian  dari Allah yang ada padanya? Dan Allah sekali-kali  tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.   Itulah umat yang telah berlalu, bagi mereka apa yang  mereka usahakan  dan bagi kamu apa yang kamu usahakan, dan kamu  tidak akan dimintai  tanggungjawab mengenai apa pun yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-Baqarah [2]:141-142).
      Kaum Yahudi dan Kristen secara tidak langsung telah diberitahukan, bagaimana keadaan Nabi Ibrahim a.s. . dan putra-putra beliau, seperti dinyatakan oleh mereka -- bahwa  keselamatan itu monopoli mereka semata-mata -- sebab beliau-beliau itu hidup pada masa sebelum Nabi Musa a.s., yaitu ketika agama Yahudi dan Kristen belum berwujud.
    Kaum Yahudi dan Kristen diperingatkan pula bahwa adanya mereka keturunan nabi-nabi Allah tidak ada gunanya bagi mereka. Mereka akan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sendiri karena tiada orang yang harus memikul beban orang lain (QS.6:165).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  15 Juni  2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar