بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 177
Perbedaan
Kesan
Kisah Para Rasul Allah yang Dikemukakan
Bible dan Al-Quran
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai penjelasan
atau jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam (Yesus Kristus) terhadap protes keras para pemuka
agama Yahudi protes keras terhadap
beliau dengan dalih bahwa Nabi Elia a.s.
belum turun dari langit, padahal
merupakan pendahulu atau perintis
atau merupakan syarat bagi
kedatangan Mesias. Mengenai hal
tersebut Injil Matius menjelaskan:
Setelah murid-murid Yohanes pergi, mulailah Yesus berbicara kepada orang banyak itu
tentang Yohanes: “Untuk apakah kamu
pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin kian ke mari? Atau
untuk mapakah kamu pergi? Melihat orang
orang yang berpakaian halus. Orang yang berpakaian halus itu tempatnya
di istana raja. Jadi untuk apakah kamu pergi? Melihat nabi? Benar, dan aku berkata kepadamu, bahkan lebih daripada nabi. Karena tentang dia ada tertulis:
“Lihatlah, Aku menyuruh utusanKu
mendahului engkau; ia akan mempersiapkan jalanmu di hadapanmu.” Aku berkata
kepada kepadamu: Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan
tidak pernah tampil seorang yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih
besar daripadanya. Sejak tampilnya Yohanes
Pembaptis hingga sekarang, Kerajaan
Sorga diserong dan orang yang
menyerongnya mencoba menguasainya. Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes, dan
– jika kamu mau menerimanya – ialah Elia
yang akan datang itu. Siapa bertelinga,
hendaklah ia mendengar. (Matius
11:7-15).
Dari keterangan Yesus atau Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut jelaslah, bahwa yang dimaksud dengan kedatangan kedua kali Nabi Elia a.s.
menjelang pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau Mesias adalah Yohanes
Pembaptis atau Nabi Yahya a.s. bin
Nabi Zakaria a.s., yang dilahirkan sebelum Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.3:36-42;
QS.19:1-16).
Penjelasan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. tersebut merupakan tafsir mengenai makna “kedatangan kedua kali Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s.” yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh kaum Yahudi, kaum Nasrani (Kristen) dan umat
Islam di Akhir Zaman ini,
bahwa yang dimaksud dengan kedatangan kedua kali seorang rasul
(nabi) Allah maknanya adalah orang lain yang
memiliki banyak persamaan
dengan rasul Allah tersebut atau misal
dari rasul Allah tersebut, firman-Nya:
وَ لَمَّا
ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالُوۡۤاءَ
اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ
لَکَ اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ
قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila Ibnu Maryam dikemukakan sebagai misal
tiba-tiba kaum engkau meneriakkan penentangan terhadapnya, dan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah
dia?" Mereka tidak menyebutkan
hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. Bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah.
(Az-Zukhruf [43]:58-59).
Shadda (yashuddu) berarti: ia menghalangi dia dari
sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes)
(Aqrab-al-Mawarid).
Kedatangan Al-Masih a.s. adalah
tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan dan direndahkan serta akan kehilangan
kenabian untuk selama-lamanya.
Orang yang Seperti
(Misal) Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. &
Komentar Yesus (Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.)
Karena matsal berarti
sesuatu yang semacam dengan atau sejenis dengan yang lain (QS.6:39), ayat
ini, di samping arti yang diberikan dalam ayat ini, dapat pula berarti bahwa
bila kaum Nabi Besar Muhammad saw. —
yaitu kaum Muslimin — diberitahu bahwa orang lain seperti dan merupakan sesama
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan dibangkitkan
di antara mereka untuk memperbaharui mereka
dan mengembalikan kejayaan ruhani
mereka yang telah hilang, maka daripada bergembira
atas kabar gembira itu malah mereka berteriak
mengajukan protes.
Jadi, ayat ini dapat dianggap
mengisyaratkan kepada kedatangan Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. untuk kedua kalinya dalam wujud orang lain yang semisal
(seperti) beliau namun muncul dari kalangan pengikut
Nabi Besar Muhammad saw. yakni dari kalangan umat Islam (Bani Isma’il) – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.
-- bukan dari kalangan Bani Israil sebagaimana yang keliru difahami oleh umumnya umat Islam.
Sangat menarik komentar Yesus (Nabi Isa Ibnu Mayam a.s.)
mengenai kebengkokan hati para
penentang rasul Allah dari zaman ke zaman:
Dengan
apakah akan kuumpamakan angkatan
(generasi) ini? Mereka itu seumpama
anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya:
“Kami meniup seruling
bagimu, tetapi kamu tidak menari
Kami menyanyikan kudung duka,
tetapi kamu tidak berkabung”
Karena Yohanes datang, ia tidak makan dan tidak minum, dan mereka berkata: “Ia kerasukan setan.” Kemudian “anak
manusia” (yakni Yesus – pen.), ia
makan dan minum, dan mereka berkata: “Lihat
ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.”
Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh
perbuatannya ( Matius 11:16-19).
Benarlah
firman Allah Swt. dalam Al-Quran:
یٰحَسۡرَۃً عَلَی الۡعِبَادِ ۚؑ مَا یَاۡتِیۡہِمۡ مِّنۡ رَّسُوۡلٍ
اِلَّا کَانُوۡا بِہٖ یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿﴾
Wahai sangat disesalkan atas hamba-hamba itu,
sekali-kali tidak pernah datang kepada mereka seorang
rasul melainkan mereka senantiasa
mencemoohkannya. (Yā Sīn [36]:31).
Kata-kata dalam ayat ini
penuh dengan kerawanan. Tuhan Yang Maha Kuasa Sendiri agaknya seolah-olah
sangat masygul atas penolakan dan ejekan manusia terhadap para nabi-Nya.
Sementara para nabi Allah menanggung kesedihan dan derita untuk
kaumnya, maka kaumnya itu membalas kesedihan mereka itu dengan penghinaan dan ejekan.
Kisah Nabi Luth a.s. dan Istri
serta Kaumnya yang Durhaka
Dengan penjelasan dalam Bab
sebelumnya maka uraian mengenai berbagai hikmah dalam firman Allah Swt. tentang
Nabi Musa a.s., Nabi Harun a.s. dan Nabi Ilyas a.s. dalam Surah Ash-Shāffāt [37]:115-133 selesai, selanjutnya akan dibahas mengenai Nabi Luth a.s.,
firman-Nya:
وَ اِنَّ
لُوۡطًا لَّمِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ؕ اِذۡ
نَجَّیۡنٰہُ وَ اَہۡلَہٗۤ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿﴾ۙ اِلَّا
عَجُوۡزًا فِی الۡغٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ ثُمَّ
دَمَّرۡنَا الۡاٰخَرِیۡنَ ﴿﴾ وَ اِنَّکُمۡ لَتَمُرُّوۡنَ عَلَیۡہِمۡ مُّصۡبِحِیۡنَ
﴿﴾ وَ بِالَّیۡلِ ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ﴿﴾٪
Dan
sesungguhnya Luth benar-benar termasuk seorang dari para rasul. Ketika Kami menyelamatkan dia dan keluarganya, kecuali seorang perempuan tua yang berada di
antara orang-orang yang tinggal di
belakang. Kemudian Kami membinasa-kan orang-orang yang lain. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar melewati tempat mereka pada pagi hari dan
pada malam hari, apakah kamu tidak menggunakan akal? (Ash-Shāffāt
[37]:134-139).
Nabi Luth a.s. adalah leluhur kaum
Palestina, Moab serta Amon, dan sebagai putra Haran dan cucu Terah, beliau
adalah keponakan Nabi Ibrahim a.s., dengan demikian masa kenabian beliau
sezaman dengan masa kenabian Nabi
Ibrahim a.s.. nabi Luth menggabungkan
diri dengan Nabi Ibrahim a.s. di Kanaan.
Tugas
kerasulan (risalat) Nabi Luth a.s. adalah di wilayah yang terdapat
dua buah kota yang dihancurkan Allah
Swt. oleh gempa bumi dahsyat yaitu kota Sodom
dan Gomorrah sebagai bukti benarnya peringatan Allah Swt. yang disampaikan
oleh “tamu-tamu” Nabi Ibrahim a.s. mengenai azab
yang akan menimpa kaum Nabi Luth a.s.
akibat berbagai perbuatan buruk dan menyimpang yang dilakukan kaum yang durhaka tersebut (QS.11:70-84;
QS.15:62-78).
Sodom
dan Gomorrah adalah dua buah kota, tempat Nabi Luth a.s. menyampaikan Amanat yang dibawanya, terletak pada jalan raya dari Arabia ke Siria, yang melalui jalan raya itu kafilah-kafilah Arab berlalu lalang
siang dan malam hari. Di tempat lain dalam Al-Quran kota-kota itu disebut
terletak “pada sebuah jalan yang masih tetap ada” (QS.15:77).
Di
dalam Al-Quran Allah Swt. telah menerangkan mengenai dua orang istri durhaka yaitu istri
Nabi Nuh a.s. dan istri Nabi Luth
a.s. dan menjadikan keduanya sebagai misal (perumpamaman) orang-orang kafir atau suatu kaum
yang mendustakan dan menentang keras Rasul Allah yang diutus
kepada mereka, firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا
عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah [asuhan] dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh, tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka
mereka berdua sedikit pun tidak dapat
membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada
mereka: “Masuklah kamu berdua
ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim, Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:11-13).
Kesan Buruk yang Timbul
dari Kisah para Rasul Allah
yang dikemukakan Bibel
Masalah yang perlu dijelaskan berkenaan
dengan Nabi Luth a.s. dalam firman Allah
sebelumnya ini adalah ayat:
وَ اِنَّ لُوۡطًا لَّمِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ؕ
Dan
sesungguhnya Luth benar-benar termasuk seorang dari para rasul (Ash-Shāffāt [37]:134).
Memang benar bahwa di dalam Bible banyak diceritakan kisah para Rasul Allah mulai dari Nabi Adam a.s. hingga dengan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. (Yesus Kristus), yang juga dikemukakan pula oleh Allah Swt. dalam
Al-Quran. Namun demikian ada satu hal yang sangat
berbeda antara kisah para Rasul Allah
yang dikemukakan dalam Bibel dan
kisah Rasul Allah yang dikemukakan
dalam Al-Quran, adalah kesan yang timbul terhadap kisah-kisah para Rasul Allah dari kedua Kitab
Suci tersebut.
Kesan yang timbul mengenai kisah para
Rasul yang dikemukakan dalam Bible tidak menimbulkan rasa hormat serta keinginan untuk mengikutinya, bahkan menimbulkan kesan sebaliknya yakni rasa
tidak hormat terhadap wujud-wujud suci
pilihan Allah Swt. tersebut. Contohnya:
(1)
Nabi Nuh
a.s.. Dalam Bible (Kejadian
9:18-28) diceritakan bahwa setelah azab Ilahi berupa banjir
dahyat yang melanda kawasan kaum Nabi Nuh a.s. selesai Nabi Nuh a.s. menjadi petani kebun pohon anggur, dan beliau
a.s. biasa minuman anggur hingga mabuk
sampai-sampai kain penuput aurat
beliau terbuka. Na’udzubillāhi min
dzālik.
(2)
Nabi Luth.
Dalam Bible (Kejadian
19:30-38, pasal “Lot dan kedua anaknya
perempuan”) diceritakan bahwa akibat gempa
bumi dahsyat yang menimpa kawasan kaum Nabi Luth a.s., maka Nabi Luth a.s. dan kedua orang putri
kandungnya tinggal di dalam sebuah gua di wilayah pegunungan. Karena
semua laki-laki kaum nabi Luth a.s.
telah binasa maka guna menjaga kesinambungan keturunan Nabi Luth a.s.
lalu kedua putri kandung Nabi Nuh a.s. merancang “rencana” memberikan minuman yang memabukkan kepada ayah mereka, sehingga dalam ketidaksadarannya Nabi Nuh a.s. pada malam hari akan “menggauli” kedua putri beliau sehingga keduanya hamil
dan melahirkan
anak keturunan Nabi Luth a.s.. Na’udzubillāhi
min dzālik.
(3)
Nabi Daud
a.s.. Dalam Bible (II Samuel 11:1-27 &12:7-14) diceritakan bahwa Nabi
Daud a.s. telah berzina Betsyeba,
dengan istri Uria, sehingga mengandung
-- Na’udzubillāhi min dzālik
-- dan kemudian membuat siasat licik untuk membunuh Uria dengan menempatkannya di medan perang.
Banyak lagi kisah-kisah dusta semacam itu dalam Bible berkenaan dengan para Rasul Allah
-- termasuk kisah Nabi Ibrahim
a.s. ketika bersama istri beliau, Sarah, pergi ke Mesir agar Sarah jangan
mengaku sebagai istrinya kepada Fir’aun melainkan n sebagai adiknya agar Fir’aun tidak membunuh beliau dan
beliau akan mendapat berbagai hadiah dari Fir’aun (Kejadian 12:10-20), sehingga bukan saja
telah menghinakan martabat akhlak dan ruhani para Rasul Allah yang
sangat luhur tersebut, bahkan telah dijadikan alasan oleh orang-orang yang
berakhlak rendah sebagai alasan untuk berbuat dosa, dengan dalih bahwa
para Rasul Allah pun telah melakukan berbagai bentuk perbuatan
buruk. Na’udzubillāhi min dzālik.
Dengan demikian benarlah pernyataan tegas Allah Swt. mengenai Nabi Luth
a.s. dalam firman Allah sebelumnya ini adalah ayat:
وَ اِنَّ لُوۡطًا لَّمِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ؕ
Dan
sesungguhnya Luth benar-benar termasuk seorang dari para rasul (Ash-Shāffāt [37]:134).
Kesan Baik yang Timbul
dari Kisah para Rasul Allah
yang dikemukakan Al-Quran
Berbeda dengan Bible, kisah
para Rasul Allah yang dikemukakan
Allah Swt. dalam Kitab Suci Al-Quran
menimbulkan rasa hormat yang luar
biasa serta menimbulkan keinginan
dari para pembaca Al-Quran yang mencari
kebenaran yang hakiki untuk mengikuti suri
teladan akhlak dan ruhani
terpuji yang diperagakan oleh orang-orang suci pilihan Tuhan tersebut (QS.3:34),
terutama sekali suri teladan sempurna
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22).
Salah satu contohnya adalah mengenai kemuliaan
akhlak dan ruhani Nabi Nuh a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. Allah Swt. berfirman:
اِنَّ اللّٰہَ
اصۡطَفٰۤی اٰدَمَ وَ نُوۡحًا وَّ اٰلَ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ اٰلَ عِمۡرٰنَ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga
‘Imrān atas seluruh alam yakni umat-umat pada
zaman-nya (Āli ‘Imran [3]:34).
‘Imrān boleh jadi
mengisyaratkan kepada dua pribadi: (1) Amran dari Bible yang adalah seorang anak Kahat
dan cucu Lewi. Beliau itu ialah ayah Nabi Musa a.s. Nabi Harun a.s. dan Miriam, kakak Nabi Musa a.s.. Dari
antara ketiga bersaudara itu Nabi Musa a.s. yang termuda (Jews
Encyclopaedia pada kata Amran; Keluaran 6:12-20); (2) ‘Imrān
ayah Siti Maryam, ibunda Nabi Isa ibnu Maryam a.s. (Yesu Kristus). ‘Imran ini
anak Yosyhim atau Yosyim (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir).
Al-Quran memilih nama ‘Imran dengan dua tujuan: (1) Untuk mencakup juga
Nabi Harun a.s. kakak Nabi Musa a.s. di samping Nabi Musa a.s. sendiri, dan (2) sebagai semacam pendahuluan
guna memperkenalkan riwayat Maryam binti ‘Imran, ibunda Nabi Isa ibnu
Maryam a.s. serta riwayat
Nabi Isa ibnu Maryam a.s. sendiri. Diulangnya nama ‘Imran dalam QS.3:36 pun membawa kepada
kesimpulan yang sama.
Memang sangat menarik bahwa
sementara ayat ini menyebut nama-nama Adam
a.s. dan Nuh a.s. secara
mandiri dan secara individual, maka ayat ini menyebut Nabi Ibrahim a.s.. dan ‘Imran sebagai tokoh-tokoh keluarga.
Hal demikian ialah untuk menegaskan bahwa kedua
nama yang tersebut belakangan mencakup
pengisyaratan kepada pribadi-pribadi
tertentu dari antara anak-cucu mereka.
Jadi, ungkapan “keluarga Ibrahim” bukan saja menunjuk kepada Nabi Ibrahim a.s. pribadi, tetapi pula kepada anak-anak dan cucu-cucunya — melalui Nabi Isma'il
a.s., Nabi Ishaq a.s., Nabi Ya’qub a.s.
dan Nabi Yusuf a.s.. Dan ayat ini pun dapat pula mengandung isyarat kepada Nabi
Besar Muhammad saw. yang juga keturunan Nabi Ibrahim a.s..
melalui Nabi Isma’il a.s..
Demikian pula kata-kata “keluarga ‘Imran,” mengacu kepada Nabi
Musa a.s., Nabi Harun a.s. dan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., sedangkan ‘Imran
sendiri tidak termasuk karena beliau bukan seorang rasul Allah seperti halnya kedudukan Nabi Ibrahim a.s. di kalangan keluarga beliau a.s..
Jadi, berbeda dengan kisah para Rasul Allah yang dikemukakan dalam Bible, kisah-kisah para Rasul Allah
yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran penuh dengan suri teladan yang sangat baik, karena itu Allah Swt. telah
memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk mengikuti suri teladan
terbaik mereka, terutama suri teladan
sempurna Nabi Besar Muhammad saw..
Suri Teladan dan Millat (Agama) Nabi Ibrahim a.s.
Berikut adalah firman-Nya mengenai suri teladan Nabi Ibrahim a.s. dan para Rasul Allah setelah beliau a.s.
berkenaan dengan pentingnya mendahulukan
kecintaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya daripada kecintaan terhadap hubungan-hubungan
kekerabatan – termasuk hubungan
dengan kedua orang tua dan anak keturunan – jika terbukti bahwa
mereka (keluarga) itu adalah orang-orang musyrik, firman-Nya:
قَدۡ
کَانَتۡ لَکُمۡ اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ
فِیۡۤ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ الَّذِیۡنَ مَعَہٗ ۚ اِذۡ قَالُوۡا لِقَوۡمِہِمۡ اِنَّا بُرَءٰٓؤُا مِنۡکُمۡ وَ مِمَّا
تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ۫
کَفَرۡنَا بِکُمۡ وَ بَدَا
بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَکُمُ الۡعَدَاوَۃُ وَ
الۡبَغۡضَآءُ اَبَدًا حَتّٰی تُؤۡمِنُوۡا
بِاللّٰہِ وَحۡدَہٗۤ اِلَّا قَوۡلَ
اِبۡرٰہِیۡمَ لِاَبِیۡہِ
لَاَسۡتَغۡفِرَنَّ لَکَ وَ مَاۤ اَمۡلِکُ لَکَ مِنَ اللّٰہِ مِنۡ شَیۡءٍ ؕ
رَبَّنَا عَلَیۡکَ تَوَکَّلۡنَا وَ اِلَیۡکَ اَنَبۡنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾ رَبَّنَا لَا تَجۡعَلۡنَا فِتۡنَۃً لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا وَ اغۡفِرۡ لَنَا
رَبَّنَا ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ لَقَدۡ کَانَ
لَکُمۡ فِیۡہِمۡ اُسۡوَۃٌ
حَسَنَۃٌ لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا
اللّٰہَ وَ الۡیَوۡمَ الۡاٰخِرَ ؕ وَ
مَنۡ یَّتَوَلَّ فَاِنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡغَنِیُّ الۡحَمِیۡدُ ٪﴿﴾
Sungguh bagi kamu ada contoh yang baik dalam diri
Ibrahim dan orang-orang yang besertanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami menging-kari perbuatan kamu. Dan telah nyata permusuhan serta kebencian di antara kami dan kamu
untuk selama-lamanya hingga kamu
beriman kepada Allah semata”, kecuali yang dikatakan Ibrahim kepada bapaknya: “Pasti aku akan memohonkan ampunan bagi engkau, tetapi aku sekali-kali tidak berdaya menolong
engkau sedikit pun terhadap Allah.” Ibrahim berkata, ”Hai Tuhan kami, kepada Engkau kami bertawakkal dan kepada Engkau kami tunduk serta kepada Engkau kami akan
kembali. Hai Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan kami ujian bagi orang-orang
kafir, dan ampunilah kami, hai
Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Perkasa, Maha Bijak-sana.” Sungguh bagi kamu dalam diri mereka benar-benar ada
contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah
dan Hari Kemudian. Dan barangsiapa berpaling maka sesungguhnya Allah Dia Maha Kaya, Maha
Terpuji. (Al-Mumtahanah [60]:5-7).
Contoh mengenai Nabi Ibrahim a.s. telah disebut di sini untuk memberikan tekanan bahwa manakala telah menjadi jelas seorang atau beberapa
orang tertentu memusuhi dan bermaksud
melenyapkan kebenaran, maka segala perhubungan persahabatan dengan
mereka harus dihentikan. Ungkapan kafarnā
bikum, yang biasanya diterjemahkan “Kami mengingkari segala yang kamu percayai”,
dapat pula diartikan “kami tidak mempunyai urusan dengan kamu.”
Ungkapan kafara bikadza berarti “ia menyatakan dirinya bersih atau bebas dari
hal demikian” (Lexicon Lane).
Sikap hanīf berkenaan dengan tauhid Ilahi yang diperagakan oleh Nabi Ibrahim a.s. tersebut
dalam Surah-surah Al-Quran yang lain disebut “millah Ibrahim”,
firman-Nya:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ
اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی
الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ
لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿﴾ؕ اَمۡ کُنۡتُمۡ شُہَدَآءَ اِذۡ حَضَرَ یَعۡقُوۡبَ
الۡمَوۡتُ ۙ اِذۡ قَالَ لِبَنِیۡہِ مَا
تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِیۡ ؕ قَالُوۡا نَعۡبُدُ
اِلٰہَکَ وَ اِلٰـہَ اٰبَآئِکَ اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚۖ وَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan siapakah yang berpaling dari agama (millat) Ibrahim selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?
Dan sungguh Kami benar-benar telah memilihnya di dunia dan
sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk orang-orang yang saleh. Ingatlah
ketika Tuhan-nya berfirman kepadanya: “Berserah
dirilah”, ia berkata: ”Aku telah berserah diri kepada Tuhan
seluruh alam.” Dan Ibrahim
mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya’qub seraya
berkata: “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allāh telah memilih agama ini bagi kamu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri.” Ataukah
kamu hadir saat kematian menjelang Ya’qub ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apakah yang akan kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhan eng-kau dan Tuhan
bapak-bapak engkau: Ibrahim,
Isma’il, dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Esa, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” Itulah umat yang telah berlalu, baginya
apa yang mereka usahakan dan bagimu
apa yang kamu usahakan, dan kamu
tidak akan dimintai tanggungjawab mengenai apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-Baqarah [2]:131-135).
Sejalan dengan berlalunya waktu (masa) yang panjang maka wasiyat Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi
Yaqub a.s. terhadap anak-keturunannya tersebut menganai “millat Nabi Ibrahim a.s.” tersebut
kemudian berubah sepenuhnya,
firman-Nya:
وَ قَالُوۡا کُوۡنُوۡا ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی تَہۡتَدُوۡا ؕ قُلۡ بَلۡ
مِلَّۃَ اِبۡرٰہٖمَ حَنِیۡفًا ؕ وَ مَا
کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾
Dan mereka
berkata: “Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani, barulah kamu akan mendapat petunjuk.”
Katakanlah: “Tidak, bahkan turutilah
agama Ibrahim byang
lurus, dan ia
sekali-kali bukan dari golongan
orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah [2]:136).
Hanīf
berarti: (1) orang yang berpaling dari kesesatan lalu memilih petunjuk (Al-Mufradat); (2) orang yang
dengan tetapnya mengikuti agama yang benar dan tidak pernah menyimpang darinya;
(3) orang yang hatinya condong kepada Islam dengan sempurna dan tetap teguh di
dalamnya (Lexicon Lane); (4)
orang yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. (Aqrab-al-Mawarid); (5) orang yang beriman kepada semua nabi
(Tafsir
Ibnu Katsir).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar