بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 194
“Tali Allah”
yang Mempersatukan Hati Para
Sahabah Nabi Besar Muhammad saw. &
Kekeliruan Dugaan
Buruk Pemimpin Kaum Munafik Madinah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai pandangan
keliru para pemuka Bani Israil
mengenai pentingnya kekayaan yang berlimpah-ruah yang wajib dimiliki oleh
seorang calon raja (QS.2: 247-249), Allah Swt. dalam Surah Az-Zuhruf selanjutnya berfirman:
وَ لَوۡ
لَاۤ اَنۡ یَّکُوۡنَ النَّاسُ
اُمَّۃً وَّاحِدَۃً لَّجَعَلۡنَا لِمَنۡ یَّکۡفُرُ بِالرَّحۡمٰنِ لِبُیُوۡتِہِمۡ
سُقُفًا مِّنۡ فِضَّۃٍ وَّ مَعَارِجَ
عَلَیۡہَا یَظۡہَرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ
لِبُیُوۡتِہِمۡ اَبۡوَابًا وَّ سُرُرًا
عَلَیۡہَا یَتَّکِـُٔوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ زُخۡرُفًا ؕ وَ
اِنۡ کُلُّ ذٰلِکَ لَمَّا مَتَاعُ
الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ؕ وَ
الۡاٰخِرَۃُ عِنۡدَ رَبِّکَ
لِلۡمُتَّقِیۡنَ﴿﴾
Dan
seandainya tidak karena manusia akan menjadi satu umat yang
durhaka maka niscaya Kami menjadikan
bagi orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah itu atap-atap rumah mereka dari perak dan juga
tangga-tangga yang di atasnya
mereka naik. Dan Kami menjadikan
pintu-pintu rumah mereka dan dipan-dipan dari perak yang padanya mereka bersandar, dan bahkan dari emas. Dan tidak lain itu hanyalah perbekalan sementara kehidupan dunia, sedangkan kesenangan akhirat di sisi Tuhan engkau adalah untuk orang-orang
bertakwa. (Az-Zukhruf [43]:34-36).
Seandainya dengan menghapuskan kesenjangan (ketidakseimbangan) sarana, kekayaan, dan martabat,
segenap umat manusia tidak akan berhenti dari kedurhakaan dan kekafiran
mereka kepada Allah Swt., niscaya Allah Swt. akan mencukupi orang-orang kafir dengan rumah-rumah
dari perak yang berpintu dan
bertangga emas, sebab hal itu semua tidak ada nilainya dan tidak berharga sama sekali dalam
pandangan Ilahi.
Pernyataan Allah Swt. dalam Al-Quran
tersebut kembali memperlihatkan kebenarannya
di Akhir Zaman ini, karena ternyata berlimpah-ruahnya “emas
hitam” dan “petro dolar” yang
dimiliki negara-negara Muslim di Timur Tengah terbukti tidak mampu mempersatukan “hati mereka” untuk
menghadapi “negara Zionis Israel”
yang kecil jika dibandingkan dengan
negara-negara Muslim yang berada di sekelilingnya yang jumlahnya lebih banyak dan kaya-raya.
Benarlah firman Allah Swt. berikut ini
kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai tidak bermanfaatnya kekayaan duniawi – bagaimana pun
berlimpah-ruahnya – untuk “mempersatukan
hati umat manusia”:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi, Allah
mencukupi bagi engkau dan bagi orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
Rasul Allah adalah “Tali Allah” yang Terulur dari Langit
Mengisyaratkan kepada kenyataan itu
pulalah peringatan Allah Swt. kepada umat Islam dalam firman-Nya
berikut ini – termasuk umat Islam di Akhir Zaman saat inti yang keadaannya terpecah-belah dan saling bertentangan serta saling mengkafirkan satu sama lain:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا
تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ
عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ
اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ
بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ
بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا
حُفۡرَۃٍ مِّنَ
النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ
لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ
تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی
الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ
الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ
تَفَرَّقُوۡا وَ
اخۡتَلَفُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ عَذَابٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾ۙ یَّوۡمَ تَبۡیَضُّ وُجُوۡہٌ وَّ تَسۡوَدُّ وُجُوۡہٌ ۚ فَاَمَّا
الَّذِیۡنَ
اسۡوَدَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ ۟ اَکَفَرۡتُمۡ
بَعۡدَ اِیۡمَانِکُمۡ
فَذُوۡقُوا
الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡفُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ ابۡیَضَّتۡ وُجُوۡہُہُمۡ فَفِیۡ رَحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اٰیٰتُ اللّٰہِ نَتۡلُوۡہَا عَلَیۡکَ بِالۡحَقِّ ؕ وَ مَا اللّٰہُ یُرِیۡدُ
ظُلۡمًا لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لِلّٰہِ مَا فِی
السَّمٰوٰتِ وَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ ؕ وَ اِلَی اللّٰہِ تُرۡجَعُ
الۡاُمُوۡرُ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan takwa yang
sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu
dalam keadaan berserah diri. Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada
tali Allah, janganlah
kamu berpecah-belah, dan ingatlah
akan nikmat Allah atasmu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain maka dengan
nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada segolongan di antara
kamu yang senantiasa menyeru manusia
kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf, melarang dari berbuat
munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang berhasil. Dan janganlah
kamu menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih sesudah bukti-bukti
yang jelas datang kepada mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang
baginya ada azab yang besar. Pada hari ketika wajah-wajah menjadi putih, dan wajah-wajah lainnya menjadi
hitam. Ada pun orang-orang yang wajahnya menjadi hitam,
dikatakan kepada mereka: “Apakah kamu kafir
sesudah beriman? Karena itu rasakanlah
azab ini disebabkan kekafiran kamu." Dan ada pun orang-orang yang wajahnya putih, maka mereka akan berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal
di dalamnya. Itulah Ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepada engkau dengan haq, dan Allah
sekali-kali tidak menghendaki suatu kezaliman
atas seluruh alam. Dan milik
Allah-lah apa pun yang ada di seluruh
langit dan apa pun yang ada di bumi,
dan kepada Allah-lah segala urusan
dikembalikan.(Ali ‘Imran [3]:103-109).
Pentingnya Ketakwaan yang Sejati dan
Berpegang Teguh pada “Tali Allah”
Makna ayat یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ
-- “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri.” (Ali ‘Imran [3]:103-109),
mengisyaratkan kepada pentingnya orang-orang yang beriman memiliki ketakwaan
yang hakiki, salah satu tandanya adalah bahwa karena kedatangan
saat kematian tidak diketahui, maka orang-orang
beriman dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah Swt.
hanya bila diri mereka senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti
bahwa orang-orang beriman harus senantiasa tetap
patuh kepada Allah Swt..
Ayat selanjutnya menjelaskan
وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا -- “Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada
tali Allah, janganlah
kamu berpecah-belah.” Habl
berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan,
suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang
karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu
barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon
Lane). Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Kitab Allah itu tali Allāh yang telah
diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir,
IV, 30).
“Tali Allah” pun dapat mengisyaratkan
kepada wujud Rasul Allah, sebab melalui pengutusan Rasul Allah itulah
terbentuknya suatu Jama’ah (Jemaat)
orang-orang beriman, sebagaimana
yang terjadi di kalangan bangsa Arab
yang beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya,
engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka,
tetapi Allah telah menanamkan kecintaan
di antara mereka, sesungguhnya Dia
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi,
Allah mencukupi bagi engkau dan bagi
orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
“Tulang Belulang Berserakan”
Menjadi “Satu Tubuh yang Utuh”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا --
“dan ingatlah
akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan
antara satu sama lain maka
dengan nikmat-Nya itu kamu
menjadi bersaudara.”
Sangat
sukar kita mendapatkan suatu kaum
yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. di tengah mereka, tetapi dalam pada itu
sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang
menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan
Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai keadaan sangat membahayakan yang dihadapi bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi Besar
Muhammad saw. وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا
-- “dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkan kamu darinya.” Kata-kata “di tepi jurang Api” berarti peperangan,
saling membinasakan yang di dalam peperangan itu orang-orang Arab senantiasa
terlibat dan menghabiskan kaum pria mereka.
Pendek kata, demikian luar biasa eratnya “persaudaraan ruhani” yang tercipta di
kalangan bangsa Arab ketika mereka beriman dan patuh-taat sepenuhnya kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar
Muhammad saw., padahal keadaan mereka
sebelumnya adalah bagaikan “tulang-belulang
yang berserakan” (QS.17:50-53), tiba-tiba saja mereka menjadi “satu tubuh yang hidup” dalam “persaudaraan Muslim” yang hakiki, yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah berlimpah-ruahnya harta kekayaan duniawi, firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi,
Allah mencukupi bagi engkau dan bagi
orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
Kekeliruan Dugaan Buruk ‘Abdullah bin Ubay bin Salul
Oleh karena itu sangat keliru dugaan Abdullah bin Ubay bin Salul – pemimpin orang-orang munafik Madinah – ketika ia berkata kepada para
pengikutnya:
ہُمُ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰی مَنۡ عِنۡدَ رَسُوۡلِ اللّٰہِ حَتّٰی
یَنۡفَضُّوۡا ؕ وَ لِلّٰہِ خَزَآئِنُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لٰکِنَّ
الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾ یَقُوۡلُوۡنَ
لَئِنۡ رَّجَعۡنَاۤ اِلَی
الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ
مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
لٰکِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا
یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Merekalah orang-orang yang
berkata: “Janganlah kamu membelan-jakan harta
bagi orang yang bersama Rasul Allah, supaya mereka lari karena kelaparan. Padahal kepunyaan Allah khazanah-khazanah seluruh
langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti.
Mereka berkata: “Jika kita kembali ke
Medinah, niscaya orang yang paling mulia akan mengeluarkan orang yang paling hina
darinya.” Padahal kemuliaan hakiki
itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.
(Al-Munafiqūn
[63]:8-9).
Karena tidak ada ketulusan dan kejujuran dalam dirinya, seorang orang munafik memandang orang-orang lain seperti dirinya sendiri. Kaum munafikin Medinah membuat pikiran totol dan keliru sama sekali mengenai ketulusan
tujuan para sahabah Nabi Besar
Muhammad saw.. , sebab mereka menyangka
para sahabah beliau saw. telah berkumpul
di sekitar beliau karena pertimbangan kepentingan
duniawi, dan mereka menyangka apabila mereka (para sahabat) itu menyadari
bahwa harapan mereka itu tidak terlaksana, mereka itu akan meninggalkan Nabi
Besar Muhammad saw. Perjalanan masa membatalkan sama sekali segala harapan mereka yang sia-sia itu.
Dalam suatu gerakan pasukan (mungkin gerakan
pasukan menggempur Banu Musthaliq), ‘Abdullah bin Ubayy – pemimpin kaum munafik
Medinah, yang harapan besarnya menjadi pemimpin
kaum Medinah telah hancur berantakan dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad
saw. pada peristiwa itu – diriwayatkan
pernah mengatakan bahwa sekembali ke Medinah ia “yang paling mulia dari antara penduduknya” – maksudnya ia sendiri –
“akan mengusir dia yang paling hina dari
antara mereka,” maksudnya, Nabi
Besar Muhammad saw..
‘Abdullah,
anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubay bin Salul,
mendengar kecongkakan kotor
ayahnya; lalu ketika rombongan mereka sampai
ke Medinah, ia menghunus pedangnya dan menghalangi ayahnya masuk kota, sebelum
ayahnya mau mengakui dan menyatakan bahwa ayahnya
sendirilah yang paling hina di antara
penduduk kota Medinah, dan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. adalah yang paling mulia di antara mereka. Dengan demikian keangkuhannya telah berbalik menimpa
kepalanya sendiri.
Bahkan ‘Abdullah sebelumnya meminta izin kepada Nabi Besar Muhammad saw. untuk membunuh ayahnya yang takabur
tersebut, tetapi beliau saw. tidak mengizinkannya.
Diriwayatkan ketika pemimpin orang-orang
munafik Madinah tersebut mati,
beliau saw. berkenan memberikan jubah beliau saw. sebagai kain kafannya bahkan menyalatkan
jenazahnya yang seakan-akan bertentangan
dengan ayat QS.9:84 mengenai larangan melakukan shalat jenazah bagi mereka. Peristiwa
tersebut membuktikan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. benar-benar
merupakan “rahmat bagi seluruh alam”
(QS.21:108).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 9 Juli
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar