Minggu, 11 Agustus 2013

Hakikat Sifat Allah Swt. "Al-Ahad" dan "Ash-Shamad" dalam Surah Al-Ikhlash




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 

Bab 188


Hakikat Sifat Allah Swt. Al-Ahad dan Ash-Shamad  dalam Surah Al-Ikhlash

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma



D
alam  akhir  Bab sebelumnya  telah  dikemukakan  mengenai   doa dalam Surah Al-Fatihah,  yang wajib dibaca dalam shalat – baik shalat wajib mau pun shalat nafal (tambahan) --  sebab tanpa membacanya maka shalat-shalat tersebut tidak sah, firman-Nya:
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾  صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ﴿﴾
Tunjukilah kami   jalan yang lurus,  yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.  (Al-Fatihah [1]:6-7).
    Ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman  sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt.   mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya. Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada para hamba pilihan Ilahi, lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka.
      Ia bahkan tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan di antara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut dalam QS.4:70.
   Doa itu umum dan tidak untuk sesuatu karunia tertentu. Orang beriman  bermohon kepada  Allah Swt.  agar menganugerahkan karunia ruhani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada Dia  untuk menganugerahkan kepadanya karunia yang dianggap Allah Swt. pantas dan layak bagi orang beriman itu menerimanya, firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا﴿﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa [4]:70-71).
     Kata depan ma’a menunjukkan adanya dua orang atau lebih, bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam QS.9:40 (Al-Mufradat). Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi artinya “di antara”  (QS.3:194; QS.4: 147).

Golongan Maghdhūb  (yang Dimurkai) dan Dhāllīn (yang Sesat)

     Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian — para nabi, para shiddiq, para syuhada dan para shalih (orang-orang saleh) — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti  Nabi Besar Muhammad saw. dan ajaran Islam (Al-Quran - QS.3:32; QS.33:22; QS.3:20 & 86; QS.5:4).
     Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  Nabi Besar Muhammad saw.   semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan:
وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ  وَ رُسُلِہٖۤ  اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصِّدِّیۡقُوۡنَ ٭ۖ وَ الشُّہَدَآءُ  عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ؕ لَہُمۡ  اَجۡرُہُمۡ وَ نُوۡرُہُمۡ ؕ وَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا وَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ الۡجَحِیۡمِ ﴿﴾
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi (syuhada) di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka ada ganjaran mereka dan cahaya mereka. Tetapi mereka yang kafir dan mendustakan Tanda-tanda Kami  mereka adalah penghuni-penghuni jahannam” (Al-Hadīd [57]: 20).
     Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut Nabi Besar Muhammad saw. dapat naik ke martabat nabi juga., yakni kenabian yang tidak membawa syariat baru, karena agama Islam(Al-Quran) merupakan agama dan Kitab suci terakhir dan tersempurna (QS.3:32; QS.33:22; QS.3:20 & 86; QS.5:4).
      Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
    Menurut Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah sebelum ini, orang-orang yang menolak dan mendustakan keempat kedudukan nikmat-nikmat keruhanian  yang ditetapkan Allah Swt. bagai para pengikut sejati Nabi Besar Muhammad saw.  adalah golongan      الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ    --  orang yang   atas mereka  Allah murka” atau “orang-orang yang dimurkai Allah”.   
   Sedangkan orang-orang  yang bersikap sebaliknya --  yakni yang melampaui batas dalam menghormati Rasul Allah sehingga telah mempertuhankan mereka sebagaimana yang dilakukan orang-orang Kristen (QS.7:30-33)  – Allah Swt. menyebut    الضَّآلِّیۡنَ  -- “mereka yang sesat” dari Tauhid Ilahi, firman-Nya: 
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾  صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ﴿﴾
Tunjukilah kami   jalan yang lurus,  yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.  (Al-Fatihah [1]:6-7).

Kemusyrikan di Kalangan Bangsa Arab Jahiliyah
Berkenaan Para Malaikat

    Kembali kepada Surah Ash-Shāffāt yang menjadi pokok bahasan dalam Blog ini, setelah mengemukakan kisah Nabi Yunus a.s., selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
فَاسۡتَفۡتِہِمۡ  اَلِرَبِّکَ الۡبَنَاتُ وَ لَہُمُ الۡبَنُوۡنَ ﴿﴾ۙ  اَمۡ خَلَقۡنَا الۡمَلٰٓئِکَۃَ  اِنَاثًا  وَّ ہُمۡ شٰہِدُوۡنَ﴿﴾  اَلَاۤ  اِنَّہُمۡ  مِّنۡ  اِفۡکِہِمۡ  لَیَقُوۡلُوۡنَ ﴿﴾ۙ وَلَدَ اللّٰہُ ۙ وَ  اِنَّہُمۡ  لَکٰذِبُوۡنَ ﴿﴾ اَصۡطَفَی الۡبَنَاتِ عَلَی الۡبَنِیۡنَ ﴿﴾ؕ
Sekarang tanyailah mereka: Apakah Tuhan kamu mempunyai anak perempuan, sedangkan untuk mereka anak laki-laki?” Ataukah Kami menciptakan malaikat-malaikat itu perempuan  dan mereka menyaksikannyaKetahuilah,  sesungguhnya itu adalah kebohongan mereka dan  mereka benar-benar  berkata:    Allah memiliki anak dan sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.   Apakah Dia memilih anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki? (Ash-Shāffāt [37]:150-154).
    Walau pun  pihak yang diajak bicara  oleh Nabi Besar Muhammad saw.  dalam ayat-ayat ini adalah kaum Mekkah yang tidak beriman kepada pendakwaan beliau saw., akan tetapi  firman Allah Swt. tersebut   tertuju juga kepada kaum-kaum lainnya yang mememiliki paham sesat yang seperti itu, yakni bahwa -- na’udzubillāhi min dzālik  -- Allah Swt. memiliki anak.

Pernyataan Allah Swt. dalam Al-Quran
Mengenai Wujud-Nya  dan Sifat-sifat-Nya

    Orang-orang Arab menisbahkan kepada para malaikat mempunyai kekuasaan Ilahi dengan mempercayai mereka sebagai putri-putri Tuhan. Bentuk kemusyrikan demikian itulah yang telah dicela di sini. Pernyataan Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut  yang mencela tentang memiliki “anak perempuan”,  tidak berarti bahwa Allah Swt.  memiliki “anak laki-laki”, sebab dengan tegas Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ  ۚ﴿﴾  اَللّٰہُ  الصَّمَدُ ۚ﴿﴾  لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾  وَ  لَمۡ  یَکُنۡ  لَّہٗ   کُفُوًا  اَحَدٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa.  Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”(Al-Ikhlash [112]:1-4).
  Kata qul (katakan)     dalam  ayat قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ  mengandung perintah kekal kepada orang-orang Islam untuk tetap menyatakan bahwa “Tuhan itu Maha Esa”. Kata  Huwa (Dia) yang dipakai sebagai dhamir asy-sya’n (kata pengganti nama yang menunjukkan keadaan, Pent.) dan berarti  Yang benar adalah ini,” dan menunjukkan bahwa kebenaran telah tertanam di dalam fitrat manusia adanya Tuhan dan Dia itu Esa dan Mandiri.
  Allah adalah nama khas, dipergunakan dalam Al-Quran untuk Dzat Yang Maha Kuasa. Dalam bahasa Arab kata itu sama sekali tidak dipakai untuk sesuatu benda atau wujud lain. Ini merupakan nama mutlak untuk Tuhan, bukan nama sifat dan bukan pula keterangan.  
  Ahad adalah sebutan yang dikenakan hanya kepada Tuhan dan berarti: Yang Tunggal, Yang Esa; Dia Yang semenjak azali dan selamanya Esa dan Tunggal; Yang tiada wujud lainnya sebagai mitra dalam ketuhanan-Nya dan tidak pula dalam wujud-Nya (Lexicon Lane).
 Sementara Ahad berarti keesaan Tuhan dalam wujud-Nya – gagasan adanya wujud kedua tidak dapat diterima – maka Wahid berarti kemandirian Tuhan dalam sifat-sifat-Nya. Dengan demikian ungkapan  Allāhu Wahidun” akan berarti, bahwa Tuhan itu Wujud Tertinggi dan merupakan Cikal-bakal serta Sumber Yang dari-Nya telah lahir segala jenis makhIuk; dan “Allāhu Ahadun” berarti bahwa Allah itu Dzat Yang Esa dan Tunggal dalam arti, bahwa bila kita memikirkan Dia, hilanglah dari pikiran kita gagasan adanya suatu wujud atau benda lain selain Dia, Dia itu Esa dan Tunggal dalam segala arti.
  Allah Swt. itu  bukan mata rantai pertama suatu rangkaian mata rantai, dan bukan pula mata rantai terakhir. Tidak ada sesuatu seperti Dia dan Dia pun tidak seperti benda apapun. Inilah hakikat Allah menurut paham yang dikemukakan oleh Al-Quran.

Makna Sifat Allah Swt. Ash-Shamad
 Kata shamad  dalam ayat  اَللّٰہُ  الصَّمَدُ  berarti: seorang yang menjadi tumpuan memenuhi segala keperluan; atau yang kepadanya ditujukan ketaatan; yang tanpa dia, tidak ada perkara dapat diselesaikan; orang atau tempat yang tiada seorang atau sesuatu pun ada di atasnya.
  Karena Ash-Shamad  merupakan salah satu sifat Tuhan, berarti:  Wujud tertinggi, Yang menjadi tempat memenuhi segala keperluan; Yang tidak bergantung pada apapun dan Yang kepada-Nya segala sesuatu mempunyai ketergantungan dalam kebutuhan dan keperluannya; Yang akan terus berwujud untuk selama-lamanya meski seluruh makhluk sudah tidak berwujud lagi; Yang tiada wujud lain di atas Dia (Lexicon Lane).
 Dalam ayat yang mendahuluinya --  قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ   -- telah dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa, Tunggal, dan Mandiri,  ayat  اَللّٰہُ  الصَّمَدُ mendukung pernyataan itu. Ayat ini mengatakan bahwa semua benda dan wujud mempunyai ketergantungan dari Tuhan, tetapi Dia Sendiri Mandiri dan segala sesuatu bergantung pada-Nya. Semua memerlukan Dia, tetapi Dia tidak memerlukan siapapun. Dia tidak memerlukan wujud atau zat apapun guna menciptakan alam raya; pada hakikatnya, tiada sesuatu di alam raya ini sempurna dalam dirinya sendiri (berdiri sendiri); tiap sesuatu bergantung pada sesuatu yang lain untuk kehidupannya. Tuhan-lah satu-satunya Wujud Yang tidak bergantung pada wujud mana pun dan benda apapun; Dia jauh dari jangkauan daya khayal dan terkaan. Sifat-sifat-Nya tidak mengenal batas.
  Sifat Ilahi Ash-Shamad (Mandiri dan tempat semua makhluk memohon) telah disebut dalam ayat yang mendahuluinya untuk mengukuhkan pernyataan, bahwa Allah itu Ahad (Mahaesa, Tunggal dan tiada tara bandingan-Nya) dan kini, dalam ayat  لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ  sifat “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan” disebut guna menunjukkan bahwa Dia itu Ash-Shamad (Dia berada di atas segala keperluan).

Allah Swt. “Tidak Beranak” dan “Tidak Diperanakan

  Kenapa demikian? Sebab anggapan adanya keperluan pada-Nya itu timbul dari pikiran keliru bahwa Dia (Allah Swt.) memerlukan bantuan dari seorang orang lain  -- yang tanpa orang itu Dia tidak dapat menjalankan pekerjaan-Nya, dan yang harus melanjutkan pekerjaan-Nya sesudah Dia mati -- sebab semua wujud yang menjadi pengganti atau yang digantikan wujud lain, tunduk kepada hukum kematian.
 Allah Swt. tidak menggantikan siapapun dan tidak akan diganti oleh siapapun. Dia sempurna dalam semua sifat-Nya dan Dia itu azali, abadi, dan mutlak, karena itu dengan tegas Allah Swt. berfirman: لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ   -- “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”
  Ayat selanjutnya وَ  لَمۡ  یَکُنۡ  لَّہٗ   کُفُوًا  اَحَدٌ  --  “dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya” menghilangkan suatu keraguan yang mungkin timbul dan boleh jadi ditimbulkan karena ayat yang mendahuluinya. Taruhlah bahwa Allah itu Maha Esa, Tunggal, dan Mulia lagi Mandiri tanpa bergantung pada wujud lain, dan taruhIah bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, tetapi boleh jadi ada wujud lain seperti Dia yang mungkin memiliki semua sifat yang dimiliki oleh-Nya.
 Ayat ini menghapus kesalah-pahaman itu. Ayat ini mengatakan bahwa tidak ada wujud lain seperti Allah. Akal manusia pun menuntut bahwa harus ada hanya satu Pencipta dan Pengawas seluruh alam raya. Tata kerja sempurna yang melingkupi dan meliputi alam raya pun menuntun kepada kesimpulan yang tidak dapat dielakkan, bahwa satu hukum yang seragam harus tegak dan kesatuan serta keseragaman hukum dan polanya membuktikan serta menyatakan keesaan Sang Pencipta (QS.21:23).
 Dengan demikian Surah Al-Ikhlash  ini mencabut akar-akar semua itikad kemusyrikan yang terdapat dalam suatu bentuk atau lain pada agama lain – berupa kepercayaan kepada Tuhan, dua atau tiga atau lebih banyak, dan bahwa ruh dan benda itu azali seperti Tuhan. Inilah penjelasan definisi agung mengenai Dzat Yang Maha Tinggi seperti dijelaskan dalam Al-Quran, dan tidak ada definisi dalam Kitab-kitab Suci lain yang dapat sekelumit saja menyamai keindahan, keluhuran, dan keagungan definisi yang diberikan oleh Al-Quran.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  3  Juli  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar