بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 188
Hakikat Sifat Allah Swt. Al-Ahad dan Ash-Shamad dalam Surah Al-Ikhlash
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai doa dalam Surah
Al-Fatihah, yang wajib dibaca dalam shalat – baik shalat wajib mau pun shalat
nafal (tambahan) -- sebab tanpa
membacanya maka shalat-shalat tersebut tidak sah, firman-Nya:
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ﴿﴾
Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang
dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. (Al-Fatihah
[1]:6-7).
Ayat ini menjelaskan bahwa
orang beriman sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia
menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt. mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya. Ia melihat kepada
contoh-contoh karunia Ilahi yang
dianugerahkan kepada para hamba pilihan
Ilahi, lalu memperoleh dorongan
semangat dari mereka.
Ia bahkan tidak berhenti sampai
di situ saja, tetapi ia berusaha keras
dan mendoa supaya digolongkan di
antara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari
antara mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut
dalam QS.4:70.
Doa itu umum dan tidak untuk sesuatu karunia tertentu. Orang beriman bermohon kepada Allah Swt. agar menganugerahkan karunia ruhani yang tertinggi kepadanya,
dan terserah kepada Dia untuk
menganugerahkan kepadanya karunia
yang dianggap Allah Swt. pantas dan layak bagi orang beriman itu menerimanya, firman-Nya:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
عَلِیۡمًا﴿﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka
akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada
mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang
shalih, dan mereka itulah
sahabat yang sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa
[4]:70-71).
Kata depan ma’a menunjukkan adanya dua
orang atau lebih, bersama pada suatu
tempat atau pada satu saat, kedudukan,
pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam
QS.9:40 (Al-Mufradat).
Kata itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran dengan artian fi
artinya “di antara” (QS.3:194; QS.4:
147).
Golongan Maghdhūb (yang Dimurkai) dan Dhāllīn (yang Sesat)
Ayat
ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka
bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian — para nabi, para shiddiq, para syuhada dan para shalih (orang-orang saleh) — kini semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti Nabi Besar
Muhammad saw. dan ajaran Islam
(Al-Quran - QS.3:32; QS.33:22; QS.3:20 & 86; QS.5:4).
Hal
ini merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammad saw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai
beliau saw. dalam perolehan nikmat
ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan:
وَ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ
رُسُلِہٖۤ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الصِّدِّیۡقُوۡنَ ٭ۖ وَ الشُّہَدَآءُ
عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ؕ لَہُمۡ
اَجۡرُہُمۡ وَ نُوۡرُہُمۡ ؕ وَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا وَ کَذَّبُوۡا
بِاٰیٰتِنَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ الۡجَحِیۡمِ ﴿﴾
“Dan orang-orang
yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi (syuhada) di sisi Tuhan
mereka. Bagi mereka ada ganjaran mereka
dan cahaya mereka. Tetapi mereka yang kafir dan mendustakan Tanda-tanda Kami mereka adalah penghuni-penghuni jahannam” (Al-Hadīd [57]: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti
bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi
lainnya dapat mencapai martabat shiddiq,
syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut Nabi Besar
Muhammad saw. dapat naik ke
martabat nabi juga., yakni kenabian yang tidak membawa syariat baru, karena agama
Islam(Al-Quran) merupakan agama dan Kitab suci terakhir dan tersempurna (QS.3:32; QS.33:22; QS.3:20
& 86; QS.5:4).
Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang
mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman dalam empat golongan dalam ayat ini, dan
telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih
rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar
jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian
itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang
membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum
masih tetap dapat dicapai.”
Menurut Allah Swt. dalam Surah Al-Fatihah sebelum ini, orang-orang yang
menolak dan mendustakan keempat kedudukan nikmat-nikmat
keruhanian yang ditetapkan Allah
Swt. bagai para pengikut sejati Nabi
Besar Muhammad saw. adalah golongan الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ -- “orang yang atas mereka Allah murka” atau “orang-orang yang dimurkai Allah”.
Sedangkan orang-orang yang bersikap sebaliknya -- yakni yang melampaui batas dalam menghormati
Rasul Allah sehingga telah mempertuhankan mereka sebagaimana yang
dilakukan orang-orang Kristen (QS.7:30-33)
– Allah Swt. menyebut الضَّآلِّیۡنَ -- “mereka
yang sesat” dari Tauhid Ilahi,
firman-Nya:
اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ﴿﴾
Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang
dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. (Al-Fatihah
[1]:6-7).
Kemusyrikan di Kalangan Bangsa
Arab Jahiliyah
Berkenaan Para Malaikat
Kembali
kepada Surah Ash-Shāffāt yang menjadi
pokok bahasan dalam Blog ini, setelah mengemukakan kisah Nabi Yunus a.s.,
selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
فَاسۡتَفۡتِہِمۡ اَلِرَبِّکَ الۡبَنَاتُ وَ لَہُمُ الۡبَنُوۡنَ
﴿﴾ۙ اَمۡ خَلَقۡنَا الۡمَلٰٓئِکَۃَ اِنَاثًا
وَّ ہُمۡ شٰہِدُوۡنَ﴿﴾ اَلَاۤ اِنَّہُمۡ
مِّنۡ اِفۡکِہِمۡ لَیَقُوۡلُوۡنَ ﴿﴾ۙ وَلَدَ اللّٰہُ ۙ وَ اِنَّہُمۡ
لَکٰذِبُوۡنَ ﴿﴾ اَصۡطَفَی الۡبَنَاتِ عَلَی الۡبَنِیۡنَ ﴿﴾ؕ
Sekarang
tanyailah mereka: “Apakah Tuhan kamu mempunyai anak perempuan, sedangkan untuk mereka anak laki-laki?” Ataukah Kami menciptakan malaikat-malaikat itu
perempuan dan mereka menyaksikannya? Ketahuilah, sesungguhnya itu adalah kebohongan mereka dan
mereka benar-benar berkata: “Allah memiliki anak” dan
sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.
Apakah Dia memilih anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki? (Ash-Shāffāt [37]:150-154).
Walau pun
pihak yang diajak bicara oleh
Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat-ayat
ini adalah kaum Mekkah yang tidak
beriman kepada pendakwaan beliau
saw., akan tetapi firman Allah Swt.
tersebut tertuju juga kepada kaum-kaum
lainnya yang mememiliki paham sesat
yang seperti itu, yakni bahwa -- na’udzubillāhi
min dzālik -- Allah Swt. memiliki anak.
Pernyataan Allah Swt. dalam Al-Quran
Mengenai Wujud-Nya dan Sifat-sifat-Nya
Orang-orang Arab menisbahkan kepada para malaikat mempunyai kekuasaan Ilahi dengan mempercayai mereka sebagai putri-putri Tuhan. Bentuk kemusyrikan demikian itulah yang telah
dicela di sini. Pernyataan Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut yang mencela
tentang memiliki “anak perempuan”, tidak berarti bahwa Allah Swt. memiliki “anak
laki-laki”, sebab dengan tegas Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ اَحَدٌ ۚ﴿﴾ اَللّٰہُ
الصَّمَدُ ۚ﴿﴾ لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ
وَ لَمۡ یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾ وَ لَمۡ یَکُنۡ
لَّہٗ کُفُوًا اَحَدٌ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah Allah
Yang Maha Esa. Allah, adalah Tuhan Yang segala
sesuatu bergantung pada-Nya. Dia
tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan-Nya.”(Al-Ikhlash [112]:1-4).
Kata qul
(katakan) dalam ayat قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ
اَحَدٌ mengandung perintah kekal kepada orang-orang Islam untuk tetap menyatakan bahwa “Tuhan itu Maha Esa”.
Kata Huwa (Dia) yang dipakai sebagai dhamir
asy-sya’n (kata pengganti nama yang menunjukkan keadaan, Pent.) dan
berarti “Yang benar adalah ini,” dan menunjukkan bahwa kebenaran telah tertanam di dalam fitrat manusia adanya Tuhan
dan Dia itu Esa dan Mandiri.
Allah
adalah nama khas, dipergunakan
dalam Al-Quran untuk Dzat Yang Maha Kuasa.
Dalam bahasa Arab kata itu sama sekali tidak dipakai untuk sesuatu benda atau
wujud lain. Ini merupakan nama mutlak
untuk Tuhan, bukan nama sifat dan
bukan pula keterangan.
Ahad
adalah sebutan yang dikenakan
hanya kepada Tuhan dan berarti: Yang
Tunggal, Yang Esa; Dia Yang semenjak azali dan selamanya Esa dan Tunggal; Yang
tiada wujud lainnya sebagai mitra dalam ketuhanan-Nya dan tidak pula dalam
wujud-Nya (Lexicon Lane).
Sementara Ahad
berarti keesaan Tuhan dalam wujud-Nya – gagasan adanya wujud kedua
tidak dapat diterima – maka Wahid berarti kemandirian Tuhan dalam sifat-sifat-Nya.
Dengan demikian ungkapan “Allāhu
Wahidun” akan berarti, bahwa Tuhan
itu Wujud Tertinggi dan merupakan Cikal-bakal
serta Sumber Yang dari-Nya telah
lahir segala jenis makhIuk; dan “Allāhu Ahadun” berarti bahwa Allah itu Dzat Yang Esa dan Tunggal dalam arti, bahwa bila kita memikirkan Dia, hilanglah dari pikiran kita gagasan adanya suatu wujud atau benda lain selain Dia, Dia itu Esa
dan Tunggal dalam segala arti.
Allah Swt. itu bukan mata
rantai pertama suatu rangkaian mata
rantai, dan bukan pula mata rantai
terakhir. Tidak ada sesuatu seperti
Dia dan Dia pun tidak seperti benda
apapun. Inilah hakikat Allah menurut
paham yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Makna Sifat Allah Swt. Ash-Shamad
Kata shamad
dalam ayat
اَللّٰہُ الصَّمَدُ berarti: seorang yang menjadi tumpuan memenuhi segala keperluan; atau
yang kepadanya ditujukan ketaatan; yang tanpa dia, tidak ada perkara dapat
diselesaikan; orang atau tempat yang tiada seorang atau sesuatu pun ada di
atasnya.
Karena Ash-Shamad merupakan salah satu sifat Tuhan, berarti: Wujud tertinggi, Yang menjadi tempat
memenuhi segala keperluan; Yang tidak
bergantung pada apapun dan Yang kepada-Nya segala sesuatu mempunyai ketergantungan dalam kebutuhan dan
keperluannya; Yang akan terus berwujud
untuk selama-lamanya meski seluruh makhluk sudah tidak berwujud lagi; Yang tiada wujud lain di atas Dia (Lexicon Lane).
Dalam ayat
yang mendahuluinya -- قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ
اَحَدٌ -- telah dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa, Tunggal,
dan Mandiri, ayat اَللّٰہُ الصَّمَدُ mendukung pernyataan itu. Ayat ini mengatakan bahwa semua benda dan wujud mempunyai ketergantungan
dari Tuhan, tetapi Dia Sendiri Mandiri
dan segala sesuatu bergantung
pada-Nya. Semua memerlukan Dia, tetapi Dia tidak memerlukan siapapun. Dia tidak
memerlukan wujud atau zat apapun guna menciptakan alam raya; pada hakikatnya,
tiada sesuatu di alam raya ini sempurna dalam dirinya sendiri (berdiri
sendiri); tiap sesuatu bergantung pada sesuatu yang lain untuk kehidupannya. Tuhan-lah satu-satunya Wujud Yang tidak bergantung pada wujud
mana pun dan benda apapun; Dia jauh dari jangkauan daya khayal dan terkaan.
Sifat-sifat-Nya tidak mengenal batas.
Sifat
Ilahi Ash-Shamad (Mandiri dan tempat semua makhluk memohon) telah
disebut dalam ayat yang mendahuluinya untuk mengukuhkan pernyataan, bahwa Allah
itu Ahad (Mahaesa, Tunggal dan tiada tara bandingan-Nya) dan kini, dalam
ayat لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ
وَ لَمۡ یُوۡلَدۡ sifat “Dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan” disebut guna menunjukkan bahwa Dia itu Ash-Shamad (Dia
berada di atas segala keperluan).
Allah Swt. “Tidak Beranak” dan “Tidak
Diperanakan”
Kenapa demikian? Sebab anggapan adanya keperluan
pada-Nya itu timbul dari pikiran keliru
bahwa Dia (Allah Swt.) memerlukan bantuan
dari seorang orang lain
-- yang tanpa orang itu Dia tidak dapat menjalankan pekerjaan-Nya, dan
yang harus melanjutkan pekerjaan-Nya
sesudah Dia mati -- sebab semua wujud
yang menjadi pengganti atau yang digantikan wujud lain, tunduk kepada
hukum kematian.
Allah Swt. tidak menggantikan siapapun dan tidak akan diganti oleh siapapun. Dia sempurna dalam semua sifat-Nya dan Dia
itu azali, abadi, dan mutlak, karena itu dengan tegas Allah Swt. berfirman: لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ وَ
لَمۡ یُوۡلَدۡ -- “Dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan”
Ayat selanjutnya
وَ لَمۡ یَکُنۡ
لَّہٗ کُفُوًا اَحَدٌ -- “dan
tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya” menghilangkan suatu keraguan yang mungkin timbul dan boleh
jadi ditimbulkan karena ayat yang mendahuluinya. Taruhlah bahwa Allah itu Maha Esa, Tunggal, dan Mulia lagi Mandiri tanpa bergantung pada wujud
lain, dan taruhIah bahwa Dia tidak
beranak dan tidak diperanakkan,
tetapi boleh jadi ada wujud lain seperti Dia yang mungkin memiliki semua sifat yang dimiliki oleh-Nya.
Ayat ini menghapus kesalah-pahaman itu. Ayat ini mengatakan bahwa tidak ada wujud lain
seperti Allah. Akal manusia pun
menuntut bahwa harus ada hanya satu
Pencipta dan Pengawas seluruh alam raya. Tata kerja sempurna yang
melingkupi dan meliputi alam raya pun
menuntun kepada kesimpulan yang tidak
dapat dielakkan, bahwa satu hukum
yang seragam harus tegak dan kesatuan serta keseragaman hukum dan polanya
membuktikan serta menyatakan keesaan
Sang Pencipta (QS.21:23).
Dengan demikian Surah Al-Ikhlash ini mencabut akar-akar semua itikad kemusyrikan yang terdapat dalam suatu
bentuk atau lain pada agama lain – berupa kepercayaan kepada Tuhan, dua atau
tiga atau lebih banyak, dan bahwa ruh
dan benda itu azali seperti Tuhan. Inilah penjelasan definisi agung mengenai Dzat
Yang Maha Tinggi seperti dijelaskan dalam Al-Quran, dan tidak ada definisi dalam Kitab-kitab Suci lain yang dapat sekelumit saja menyamai keindahan, keluhuran, dan keagungan
definisi yang diberikan oleh Al-Quran.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 3 Juli
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar