Selasa, 20 Agustus 2013

"Mi'raj" Perenungan Orang-orang Brakal & Pentingnya Menyambut Seruan "Penyeru dari Allah"




 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 

Bab 196

“Mi’raj” Perenungan  Orang-orang yang Berakal & Pentingnya Menyambut Seruan “Penyeru dari Allah”

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam    Bab sebelumnya  telah  dikemukakan   mengenai   perintah Allah Swt.   وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ  --  “Dan hendaklah ada segolongan di antara kamu yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf,  melarang dari berbuat munkar, dan mereka itulah orang-orang yang berhasil.”  (QS.3:105).
    Walau pun benar bahwa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar  merupakan kewajiban setiap pribadi orang-orang  bertakwa  tetapi  perintah dalam ayat tersebut bukan terbatas pada  perseorangan melainkan  suatu  golongan atau kelompok atau jama’ah Muslim  yakni umat.

Para Mujaddid (Pembaharu) &   Cara Allah Swt. Menjaga   Al-Quran

      Masalah  keberadaan  para da’i ilallāh (penyeru kepada Allah) yang hakiki tersebut, dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”( HR Abu Dawud  - no. 4291).
     Sehubungan dengan  akan dibangkitkannya para mujaddid dari kalangan umat Islam  tersebut Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Sesungguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari hadits-hadits  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’”  - 10/46).
     Mengenai  siapa saja para mujaddid  yang muncul di setiap abad tersebut terdapat perbedaan pendapat, tetapi umumnya dipercayai bahwa mujaddid yang pertama adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan para mujaddid lainnya antara lain adalah Imam Asy-Syafi’i; Hasan al-Bashri; Imam Ghazal  dan Sheikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.
     Pada hakikatnya yang dimaksud dengan sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani Israil  atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi” adalah merujuk kepada para mujaddid  itulah karena wujud-wujud suci tersebut merupakan para wali Allah besar.
      Melalui keberadaan para mujaddid  di setiap awal abad itulah  Allah Swt.  bukan saja memelihara Al-Quran dari berbagai bentuk  perusakan – baik dalam makna harfiyah mau pun makna ruhaniyah – tetapi juga membukakan khazanah-khazanah baru keruhanian  yang terkandung dalam Al-Quran yang diperlukan  pada  abad itu, sebagai realisasi dari firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Kami-lah Yang menurunkan peringatan ini  dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.  (Al-Hijr [5]:10).
     Janji mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup membuktikan  bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah Swt..  

Tantangan yang Berlaku Selamanya

       Surah ini diturunkan di Mekkah (Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.   beserta para pengikut beliau saw. sangat morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh dengan mudah dapat menghancurkan agama  baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap tenaga mereka guna menghancurkan Islam, dan mereka diperingatkan bahwa Allah Swt. akan menggagalkan segala tipu-daya mereka sebab Dia sendirilah Penjaganya.
     Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa tantangan itu terbuka dan tidak samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan, serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan yang sempurna. Keistimewaan Al-Quran yang demikian itu tidak dimiliki oleh Kitab-kitab lainnya yang diwahyukan.
     Sir William Muir, sarjana ahli kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat menetapkan berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam Al-Quran itu asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami perubahan ...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran maupun dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
     Prof. Noldeke, ahli ketimuran besar yang berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana Eropa untuk membuktikan adanya sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian, telah gagal” (Encyclopaedia Britannica).      Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr. Mingana, beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari kelemahan dalam kemurnian teks Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di antara semua kitab suci yang diwahyukan, hanya Al-Quranlah yang seluruhnya tetap kebal dari penyisipan atau campur-tangan manusia.

“Orang-orang yang Disucikan”  &
 Pembukaan Khazanah-khazanah Baru Al-Quran

      Kemudian mengenai pemeliharaan serta pembukaan rahasia  khazanah-khazanah baru kandungan Al-Quran yang sangat diperlukan manusia Allah Swt. berfirman:
اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾   فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya itu  benar-benar Al-Quran yang mulia, dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.  (Al-Wāqi’ah [56]:78-80).
  Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik, merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantang-an itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya.
 Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.   kepada dunia empat belas abad yang lalu, telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun (Sir William Muir).
   Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya. Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
    Itulah makna فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ  --  “dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara  yakni seperti halnya hukum alam demikian juga  cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman. Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31).
 Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
 Selanjutnya Allah Swt. berfirman  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ  --  “yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan”, yakni hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan   dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.

‘Ulama Hakiki

      Oleh karena itu sangat keliru jika  sabda Nabi Besar Muhammad saw.   bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani Israil  atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi   ditujukan kepada  para ‘ulama Islam  secara umum, sebab menurut Allah Swt. yang berhak disebut sebagai ‘ulama hakiki yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini adalah mereka yang benar-benar takut kepada Allah Swt.:
اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّ اللّٰہَ  اَنۡزَلَ مِنَ  السَّمَآءِ  مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ  مُّخۡتَلِفًا  اَلۡوَانُہَا ؕ وَ مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ  بِیۡضٌ وَّ حُمۡرٌ  مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾  وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ  کَذٰلِکَ ؕ اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ  الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ  غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah engkau tidak melihat  bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih,   merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada yang sehitam burung gagak?  Dan demikian juga di antara manusia,  hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya  dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).
      Ayat 28  bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun di atas tanah yang kering dan gersang, maka air hujan itu menimbulkan aneka ragam tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
      Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang dihasilkan sangat berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat dalam Al-Quran telah diibaratkan air — turun kepada suatu kaum dengan perantaran  seorang rasul Allah, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat pada bermacam-macam manusia menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
     Dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa keaneka-ragaman yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang, akan tetapi juga pada manusia, binatang buas dan ternak.
   Kata an-nās (manusia), ad-dawāb (binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan manusia dengan bermacam-macam kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami.
    Ungkapan “Sesungguhnya dari antara hamba-hambanya yang takut kepada Allah dari  adalah para ulama” memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia,  dan menurut Allah Swt.  di antara mereka itu hanya ‘ulama – yakni mereka yang dikaruniai ilmu   --  saja yang takut kepada Tuhan.

Ûlil Albāb (Orang-orang yang Berakal)

      Akan tetapi di sini ilmu itu tidak seharusnya selalu berarti ilmu keruhanian atau ilmu keagamaan saja akan tetapi juga pengetahuan  hukum alam. Penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya niscaya membawa orang kepada makrifat mengenai kekuasaan Maha Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibat-nya merasa kagum dan takzim terhadap Tuhan.
     Mereka itulah yang dalam Al-Quran disebut ūlul albāb (orang-orang yang berakal), karena melalui bashirah (penglihatan ruhani) yang mereka miliki,   setelah  membaca tanda-tanda alam mau pun tanda-tanda zaman   mereka berhasil mengambil kesimpulan     bahwa Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah kepada mereka dalam Kitab-kitab suci -- termasuk dalam Kitab Suci  Al-Quran – benar-benar telah datang dan mereka pun beriman kepadanya, firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ  الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ  قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿﴾
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi serta pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan sambil  berbaring atas rusuk mereka, dan mereka memikirkan mengenai penciptaan seluruh langit dan bumi  seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini  sia-sia, Maha Suci Engkau dari perbuatan sia-sia maka peliharalah kami dari azab Api.” (Âli ‘Imran [3]:191-192).
     Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan seluruh  langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang ialah bahwa  manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani. Bila ia berbuat amal saleh maka masa kegelapannya dan masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagiaan.
    Tatanan agung alam semesta jasmani yang dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam ini telah dijadikan untuk menghidmati manusia, tentu saja kejadian (penciptaan) manusia sendiri mempunyai tujuan yang agung dan mulia pula.
     Apabila orang merenungkan tentang kandungan arti keruhanian yang diserap dari gejala-gejala fisik di dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan sempurna yang melingkupinya itu, ia akan begitu terkesan dengan mendalam oleh kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya (Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta terlontar dari dasar lubuk hatinya seruan: “Ya  Tuhan kami, sekali-kali tidaklah Engkau menciptakan  semua ini sia-sia.”

Menyambut Seruan Penyeru dari Allah

      Mikraj perenungan yang dilakukan orang-orang yang berakal (ulul albab)  tersebut tidak terpaku pada hal-hal yang bersifat jasmani belaka – sehingga mereka meraih kesuksesan-kesuksesan kehidupan duniawi – melainkan menembus langit-langit ruhani  yang tidak dapat ditembus oleh orang-orang duniawi yang  mata ruhaninya buta, sebagaimana dikemukakan ayat selanjutnya:
رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿﴾  رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ  فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ  الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ   رَبَّنَا وَ اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾
“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.  Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami kepada  keimanan seraya berkata:  "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu" maka kami telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami,  hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama  orang-orang yang berbuat kebajikan (abrar). Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah me-nyalahi janji.” (Âli ‘Imran [3]:193-195). 
     Jadi, mikraj perenungan  mereka telah menyampaikan mereka kepada suatu kesimpulan yang benar mengenai keberadaan seorang Penyeru dari Allah Swt., yang menyeru umat manusia kepada keimanan yang hakiki kepada Allah Swt. yaitu Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka. 
      Namun sayang kebanyakan orang di setiap zaman kedatangan para Rasul Allah – termasuk di Akhir Zaman ini -- telah  menggenapi perkataan Yesus (Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.) dalam  Injil berikut ini:
1.Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka.   2. Tetapi jawab Yesus: "Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, 3. dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. 4.Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus." Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.(Matius 16:1-4).
    
(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  10  Juli  2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar