بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 196
“Mi’raj” Perenungan Orang-orang yang Berakal & Pentingnya Menyambut Seruan “Penyeru dari Allah”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Bab
sebelumnya telah dikemukakan
mengenai perintah Allah
Swt. وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُفۡلِحُوۡنَ -- “Dan hendaklah
ada segolongan di antara kamu yang senantiasa menyeru manusia kepada
kebaikan, menyuruh kepada
yang makruf, melarang dari berbuat
munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang berhasil.”
(QS.3:105).
Walau pun benar bahwa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan kewajiban setiap pribadi
orang-orang bertakwa tetapi perintah
dalam ayat tersebut bukan terbatas pada perseorangan melainkan suatu golongan atau kelompok atau jama’ah Muslim yakni umat.
Para Mujaddid
(Pembaharu) & Cara Allah Swt. Menjaga Al-Quran
Masalah keberadaan para da’i
ilallāh (penyeru kepada Allah) yang hakiki tersebut, dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ
عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan)
bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka
pada setiap akhir seratus tahun”( HR Abu Dawud - no. 4291).
Sehubungan dengan akan dibangkitkannya para mujaddid dari kalangan umat Islam
tersebut Imam Ahmad bin Hambal
berkata:
“Sesungguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat
manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas
kedustaan dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
(Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” - 10/46).
Mengenai
siapa saja para mujaddid yang muncul di setiap abad tersebut terdapat
perbedaan pendapat, tetapi umumnya dipercayai bahwa mujaddid yang pertama adalah ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan para mujaddid lainnya antara lain adalah Imam Asy-Syafi’i; Hasan al-Bashri; Imam Ghazal dan Sheikh
‘Abdul Qadir al-Jailani.
Pada hakikatnya yang dimaksud dengan
sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “para
ulama umatku seperti para nabi Bani Israil”
atau “para ‘ulama adalah pewaris
para nabi” adalah merujuk kepada para mujaddid itulah karena wujud-wujud suci tersebut merupakan para wali Allah besar.
Melalui keberadaan para mujaddid di setiap awal abad
itulah Allah Swt. bukan saja memelihara Al-Quran dari berbagai bentuk perusakan
– baik dalam makna harfiyah mau pun
makna ruhaniyah – tetapi juga
membukakan khazanah-khazanah baru
keruhanian yang terkandung dalam
Al-Quran yang diperlukan pada abad itu, sebagai realisasi dari firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ
وَ اِنَّا لَہٗ
لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Kami-lah Yang menurunkan
peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya. (Al-Hijr [5]:10).
Janji
mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam
ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun
andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup
membuktikan bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah Swt..
Tantangan yang Berlaku Selamanya
Surah ini diturunkan di Mekkah
(Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. beserta para pengikut beliau saw. sangat morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh
dengan mudah dapat menghancurkan agama baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap
tenaga mereka guna menghancurkan Islam,
dan mereka diperingatkan bahwa Allah
Swt. akan menggagalkan segala tipu-daya mereka sebab Dia sendirilah
Penjaganya.
Sebagaimana telah dikemukakan
dalam bab sebelumnya, bahwa tantangan
itu terbuka dan tidak samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam,
kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan,
serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan
yang sempurna. Keistimewaan Al-Quran yang demikian itu tidak dimiliki oleh
Kitab-kitab lainnya yang diwahyukan.
Sir William Muir, sarjana ahli
kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat
menetapkan berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam
Al-Quran itu asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami
perubahan ...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran
maupun dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan
pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak
mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah
membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
Prof. Noldeke, ahli ketimuran besar yang
berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana
Eropa untuk membuktikan adanya sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian,
telah gagal” (Encyclopaedia Britannica). Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr.
Mingana, beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari kelemahan dalam kemurnian
teks Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di antara
semua kitab suci yang diwahyukan, hanya Al-Quranlah yang seluruhnya tetap kebal
dari penyisipan atau campur-tangan manusia.
“Orang-orang yang Disucikan” &
Pembukaan Khazanah-khazanah Baru Al-Quran
Kemudian mengenai pemeliharaan serta pembukaan
rahasia khazanah-khazanah baru kandungan Al-Quran yang sangat diperlukan
manusia Allah Swt. berfirman:
اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
itu benar-benar Al-Quran
yang mulia, dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara, yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah
[56]:78-80).
Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara
dan terjaga baik, merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia,
tetapi selama 14 abad, tantang-an itu
tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya
yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela
kemurnian teksnya.
Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa
kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan
oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia empat belas abad yang
lalu, telah sampai kepada kita tanpa
perubahan barang satu huruf pun (Sir William Muir).
Al-Quran adalah sebuah
Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya. Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas
yang terkandung dalam Al-Quran itu
tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
Itulah makna فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- “dalam
suatu kitab yang sangat terpelihara” yakni seperti halnya hukum alam demikian juga cita-cita
dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat
dilanggar tanpa menerima hukuman. Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran
dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia
(QS.30:31).
Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat
dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara
jujur bertindak sesuai dengan naluri
atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran
Al-Quran.
Selanjutnya Allah Swt.
berfirman لَّا یَمَسُّہٗۤ اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan”, yakni hanya
orang yang bernasib baik
sajalah yang diberi pengertian mengenai dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam
alam rahasia ruhani makrifat Ilahi,
yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya
tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan
menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.
‘Ulama Hakiki
Oleh karena itu sangat keliru jika sabda
Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani
Israil” atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi” ditujukan kepada para ‘ulama
Islam secara umum, sebab menurut
Allah Swt. yang berhak disebut sebagai ‘ulama
hakiki yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini adalah mereka yang
benar-benar takut kepada Allah Swt.:
اَلَمۡ تَرَ
اَنَّ اللّٰہَ اَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ
مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ
مُّخۡتَلِفًا اَلۡوَانُہَا ؕ وَ
مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ بِیۡضٌ وَّ
حُمۡرٌ مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ
غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾ وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ
مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ کَذٰلِکَ ؕ
اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ
الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ
غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah
engkau tidak melihat bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu
buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih, merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada
yang sehitam burung gagak? Dan demikian juga di antara manusia, hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya.
Sesungguhnya dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah
adalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).
Ayat 28 bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun di atas tanah yang kering
dan gersang, maka air hujan itu
menimbulkan aneka ragam tanam-tanaman,
bunga-bungaan, dan buah-buahan
yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang
dihasilkan sangat berbeda satu sama
lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah
dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat
dalam Al-Quran telah diibaratkan air
— turun kepada suatu kaum dengan perantaran
seorang rasul Allah, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat pada bermacam-macam
manusia menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
Dalam
ayat selanjutnya dijelaskan bahwa keaneka-ragaman
yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan
dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang,
akan tetapi juga pada manusia,
binatang buas dan ternak.
Kata an-nās (manusia), ad-dawāb
(binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan
manusia dengan bermacam-macam kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami.
Ungkapan “Sesungguhnya dari antara hamba-hambanya yang takut kepada
Allah dari adalah para ulama”
memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia, dan menurut Allah Swt. di antara mereka itu hanya ‘ulama – yakni mereka yang dikaruniai ilmu -- saja
yang takut kepada Tuhan.
Ûlil Albāb (Orang-orang yang Berakal)
Akan tetapi di sini ilmu itu
tidak seharusnya selalu berarti ilmu
keruhanian atau ilmu keagamaan
saja akan tetapi juga pengetahuan hukum alam. Penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya niscaya membawa orang kepada makrifat mengenai kekuasaan
Maha Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibat-nya merasa kagum dan takzim terhadap Tuhan.
Mereka itulah yang dalam Al-Quran
disebut ūlul albāb (orang-orang yang
berakal), karena melalui bashirah
(penglihatan ruhani) yang mereka miliki,
setelah membaca tanda-tanda alam mau pun tanda-tanda
zaman mereka berhasil mengambil kesimpulan bahwa Rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
Allah kepada mereka dalam Kitab-kitab suci -- termasuk dalam Kitab
Suci Al-Quran
– benar-benar telah datang dan mereka pun beriman
kepadanya, firman-Nya:
اِنَّ فِیۡ
خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ اخۡتِلَافِ الَّیۡلِ وَ النَّہَارِ
لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ۚۙ الَّذِیۡنَ
یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ
قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ
الۡاَرۡضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ ہٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَکَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
﴿﴾
Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi
serta pertukaran malam dan siang benar-benar terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, duduk, dan sambil
berbaring atas rusuk mereka,
dan mereka memikirkan mengenai
penciptaan seluruh langit dan bumi seraya berkata: “Ya Tuhan kami, sekali-kali tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau dari perbuatan
sia-sia maka peliharalah kami dari
azab Api.” (Âli ‘Imran [3]:191-192).
Pelajaran yang terkandung dalam penciptaan
seluruh langit dan bumi dan dalam
pergantian malam dan siang ialah bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi diciptakan untuk mencapai kemajuan ruhani dan jasmani. Bila ia berbuat amal
saleh maka masa kegelapannya dan
masa kesedihannya pasti akan diikuti oleh masa terang benderang dan kebahagiaan.
Tatanan agung alam semesta jasmani yang
dibayangkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak mungkin terwujud tanpa suatu tujuan tertentu, dan karena seluruh alam
ini telah dijadikan untuk menghidmati
manusia, tentu saja kejadian (penciptaan) manusia
sendiri mempunyai tujuan yang agung
dan mulia pula.
Apabila orang merenungkan tentang
kandungan arti keruhanian yang
diserap dari gejala-gejala fisik di
dalam penciptaan seluruh alam dengan tatanan sempurna yang melingkupinya itu,
ia akan begitu terkesan dengan
mendalam oleh kebijakan luhur Sang Al-Khāliq-nya
(Maha Pencipta-nya) lalu dengan serta-merta terlontar dari dasar lubuk hatinya
seruan: “Ya Tuhan kami, sekali-kali
tidaklah Engkau menciptakan semua ini
sia-sia.”
Menyambut Seruan Penyeru dari
Allah
Mikraj perenungan
yang dilakukan orang-orang yang berakal (ulul albab) tersebut tidak terpaku pada hal-hal yang
bersifat jasmani belaka – sehingga mereka meraih kesuksesan-kesuksesan kehidupan
duniawi – melainkan menembus langit-langit ruhani yang tidak dapat ditembus oleh orang-orang
duniawi yang mata ruhaninya buta,
sebagaimana dikemukakan ayat selanjutnya:
رَبَّنَاۤ
اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ
اَنۡصَارٍ ﴿﴾ رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ
لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ
فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا
سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ
الۡاَبۡرَارِ ﴿﴾ۚ رَبَّنَا وَ اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا
عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ لَا تُخۡلِفُ
الۡمِیۡعَادَ ﴿﴾
“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
Api maka sungguh Engkau telah
menghinakannya, dan sekali-kali tidak
ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru kami
kepada keimanan seraya berkata: "Berimanlah
kamu kepada Tuhan-mu" maka kami
telah beriman. Wahai Tuhan kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang berbuat kebajikan (abrar). Wahai Tuhan kami, karena
itu berikanlah kepada kami apa yang
telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak pernah me-nyalahi janji.”
(Âli
‘Imran [3]:193-195).
Jadi, mikraj perenungan mereka telah menyampaikan mereka kepada suatu kesimpulan yang benar mengenai keberadaan seorang Penyeru dari Allah Swt., yang menyeru umat manusia kepada keimanan yang hakiki kepada Allah Swt. yaitu Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka.
Namun sayang kebanyakan orang di setiap zaman kedatangan para Rasul Allah – termasuk di Akhir Zaman ini -- telah menggenapi perkataan Yesus (Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.) dalam Injil berikut ini:
1.Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka. 2. Tetapi jawab Yesus: "Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, 3. dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. 4.Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus." Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.(Matius 16:1-4).
Jadi, mikraj perenungan mereka telah menyampaikan mereka kepada suatu kesimpulan yang benar mengenai keberadaan seorang Penyeru dari Allah Swt., yang menyeru umat manusia kepada keimanan yang hakiki kepada Allah Swt. yaitu Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka.
Namun sayang kebanyakan orang di setiap zaman kedatangan para Rasul Allah – termasuk di Akhir Zaman ini -- telah menggenapi perkataan Yesus (Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.) dalam Injil berikut ini:
1.Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka. 2. Tetapi jawab Yesus: "Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, 3. dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. 4.Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus." Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.(Matius 16:1-4).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10 Juli
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar